JHECDs, 2 (2), 2016, hal. 59-66
59
Penelitian
Gambaran lingkungan air di wilayah endemis fasciolopsiasis
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan
Overview water environment in endemic areas of fasciolopsiasis
Hulu Sungai Utara, South Kalimantan
Annida*, Dian Eka Setyaningtyas, Deni Fakhrizal
Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu Kementerian Kesehatan RI Kawasan Perkantoran Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu
Jl. Lokalitbang, Gunung Tinggi, Batulicin, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Indonesia *Korespondensi: annidahasan@gmail.com
DOI : 10.22435/jhecds.v2i2.5658.59-66
Tanggal diterima 31 Oktober 2016, Revisi pertama 3 November 2016, Revisi terakhir 16 Desember 2016, Disetujui 09 Februari 2017, Terbit daring 27 Maret 2017
Abstract. Fasciolopsiasis is a trematode worm disease of Fasciolopsis buski’s species, which is only endemic in some areas in
Hulu Sungai Utara, South Kalimantan. Buski life cycle requires an intermediate host such as snails and plants that live in the aquatic environment. Fasciolopsiasis endemic areas in HSU is a marshy area, however not all regions that have the same characteristics or directly adjacent to an endemic area fasciolopsiasis. This research is a descriptive, aims to describe the aquatic environment through the parameters of temperature, acidity (pH), salinity, the value of Dissolved Oxygen (DO), Biological Oxygen Demand (BOD), and Chemical Oxygen Demand (COD), which supports buski’s habitation in endemic areas. Cross-sectional study design, and implemented in the village of Kalumpang Dalam, Sungai Papuyu, and Telaga Mas, in the month of June to September 2012. The results showed swamp water environment in the research site with a surface water temperature of 25oC, pH 6, salinity 0‰, DO value between 3,49-88,7 mg O2/L, BOD value between 0,05-3,64 mg O2/L, and COD values between 3,016-39,51 mg O2/L, which indicate the presence of marshy water pollution and still found life freshwater snails as an intermediate host of F.buski : Lymnaea and Indoplanorbis
Keywords : Fasciolopsisbuski, fasciolopsiasis, swamp water, intermediate host, HSU
Abstrak. Fasciolopsiasis adalah penyakit cacing trematoda dari spesies Fasciolopsisbuski, yang hanya endemis di sebagian
wilayah di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan. Siklus hidup buski memerlukan hospes perantara berupa keong dan tumbuhan yang hidup di lingkungan air. Wilayah endemis fasciolopsiasis di Kab. HSU merupakan wilayah berawa, namun demikian tidak semua wilayah yang mempunyai karakteristik sama ataupun berbatasan langsung merupakan daerah endemis fasciolopsiasis.Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan untuk mengetahui gambaran lingkungan air melalui parameter suhu, derajat keasaman (pH), salinitas, nilai Dissolved Oxygen (DO), nilai Biological Oxygen Demand (BOD), dan nilai Chemical Oxygen Demand (COD) yang mendukung habitat buski di wilayah endemis. Desain penelitian secara cross sectional, dan dilaksanakan di Desa Kalumpang Dalam, Desa Sungai Papuyu, dan Desa Telaga Mas, pada bulan Juni-September 2012.Hasil penelitian menunjukkan lingkungan air rawa di lokasi penelitian dengan suhu air permukaan 25oC, pH air 6, dan salinitas 0‰, nilai DO antara 3,49-88,7 mg O2/L, nilai BOD antara 0,05-3,64 mg O2/L,
nilai COD antara 3,016-39,51 mg O2/L, yang menunjukkan adanya pencemaran air rawa dan masih ditemukan kehidupan
keong air tawar sebagai hospes perantara pada F.buski yaitu keong jenis Lymnaea dan Indoplanorbis.
Kata kunci :Fasciolopsis buski, fasciolopsiasis, air rawa, hospes perantara, HSU.
