7 2.1.1 Hakikat Belajar
Dalam aktivitas kehidupan manusia sehari hari hampir tidak pernah
dapat terlepas dari kegiatan belajar, baik ketika seseorang melaksanakan
aktivitas sendiri, maupun di dalam suatu kelompok tertentu. Dipahami
ataupun tidakdipahami, sesungguhnya sebagian besar aktivitas di dalam
kehidupan sehari-hari kita merupakan belajar. Dengan demikian dapat kita
katakan, tidak ada ruang dan waktu di mana manusia dapat melepaskan
dirinya dari kegiatan belajar, dan itu berarti pula bahwa belajar tidak pernah
dibatasi usia, tempat maupun waktu, karena perubahan yang menuntut
terjadinya aktivitas belajar itu juga tidak pernah berhenti.
Menurut Daryanto (2010:2) belajar adalah suatu proses usahan yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya. Menurut Fathurrohman dan Sutikno
(2010:6) belajar adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang
setelah melakukan aktivitas tertentu. Sementara itu, menurut Syah (2010:90)
belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif
menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses kognitif.
Menurut Uno (2011:15) belajar adalah proses perubahan perilaku
seseorang setelah mempelajari suatu objek (pengetahuan, sikap, atau
keterampilan) tertentu. Menurut Hamalik (2011:27) belajar merupakan
suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Sejalan
dalam diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk
mendapatkan perubahan dalam perilaku.
Menurut Gagne (1984) dalam Sagala (2010:13), berpendapat bahwa
belajar adalah sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah
perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Pendapat lain dari Morgan
(1978) dalam Thabroni dan Mustofa (2011: 20), menyatakan bahwa belajar
adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang
terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
Palincsar (1998) dalam Arnold dkk (2012) menyatakan bahwa “Learning is viewed as a dialogic process where lerners pool their knowledge and experience to create new meanings”. Maksud pernyataan tersebut belajar dipandang sebagaiproses dialogis dimana pebelajar
mempunyai pengetahuan dan pengalaman untuk menciptakan makna baru.
Beberapa penjelasan ahli tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku akibat adanya
pengalaman dan latihan. Seseorang yang telah mengalami kegiatan belajar
akan memiliki pengetahuan, kebiasaan, dan sikap, misalnya tidak tahu
menjadi tahu, belum terampil menjadi terampil, dan tidak bisa menjadi bisa.
Perubahan tersebut mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik tetapi ada
kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk. Perubahan
tingkah laku akibat belajar relatif menetap.
2.1.2 Hasil Belajar
2.1.2.1 Hakikat Hasil Belajar
Hasil atau output dari proses pembelajaran yang dialami setiap
individu disebut hasil belajar. Hasil belajar biasanya ditandai dengan
perubahan tingkah laku yang mengarah pada hal yang positif, misalnya anak
berhitung, inilah yang dimaksud hasil belajar atau perubahan perilaku ke
arah positif.
Pengertian hasil belajar menurut Purwanto (2011:46), adalah
perubahan perilaku peserta didik akibat belajar. Perubahan perilaku
disebabkan karena dia mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang
diberikan dalam proses belajar mengajar. Lebih lanjut lagi ia mengatakan
bahwa hasil belajar dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik.
Pengertian hasil belajar menurut Nana Sudjana (2011 : 22), adalah
kemampuan-kemampuan yang dimilki siswa setelah menerima pengalaman
belajarnya. Pengalaman belajar ini akan menghasilkan kemampuan yang
menurut Howart Kingsley dalam bukunya menurut Nana Sudjana, (2011 :
22) hasil belajar dibedakan menjadi tiga macam kemampuan, yaitu : 1)
Keterampilan dan kebiasaan 2) Pengetahuan dan pengarahan, 3) Sikap dan
cita-cita. Ketiga kemampuan dalam hasil belajar itulah yang harus dimiliki
oleh siswa.
Gagne (1958) dalam Suprijono (2012: 5), menjelaskan bahwa hasil
belajar berupa hal-hal berikut:
Hasil-hasil belajar meliputi: (1) Informasi verbal, yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis; (2) Ketrampilan intelektual, yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang; (3) Strategi kognitif, yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri; (4) Keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi; (5) Sikap adalah kemampun menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.
Hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Kemampuan kognitif adalah kemampuan yang berkaitan
dengan mental (otak). Kemampuan afektif adalah kemampuan yang
yang berkaitan dengan keterampilan. Sementara hasil belajar menurut
Bloom (1956) dalam Thabroni dan Mustofa (2011: 23) sebagai berikut:
Hasil belajar meliputi: (1) Domain Kognitif mencakup: (a) Pengetahuan, ingatan; (b) Pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh; (c) Menerapkan; (d) Menguraikan, menentukan hubungan; (e) Mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru; (f) Menilai. (2) Domain Afektif mencakup: (a) Sikap menerima; (b) Memberikan respon; (c) Nilai; (d) Organisasi; (d) Karakterisasi. (3) Domain Psikomotor mencakup: (a) Initiatory; (b) Pre routine; (c) Rountinized; (d) Keterampilan produktif, teknik, sosial, manajerial, dan intelektual.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah perubahan perilaku yang disengaja melalui proses belajar
dengan usaha yang maksimal untuk memperoleh tingkat keberhasilan yang
dinyatakan dalam bentuk nilai setelah diketahui melalui evaluasi
pembelajaran. Perubahan tersebut dalam bidang kognitif, afektif dan
psikomotorik. Hasil belajar sangat penting digunakan karena sebagai tolak
ukur dari suatu kegiatan pembelajaran. Adanya kepuasan dan kebanggaan
hasil belajar yang diperoleh dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa
sehingga siswa akan belajar lebih rajin untuk memperbaiki,
mempertahankan atau meningkatkan prestasi belajar yang telah tercapai.
