• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENDAHULUAN ILEUS OBSTRUKTIF. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN PENDAHULUAN ILEUS OBSTRUKTIF. doc"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN ILEUS OBSTRUKTIF A. Konsep Dasar Medis

1. Anatomi fisiologi

a. Anatomi

Usus halus membentang dari pylorus hingga katup ileosekal. Panjang usus halus sekitar 12 kaki atau 3,6 meter . usus ini mengisi bagian tengah dan rongga abdomen. Ujung proksimalnya berdiameter sekitar 3,8 cm tetapi makin kebawah garis tengahnya semakin berkurang sampai menjadi sekitar dua cm. usus halus dibagi menjadi duodenum, jejunum dan ileum.

(2)

lapisan-lapisan ini disebut sebagai rongga peritoneum. Omentum memilik lipatan-lipatan yang diberi nama yaitu mesenterium yang merupakan lipatan peritoneum lebar menyerupai kipas yang menggantung jejenum dan ileum dari dinding posterior abdomen, dan memungkinkan usus bergerak dengan leluasa. Omentum majus merupakan lapisan ganda peritoneum yang menggantung dari kurva tura mayor lambung dan berjalan turun kedepan visera abdomen. Omentum biasanya mengandung banyak lemak dan kelenjar limfe yang membantu melindungi peritoneum terhadap infeksi. Omentum minus merupakan lipatan peritoneum yang terbentuk dari kurvatura lambung dan bagian atas duodenum menuju ke hati, membentuk ligamentum suspensorium hepatogastrika dan ligamentum hepatoduodenale .

Usus halus mempunyai dua lapisan lapisan luar terdiri dari serabut serabut longitudinal yang lebih tipis dan lapisan dalam terdiri atas serabut serabut sirkuler. Penataan yang demikian membantu gerakan peristaltic usus halus. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat sedangkan lapisan mukosa bagian dalam tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar yang berfungsi sebagai absorbsi. Lapisan mukosa dan sub mukosa membentuk lipatan-lipatn sirkuler yang disebut sebgai valvula coniventes atau lipatan kercking yang menonjol kedalam lumen sekitar tiga sampai sepuluh millimeter. Villi merupakan tonjolan-tonjolan mukosa seperti jari-jari yang jumlahnya sekitar 4 atau 5 juta yang terdapat di sepanjang usus halus, dengan panjang 0,5 sampai 1,5 mm. Mikrovilli merupakan tonjolan yang menyerupai jari-jari dengan panjang sekitar 1 mm pada permukaan luar setiap villus. Valvula coni ventes vili dan mikrovilli sama sama-menambah luas permukaan absorbsi hingga 1,6 juta cm2.b. Fisiologi

Usus halus memepunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahan-bahan nutrisi dan air. Proses pencernaan yaitu proses pemecahan makanan menjadi bentuk yang dapat tercerna melalui kerja berbagai enzim dalam saluran gastrointestinal. Proses pencernaan dimulai dari mulut dan lambung oleh kerja ptyalin, HCL, Pepsin, mucus dan lipase lambung terhadap makanan yang masuk. Proses ini berlanjut dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pancreas yang menghindrolisis karbohidrat, lemak dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Mucus memberikan perlindungan terhadap asam sekeresi empedu dari hati membantu proses pemecahan dengan mengemulsikan lemak. Sehingga memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pancreas.

(3)

Besi dan kalsium sebagian besar diabsorbsi dalam duodenum dan jejunum. Dan absorbsi kalium memerlukan vitamin D, larut dalam lemak (A,D,E,K) diabsorsi dalam duodenum dengan bantuan garan-garam empedu. Sebagian besar vitamin yang larut dalam air diabsorbsi dalam usus halus bagian atas. Absorbsi vitamin B12 berlangsung dalam ileum terminalis melalui mekanisme transport usus yang membutuhkan factor intrinsic lambung. Sebagian asam empedu yang dikeluarkan kantung empedu kedalam duodenum untuk membantu pencernaan lemak akan di reabsorbsi dalam ileum terminalis dan masuk kembali ke hati. Siklus ini disebut sebagai sirkulasi entero hepatic garam empedu, dan sangat penting untuk mempertahankan cadangan empedu.(Sabara, 2007)