DOI
Cara sitasi : : 10.22435/jhecds.v2i2.5658.59-66 Annida, Setyaningtyas DE, Fakhrizal D. Gambaran lingkungan air di wilayah endemis
fasciolopsiasis Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. J.Health.Epidemiol. Commun.Dis. 2016;2(2): 59-66.
60
Pendahuluan
Fasciolopsiasis adalah penyakit kecacingan golongan trematoda spesies Fasciolopsis buski yang endemis di Cina bagian Selatan dan Tengah, Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, India, Pakistan, the Lao People’s Democratic Republic (Laos), Kamboja, Bangladesh, Jepang, dan Indonesia.1,2,3,4,5,6
Sampai saat ini, fasciolopsiasis di Indonesia hanya ditemukan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Provinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun
1982 pertama kali dilaporkan adanya
fasciolopsiasis meskipun pada beberapa sumber menyatakan pernah terjadi sejak tahun 1920.7
Wilayah endemis fasciolopsiasis di Kab. HSU adalah Desa Sungai Papuyu dan Kalumpang Dalam di Kecamatan Babirik; Desa Putat Atas dan Padang Bangkal di Kec. Sungai Pandan; serta Desa Sarang Burung dan Telaga Mas di Kec. Danau Panggang yang hampir setiap tahun selalu ditemukan kasus fasciolopsiasis.
Fasciolopsis buski mempunyai siklus hidup yang kompleks. Cacing dewasa yang hidup dalam usus hospes definitif akan mengeluarkan telur bersama tinja penderita. Jika tinja jatuh ke air, telur akan segera matang dan berkembang, menetas mengeluarkan mirasidium. Mirasidium akan berenang di air mencari keong air tawar yang sesuai. Dalam tubuh keong air tawar, mirasidium akan berkembang menjadi bentuk sporokista, kemudian redia. Redia yang matang akan mengeluarkan ribuan serkaria. Serkaria akan segera keluar dari tubuh keong, berenang bebas di air, mencari tumbuhan air tawar untuk segera menempelkan diri membentuk kista. Bentuk kista ini dinamakan metaserkaria yang merupakan bentuk infektif dari F.buski. Apabila hospes definitif tertelan metaserkaria, maka metaserkaria ini akan segera berenkistasi dan berkembang menjadi bentuk cacing dewasa yang menetap di usus halus.
Hospes perantara pertama dalam siklus hidup
F.buski di beberapa negara adalah keong genus
Segmentina, Hippeutis, Gyraulus, Planorbis spp, dan
Trochorbis trochoideus. Penelitian di Desa Sungai Papuyu yang dilakukan oleh Handojo dan Ismulyowono (1988) berhasil mengidentifikasi serkaria dengan ekor tidak bercabang pada keong
Indoplanorbis dan Anisus.1,2,3,7Keong air tawar yang
selama ini ditemukan berkembang biak di Kab. HSU adalah jenis Indoplanorbis, Lymnaea, Pomacea canaliculata, Bellamya javanica, Melanoides, dan
Gyraulus.8,9
Meskipun serkaria yang keluar dari tubuh keong tidak memiliki kecenderungan untuk memilih jenis tumbuhan air tertentu untuk berenkistasi dan
berkembang menjadi metaserkaria, namun
tumbuhan air yang dicurigai sebagai hospes perantara kedua fasciolopsiasis adalah tumbuhan air yang tumbuh di lingkungan setempat dan biasa dikonsumsi penduduk, yaitu umbi dan batang teratai air (Nymphaea alba dan Nymphaea lotus), putri malu air (Mimosa spp.), kangkung (Ipomea aquatica), genjer (Limnocharis flava), pakis (Stenochiaena palustris), sulur, tarati/palilak
(Nymphaea), dan taluk balun (sejenis daun talas).10
Sebagian besar wilayah Kab. HSU merupakan daerah dataran rendah berawa, berada di sepanjang bantaran sungai Negara. Lingkungan ini sangat mendukung bagi kelangsungan hidup F.buski
dalam siklusnya,danbagi populasi keong air tawar dan tumbuhan air sebagai hospes perantara. Namun demikian tidak semua wilayah yang sama ataupun wilayah yang berbatasan langsung merupakan daerah endemis fasciolopsiasis.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran lingkungan air yang mendukung habitat
buski di daerah endemis sehingga dapat dijadikan dasar penelitian selanjutnya dan sebagai pedoman
dalam menentukan model penanggulangan
fasciolopsiasis yang tepat guna di Kab. HSU.