2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menurut
Slameto (2010:5) dapat dibagi menjadi dua macam yaitu faktor yang berasal
dari diri siswa (intern) dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (ekstern).
a. Faktor Internal
1) Faktor jasmani
a) Kesehatan agar seseorang dapat belajar dengan baik haruslah
mengusaha kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu
mengindahkan ketentuan-ketentuan bekerja belajar, istirahat, tidur,
makan, olah raga, rekreasi dan ibadah.
b) Cacat tubuh Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi hasil belajar.
2) Faktor psikologi
Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan belajar ini
meliputi segala hal yang berkaitan dengan kondisi seseorang, di dalam
faktor psikologis ada tujuan faktor yang mempengaruhi hasil belajar
yaitu: 1) Intelegensi; 2) Perhatian; 3) Minat; 4) Bakat; 5) Motif; 6)
Kematangan; 7) Kesiapan; dan 8) Cara belajar.
3) Faktor kelelahan
Kelelahan pada seseorang dapat di bedakan memjadi dua
macam, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Kelelahan
jasmani tubuh akan terasa lemas, dan hal ini akan membuat siswa
belajarnya yang tidak kondusif, dan mengantuk. Hal ini berbeda dengan
kelelahan rohani, kelelahan rohani berkaitan dengan keleluasan,
kelelahan keduanya ini mengakibatkan hasil belajar yang kurang
optimal.
4) Faktor Eksternal
1) Faktor Keluarga
a) Cara mendidik anak
Orang tua yang kurang/tidak memperhatikan pendidikan
anaknya, misalnya mereka acuh tak acuh terhadap belajar
anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan
kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan anaknya dalam belajar,
tidak mengatur waktu belajarnya, tidak menyediakan/melengkapi
alat belajarnya, tidak memperhatikan apakah anak belajar atau
tidak, tidak mau tahu bagaimanakah kemajuan belajar anaknya,
kesulitan-kesulitan yang dialami dalam belajar dan lain-lain,
dapat menyebabkan anak tidak/kurang berhasil dalam belajarnya.
b) Relasi antara keluarga
Relasi antara anggota keluarga adalah relasi orang tua
dengan anaknya. Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau
anggota keluarga yang lain pun turut mempengaruhi belajar anak.
pengertian, ataukah diliputi oleh kebencian, relasi antaranggota
keluarga ini erat hubungannya dengan cara orang tua mendidik.
Demi kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu
diusahakan relasi yang baik di dalam keluarga anak tersebut.
c) Keadaan Ekonomi Keluarga
Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan
belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuh
kebutuhan pokoknya, misal makan, pakaian, perlindungan
kesehatan dan lain – lain, juga membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis-menulis,
buku-buku dan lain-lain. Fasilitas belajar itu hanya dapat
terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang. Pengertian orang
tua anak belajar perlu dorongan dan perhatian orang tua.
d) Latar Belakang Kebudayaan
Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga
mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu kepada anak
ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, agar mendorong
semangat anak untuk belajar.
1) Faktor Sekolah
a) Metode Mengajar
Metode mengajar adalah suatu cara/jalan yang
harus dilalui di dalam mengajar. Menurut Ign. S. Ulih
Bukit Karo Karo adalah menyajikan bahan pelajaran oleh
orang kepada orang lain agar orang lain itu menerima,
menguasai dan mengembangkannya.
b) Kurikulum
Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan
yang diberikan kepada siswa. Kegiatan itu sebagian besar
adalah menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima,
c) Relasi Guru dengan Siswa
Di dalam relasi (guru dengan siswa) yang baik,
siswa akan menyukai gurunya, juga akan menyukai mata
pelajaran yang diberikan sehingga siswa berusaha
mempelajarinya sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi
sebaliknya, jika siswa membenci gurunya, maka ia segan
mempelajari mata pelajaran yang diberikannya, akibatnya
pelajarannya tidak maju.
d) Relasi Siswa dengan Siswa
Siswa yang mempunyai sifat-sifat atau tingkah laku
yang kurang menyenangkan teman lain, mempunyai rasa
rendah diri atau sedang mengalami tekanan-tekanan batin,
akan diasingkan dari kelompok. Menciptakan relasi yang
baik antar siswa adalah perlu, agar dapat memberikan
pengaruh yang positif terhadap belajar siswa.
e) Disiplin Sekolah
Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan
kerajinan siswa dalam sekolah dan juga dalam belajar.
