• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Belajar - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Model Pembelajaran Make A Match untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas V SD Negeri 0

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Belajar - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Model Pembelajaran Make A Match untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas V SD Negeri 0"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1.1 Hakikat Belajar

Dalam aktivitas kehidupan manusia sehari hari hampir tidak pernah

dapat terlepas dari kegiatan belajar, baik ketika seseorang melaksanakan

aktivitas sendiri, maupun di dalam suatu kelompok tertentu. Dipahami

ataupun tidakdipahami, sesungguhnya sebagian besar aktivitas di dalam

kehidupan sehari-hari kita merupakan belajar. Dengan demikian dapat kita

katakan, tidak ada ruang dan waktu di mana manusia dapat melepaskan

dirinya dari kegiatan belajar, dan itu berarti pula bahwa belajar tidak pernah

dibatasi usia, tempat maupun waktu, karena perubahan yang menuntut

terjadinya aktivitas belajar itu juga tidak pernah berhenti.

Menurut Daryanto (2010:2) belajar adalah suatu proses usahan yang

dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang

baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam

interaksi dengan lingkungannya. Menurut Fathurrohman dan Sutikno

(2010:6) belajar adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang

setelah melakukan aktivitas tertentu. Sementara itu, menurut Syah (2010:90)

belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif

menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang

melibatkan proses kognitif.

Menurut Uno (2011:15) belajar adalah proses perubahan perilaku

seseorang setelah mempelajari suatu objek (pengetahuan, sikap, atau

keterampilan) tertentu. Menurut Hamalik (2011:27) belajar merupakan

suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Sejalan

(2)

dalam diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk

mendapatkan perubahan dalam perilaku.

Menurut Gagne (1984) dalam Sagala (2010:13), berpendapat bahwa

belajar adalah sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah

perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Pendapat lain dari Morgan

(1978) dalam Thabroni dan Mustofa (2011: 20), menyatakan bahwa belajar

adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang

terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.

Palincsar (1998) dalam Arnold dkk (2012) menyatakan bahwa “Learning is viewed as a dialogic process where lerners pool their knowledge and experience to create new meanings”. Maksud pernyataan tersebut belajar dipandang sebagaiproses dialogis dimana pebelajar

mempunyai pengetahuan dan pengalaman untuk menciptakan makna baru.

Beberapa penjelasan ahli tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa

belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku akibat adanya

pengalaman dan latihan. Seseorang yang telah mengalami kegiatan belajar

akan memiliki pengetahuan, kebiasaan, dan sikap, misalnya tidak tahu

menjadi tahu, belum terampil menjadi terampil, dan tidak bisa menjadi bisa.

Perubahan tersebut mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik tetapi ada

kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk. Perubahan

tingkah laku akibat belajar relatif menetap.

2.1.2 Hasil Belajar

2.1.2.1 Hakikat Hasil Belajar

Hasil atau output dari proses pembelajaran yang dialami setiap

individu disebut hasil belajar. Hasil belajar biasanya ditandai dengan

perubahan tingkah laku yang mengarah pada hal yang positif, misalnya anak

(3)

berhitung, inilah yang dimaksud hasil belajar atau perubahan perilaku ke

arah positif.

Pengertian hasil belajar menurut Purwanto (2011:46), adalah

perubahan perilaku peserta didik akibat belajar. Perubahan perilaku

disebabkan karena dia mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang

diberikan dalam proses belajar mengajar. Lebih lanjut lagi ia mengatakan

bahwa hasil belajar dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif

dan psikomotorik.

Pengertian hasil belajar menurut Nana Sudjana (2011 : 22), adalah

kemampuan-kemampuan yang dimilki siswa setelah menerima pengalaman

belajarnya. Pengalaman belajar ini akan menghasilkan kemampuan yang

menurut Howart Kingsley dalam bukunya menurut Nana Sudjana, (2011 :

22) hasil belajar dibedakan menjadi tiga macam kemampuan, yaitu : 1)

Keterampilan dan kebiasaan 2) Pengetahuan dan pengarahan, 3) Sikap dan

cita-cita. Ketiga kemampuan dalam hasil belajar itulah yang harus dimiliki

oleh siswa.

Gagne (1958) dalam Suprijono (2012: 5), menjelaskan bahwa hasil

belajar berupa hal-hal berikut:

Hasil-hasil belajar meliputi: (1) Informasi verbal, yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis; (2) Ketrampilan intelektual, yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang; (3) Strategi kognitif, yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri; (4) Keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi; (5) Sikap adalah kemampun menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.

Hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan

psikomotorik. Kemampuan kognitif adalah kemampuan yang berkaitan

dengan mental (otak). Kemampuan afektif adalah kemampuan yang

(4)

yang berkaitan dengan keterampilan. Sementara hasil belajar menurut

Bloom (1956) dalam Thabroni dan Mustofa (2011: 23) sebagai berikut:

Hasil belajar meliputi: (1) Domain Kognitif mencakup: (a) Pengetahuan, ingatan; (b) Pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh; (c) Menerapkan; (d) Menguraikan, menentukan hubungan; (e) Mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru; (f) Menilai. (2) Domain Afektif mencakup: (a) Sikap menerima; (b) Memberikan respon; (c) Nilai; (d) Organisasi; (d) Karakterisasi. (3) Domain Psikomotor mencakup: (a) Initiatory; (b) Pre routine; (c) Rountinized; (d) Keterampilan produktif, teknik, sosial, manajerial, dan intelektual.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil

belajar adalah perubahan perilaku yang disengaja melalui proses belajar

dengan usaha yang maksimal untuk memperoleh tingkat keberhasilan yang

dinyatakan dalam bentuk nilai setelah diketahui melalui evaluasi

pembelajaran. Perubahan tersebut dalam bidang kognitif, afektif dan

psikomotorik. Hasil belajar sangat penting digunakan karena sebagai tolak

ukur dari suatu kegiatan pembelajaran. Adanya kepuasan dan kebanggaan

hasil belajar yang diperoleh dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa

sehingga siswa akan belajar lebih rajin untuk memperbaiki,

mempertahankan atau meningkatkan prestasi belajar yang telah tercapai.