Metode
Penelitian bersifat deskriptif observasional dengan desain cross sectional, dilaksanakan selama bulan Juni-September 2012 di 3 desa endemis tertinggi fasciolopsiasis di Kabupaten HSU, yaitu Desa Kalumpang Dalam dan Desa Sungai Papuyu di Kecamatan Babirik, dan Desa Telaga Mas di Kecamatan Danau Panggang Kabupaten HSU Provinsi Kalimantan Selatan.
Survei kualitas air menggunakan parameter suhu, derajat keasaman (pH), salinitas, nilai Dissolved Oxygen (DO), nilai Biological Oxygen Demand
(BOD), dan nilai Chemical Oxygen Demand
(COD), dengan menggunakan alat dan bahan berupa: sarung tangan, penciduk, jerigen, label, form, thermometer, kolorimeter, turbidimeter, pH meter, peta dasar wilayah, GPS.
Cara Kerja: Air rawa diambil sebanyak 5 titik pada masing-masing desa dengan menggunakan
pencinduk yang bersih, dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam jerigen. Masing-masing jerigen diberi kode sampel. Selanjutnya sampel air dibawa ke Laboratorium Dasar Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru untuk
dilakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan
dimasukkan dalam formulir pemeriksaan
61
Hasil
Pemeriksaan sampel air di Desa Kalumpang Dalam, Sungai Papuyu, dan Telaga Mas terurai pada tabel hasil pemeriksaan di bawah :
1. Desa Kalumpang Dalam
Hasil pemeriksaan sampel air di Desa Kalumpang Dalam menunjukkan bahwa air rawa bersifat asam dengan pH 6, suhu air 25oC, dengan salinitas 0‰. Nilai DO dari kelima sampel berkisar antara
3,49-6,98 mg O2/L, nilai BOD 0,1-1,3 mg O2/L,
dan nilai COD 3,016-18,096 mg O2/L, terinci
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Kualitas Air di Desa
Kalumpang Dalam Kec. Babirik Kab. HSU
Kode Papuyu menunjukkan bahwa air rawa bersifat asam dengan pH 6, suhu air 25oC, dengan salinitas 0‰. Nilai DO dari kelima sampel berkisar antara
7,48-8,87 mg O2/L, nilai BOD 0,05-0,95 mg O2/L,
dan nilai COD 7,68-21,95 mg O2/L, terinci dalam
Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Kualitas Air di Desa
Sungai Papuyu Kec. Babirik Kab. HSU
Kode
Hasil pemeriksaan sampel air di Desa Telaga Mas menunjukkan bahwa air rawa bersifat asam dengan pH 6, suhu air 25oC, dengan salinitas 0‰.
