Mengikuti Budaya Pasar atau Memasarkan Budaya Lokal?
“Ih Jadul Banget sih lo pake baju batik, hari gini…..”
Satu kalimat ringan diatas yang diajukan teman saya ini sebenarnya jika ditelaah lebih
jauh lagi sangatlah besar maknanya. Hal-hal yang seharusnya menjadi sebuah kebanggaan dan
kecintaan terhadap produk-produk intelektual kebangsaan - yang lebih sering kita dengar dengan
istilah Budaya- sudah mulai luntur dari kalangan pemuda-pemudi kita. Parahnya, amnesia budaya nusantara pun terjadi tidak hanya di kalangan para remaja, tetapi juga di hampir setiap
elemen masyarakat Indonesia. Dalam konteks tersebut, arus globalisasi memegang peranan yang
sangat penting terhadap fenomena dekonstruksi budaya kita. Berbagai macam bentuk dan sifat “asing” yang masuk ke dalam realitas masyarakat Indonesia dan kurang pedulinya masyarakat kita terhadap elemen-elemen budaya nusantara menjadikan hal semacam ini terjadi. Seperti
yang dipahami, bahwa globalisasi dalam sudut pandang ekonomi sangat erat kaitannya dengan
pasar bebas dan kapitalisme. Di dalam regulasi pasar bebas tersebut, hampir semua produk ciptaan manusia dapat dijual dan di jadikan alat untuk mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya. Termasuk dalam hal ini adalah budaya. Ada kecenderungan yang menarik dalam
menempatkan budaya suatu bangsa ke dalam regulasi sistem pasar bebas, terutama beberapa
dekade belakangan ini. Mereka yang sukses memasarkan dan menjual budaya ke dunia
internasional adalah negara-negara yang mampu mendesain ulang bentuk budaya nya tanpa
terlepas dari esensi budaya itu diciptakan sebelumnya oleh para leluhur mereka. Maka tak heran
gaya hidup Western, Korean Wave, Japanese Style dan sebagainya, mampu dijadikan salah satu senjata ekonomi bagi Negara-negara tersebut.
Berbicara mengenai budaya nusantara yang amat kaya dan beragam, tentu sedikit ironis
ketika kita melihat bahwa perkembangannya yang sangat lamban. Selain faktor globalisasi yang
sudah dijelaskan di atas, ada beberapa faktor internal yang turut menyumbangkan andil terhadap
permasalahan ini. Salah satu nya adalah kurang peka nya daya pikir masyarakat Indonesia
terhadap budaya nusantara. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah banyak orang yang mulai
melupakan warisan sejarah tersebut, terutama para generasi muda. Coba kita telisik lebih jauh
yang Western Oriented, mulai dari pakaian, makanan, gaya hidup dan sebagainya. Bagaimana fenomena K-pop atau Korean Drama membuat mabuk remaja-remaja dengan segala bumbu materialistisnya. Secara tidak langsung, masyarakat Indonesia telah dijajah kembali. Bukan
dengan fisik, melainkan dijajah seara mental dan ideologi dari Negara-negara itu. Hal ini sangat
bertentangan dengan apa yang para Revolusioner kita inginkan. . Sebenarnya kita kaya akan
budaya, suku, ras, agama, pulau, dan lainnya. Tengok saja hasil sensus BPS tahun 2010. Jumlah
pulau : 17.504, jumlah suku bangsa : 1.240, jumlah bahasa : 546. Luar biasa bukan untuk ukuran
satu buah Negara? Tapi pertanyaannya, kenapa masyarakat kita sendiri lebih
membangga-banggakan Negara (budaya) lain sedangkan kita punya yang lebih? Mungkin ini lah pertanyaan
para dewan-dewan penting di kursi kenegaraan sana.
Hal ini lah yang menyebabkan Indonesia tertinggal dari Negara-negara lain baik di
bidang ekonomi, bidang pengetahuan maupun teknologi. Jika kita lihat Negara-negara
berkembang di Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand yang melesat
sangat pesat setelah merdeka, Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945 terlihat masih
stuck di tempat. Jika kita melihat Singapura yang baru merdeka 20 tahun setelah Indonesia, sekarang mereka telah menjadi Negara maju, dan satu-satunya Negara maju di Asia Tenggara.