Kedisiplinan sekolah mencakup kedisiplinan guru dalam
mengajar dengan melaksanakan tata tertib, kedisiplinan
pegawai/karyawan dalam pekerjaan administrasi dan
kebersihan/keteraturan kelas, gedung sekolah dan lain-lain.
f) Waktu Sekolah
Waktu sekolah adalah waktu terjadinya proses
belajar mengajar di sekolah, waktu itu dapat pagi, siang,
sore/malam hari. Memilih waktu sekolah yang tepat akan
memberi pengaruh yang positif terhadap belajar.
g) Standar Pelajaran di Atas Ukuran
Guru berpendirian untuk mempertahankan
wibawanya, perlu memberi pelajaran di atas ukuran
mempelajari mata pelajarannya, guru semacam itu merasa
senang. Guru dalam menuntut penguasaan materi harus
sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing, Yang
penting tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai.
h) Keadaan Gedung
Dengan jumlah siswa yang banyak serta variasi
karakteristik mereka masing-masing menuntut keadaan
gedung dewasa ini harus memadai di dalam setiap kelas.
i) Metode Belajar
Banyak siswa melaksanakan cara belajar yang
salah. Dalam hal ini perlu pembinaan dari guru. Dengan
cara belajar yang tepat dan efektif pula hasil belajar siswa
akan memuaskan.
j) Tugas rumah
Waktu belajar terutama adalah di sekolah, di
samping untuk belajar waktu di rumah biarlah digunakan
untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka diharapkan guru jangan
terlalu banyak memberi tugas yang harus dikerjakan di
rumah, sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk
kegiatan yang lain.
2) Faktor Masyarakat
a) Kegiatan Siswa dalam Masyarakat
Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan
terhadap perkembangan pribadinya. Tetapi jika siswa ambil
bagian dalam kegiatan masyarakat yang terlalu banyak,
belajarnya akan terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam
mengatur waktunya
b) Mass Media
Mass media adalah bioskop, radio, TV, surat kabar,
majalah, buku-buku, komik-komik dan lain-lain. Mass media
terhadap belajarnya, akan tetapi sebaliknya mass media yang
jelek juga berpengaruh jelek terhadap siswa.
c) Teman Bergaul
Pengaruh dari teman bergaul siswa lebih dapat masuk
dalam jiwanya daripada yang kita duga. Teman bergaul yang
baik akan berpengaruh baik terhadap diri siswa, begitu juga
sebaliknya, teman bergaul yang jelek pasti mempengaruhi yang
bersifat buruk juga.
d) Bentuk Kehidupan Masyarakat
Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh
terhadap belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang
yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri dan mempunyai
kebiasaan yang tidak baik, akan berpengaruh jelek kepada anak
(siswa) yang berada di situ. Misalnya bangunan rumah penduduk
yang sangat sempit, lalu lintas yang membisingkan, akan
mempengaruhi minat belajar. Sebaliknya tempat yang sepi
dengan iklim yang sejuk, ini akan menunjang proses belajar.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa yaitu dalam diri siswa (intern) dan
faktor yang berasal dari luar siswa (ekstern). Kedua faktor tersebut dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa apabila mempunyai hubungan positif
dalam proses pembelajaran, dan sebaliknya prestasi belajar siswa akan
menurun apabila mempunyai hubungan negatif dalam proses pembelajaran.
2.1.3 Motivasi Belajar
2.1.3.1 Hakikat Motivasi Belajar
Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
dalam dirinya, termasuk dalam belajar, sehingga motivasi itu sangat penting
dan merupakan syarat mutlak. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara
mendorong semangat peserta didik, agar proses pembelajaran dapat
mencapai tujuan pembelajaran.
Sadirman (2011:75) motivasi adalah serangakaian usaha untuk
menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin
melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk
meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Motivasi dapat
dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam
diri sesorang.
Mc Donald dalam Djamarah (2011:18) motivasi adalah suatu
perubahan energi di dalam pribadi sesorang yang ditandai dengan timbulnya
efektif dan reaksi untuk mencapai tujuan.
Abraham Maslow membagi hierarki kebutuhan menjadi lima
motivasi dasar manusia unruk mencapai tujuan hidupnya, yaitu mulai dari
tingkatannya paling rendah, yaitu 1) Kebutuhan fisiologis, 2) Rasa aman
dan perlindungan, 3) Memiliki kasih sayang, 4) Penghargaan atau harga diri,
5) Aktualisasi diri. Jadi, motivasi manusia bisa berasal dari dua arah yaitu
dari dalam diri individu atau motivasi intrinsik dan dari luar individu atau
motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah makhluk yang rasional yang mampu
mempertimbangkan pengambilan keputusan-keputusannya. Motivasi
intrinsik merupakan dorongan dari dalam diri seseorang yang akan berusaha
karena merasa senang melakukan pembelajaran yang baik serta mengalami
kepuasan atas hasil belajarnya. Motivasi ini berhubungan dengan kebutuhan
penghargaan dan aktualisasi diri dalam hierarki kebutuhan manusia.