2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menurut

Slameto (2010:5) dapat dibagi menjadi dua macam yaitu faktor yang berasal

dari diri siswa (intern) dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (ekstern).

a. Faktor Internal

1) Faktor jasmani

a) Kesehatan agar seseorang dapat belajar dengan baik haruslah

mengusaha kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu

mengindahkan ketentuan-ketentuan bekerja belajar, istirahat, tidur,

makan, olah raga, rekreasi dan ibadah.

b) Cacat tubuh Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi hasil belajar.

(5)

2) Faktor psikologi

Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan belajar ini

meliputi segala hal yang berkaitan dengan kondisi seseorang, di dalam

faktor psikologis ada tujuan faktor yang mempengaruhi hasil belajar

yaitu: 1) Intelegensi; 2) Perhatian; 3) Minat; 4) Bakat; 5) Motif; 6)

Kematangan; 7) Kesiapan; dan 8) Cara belajar.

3) Faktor kelelahan

Kelelahan pada seseorang dapat di bedakan memjadi dua

macam, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Kelelahan

jasmani tubuh akan terasa lemas, dan hal ini akan membuat siswa

belajarnya yang tidak kondusif, dan mengantuk. Hal ini berbeda dengan

kelelahan rohani, kelelahan rohani berkaitan dengan keleluasan,

kelelahan keduanya ini mengakibatkan hasil belajar yang kurang

optimal.

4) Faktor Eksternal

1) Faktor Keluarga

a) Cara mendidik anak

Orang tua yang kurang/tidak memperhatikan pendidikan

anaknya, misalnya mereka acuh tak acuh terhadap belajar

anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan

kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan anaknya dalam belajar,

tidak mengatur waktu belajarnya, tidak menyediakan/melengkapi

alat belajarnya, tidak memperhatikan apakah anak belajar atau

tidak, tidak mau tahu bagaimanakah kemajuan belajar anaknya,

kesulitan-kesulitan yang dialami dalam belajar dan lain-lain,

dapat menyebabkan anak tidak/kurang berhasil dalam belajarnya.

b) Relasi antara keluarga

Relasi antara anggota keluarga adalah relasi orang tua

dengan anaknya. Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau

anggota keluarga yang lain pun turut mempengaruhi belajar anak.

(6)

pengertian, ataukah diliputi oleh kebencian, relasi antaranggota

keluarga ini erat hubungannya dengan cara orang tua mendidik.

Demi kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu

diusahakan relasi yang baik di dalam keluarga anak tersebut.

c) Keadaan Ekonomi Keluarga

Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan

belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuh

kebutuhan pokoknya, misal makan, pakaian, perlindungan

kesehatan dan lain – lain, juga membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis-menulis,

buku-buku dan lain-lain. Fasilitas belajar itu hanya dapat

terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang. Pengertian orang

tua anak belajar perlu dorongan dan perhatian orang tua.

d) Latar Belakang Kebudayaan

Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga

mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu kepada anak

ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, agar mendorong

semangat anak untuk belajar.

1) Faktor Sekolah

a) Metode Mengajar

Metode mengajar adalah suatu cara/jalan yang

harus dilalui di dalam mengajar. Menurut Ign. S. Ulih

Bukit Karo Karo adalah menyajikan bahan pelajaran oleh

orang kepada orang lain agar orang lain itu menerima,

menguasai dan mengembangkannya.

b) Kurikulum

Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan

yang diberikan kepada siswa. Kegiatan itu sebagian besar

adalah menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima,

(7)

c) Relasi Guru dengan Siswa

Di dalam relasi (guru dengan siswa) yang baik,

siswa akan menyukai gurunya, juga akan menyukai mata

pelajaran yang diberikan sehingga siswa berusaha

mempelajarinya sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi

sebaliknya, jika siswa membenci gurunya, maka ia segan

mempelajari mata pelajaran yang diberikannya, akibatnya

pelajarannya tidak maju.

d) Relasi Siswa dengan Siswa

Siswa yang mempunyai sifat-sifat atau tingkah laku

yang kurang menyenangkan teman lain, mempunyai rasa

rendah diri atau sedang mengalami tekanan-tekanan batin,

akan diasingkan dari kelompok. Menciptakan relasi yang

baik antar siswa adalah perlu, agar dapat memberikan

pengaruh yang positif terhadap belajar siswa.

e) Disiplin Sekolah

Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan

kerajinan siswa dalam sekolah dan juga dalam belajar.