Nilai DO dari kelima sampel berkisar antara 6,21-7,54 mg O2/L, nilai BOD 0,32-3,64 mg O2/L, dan
nilai COD 13,17-39,51 mg O2/L, terinci dalam
Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Kualitas Air di Desa
Telaga Mas Kec. Danau Panggang Kab. HSU
Kode tergenang secara monoton maupun tergenang secara periodik. Kurang lebih 570 km2 adalah
merupakan lahan rawa dan sebagian besar belum termanfaatkan secara optimal. Kabupaten HSU berada pada ketinggian 0-7 meter di atas permukaan laut, sedangkan curah hujan per tahunnya rata-rata antara 1.300 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan November yaitu 2.300 mm.8
Wilayah endemis fasciolopsiasis di Kab. HSU merupakan dataran rendah berawa. Hampir sepanjang tahun air tergenang sedalam 1-3 meter, sehingga penduduk setempat membangun rumah panggung setinggi 3-4 meter dari tanah, sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Pada musim kemarau, air akan surut bahkan kering selama ±3
bulan. Keadaan lingkungan tersebut
memungkinkan penduduk secara umum memiliki mata pencaharian sebagai penangkap ikan dan sebagian lagi sebagai peternak unggas (itik dan ayam), sedangkan pada musim kemarau penduduk mulai bertanam padi dan palawija di tanah lingkungan desa. Penelitian dilakukan saat air rawa masih tergenang.9,10
Gambar 1. Lingkungan Rawa Daerah Endemis
Fasciolopsiasis Kab. HSU
62
Dinas Kesehatan HSU. Desa Kalumpang Dalam dan Desa Sungai Papuyu berada di wilayah Kec. Babirik, sedangkan Desa Telaga Mas merupakan desa yang berada di wilayah Kec. Danau Panggang. Desa Kalumpang Dalam berbatasan langsung dengan Desa Telaga Mas di sebelah Barat.9
Melalui survei tinja di tahun 2012 diketahui bahwa fasciolopsiasis masih berlangsung di Desa Kalumpang Dalam dan Sungai Papuyu. Hasil pemeriksaan dari 137 sampel tinja di Desa Kalumpang Dalam menemukan 2 orang penderita fasciolopsiasis (1,46%) yang diketahui tinggal dalam 1 rumah, terdiri dari ibu dan anak. Sedangkan di Desa Sungai Papuyu ditemukan 9 orang penderita fasciolopsiasis (6,92%) dari 130 sampel tinja yang diperiksa. Sembilan orang penderita fasciolopsiasis tersebut berasal dari anggota 2 rumah tangga yang masing-masing terdiri dari 4 dan 5 orang penderita.9
Hasil pemeriksaan air rawa di ketiga desa penelitian diketahui mempunyai suhu, pH dan salinitas yang sama, yaitu dengan suhu 25oC, pH
6, dan salinitas 00/
00. Derajat keasaman (pH)
menunjukkan jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam air. Nilai pH 6 dikatakan bersifat asam atau cenderung netral, disebabkan air rawa di wilayah tersebut berada di sepanjang bantaran sungai.11
Sedangkan salinitas air menggambarkan
kandungan garam dalam suatu perairan. Garam yang dimaksud adalah berbagai ion yang terlarut
disebabkan air rawa tersebut tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut, selain tingginya curah hujan sehingga salinitas air menjadi rendah.11
Dalam siklus hidupnya, cacing buski sangat tergantung pada media air. Telur buski yang jatuh ke air rawa memerlukan waktu embrionisasi selama 3-7 minggu tergantung suhu air yang ideal, yaitu antara 18-35ºC.1,10
Oksigen terlarut (DO) sering juga disebut dengan kebutuhan oksigen (oxygen demand). Nilai DO yang biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini menunjukkan jumlah oksigen (O2) yang tersedia
dalam suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan, keong dan makhluk hidup lainnya di air, serta mikroorganisme. Kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan
oleh banyaknya oksigen dalam air. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua makhluk hidup untuk pernafasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.12
Nilai DO air rawa pada tiga desa penelitian berada pada kisaran 3,49-8,87 mg O2/L. Pada nilai
DO yang rendah menunjukkan tingkat
pencemaran yang lebih tinggi.
Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer.13 Penyebab
utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari berbagai sumber, seperti kotoran manusia, kotoran hewan, sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga.14
Penduduk memelihara itik dan ayam yang dikurung dalam kandang panggung di atas air rawa, di sekitar rumah penduduk. Lantai kandang ternak yang terdiri dari papan dan bambu yang dipasang tidak rapat sehingga kotoran ternak mudah jatuh ke air rawa. Penduduk juga mempunyai kebiasaan mandi, sikat gigi, dan buang air di air rawa, bahkan sebagian besar masih menggunakan air rawa untuk mandi dan mencuci.14
Kandungan oksigen terlarut minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme.13 Idealnya,
kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70%.15
63
Nilai BOD air rawa pada tiga desa penelitian berada pada kisaran 0,05-3,64 mg O2/L,
menunjukkan tingkat pencemaran air yang rendah.
Nilai BOD untuk tingkat pencemaran perairan dikatakan rendah jika berada pada 0-10 ppm, dikatakan sedang jika berada pada 10-20 ppm, dan tinggi jika berada pada 25 ppm, sedangkan nilai DO dikatakan rendah pada >5 ppm, dikatakan sedang pada 0-5 ppm, dan tinggi pada 0 ppm.16
Kebutuhan oksigen kimia (COD) bertujuan untuk proses reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air. Senyawa organik yang terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen dengan elemen aditif nitrogen, sulfur, fosfat, dll cenderung untuk menyerap oksigen-oksigen yang tersedia dalam limbah air dikonsumsi oleh mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa organik. Semakin tinggi konsentrasi COD menunjukkan bahwa kandungan senyawa organik tinggi, tidak dapat terdegradasi secara biologis. Nilai COD air rawa pada tiga desa penelitian berada pada kisaran 3,016-39,51 mg O2/DL, menunjukkan adanya
cemaran bahan organik maupun kimia dalam air rawa.
Pada ketiga desa ditemukan keong dari jenis
Lymnaea, Indoplanorbis, Bellamya javanica,
Melanoides, Pomacea canaliculata, Gyraulus.9,17,18
Keong air tawar yang diketahui sebagai hospes perantara F.buski di Desa Kalumpang Dalam dan
Desa Sungai Papuyu adalah Lymnaea dan
Indoplanorbis.18 Menurut Budiman (1991) bahwa
kekayaan jenis mollusca di suatu habitat sangat bergantung pada kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi terhadap kondisi lokal dan jumlah tipe habitat di dalam ekosistem yang dapat mengakomodasi suatu jenis untuk hidup baik.19
Menurut Edward (1988) keong air dapat melakukan proses metabolisme secara optimal pada kisaran suhu antara 25-32oC. Pada suhu di
atas 32oC proses metabolisme keong akan
terganggu. Toleransi suhu pada setiap gastropoda berbeda-beda, untuk Melanoides tuberculata dan
Bellamnya javanica, Jutting (1956) mengemukakan bahwa kedua keong ini dapat hidup di kisaran suhu 35oC, bahkan kedua keong ini bisa hidup di
perairan yang telah terpolusi. Hal ini menyatakan bahwa ada beberapa keong yang memiliki batas toleransi yang tinggi terhadap suhu. Terhadap pH perairan, Hynes (1987) mengemukakan keong air tawar umumnya dapat hidup secara optimal pada lingkungan dengan kisaran pH 5,0-9,0, maka hal ini menyatakan bahwa lingkungan penelitian ini masih sangat baik untuk menjadi tempat perkembangbiakan dari keong air tawar.19
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan hewan maupun tumbuhan di dalam air. Keong air tawar memiliki kisaran toleransi lebar terhadap oksigen sehingga penyebaran dari keong ini sangat luas. Kelarutan rawa dapat mempengaruhi keberadaan populasi jenis keong tertentu di sekitarnya, sehingga jumlah keong yang ditemukan berbeda di tiap titik.17 Keong air termasuk hewan yang pandai
menyesuaikan diri untuk hidup di beberapa tempat dan cuaca. Keong air tawar umumnya ditemukan tersebar dan berkembang pada berbagai macam habitat, seperti sawah, saluran irigasi, sungai, selokan dan danau/telaga. Probosuno dalam Zulaikha pada tahun 2012 menyatakan bahwa tingkat keanekaragamanbiota air yang terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran.19
Penyebaran jenis-jenis keong air tawar pada habitat yang berbeda tergantung dari kemampuan adaptasi setiap jenis keong terhadap kondisi lingkungan habitatnya. Menurut Jutting (1956), kebanyakan keong ditemukan pada perairan dangkal dan beraliran tenang seperti sawah, rawa, serta kolam. Lain halnya dengan Melanoides tuberculata menyukai habitat air beraliran agak deras serta bagian dasar yang berlumpur, sehingga pada keong ini hampir semua habitat dapat dihuninya. Sedangkan Indoplanorbis sering dijumpai pada habitat-habitat yang banyak ditumbuhi oleh tumbuhan air, sebab jenis ini memanfaatkan tumbuhan air untuk meletakkan telur-telurnya.19
Desa Kalumpang Dalam
64
yang terlarut di dalamnya. Sedangkan nilai DO yang tinggi terjadi pada air rawa yang agak jauh dari kandang ternak, sehingga oksigen yang terlarut dalam air tidak terpakai untuk memecah bahan organik dari kotoran hewan ternak.