Mari kita bandingkan rata-rata pendapatan per-kapita Indonesia yang hanya US$ 3.452/orang
tiap tahun. Sedangkan warga Singapura mencapai US$ 48.595/orang tiap tahun. Itu berarti
Singapura kurang lebih unggul 13x lipat dari Indonesia atas pendapatan per-kapita. Gila bukan?
Mengingat Singapura tidak punya SDA (Sumber Daya Alam) yang melimpah seperti Indonesia.
Bayangkan betapa kayanya kita jika kita gunakan SDA yang ada dengan sebaik-baiknya.
Sebenarnya hal ini tidak bisa kita salahkan sepenuhnya pada arus Globalisme saja, karena
pihak internal memiliki peran lebih dari pihak eksternal seperti Globalisme ini. Adapun pihak
internal meliputi keluarga, lingkungan, sekolah, serta teman sebaya. Anak-anak merupakan
peniru ulung dari apa yang mereka lihat. Mereka melihat lingkungan yang tidak berbudaya
nasionalis, seperti hilangnya cinta pada produk dalam negeri karena banyaknya produk luar
negeri yang lebih mentereng, melihat teman sebayanya yang seperti menganut paham liberalisme
barat, yang lebih mementingkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan keadaan sekitar, dan sikap
acuh tak acuh kepada pemerintahan. Apa kita harus menyalahkan anak-anak akan hal ini?
tidak. Tidak salah kalau pemuda Indonesia hilang rasa Nasionalis jika dari kecil sudah melihat
lingkungan yang tidak etis. Sebenarnya ini merupakan kurangnya kesadaran masyarakat kita sendiri “hanya” dengan hal-hal kecil seperti memasang bendera di depan rumah, kantor, ataupun pertokoan atau dengan bangga memakai dan memasarkan produk dalam negeri. Adapun
bermacam-macam alasan yang akan dilontarkan. Padahal mereka mampu membeli
pakaian-pakaian bahkan kendaraan merk luar yang jauh lebih mahal. Sebenarnya hal-hal kecil itulah yan
sangat penting dalam pembentukan rasa bangga dan cinta akan bangsa sendiri yang mana itulah
modal penting dari Nasionalisme yang mana sudah mulai pudar di kalangan anak muda
Indonesia.
Sebenarnya sistem kapitalisme beserta liberalisasi ekonomi yang saat ini sedang melanda
negara-negara dunia bisa mendatangkan keuntungan jika kita cermat dan cerdik dalam
memanfaatkan posisi kita sebagai suatu bangsa dan negara. Banyak budaya-budaya nusantara
yang layak di jual ke dunia luar. Sebagai salah satu contoh nya adalah batik, yang baru-baru ini
di jadikan world heritage oleh PBB. Sehingga ada sebuah paradigma baru yang ditawarkan disini sebagai suatu bentuk penyesuaian cara berpikir terhadap dunia “masa kini”, kenapa tidak kita berusaha untuk “memasarkan” budaya kita yang sangat beraneka ragam dengan sedikit pengemasan yang lebih modern tanpa kehilangan esensi dari suatu budaya tersebut. Toh hal ini
jika sukses akan mendatangkan suatu pendapatan yang tidak sedikit nantinya bagi para
pengrajin, tokoh, masyarakat dan negara Indonesia.
That’s bring me to the end of my essay. Tidak perduli seberapa silaunya kilauan serta kegemerlapan negeri luar, yang terpenting kita bisa hidup selaras dan sejahtera di bumi pertiwi
tercinta ini tanpa embel-embel budaya asing. Kita telah muak dengan bobroknya negeri ini baik
di bidang pemerintahan maupun ekonomi. Akan lebih buruk lagi bila kita kehilangan identitas
kita, jati diri kita sebagai warga Negara Indonesia yang bangga akan pedoman kehidupan
negaranya yaitu Pancasila, dengan paham Nasionalisme. Serta tidak melupakan jasa-jasa para
pahlawan bangsa yang rela bertaruh nyawa dan bermandi darah melawan para penjajah demi
Daftar pustaka :
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130427023242AA1cHu7
http://finance.detik.com/read/2013/05/03/120324/2237204/4/singapura-miskin-sumber-alam-tapi-pendapatan-per
kapita-warganya-13-kali-ri
http://id.wikipedia.org/wiki/
IDENTITAS PENULIS
Nama : Satrio Hutomo Putro
NPM : 1306479394
Program Studi : Pariwisata