Kedisiplinan sekolah mencakup kedisiplinan guru dalam

mengajar dengan melaksanakan tata tertib, kedisiplinan

pegawai/karyawan dalam pekerjaan administrasi dan

kebersihan/keteraturan kelas, gedung sekolah dan lain-lain.

f) Waktu Sekolah

Waktu sekolah adalah waktu terjadinya proses

belajar mengajar di sekolah, waktu itu dapat pagi, siang,

sore/malam hari. Memilih waktu sekolah yang tepat akan

memberi pengaruh yang positif terhadap belajar.

g) Standar Pelajaran di Atas Ukuran

Guru berpendirian untuk mempertahankan

wibawanya, perlu memberi pelajaran di atas ukuran

(8)

mempelajari mata pelajarannya, guru semacam itu merasa

senang. Guru dalam menuntut penguasaan materi harus

sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing, Yang

penting tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai.

h) Keadaan Gedung

Dengan jumlah siswa yang banyak serta variasi

karakteristik mereka masing-masing menuntut keadaan

gedung dewasa ini harus memadai di dalam setiap kelas.

i) Metode Belajar

Banyak siswa melaksanakan cara belajar yang

salah. Dalam hal ini perlu pembinaan dari guru. Dengan

cara belajar yang tepat dan efektif pula hasil belajar siswa

akan memuaskan.

j) Tugas rumah

Waktu belajar terutama adalah di sekolah, di

samping untuk belajar waktu di rumah biarlah digunakan

untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka diharapkan guru jangan

terlalu banyak memberi tugas yang harus dikerjakan di

rumah, sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk

kegiatan yang lain.

2) Faktor Masyarakat

a) Kegiatan Siswa dalam Masyarakat

Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan

terhadap perkembangan pribadinya. Tetapi jika siswa ambil

bagian dalam kegiatan masyarakat yang terlalu banyak,

belajarnya akan terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam

mengatur waktunya

b) Mass Media

Mass media adalah bioskop, radio, TV, surat kabar,

majalah, buku-buku, komik-komik dan lain-lain. Mass media

(9)

terhadap belajarnya, akan tetapi sebaliknya mass media yang

jelek juga berpengaruh jelek terhadap siswa.

c) Teman Bergaul

Pengaruh dari teman bergaul siswa lebih dapat masuk

dalam jiwanya daripada yang kita duga. Teman bergaul yang

baik akan berpengaruh baik terhadap diri siswa, begitu juga

sebaliknya, teman bergaul yang jelek pasti mempengaruhi yang

bersifat buruk juga.

d) Bentuk Kehidupan Masyarakat

Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh

terhadap belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang

yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri dan mempunyai

kebiasaan yang tidak baik, akan berpengaruh jelek kepada anak

(siswa) yang berada di situ. Misalnya bangunan rumah penduduk

yang sangat sempit, lalu lintas yang membisingkan, akan

mempengaruhi minat belajar. Sebaliknya tempat yang sepi

dengan iklim yang sejuk, ini akan menunjang proses belajar.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi prestasi belajar siswa yaitu dalam diri siswa (intern) dan

faktor yang berasal dari luar siswa (ekstern). Kedua faktor tersebut dapat

meningkatkan prestasi belajar siswa apabila mempunyai hubungan positif

dalam proses pembelajaran, dan sebaliknya prestasi belajar siswa akan

menurun apabila mempunyai hubungan negatif dalam proses pembelajaran.

2.1.3 Motivasi Belajar

2.1.3.1 Hakikat Motivasi Belajar

Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.

(10)

dalam dirinya, termasuk dalam belajar, sehingga motivasi itu sangat penting

dan merupakan syarat mutlak. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara

mendorong semangat peserta didik, agar proses pembelajaran dapat

mencapai tujuan pembelajaran.

Sadirman (2011:75) motivasi adalah serangakaian usaha untuk

menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin

melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk

meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Motivasi dapat

dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam

diri sesorang.

Mc Donald dalam Djamarah (2011:18) motivasi adalah suatu

perubahan energi di dalam pribadi sesorang yang ditandai dengan timbulnya

efektif dan reaksi untuk mencapai tujuan.

Abraham Maslow membagi hierarki kebutuhan menjadi lima

motivasi dasar manusia unruk mencapai tujuan hidupnya, yaitu mulai dari

tingkatannya paling rendah, yaitu 1) Kebutuhan fisiologis, 2) Rasa aman

dan perlindungan, 3) Memiliki kasih sayang, 4) Penghargaan atau harga diri,

5) Aktualisasi diri. Jadi, motivasi manusia bisa berasal dari dua arah yaitu

dari dalam diri individu atau motivasi intrinsik dan dari luar individu atau

motivasi ekstrinsik.

Motivasi intrinsik adalah makhluk yang rasional yang mampu

mempertimbangkan pengambilan keputusan-keputusannya. Motivasi

intrinsik merupakan dorongan dari dalam diri seseorang yang akan berusaha

karena merasa senang melakukan pembelajaran yang baik serta mengalami

kepuasan atas hasil belajarnya. Motivasi ini berhubungan dengan kebutuhan

penghargaan dan aktualisasi diri dalam hierarki kebutuhan manusia.

Indikator yang memiliki motivasi intrinsik adalah minat yang berasal dari

dalam dirinya sendir, keinginan untuk menaikkan harga diri, perasaan dari

dalam diri untuk berupaya keras, keyakinan diri, kemauan, keingintahuan,

perasaan puas setelah menyelesaikan tugas, keinginan berprestasi dan

(11)

Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul oleh rangsangan

yang berasal dari luar diri seseorang. Motivasi ekstrinsik berhubungan

dengan kebutuhan fisiologis, keamanan, dan berkerabat dalam hierarki

kebutuhan manusia akibat kejadian eksternal atau penguatan dari luar,

seperti nilai, angka, dan penguatan nilai dalam belajar. Motivasi ekstrinsik

adalah aspek yang berasal dari luar diri seseorang dengan indikator 1)

Mencapai kondisi belajar yang lebih baik, 2) Pengakuan atas keberhasilan

belajar, 3) Status dalam belajar, dan 4) Promosi dalam capaian hasil belajar,

termasuk nilai kelas ataui kelulusan dari satuan pendidikan.