Indikator yang memiliki motivasi intrinsik adalah minat yang berasal dari
dalam dirinya sendir, keinginan untuk menaikkan harga diri, perasaan dari
dalam diri untuk berupaya keras, keyakinan diri, kemauan, keingintahuan,
perasaan puas setelah menyelesaikan tugas, keinginan berprestasi dan
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul oleh rangsangan
yang berasal dari luar diri seseorang. Motivasi ekstrinsik berhubungan
dengan kebutuhan fisiologis, keamanan, dan berkerabat dalam hierarki
kebutuhan manusia akibat kejadian eksternal atau penguatan dari luar,
seperti nilai, angka, dan penguatan nilai dalam belajar. Motivasi ekstrinsik
adalah aspek yang berasal dari luar diri seseorang dengan indikator 1)
Mencapai kondisi belajar yang lebih baik, 2) Pengakuan atas keberhasilan
belajar, 3) Status dalam belajar, dan 4) Promosi dalam capaian hasil belajar,
termasuk nilai kelas ataui kelulusan dari satuan pendidikan.
Pada hakikatnya, motivasi belajar adalah dorongan penggerak aktif
dalam diri siswa untuk melakukan aktivitas belajar. Motivasi belajar
merupakan variabel yang paling penting, karena proses pembelajaran akan
lebih efisien jika peserta didik memiliki keinginan untuk mempelajari
sesuatu yang dipikirannya.
Peranan motivasi belajar dalam proses pembelajaran adalah 1)
Merupakan keseluruhan daya penggerak yang memberikan kekuatan dalam
dan dari luar individu yang menimbulkan dorongan untuk nmempelajari
suatu objek, dan 2) Memberikan semangat serta rasa senang dalam
pembelajaran demi mencapai tujuan pembelajaran.
Berdasarkan kajian teoritis tersebut, dapat disimpulkan bahwa
motivasi belajar adalah segala daya penggerak yang disadari, yang berasal
dari dorongan mental, baik dari dalam diri (intrinsik) yang meliputi
indikator perasaan senang, bertanggung jawab, kesadaran, dan kemandirian
maupun dari luar diri seseorang untuk mendorong serta mengarahkan
seseorang ke arah perilaku individu belajar (ekstrinsik). Ini merupakan
upaya memperoleh suatu perubahan perilaku baru secara keseluruhan
dengan indikator dorongan untuk berprestasi, umpan balik, dan penguatan.
Adapun cara mengukur motivasi belajar yaitu dengan teknik
penilaian non tes. Peneliti mengukur motivasi belajar dengan cara
memberikan angket kepada siswa kemudia siswa mengisi angket tersebut.
artinya angket yang pengisiannya hanya memberikan centang atau
menyilang pada kolom yang telah tersedia dari beberapa item yang telah
ditentukan oleh peneliti. Angket motivasi belajar dibuat dengan
memperhatikan beberapa indikator agar proses pembelajaran yang
dilakukan menarik, bermakna, dan memberikan tantangan pada siswa,
seperti pendapat Elliot (1999:27) dalam Siswandi Adinugroho (2009),
menyatakan bahwa aspek-aspek motivasi belajar yaitu:
1. Kesungguhan untuk belajar.
2. Adanya konsistensi dalam belajar.
3. Adanya arah belajar.
Ketiga aspek tersebut dikembangkan menjadi beberapa indikator
yaitu:
1. Sungguh-sungguh mengikuti pelajaran.
2. Melaksanakan kegiatan belajar sesuai jadwal.
3. Melakukan proses kegiatan belajar mengajar.
4. Tidak suka menunda tugas atau pekerjaan.
5. Mempersiapkan diri untuk mengikuti tes.
6. Mencapai kompetensi dasar.
2.1.3.2 Keterlibatan Siswa dalam Motivasi Belajar
Berdasarkan karakteristik anak usia SD yang senang bermain,
senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, serta senang merasakan /
melakukan sesuatu secara langsung, maka model pembelajaran yang
digunakan harus melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran,
sesuai dengan pemecahan masalah yang peneliti gunakan, yaitu model
pembelajaran make a match. Peserta didik bekerja sama secara berpasangan,
dimana setiap pasangan dapat aktif dalam menemukan konsep serta
menyelesaikan soal dengan menyenangkan melalui bimbingan guru.
Dengan menggunakan model pembelajaran make a match dapat mengaktifkan dan mendorong semangat siswa dalam proses pembelajaran,
didik mencari pasangan soal/jawaban dengan bermain dan
bergerak/berpindah tempat, menyelesaikan soal/mencari jawaban dengan
melakukannya sendiri. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik anak usia
SD.
2.1.4 Matematika
2.1.4.1 Hakikat Matematika
Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang
berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda
disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan
penalaran. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu
kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari
kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam
matematika bersifat konsisten.
Wahyudi dan Inawati (2009:5) mengemukakan bahwa “matematika merupakan suatu ilmu yang mempelajari jumlah-jumlah yang diketahui
melalui proses perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan dengan
angka-angka atau simbol”. Matematika SD digunakan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan
efektif.
Asep Jihad (2008) berpendapat bahawa matematika berbeda dengan
mata pelajaran lain dalam beberapa hal, yaitu :
a. Objek pembicaraannya abstrak, sekalipun dalam pengajaran di sekolah anak
diajarkan benda kongkrit, siswa tetap didorong untuk melakukan abstraksi.
b. Pembahasan mengandalkan tata nalar, artinya info awal berupa pengertian
dibuat seefisien mungkin, pengertian lain harus dijelaskan kebenarannya
dengan tata nalar yang logis.
c. Pengertian/konsep atau pernyataan sangat jelas berjenjang sehingga terjaga
d. Melibatkan perhitungan (operasi).
e. Dapat dipakai dalam ilmu yang lain serta dalam kehidupan sehari-hari.