Penguraian bahan organik secara biologis di alam melibatkan bermacam-macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir CO2 dan H2O. Pemeriksaan BOD dianggap
sebagai suatu prosedur oksidasi saat organisme
hidup bertindak sebagai medium untuk
menguraikan bahan organik menjadi CO2 dan
H2O. Reaksi oksidasi selama pemeriksaan BOD
merupakan hasil dari aktivitas biologis dengan kecepatan reaksi yang berlangsung, sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi dan suhu. Nilai BOD yang relatif tinggi menunjukkan bahwa nilai oksigen yang dibutuhkan oleh organisme di perairan tersebut untuk memecah bahan organik lebih besar. Sampel air yang nilai BODnya lebih tinggi ini diambil pada lokasi pengambilan sampel keong air, yaitu Lymnaea dan Indoplanorbis yang mengandung redia dan serkaria.9,17,18
Sampel air yang diambil di dekat kandang ternak mempunyai nilai COD yang relatif lebih besar dibanding sampel yang diambil jauh dari kandang ternak. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen kimia yang diperlukan untuk memecah bahan organik yang ada di tempat pengambilan sampel air tersebut disebabkan karena besarnya cemaran dari kotoran hewan ternak di perairan tersebut. Pada tingkat pencemaran tersebut ternyata masih ditemukan beberapa jenis keong hospes perantara fasciolopsiasis, yaitu Lymnaea
dan Indoplanorbis, dan keong yang berpotensi sebagai hospes perantara trematoda lainnya, yaitu
Bellamya, dan Melanoides.9,17,18 Desa Sungai Papuyu
Hasil pengukuran parameter sampel air yang diambil pada perairan di Desa Sungai Papuyu diperoleh nilai DO di atas 5 mg O2/L, yaitu
7,48-8,87 mg O2/L. Hal ini menunjukkan bahwa kadar
oksigen terlarut di perairan tersebut relatif tinggi. Sampel air diambil pada titik lokasi yang tidak terlalu banyak kandang ternak atau agak jauh dari kandang ternak sehingga kandungan oksigen yang terlarut dalam air masih tinggi.
Nilai BOD pada sampel air yang diambil di Desa Sungai Papuyu relatif rendah, di bawah nilai 1 mg O2/L, yaitu 0,05-0,95 mg O2/L menunjukkan
bahwa kebutuhan oksigen untuk memecah bahan organik pada perairan tersebut juga rendah.