Pada hakikatnya, motivasi belajar adalah dorongan penggerak aktif

dalam diri siswa untuk melakukan aktivitas belajar. Motivasi belajar

merupakan variabel yang paling penting, karena proses pembelajaran akan

lebih efisien jika peserta didik memiliki keinginan untuk mempelajari

sesuatu yang dipikirannya.

Peranan motivasi belajar dalam proses pembelajaran adalah 1)

Merupakan keseluruhan daya penggerak yang memberikan kekuatan dalam

dan dari luar individu yang menimbulkan dorongan untuk nmempelajari

suatu objek, dan 2) Memberikan semangat serta rasa senang dalam

pembelajaran demi mencapai tujuan pembelajaran.

Berdasarkan kajian teoritis tersebut, dapat disimpulkan bahwa

motivasi belajar adalah segala daya penggerak yang disadari, yang berasal

dari dorongan mental, baik dari dalam diri (intrinsik) yang meliputi

indikator perasaan senang, bertanggung jawab, kesadaran, dan kemandirian

maupun dari luar diri seseorang untuk mendorong serta mengarahkan

seseorang ke arah perilaku individu belajar (ekstrinsik). Ini merupakan

upaya memperoleh suatu perubahan perilaku baru secara keseluruhan

dengan indikator dorongan untuk berprestasi, umpan balik, dan penguatan.

Adapun cara mengukur motivasi belajar yaitu dengan teknik

penilaian non tes. Peneliti mengukur motivasi belajar dengan cara

memberikan angket kepada siswa kemudia siswa mengisi angket tersebut.

(12)

artinya angket yang pengisiannya hanya memberikan centang atau

menyilang pada kolom yang telah tersedia dari beberapa item yang telah

ditentukan oleh peneliti. Angket motivasi belajar dibuat dengan

memperhatikan beberapa indikator agar proses pembelajaran yang

dilakukan menarik, bermakna, dan memberikan tantangan pada siswa,

seperti pendapat Elliot (1999:27) dalam Siswandi Adinugroho (2009),

menyatakan bahwa aspek-aspek motivasi belajar yaitu:

1. Kesungguhan untuk belajar.

2. Adanya konsistensi dalam belajar.

3. Adanya arah belajar.

Ketiga aspek tersebut dikembangkan menjadi beberapa indikator

yaitu:

1. Sungguh-sungguh mengikuti pelajaran.

2. Melaksanakan kegiatan belajar sesuai jadwal.

3. Melakukan proses kegiatan belajar mengajar.

4. Tidak suka menunda tugas atau pekerjaan.

5. Mempersiapkan diri untuk mengikuti tes.

6. Mencapai kompetensi dasar.

2.1.3.2 Keterlibatan Siswa dalam Motivasi Belajar

Berdasarkan karakteristik anak usia SD yang senang bermain,

senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, serta senang merasakan /

melakukan sesuatu secara langsung, maka model pembelajaran yang

digunakan harus melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran,

sesuai dengan pemecahan masalah yang peneliti gunakan, yaitu model

pembelajaran make a match. Peserta didik bekerja sama secara berpasangan,

dimana setiap pasangan dapat aktif dalam menemukan konsep serta

menyelesaikan soal dengan menyenangkan melalui bimbingan guru.

Dengan menggunakan model pembelajaran make a match dapat mengaktifkan dan mendorong semangat siswa dalam proses pembelajaran,

(13)

didik mencari pasangan soal/jawaban dengan bermain dan

bergerak/berpindah tempat, menyelesaikan soal/mencari jawaban dengan

melakukannya sendiri. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik anak usia

SD.

2.1.4 Matematika

2.1.4.1 Hakikat Matematika

Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang

berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda

disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan

penalaran. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu

kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari

kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam

matematika bersifat konsisten.

Wahyudi dan Inawati (2009:5) mengemukakan bahwa “matematika merupakan suatu ilmu yang mempelajari jumlah-jumlah yang diketahui

melalui proses perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan dengan

angka-angka atau simbol”. Matematika SD digunakan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan

efektif.

Asep Jihad (2008) berpendapat bahawa matematika berbeda dengan

mata pelajaran lain dalam beberapa hal, yaitu :

a. Objek pembicaraannya abstrak, sekalipun dalam pengajaran di sekolah anak

diajarkan benda kongkrit, siswa tetap didorong untuk melakukan abstraksi.

b. Pembahasan mengandalkan tata nalar, artinya info awal berupa pengertian

dibuat seefisien mungkin, pengertian lain harus dijelaskan kebenarannya

dengan tata nalar yang logis.

c. Pengertian/konsep atau pernyataan sangat jelas berjenjang sehingga terjaga

(14)

d. Melibatkan perhitungan (operasi).

e. Dapat dipakai dalam ilmu yang lain serta dalam kehidupan sehari-hari.

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika

merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar yang

menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan

akurat,representasinya dengan lambang-lambang atau simbol dan memiliki

arti serta dapat digunakan dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan

bilangan.