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika
merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar yang
menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan
akurat,representasinya dengan lambang-lambang atau simbol dan memiliki
arti serta dapat digunakan dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan
bilangan.
2.1.4.2Karakteristik Matematika
Secara umum matematika memiliki ciri-ciri sebagaimana telah
disepakati bersama oleh para ahli yaitu : (Abdul Halim Fathani , 2009: 58)
1. Memiliki objek kajian yang nyata
Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak,
walaupun tidak setiap yang abstrak adalah matematika. Sementara beberapa matematikawan menganggap objek matematika itu “konkret” dalam pemikiran mereka, maka kita dapat menyebut objek matematika secara lebih
tepat sebagai objek mental atau pikiran. Ada empat objek kajian
matematika, yaitu fakta, operasi atau relasi, konsep, dan prinsip.
2. Bertumpu pada kesepakatan
Simbol-simboldan istilah-istilah dalam matematika merupakan
kesepakatan atau konvensi yang penting. Dengan simbol dan istilah yang
disepakati dalam matematika, maka pembahasan selanjutnya aka menjadi
mudah dilakukan dan dikomunikasikan.
3. Berpola pikir deduktif
Dalam matematika, hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif.
Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang
berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada
4. Konsisten dalam sistemnya
Dalam matematika, terdapat berbagai macam sistem yang dibentuk
dari beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema. Ada sistem-sistem
yang berkaitan, ada pula sistem-sistem yang dapat dipandang lepas satu
dengan yang lainnya. Sistem-sistem aljabar dengan sistem-sistem geometri
dapat dipandang lepas satu dengan yang lainnya.
5. Memiliki simbol yang kosong arti
Secara umum, model atau simbol matematika sesungguhnya kosong
dari arti. Ia akan bermakna sesuatu bila kita mangaitkannya dengan konteks
tertentu. Secara umum, hal ini pula yang membedakan simbol matematika
dengan simbol bukan matematika. Kosong arti dari model-model matematika itu merupakan “kekuatan” matematika, yang dengan sifat tersebut, ia bisa masuk pada berbagai macam bidang kehidupan, dari
masalah teknis, ekonomi, hingga kebidang psikologi.
6. Memerhatikan semesta pembicaraan
Sehubungan dengan kosongnya arti dari simbol-simbol matematika,
bila kita menggunakannya kita seharusnya memmerhatikan pula lingkup
pembicaraannya. Lingkup atau sering disebut semesta pembicaraan bisa
sembit bisa pula luas. Bila kita bebicara tentang bilangan-bilangan, maka
simbol-simbol tersebut menunjukkan bilangan-bilangan pula.
7. Karakteristik Matematika sekolah.
Sehubungan dengan karakteristik umum matematika diatas, dalam
pelaksanaan pembelajaran matematika disekolah harus memerhatikan ruang
lingkup matematika sekolah. Ada sedikit perbedaan antara matematika sebagai “ilmu” dengan matematika sekolah, perbedaan itu dalam hal: 1) Penyajian, 2) Pola pikir, 3) Kterbatasan semesta, dan 4) Tingkat
2.1.4.3Ruang Lingkup Matematika
Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi
aspek-aspek sebagai berikut :
1. Bilangan
2. Geometri dan pengukuran
3. Pengolahan data
2.1.4.4 Tujuan Pembelajaran Matematika Sekolah
Berdasarkan PERMENDIKNAS No. 22 Tahun 2006, Mata pelajaran
matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
2.1.4.5 Karakteristik Anak Usia SD
Ada beberapa karakteristik anak di usia SD yang perlu diketahui
para guru, agar lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya SD.
sesuai dengan keadaan siswanya. Pada masa SD dibagi menjadi 2, yaitu 1)
Masa kelas-kelas rendah SD yang berlangsung antara usia 6/7 tahun – 9/10 tahun, biasanya mereka duduk dikelas 1, 2 dan 3, dan 2) Masa kelas-kelas
tinggi SD, yang berlangsung antar ausia 9/10 tahun – 12/13 tahun, biasanya mereka duduk dikelas 4, 5 dan 6.
Berdasarkan perkembangan kognitif anak SD, menurut Piaget, usia
SD masuk pada tahap operasional konkret (7‐11 tahun), penggunaan logika yang memadai. Tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan
benda konkrit, memahami konsep percakapan, mengorganisasikan objek
kedalam klasifikasi, mampu mengingat, memahami dan memecahkan
masalah yang bersifat konkret.
J. Havighurst mengemukakan bahwa setiap perkembangan individu
harus sejalan dengan perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah
aspek psikis, moral dan sosial. Menjelang masuk SD, anak telah
Mengembangkan keterampilan berpikir bertindak dan pengaruh sosial yang
lebih kompleks. Sampai dengan masa ini, anak pada dasarnya egosentris
(berpusat pada diri sendiri) dan dunia mereka adalah rumah keluarga, dan
taman kanak‐kanaknya.