Nilai DO yang tinggi, nilai BOD yang rendah, dan nilai COD 7,68-21,95 mg O2/L kemungkinan
terjadi karena pencemaran oleh bahan organik wilayah tersebut rendah. Kondisi tersebut masih
memungkinkan penularan fasciolopsiasis dengan ditemukannya jenis keong Lymnaea, Indoplanorbis,
Pomacea, Bellamya, dan Melanoides pada wilayah tersebut. Keong yang ditemukan mengandung stadium serkaria dari jenis trematoda di Desa Sungai Papuyu ini adalah keong jenis Lymnaea dan
Bellamya.9,18 Lymnaea adalah hospes perantara
pada fasciolopsiasis.17
Desa Telaga Mas
Hasil pemeriksaan air rawa di wilayah Desa Telaga Mas didapatkan nilai DO diatas 5 mg O2/L,
yaitu 6,21-7,54 mg O2/L menunjukkan bahwa
kadar oksigen terlarut di wilayah tersebut relatif tinggi. Nilai BOD relatif rendah, di bawah 5 mg O2/L, yaitu 0,32-3,64 mg O2/L. Sedangkan nilai
COD relatif tinggi, mencapai 35 mg O2/L, yaitu
antara 13,17-39,51 mg O2/L mengindikasikan
banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk memecah polutan organik yang tidak dapat didegradasi oleh organisme di wilayah tersebut.
Pada tingkat pencemaran tersebut, keong air masih dapat hidup, hal ini diketahui dengan ditemukannya keong jenis Lymnaea. Indoplanorbis,
Pomacea, Bellamya, dan Melanoides, di sekitar titik pengambilan sampel air. Keong yang ditemukan
mengandung stadium serkaria dari jenis
trematoda di Desa Telaga Mas ini adalah keong jenis Indoplanorbis.9,18 Indoplanorbis adalah hospes
perantara pada fasciolopsiasis.17
Selain pencemaran oleh kotoran unggas,
penduduk masih mempunyai kebiasaan BAB di air rawa lingkungan sekitar tempat tinggal. Penderita fasciolopsiasis biasa BAB di jamban/rawa sekitar rumah, maksimal sejauh 2,5-5 meter dari rumah. Sebanyak 99,3% penduduk di tiga desa penelitian tersebut BAB di air rawa, dengan jarak kurang dari 10 meter dari rumah (90,8%).20
Sedangkan kebutuhan air untuk aktivitas sehari-hari masih diambil dari air rawa di sekitar rumah. Pada rumah penderita di Desa Sungai Papuyu, terdapat sumur yang menjadi sumber air utama, yang hanya terlihat pada musim kemarau saat air rawa mengering (Gambar 2). Sebanyak 50,7% penduduk di ketiga desa penelitian menggunakan air rawa untuk kebutuhan air minum.
Sebanyak 42,5% penduduk mengkonsumsi
tumbuhan air berupa kangkung, bunga
teratai/tatanding, dan putri malu air/susupan yang diambil dari air rawa sekitar tempat tinggal.20
65
dan keong air juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang dipelihara penduduk.
Selama masih terjadi kontaminasi badan air oleh kotoran manusia dan hewan ternak, ketika tumbuhan air dan keong air tawar yang berperan sebagai hospes perantara buski tersebut hidup, maka keberlangsungan fasciolopsiasis akan terus terjadi.
Gambar 2. Sumber Air Utama pada Rumah Penderita
Fasciolopsiasis di Desa Sungai Papuyu Kec.Babirik Kab. HSU Saat Musim Kemarau
Kesimpulan dan Saran
Gambaran lingkungan air rawa di Desa Kalumpang Dalam, Desa Sungai Papuyu, Desa Telaga Mas adalah suhu air permukaan 25oC, pH air 6, dan salinitas 0‰, nilai DO antara 3,49-88,7 mg O2/L, nilai BOD antara 0,05-3,64 mg O2/L,
nilai COD antara 3,016-39,51 mg O2/L, yang
menunjukkan adanya pencemaran air rawa, dan masih ditemukan kehidupan keong air tawar sebagai hospes perantara pada F.buski yaitu keong jenis Lymnaea dan Indoplanorbis.