2.1.4.2Karakteristik Matematika

Secara umum matematika memiliki ciri-ciri sebagaimana telah

disepakati bersama oleh para ahli yaitu : (Abdul Halim Fathani , 2009: 58)

1. Memiliki objek kajian yang nyata

Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak,

walaupun tidak setiap yang abstrak adalah matematika. Sementara beberapa matematikawan menganggap objek matematika itu “konkret” dalam pemikiran mereka, maka kita dapat menyebut objek matematika secara lebih

tepat sebagai objek mental atau pikiran. Ada empat objek kajian

matematika, yaitu fakta, operasi atau relasi, konsep, dan prinsip.

2. Bertumpu pada kesepakatan

Simbol-simboldan istilah-istilah dalam matematika merupakan

kesepakatan atau konvensi yang penting. Dengan simbol dan istilah yang

disepakati dalam matematika, maka pembahasan selanjutnya aka menjadi

mudah dilakukan dan dikomunikasikan.

3. Berpola pikir deduktif

Dalam matematika, hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif.

Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang

berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada

(15)

4. Konsisten dalam sistemnya

Dalam matematika, terdapat berbagai macam sistem yang dibentuk

dari beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema. Ada sistem-sistem

yang berkaitan, ada pula sistem-sistem yang dapat dipandang lepas satu

dengan yang lainnya. Sistem-sistem aljabar dengan sistem-sistem geometri

dapat dipandang lepas satu dengan yang lainnya.

5. Memiliki simbol yang kosong arti

Secara umum, model atau simbol matematika sesungguhnya kosong

dari arti. Ia akan bermakna sesuatu bila kita mangaitkannya dengan konteks

tertentu. Secara umum, hal ini pula yang membedakan simbol matematika

dengan simbol bukan matematika. Kosong arti dari model-model matematika itu merupakan “kekuatan” matematika, yang dengan sifat tersebut, ia bisa masuk pada berbagai macam bidang kehidupan, dari

masalah teknis, ekonomi, hingga kebidang psikologi.

6. Memerhatikan semesta pembicaraan

Sehubungan dengan kosongnya arti dari simbol-simbol matematika,

bila kita menggunakannya kita seharusnya memmerhatikan pula lingkup

pembicaraannya. Lingkup atau sering disebut semesta pembicaraan bisa

sembit bisa pula luas. Bila kita bebicara tentang bilangan-bilangan, maka

simbol-simbol tersebut menunjukkan bilangan-bilangan pula.

7. Karakteristik Matematika sekolah.

Sehubungan dengan karakteristik umum matematika diatas, dalam

pelaksanaan pembelajaran matematika disekolah harus memerhatikan ruang

lingkup matematika sekolah. Ada sedikit perbedaan antara matematika sebagai “ilmu” dengan matematika sekolah, perbedaan itu dalam hal: 1) Penyajian, 2) Pola pikir, 3) Kterbatasan semesta, dan 4) Tingkat

(16)

2.1.4.3Ruang Lingkup Matematika

Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi

aspek-aspek sebagai berikut :

1. Bilangan

2. Geometri dan pengukuran

3. Pengolahan data

2.1.4.4 Tujuan Pembelajaran Matematika Sekolah

Berdasarkan PERMENDIKNAS No. 22 Tahun 2006, Mata pelajaran

matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan

tepat, dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan

solusi yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

2.1.4.5 Karakteristik Anak Usia SD

Ada beberapa karakteristik anak di usia SD yang perlu diketahui

para guru, agar lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya SD.

(17)

sesuai dengan keadaan siswanya. Pada masa SD dibagi menjadi 2, yaitu 1)

Masa kelas-kelas rendah SD yang berlangsung antara usia 6/7 tahun – 9/10 tahun, biasanya mereka duduk dikelas 1, 2 dan 3, dan 2) Masa kelas-kelas

tinggi SD, yang berlangsung antar ausia 9/10 tahun – 12/13 tahun, biasanya mereka duduk dikelas 4, 5 dan 6.

Berdasarkan perkembangan kognitif anak SD, menurut Piaget, usia

SD masuk pada tahap operasional konkret (7‐11 tahun), penggunaan logika yang memadai. Tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan

benda konkrit, memahami konsep percakapan, mengorganisasikan objek

kedalam klasifikasi, mampu mengingat, memahami dan memecahkan

masalah yang bersifat konkret.

J. Havighurst mengemukakan bahwa setiap perkembangan individu

harus sejalan dengan perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah

aspek psikis, moral dan sosial. Menjelang masuk SD, anak telah

Mengembangkan keterampilan berpikir bertindak dan pengaruh sosial yang

lebih kompleks. Sampai dengan masa ini, anak pada dasarnya egosentris

(berpusat pada diri sendiri) dan dunia mereka adalah rumah keluarga, dan

taman kanak‐kanaknya.

Kebutuhan anak usia SD adalah senang bermain, senang bergerak,

senang bekerja dalam kelompok, serta senang merasakan/ melakukan

sesuatu secara langsung. Dengan demikian guru hendaknya

merancangmodel pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung

dalam prosespembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami

tentang bentuk bangun datar dan bangun ruang,dengan cara membawa anak

langsung keluar kelas, kemudian mencari contoh bentuk benda atau

tumbuhan yang sama dengan bentuk bangun datar dan bangun ruang

(18)

2.1.5 Model Pembelajaran Make a Match

2.1.5.1 Hakikat Model Pembelajaran Make a Match

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil

belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan

pengembangan keterampilan sosial. Model pembelajaran kooperatif

mempunyai banyak teknik salah satunya teknik make a match digunakan untuk mengatasi keterbatasan sarana dan dapat meningkatkan hasil belajar

siswa. Model pembelajaran ini dapat digunakan oleh para guru sebagai

dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, dan sebagai suatu

alternatif dalam usaha meningkatkan hasil belajar siswa.