Kebutuhan anak usia SD adalah senang bermain, senang bergerak,
senang bekerja dalam kelompok, serta senang merasakan/ melakukan
sesuatu secara langsung. Dengan demikian guru hendaknya
merancangmodel pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung
dalam prosespembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami
tentang bentuk bangun datar dan bangun ruang,dengan cara membawa anak
langsung keluar kelas, kemudian mencari contoh bentuk benda atau
tumbuhan yang sama dengan bentuk bangun datar dan bangun ruang
2.1.5 Model Pembelajaran Make a Match
2.1.5.1 Hakikat Model Pembelajaran Make a Match
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil
belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan
pengembangan keterampilan sosial. Model pembelajaran kooperatif
mempunyai banyak teknik salah satunya teknik make a match digunakan untuk mengatasi keterbatasan sarana dan dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Model pembelajaran ini dapat digunakan oleh para guru sebagai
dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, dan sebagai suatu
alternatif dalam usaha meningkatkan hasil belajar siswa.
Make and match merupakan salah satu pembelajaran kooperatif, yang dikembangkan oleh Lorna Curran pada tahun 1994. Menurut Isjoni (2010:77) dalam bukunya “Cooperative Learning: Mengembangkan Kemampuan Belajar Berkelompok” menjelaskan bahwa teknik mencari pasangan (make a match) adalah teknik pembelajaran bisa digunakan dalam
semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia peserta didik. Model
make a match atau mencari pasangan merupakan salah satu alternatif yang
dapat diterapkan kepada siswa.
Model pembelajaran kooperatif tipe mencari pasangan (make a match) yang diperkenalkan oleh Curran dalam Eliya (2009) menyatakan bahwa make a match adalah kegiatan siswa untuk mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat
mencocokkan kartunya akan diberi point dan yang tidak berhasil
mencocokkan kartunya akan diberi hukuman sesuai dengan yang telah
disepakati bersama. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan ruangan
kelas juga perlu ditata sedemikian rupa, sehingga menunjang pembelajaran
kooperatif. Keputusan guru dalam penataan ruang kelas harus disesuaikan
dengan kondisi dan situasi ruang kelas dan sekolah.
Suyatno (2009:72) mengungkapkan bahwa model make and match
atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian siswa mencari
pasangan kartunya.
Model pembelajaran make a match adalah teknik pembelajaran berpijak pada teori konstruktivisme, pada pembelajaran ini terjadi
kesepakatan anatara siswa tentang aturan-aturan dalam berkolaborasi.
Masalah yang dipecahkan bersama akan disimpulkan bersama, peran guru
hanya sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan
belajar. Pada interaksi siswa terjadi kesepakatan, diskusi, menyampaikan
pendapat dari ide-ide pokok materi, saling mengingatkan dari kesalahan
konsep yang disimpulkan, membuat kesimpulan. Interaksi belajar yang
terjadi benar-benar interaksi dominan siswa dengan siswa. Dalam aktivitas
siswa selama pembelajaran menggunakan model pembelajaran make a match benar-benar memberdayakan potensi siswa untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan ketrampilannya.
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, peneliti mencoba
menjelaskan tentang model pembelajaran make a match adalah model pembelajaran kooperatif dengan teknik memasangkan kartu soal dengan
kartu jawaban dengan diberikan batas waktu.
2.1.5.2 Langkah-langkah Model Pembelajaran Make a Match
Penerapan model pembelajaran ini dimulai dari teknik yaitu siswa
diminta mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum
batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin.
Langkah langkah model pembelajaran make a match menurut Lorna Curran (Komalasari, 2010: 85) adalah sebagai berikut :
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan
bagian lainnya kartu jawaban.
2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
4. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya (soal jawaban).
5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi
poin.
6. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya.
7. Demikian seterusnya.
8. Kesimpulan/penutup.
Pendapat Miftahul Huda, (2013: 252) mengenai langkah-langkah
model pembelajaran make a match (mencari pasangan) adalah sebagai berikut:
1. Guru menyampaikan materi atau memberi tugas kepada siswa untuk
mempelajari materi di rumah.
2. Siswa dibagi ke dalam 2 kelompok, misalnya kelompok A dan kelompok B.
Kedua kelompok diminta untuk berhadap-hadapan.
3. Guru membagikan kartu pertanyaan kepada kelompok A dan kartu jawaban
kepada kelompok B.
4. Guru menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus
mencari/mencocokan kartu yang dipegang dengan kartu kelompok lain.
Guru juga perlu menyampaikan batasan maksimal waktu diberikan kepada
mereka.
5. Guru meminta semua anggota kelompok A untuk mencari pasangannya di
kelompok B. Jika mereka sudah menemukan pasangannya masing-masing,
guru meminta mereka melaporkan diri kepadanya. Guru mencatat mereka
pada kertas yang sudah dipersiapkan.
6. Jika waktu sudah habis, mereka harus diberitahu bahwa waktu sudah habis.
Siswa yang belum menemukan pasangannya diminta untuk berkumpul
sendiri.
7. Guru memanggil satu pasangan untuk presentasi. Pasangan lain dan siswa
yang tidak mendapat pasangan memperhatikan dan memberikan tanggapan
8. Terakhir, guru memberikan konfirmasi tentang kebenaran dan kecocokan
pertanyaan dan jawaban dari pasangan yang memberikan presentasi.