Perlu penelitian fasciolopsiasis dan kecacingan trematoda lainnya secara lebih lanjut dan mendalam dari berbagai aspek, yaitu agent, hospes perantara pertama, hospes perantara kedua, hospes definitif, hospes reservoir, lingkungan geografis dan hidrologis, sosial budaya masyarakat, dan aspek pengobatan.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, Kepala Dinas Kesehatan Kab. HSU, Kepala Puskesmas Babirik dan Puskesmas Danau Panggang, dan Kepala Desa Kalumpang Dalam, Desa Sungai Papuyu, dan Desa Telaga Mas, serta Laboratorium Dasar Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru yang berperan serta dalam penelitian. Serta rekan-rekan dan
sejawat lainnya yang telah membantu dan berpartisipasi dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
1. Garcia LS, Bruckner DA. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 1996.
2. Ideham B, Pusarawati S. Helminthologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press. 2002.
3. Sandjaja, Bernardus. Parasitologi Kedokteran: Buku 2, Helminthologi Kedokteran. Prestasi Pustaka, Jakarta. 2007.
4. Zulkoni, Akhsin. Parasitologi. Nuha Medika, Yogyakarta. 2010.
5. Achra et al. Fasciolopsiasis: Endemic Focus of a Neglected Parasitic Disease in Bihar. Indian Journal of Medical Microbiology. 2015;33(3): 364-8. 6. Fiamma et al.Fasciolopsiasis in a Pregnant Patient
with SLE. J Infect Dev Ctries. 2015;9(6): 670-3. 7. Handojo I, Ismulyuwono B. Pencarian dan
Penemuan Bentuk Metaserkaria pada Tumbuhan Air yang Berperan sebagai Inang Perantara II Fasciolopsis buski di Kabupaten Hulu Sungai Utara Profinsi Kalimantan Selatan. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.1988.
8. Anorital, Annida. Hospes Perantara dan Hospes Reservoir Fasciolopsisbuski di Indonesia. J Vektora. 2011;III(2):110-9.
9. Annida. Studi Komprehensif Epidemiologi Fasciolopsiasis dan Pemetaannya di Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2012. Tanah Bumbu. 2013.
10. Anorital. Penyakit Kecacingan Buski (Fasciolopsiasis) di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan, Analisis dari Aspek Epidemiologi dan Sosial Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depatemen Kesehatan RI. 2008. 11. Pescod, M. D. Investigation of Rational Effluen and
Stream Standards for Tropical Countries. A.I.T, Bangkok. 1973; 59.
12. Salmin. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan Teluk Banten. Dalam Foraminifera sebagai Bioindikator Pencemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang, Eds: Djoko P. Praseno, Ricky Rositasari dan S. Hadi Riyono. P3O – LIPI. 2000;
42-6.
13. Jeffries, M, D. Mills. Freshwater Ecology, Principles and Application. John Willey and Sons, Chicester UK. 1996.
14. Swingle, H. S. Standardization of Chemical Analysis for Water and Pond Muds. F.A.O. Fish, Rep. 44, 4. 1968; 379-406.
15. Huet, H. B. N. Water Quality Criteria for Fish Life Biological Problems in Water Pollution. PHS Publ. 1970; 160-7.
16. Salmin. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan, Oseana. 2005; 30(3):21-26.
66 dan Sungai Papuyu, Kecamatan Babirik, Kabupaten
Hulu Sungai Utara”, J Buski. 2014; 5(2):55-60. 18. Hairani B, Annida, Hidayat S, Fakhrizal D.
Identifikasi Serkaria Fasciolopsiasis buski dengan PCR untuk Konfirmasi Hospes Perantara di Kabupaten Hulu sungai Utara, Kalimantan Selatan, Indonesia. J Balaba. 2016;12(1):7-14.
19. Fadhilah, Nur et al. Keanekaragaman Gastropoda Air Tawar di Berbagai Macam Habitat di Kecamatan Tanambulava Kabupaten Sigi. e-Jipbiol. 2013; 2:13-9.