Make and match merupakan salah satu pembelajaran kooperatif, yang dikembangkan oleh Lorna Curran pada tahun 1994. Menurut Isjoni (2010:77) dalam bukunya “Cooperative Learning: Mengembangkan Kemampuan Belajar Berkelompok” menjelaskan bahwa teknik mencari pasangan (make a match) adalah teknik pembelajaran bisa digunakan dalam

semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia peserta didik. Model

make a match atau mencari pasangan merupakan salah satu alternatif yang

dapat diterapkan kepada siswa.

Model pembelajaran kooperatif tipe mencari pasangan (make a match) yang diperkenalkan oleh Curran dalam Eliya (2009) menyatakan bahwa make a match adalah kegiatan siswa untuk mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat

mencocokkan kartunya akan diberi point dan yang tidak berhasil

mencocokkan kartunya akan diberi hukuman sesuai dengan yang telah

disepakati bersama. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan ruangan

kelas juga perlu ditata sedemikian rupa, sehingga menunjang pembelajaran

kooperatif. Keputusan guru dalam penataan ruang kelas harus disesuaikan

dengan kondisi dan situasi ruang kelas dan sekolah.

Suyatno (2009:72) mengungkapkan bahwa model make and match

(19)

atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian siswa mencari

pasangan kartunya.

Model pembelajaran make a match adalah teknik pembelajaran berpijak pada teori konstruktivisme, pada pembelajaran ini terjadi

kesepakatan anatara siswa tentang aturan-aturan dalam berkolaborasi.

Masalah yang dipecahkan bersama akan disimpulkan bersama, peran guru

hanya sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan

belajar. Pada interaksi siswa terjadi kesepakatan, diskusi, menyampaikan

pendapat dari ide-ide pokok materi, saling mengingatkan dari kesalahan

konsep yang disimpulkan, membuat kesimpulan. Interaksi belajar yang

terjadi benar-benar interaksi dominan siswa dengan siswa. Dalam aktivitas

siswa selama pembelajaran menggunakan model pembelajaran make a match benar-benar memberdayakan potensi siswa untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan ketrampilannya.

Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, peneliti mencoba

menjelaskan tentang model pembelajaran make a match adalah model pembelajaran kooperatif dengan teknik memasangkan kartu soal dengan

kartu jawaban dengan diberikan batas waktu.

2.1.5.2 Langkah-langkah Model Pembelajaran Make a Match

Penerapan model pembelajaran ini dimulai dari teknik yaitu siswa

diminta mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum

batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin.

Langkah langkah model pembelajaran make a match menurut Lorna Curran (Komalasari, 2010: 85) adalah sebagai berikut :

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik

yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan

bagian lainnya kartu jawaban.

2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

(20)

4. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan

kartunya (soal jawaban).

5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi

poin.

6. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang

berbeda dari sebelumnya.

7. Demikian seterusnya.

8. Kesimpulan/penutup.

Pendapat Miftahul Huda, (2013: 252) mengenai langkah-langkah

model pembelajaran make a match (mencari pasangan) adalah sebagai berikut:

1. Guru menyampaikan materi atau memberi tugas kepada siswa untuk

mempelajari materi di rumah.

2. Siswa dibagi ke dalam 2 kelompok, misalnya kelompok A dan kelompok B.

Kedua kelompok diminta untuk berhadap-hadapan.

3. Guru membagikan kartu pertanyaan kepada kelompok A dan kartu jawaban

kepada kelompok B.

4. Guru menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus

mencari/mencocokan kartu yang dipegang dengan kartu kelompok lain.

Guru juga perlu menyampaikan batasan maksimal waktu diberikan kepada

mereka.

5. Guru meminta semua anggota kelompok A untuk mencari pasangannya di

kelompok B. Jika mereka sudah menemukan pasangannya masing-masing,

guru meminta mereka melaporkan diri kepadanya. Guru mencatat mereka

pada kertas yang sudah dipersiapkan.

6. Jika waktu sudah habis, mereka harus diberitahu bahwa waktu sudah habis.

Siswa yang belum menemukan pasangannya diminta untuk berkumpul

sendiri.

7. Guru memanggil satu pasangan untuk presentasi. Pasangan lain dan siswa

yang tidak mendapat pasangan memperhatikan dan memberikan tanggapan

(21)

8. Terakhir, guru memberikan konfirmasi tentang kebenaran dan kecocokan

pertanyaan dan jawaban dari pasangan yang memberikan presentasi.

9. Guru memanggil pasangan berikutnya, begitu seterusnya sampai seluruh

pasangan melakukan presentasi.

Berdasarkan pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan

langkah-langkah model pembelajaran make a match yaitu guru menyiapkan kartu soal dan kartu jawaban, sebagian siswa mendapat kartu jawaban dan

sebagian siswa mendapat kartu soal, tiap siswa memikirkan jawaban/soal

dari kartu yang dipegang, setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok

dengan kartunya, setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum

batas waktu diberi poin, jika siswa tidak dapat mencocokkan kartunya

dengan kartu temannya (tidak dapat menemukan kartu soal atau kartu

jawaban) akan mendapatkan hukuman yang telah disepakati bersama,

setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang

berbeda dari sebelumnya, guru bersama-sama dengan siswa membuat

kesimpulan terhadap materi pelajaran.