9. Guru memanggil pasangan berikutnya, begitu seterusnya sampai seluruh
pasangan melakukan presentasi.
Berdasarkan pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan
langkah-langkah model pembelajaran make a match yaitu guru menyiapkan kartu soal dan kartu jawaban, sebagian siswa mendapat kartu jawaban dan
sebagian siswa mendapat kartu soal, tiap siswa memikirkan jawaban/soal
dari kartu yang dipegang, setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok
dengan kartunya, setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum
batas waktu diberi poin, jika siswa tidak dapat mencocokkan kartunya
dengan kartu temannya (tidak dapat menemukan kartu soal atau kartu
jawaban) akan mendapatkan hukuman yang telah disepakati bersama,
setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang
berbeda dari sebelumnya, guru bersama-sama dengan siswa membuat
kesimpulan terhadap materi pelajaran.
2.1.5.3 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Make a Match
Setiap model pembelajaran mempunyai berbagai kelebihan dan
kekekurangan, adapun kelebihan model pembelajaran make a match adalah:
1) Mampu meningkatkan motivasi belajar siswa, 2) Mampu menyajikan
sebuah proses pembelajaran yang menyenangkan, 3) Efektif untuk
menghafal materi hafalan verbal dalam jumlah banyak, 4) Menghasilkan
daya serap yang cukup tinggi. Sedangkan kekurangan dari model ini adalah:
1) Banyak menyita waktu guru dalam menyiapkan kartu dan perangkat
pendukungnya, 2) Cukup menimbulkan kegaduhan karena tidak jarang
siswa teriak kegirangan ketika kartu jawaban yang diambilnya ternyata
cocok dengan kartu soal yang dipegangnya. Tetapi hal ini bisa diantipasi
permainan dimulai. Pada dasarnya mengendalikan kelas tergantung
bagaimana kita memotivasinya.
Lie (2007:55) menyatakan keunggulan dari pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran make a match adalah:
1. Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa.
2. Sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.
3. Model pembelajaran make a match bisa digunakan dalam semua mata pelajaran.
4. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran.
5. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis.
6. Munculnya dinamika gotong royong yang merata diseluruh siswa.
Jadi, berdasarkan pada kegiatan belajar mengajar penggunaan model
pembelajaran make a match, siswa tampak lebih aktif mencari pasangan kartu antara jawaban dan soal. Dengan model pencarian kartu pasangan ini
siswa dapat mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di dalam kartu
yang ditemukannya dan menceritakannya dengan sederhana dan jelas secara
bersama-sama.
2.1.5.4 Penerapan Model Pembelajaran Make A Match
Model pembelajaran make a match artinya model pembelajaran mencari Pasangan. Hal-hal yang perlu dipersiapkan jika pembelajaran
dikembangkan dengan Make a match adalah kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut berisi pertanyaan-pertanyaan dan kartu lainnya berisi jawaban dari
pertanyaan tersebut.
Model pembelajaran make and match melatih siswa untuk memiliki
sikap sosial yang baik dan melatih kemampuan siswa dalam bekerja sama
disamping melatih kecepatan berfikir siswa. Model pembelajaran make and
permainan. Menurut Suyatno (2009:102), prinsip-prinsip model
pembelajaran make and match antara lain:
1. Anak belajar melalui berbuat.
2. Anak belajar melalui panca indera.
3. Anak belajar melalui bahasa.
4. Anak belajar melalui bergerak.
Dalam mengembangkan dan melaksanakan model pembelajaran
make a match, menurut Suyatno (2009:42) guru seharusnya mengembangkan hubungan baik dengan siswa dengan cara:
1. Perlakukan siswa sebagai manusia yang sederajat.
2. Ketahuilah apa yang disukai siswa, cara pikir mereka dan perasaan
mereka.
3. Bayangkan apa yang akan mereka katakan mengenai diri sendiri dan
guru.
4. Ketahuilah hambatan-hambatan siswa.
5. Berbicaralah dengan jujur dan halus.
6. Bersenang-senanglah bersama mereka.
Adapun persiapan yang harus dilakukan oleh guru sebelum proses
pembelajaran berlangsung (Miftahul Huda, 2013:251) yaitu sebagai berikut:
1. Membuat beberapa pertanyaan sesuai dengan materi yang dipelajari
(jumlahnya tergantung tujuan pembelajaran) kemudian menulisnya
dalam kartu-kartu pertanyaan).
2. Membuat kunci jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat
dan menulisnya dalam kartu-kartu jawaban. Akan lebih baik kartu
jawaban dan kartu pertanyaan berbeda warna.
3. Membuat aturan yang berisi penghargaan bagi siswa yang berhasil dan
sanksi bagi siswa yang gagal (di sini, guru dapat membuat aturan ini
4. Menyediakan lembar untuk mencatat pasangan-pasangan yang berhasil
sekaligus untuk pensekoran presentasi.