2.1.5.3 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Make a Match

Setiap model pembelajaran mempunyai berbagai kelebihan dan

kekekurangan, adapun kelebihan model pembelajaran make a match adalah:

1) Mampu meningkatkan motivasi belajar siswa, 2) Mampu menyajikan

sebuah proses pembelajaran yang menyenangkan, 3) Efektif untuk

menghafal materi hafalan verbal dalam jumlah banyak, 4) Menghasilkan

daya serap yang cukup tinggi. Sedangkan kekurangan dari model ini adalah:

1) Banyak menyita waktu guru dalam menyiapkan kartu dan perangkat

pendukungnya, 2) Cukup menimbulkan kegaduhan karena tidak jarang

siswa teriak kegirangan ketika kartu jawaban yang diambilnya ternyata

cocok dengan kartu soal yang dipegangnya. Tetapi hal ini bisa diantipasi

(22)

permainan dimulai. Pada dasarnya mengendalikan kelas tergantung

bagaimana kita memotivasinya.

Lie (2007:55) menyatakan keunggulan dari pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran make a match adalah:

1. Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa.

2. Sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.

3. Model pembelajaran make a match bisa digunakan dalam semua mata pelajaran.

4. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran.

5. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis.

6. Munculnya dinamika gotong royong yang merata diseluruh siswa.

Jadi, berdasarkan pada kegiatan belajar mengajar penggunaan model

pembelajaran make a match, siswa tampak lebih aktif mencari pasangan kartu antara jawaban dan soal. Dengan model pencarian kartu pasangan ini

siswa dapat mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di dalam kartu

yang ditemukannya dan menceritakannya dengan sederhana dan jelas secara

bersama-sama.

2.1.5.4 Penerapan Model Pembelajaran Make A Match

Model pembelajaran make a match artinya model pembelajaran mencari Pasangan. Hal-hal yang perlu dipersiapkan jika pembelajaran

dikembangkan dengan Make a match adalah kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut berisi pertanyaan-pertanyaan dan kartu lainnya berisi jawaban dari

pertanyaan tersebut.

Model pembelajaran make and match melatih siswa untuk memiliki

sikap sosial yang baik dan melatih kemampuan siswa dalam bekerja sama

disamping melatih kecepatan berfikir siswa. Model pembelajaran make and

(23)

permainan. Menurut Suyatno (2009:102), prinsip-prinsip model

pembelajaran make and match antara lain:

1. Anak belajar melalui berbuat.

2. Anak belajar melalui panca indera.

3. Anak belajar melalui bahasa.

4. Anak belajar melalui bergerak.

Dalam mengembangkan dan melaksanakan model pembelajaran

make a match, menurut Suyatno (2009:42) guru seharusnya mengembangkan hubungan baik dengan siswa dengan cara:

1. Perlakukan siswa sebagai manusia yang sederajat.

2. Ketahuilah apa yang disukai siswa, cara pikir mereka dan perasaan

mereka.

3. Bayangkan apa yang akan mereka katakan mengenai diri sendiri dan

guru.

4. Ketahuilah hambatan-hambatan siswa.

5. Berbicaralah dengan jujur dan halus.

6. Bersenang-senanglah bersama mereka.

Adapun persiapan yang harus dilakukan oleh guru sebelum proses

pembelajaran berlangsung (Miftahul Huda, 2013:251) yaitu sebagai berikut:

1. Membuat beberapa pertanyaan sesuai dengan materi yang dipelajari

(jumlahnya tergantung tujuan pembelajaran) kemudian menulisnya

dalam kartu-kartu pertanyaan).

2. Membuat kunci jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat

dan menulisnya dalam kartu-kartu jawaban. Akan lebih baik kartu

jawaban dan kartu pertanyaan berbeda warna.

3. Membuat aturan yang berisi penghargaan bagi siswa yang berhasil dan

sanksi bagi siswa yang gagal (di sini, guru dapat membuat aturan ini

(24)

4. Menyediakan lembar untuk mencatat pasangan-pasangan yang berhasil

sekaligus untuk pensekoran presentasi.

Menurut Benny (2009 : 1001), sebelum guru menggunakanan model

pembelajaran make and match guru harus mempertimbangkan: 1) Indikator

yang ingin dicapai, 2) Kondisi kelas yang meliputi jumlah siswa dan

efektifitas ruangan, 3) Alokasi waktu yang akan digunakan dan waktu

persiapan. Pertimbangan diatas sangat diperlukan karena model

pembelajaran make and match tidak efektif apabila digunakan pada kelas yang jumlah siswanya diatas 40 dengan kondisi ruang kelas yang sempit,

karena dalam pelaksanaan pembelajaran kelas akan menjadi gaduh dan

ramai. Hal ini wajar asalkan guru dapat mengendalikannya.

Dengan adanya model pembelajaran kooperatif tipe mencari

pasangan (make a match) siswa lebih aktif untuk mengembangkan

kemampuan berpikir. Disamping itu model pembelajaran make a match juga

memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan mengeluarkan

pendapat serta berinteraksi dengan siswa yang menjadikan aktif dalam

kelas.

Pada penerapan model pembelajaran make a match, diharapkan dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan

mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran

dapat menarik perhatian siswa sehingga siswa lebih antusias dalam

mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa lebih terlihat saat siswa

mencari pasangan kartunya masing-masing. Kegiatan yang dilakukan guru

merupakan upaya guru untuk menarik perhatian sehingga apada akhirnya

dapat menciptakan motivasi dan keaktifan siswa dalam diskusi. Motivasi

yang kuat erat hubungannya dengan peningkatan keaktifan siswa yang dapat

dilakukan dengan strategi pembelajaran tertentu, dan motivasi belajar dapat

ditujukan ke arah kegiatan-kegiatan kreatif. Apabila motivasi yang dimiliki

(25)

Selanjutnya, penerapan model pembelajaran make a match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja sama di antara siswa serta mampu

menciptakan kondisi yang menyenangkan.

Hal ini merupakan salah satu tujuan dari pembelajaran kooperatif

seperti yang dikemukan oleh Ibrahim, et al.2000 dalam Don, (2011) bahwa, “Mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial”.

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Eny Khotifah pada tahun 2013 dengan judul “Penerapan Metode Make a Match untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 4 SD Negeri 01

Parikesit Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo Semester II Tahun Pelajaran 2012/2013”. Hasil penelitian menunjukkan pada kondisi awal, data diambil dari 14 siswa, 8 siswa (57%) memiliki motivasi tinggi dan 6 siswa memenuhi KKM ≥70 (43%). Siklus I menerapkan model pembelajaran make a match terjadi peningkatan yaitu terdapat 3 siswa yang

mendapat kategori rendah (21%), 5 siswa yang berkategori tinggi (36%),

dan 6 siswa yang berkategori sangat tinggi (43%), kemudian 10 siswa memenuhi KKM ≥70 (71%). Pada siklus II terdapat 5 siswa yang berkategori tinggi (36%) dan 9 siswa yang berkategori sangat tinggi (64%), kemudian 14 siswa memenuhi KKM ≥70 (100%).

Penelitian yang dilakukan oleh Titik Wijayanti pada tahun 2012 dengan judul “Upaya Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar pada Mata Pelajaran IPS dengan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

Siswa Kelas IV SD N Karanganyar 03 Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012”. Hasil penelitian menunjukkan pada kondisi awal, data diambil dari 23 siswa, siswa yang nilainya memenuhi KKM terdapat 10 siswa

(26)

match terjadi peningkatan cukup signifikan yaitu terdapat 16 siswa memenuhi KKM (69.56%). Pada siklus II terdapat 20 siswa memenuhi

KKM (86,95%). Sedangkan peningkatan motivasi belajar siswa pada

pembelajaran motivasi siswa pada kondisi awal yang sangat tinggi dan

tinggi ada 10 siswa (43,47%), siklus I ada 18 siswa ( 78,26%), pada siklus

yang ke II ada 20 siswa (86,95%), motivasi belajar sedang dan rendah pada

kondisi awal ada 13 siswa (56,52%), pada siklus I ada 5 siswa (21,73%),

pada siklus II ada 3 siswa (13,04%), sedangkan motivasi siswa yang sangat

rendah tidak ada.

Berdasarkan analisis kajian yang pernah dilakukan peneliti di atas,

dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran make a match pada proses pembelajaran, dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar.

Dari penelitian yang dilakukan pada mata pelajaran matematika dan IPS

sama-sama dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar, jadi model

pembelajaran make a match dapat diterapkan pada semua mata pelajaran di

SD.Dengan analisis tersebut, maka dalam penelitian ini akan menerapkan

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran make a match.

2.3 Kerangka Berpikir

Model pembelajaran make a match melatih siswa untuk memiliki sikap sosial yang baik dan melatih kemampuan siswa dalam bekerja sama

disamping melatih kecepatan berfikir siswa. Diharapkan dapat memupuk

kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu

yang yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran dapat menarik

perhatian siswa, sehingga meningkatkan motivasi belajar dan siswa lebih

antusias dalam mengikuti proses pembelajaran, keaktifan siswa lebih terlihat

saat siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Dengan demikian

(27)

pembelajaran matematika untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar

matematika pada siswa kelas V.

Gambar 2.1

Skema Kerangka Berpikir

2.4Hipotesis Penelitian

Penggunaan model pembelajaran make a match diduga dapat meningkatkan:

1. Motivasi belajar siswa kelas V SD Negeri 03 Kalimanggis.

Gambar

Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melalui proses yang panjang, revisi buku Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang disusun oleh kelompok kerja Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran

Slično idućem alatu, Clone Stamp Tool, i HB alat radi kopiranje određenog dijela slike.. Vodi računa o bojama te osvjetljenju na

No Nama Penyedia Hasil Evaluasi Administrasi 1 KAP.. Kumalahadi,Kuncara,Sugen g Pamudji

kecurangan ( fraud ).Praktik-praktik kecurangan yang terjadi merupakan suatu pukulan bagi dunia profesi akuntansi karena dapat menimbulkan keraguan.. masyarakat terhadap fungsi

ern issues by way of trying to establish a new Qur'ànic exegesis, void of the heary classical reliance on tadition in the classical commen- taries of the Qur'àn. In

Puji syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh harapan Pelanggan, Kualitas

Pengaruh kepercayaan Terhadap Niat Beli Kosmetik Maybelline Disurabaya variabel kepercayaan menjadi variabel kedua, berdasarkan uji t yang telah di lakukan oleh

Pembelajaran berbasis kecerdasan emosional dan spiritual akan membuat peserta didik berinteraksi satu dengan lainnya untuk mendapatkan solusi terbaik terhadap permasalahan yang