Menurut Benny (2009 : 1001), sebelum guru menggunakanan model
pembelajaran make and match guru harus mempertimbangkan: 1) Indikator
yang ingin dicapai, 2) Kondisi kelas yang meliputi jumlah siswa dan
efektifitas ruangan, 3) Alokasi waktu yang akan digunakan dan waktu
persiapan. Pertimbangan diatas sangat diperlukan karena model
pembelajaran make and match tidak efektif apabila digunakan pada kelas yang jumlah siswanya diatas 40 dengan kondisi ruang kelas yang sempit,
karena dalam pelaksanaan pembelajaran kelas akan menjadi gaduh dan
ramai. Hal ini wajar asalkan guru dapat mengendalikannya.
Dengan adanya model pembelajaran kooperatif tipe mencari
pasangan (make a match) siswa lebih aktif untuk mengembangkan
kemampuan berpikir. Disamping itu model pembelajaran make a match juga
memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan mengeluarkan
pendapat serta berinteraksi dengan siswa yang menjadikan aktif dalam
kelas.
Pada penerapan model pembelajaran make a match, diharapkan dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan
mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran
dapat menarik perhatian siswa sehingga siswa lebih antusias dalam
mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa lebih terlihat saat siswa
mencari pasangan kartunya masing-masing. Kegiatan yang dilakukan guru
merupakan upaya guru untuk menarik perhatian sehingga apada akhirnya
dapat menciptakan motivasi dan keaktifan siswa dalam diskusi. Motivasi
yang kuat erat hubungannya dengan peningkatan keaktifan siswa yang dapat
dilakukan dengan strategi pembelajaran tertentu, dan motivasi belajar dapat
ditujukan ke arah kegiatan-kegiatan kreatif. Apabila motivasi yang dimiliki
Selanjutnya, penerapan model pembelajaran make a match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja sama di antara siswa serta mampu
menciptakan kondisi yang menyenangkan.
Hal ini merupakan salah satu tujuan dari pembelajaran kooperatif
seperti yang dikemukan oleh Ibrahim, et al.2000 dalam Don, (2011) bahwa, “Mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial”.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Eny Khotifah pada tahun 2013 dengan judul “Penerapan Metode Make a Match untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 4 SD Negeri 01
Parikesit Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo Semester II Tahun Pelajaran 2012/2013”. Hasil penelitian menunjukkan pada kondisi awal, data diambil dari 14 siswa, 8 siswa (57%) memiliki motivasi tinggi dan 6 siswa memenuhi KKM ≥70 (43%). Siklus I menerapkan model pembelajaran make a match terjadi peningkatan yaitu terdapat 3 siswa yang
mendapat kategori rendah (21%), 5 siswa yang berkategori tinggi (36%),
dan 6 siswa yang berkategori sangat tinggi (43%), kemudian 10 siswa memenuhi KKM ≥70 (71%). Pada siklus II terdapat 5 siswa yang berkategori tinggi (36%) dan 9 siswa yang berkategori sangat tinggi (64%), kemudian 14 siswa memenuhi KKM ≥70 (100%).
Penelitian yang dilakukan oleh Titik Wijayanti pada tahun 2012 dengan judul “Upaya Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar pada Mata Pelajaran IPS dengan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match
Siswa Kelas IV SD N Karanganyar 03 Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012”. Hasil penelitian menunjukkan pada kondisi awal, data diambil dari 23 siswa, siswa yang nilainya memenuhi KKM terdapat 10 siswa
match terjadi peningkatan cukup signifikan yaitu terdapat 16 siswa memenuhi KKM (69.56%). Pada siklus II terdapat 20 siswa memenuhi
KKM (86,95%). Sedangkan peningkatan motivasi belajar siswa pada
pembelajaran motivasi siswa pada kondisi awal yang sangat tinggi dan
tinggi ada 10 siswa (43,47%), siklus I ada 18 siswa ( 78,26%), pada siklus
yang ke II ada 20 siswa (86,95%), motivasi belajar sedang dan rendah pada
kondisi awal ada 13 siswa (56,52%), pada siklus I ada 5 siswa (21,73%),
pada siklus II ada 3 siswa (13,04%), sedangkan motivasi siswa yang sangat
rendah tidak ada.
Berdasarkan analisis kajian yang pernah dilakukan peneliti di atas,
dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran make a match pada proses pembelajaran, dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar.
Dari penelitian yang dilakukan pada mata pelajaran matematika dan IPS
sama-sama dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar, jadi model
pembelajaran make a match dapat diterapkan pada semua mata pelajaran di
SD.Dengan analisis tersebut, maka dalam penelitian ini akan menerapkan
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran make a match.
2.3 Kerangka Berpikir
Model pembelajaran make a match melatih siswa untuk memiliki sikap sosial yang baik dan melatih kemampuan siswa dalam bekerja sama
disamping melatih kecepatan berfikir siswa. Diharapkan dapat memupuk
kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu
yang yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran dapat menarik
perhatian siswa, sehingga meningkatkan motivasi belajar dan siswa lebih
antusias dalam mengikuti proses pembelajaran, keaktifan siswa lebih terlihat
saat siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Dengan demikian
pembelajaran matematika untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar
matematika pada siswa kelas V.
Gambar 2.1
Skema Kerangka Berpikir
2.4Hipotesis Penelitian
Penggunaan model pembelajaran make a match diduga dapat meningkatkan:
1. Motivasi belajar siswa kelas V SD Negeri 03 Kalimanggis.