2.Definisi

a. Ileus obstruksi adalah gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus pada traktus intestinal (Price & Wilson, 2007).

b. Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana

merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus (Sabara, 2007).

c. Ileus obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran normal isi usus sedangkan peristaltiknya normal (Reeves, 2005).

d. Obstruksi Ilius adalah gangguan aliran isi usus yang bisa disebabkan oleh adanya mekanik dan non mekanik sehingga terjadi askumuli cairan dan gas di lumen usus.

3. Etiologi

(4)

c. Neoplasma.Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi intralumen, sedangkan tumor metastase atau tumor intra abdominal dapat menyebabkan obstruksi melalui kompresi eksternal.

d. Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus yang mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau pembesaran limphanodus mesentericus dapat sebagai petunjuk awal adanya intususepsi.

e. Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut selama masa infeksi atau karena striktur yang kronik.

f. Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan kongenital, seperti malrotasi usus. Volvulus lebih sering sebagai penyebab obstruksi usus besar.

g. Batu empedu yang masuk ke ileus. Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang menyebabkan batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan obstruksi.

h. Striktur yang sekunder yang berhubungan dengan iskhemia, inflamasi, terapi radiasi, atau trauma operasi.

i. Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan cairan. j. Benda asing, seperti bezoar.

k. Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau hernia Littre. l. Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan kolon kanan sebagai akibat adanya benda seperti mekonium

4. Insiden

Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus obstruksi Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000 menderita ileus obstruksi setiap tahunnya Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut Bank data Departemen Kesehatan Indonesia.

(5)

a. Obstruksi paralitik (ileus paralitik)

Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi kontrol otonom pergerakan usus. Peristaltik tidak efektif, suplai darah tidak terganggu dan kondisi tersebut hilang secara spontan setelah 2 sampai 3 hari.

b. Obstruksi mekanik

Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan ekstrinsik. Obstruksi mekanik digolongkan sebagai obstruksi mekanik simpleks (satu tempat obstruksi) dan obstruksi lengkung tertutup (paling sedikit 2 obstruksi). Karena lengkung tertutup tidak dapat didekompresi, tekanan intralumen meningkat dengan cepat, mengakibatkan penekanan pebuluh darah, iskemia dan infark (strangulasi) sehingga menimbulkan obstruksi strangulate yang disebabkan obstruksi mekanik yang berkepanjangan. Obstruksi ini mengganggu suplai darah, kematian jaringan dan menyebabkan gangren dinding usus.

6. Patofisiologi

(6)

Masalah lain yang timbul dari distensi abdomen adalah penurunan fungsi usus dan peningkatan sekresi sehingga terjadi peminbunan di intra lumen secara progresif yang akan menyebabkan terjadinya retrograde peristaltic sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Bila hal ini tidak ditangani dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebih berdampak pada penurunanan curah jantung sehingga darah yang dipompakan tidak dapat memenuhi kebutuhan seluruh tubuh sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan pada otak, sel dan ginjal. Penurunan perfusi dalam sel menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob yang akan meningkatkan asam laktat dan menyebabkan asidosis metabolic. Bila terjadi pada otak akan menyebabkan hipoksia jaringan otak, iskemik dan infark. Bila terjadi pada ginjal akan merangsang pertukaran natrium dan hydrogen di tubulus prksimal dan pelepasan aldosteron, merangsang sekresi hidrogen di nefron bagian distal sehingga terjadi peningaktan reabsorbsi HCO3- dan penurunan kemampuan ginjal untuk membuang HCO3. Hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis metabolic. (Price &Wilson, 2007)

(7)

7. Manifestasi Klinik

a. Mekanik sederhana – usus halus atas

Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah, peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.

(8)

Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat, bising usus meningkat, nyeri tekan abdomen.

c. Mekanik sederhana – kolon

Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir, kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.

d. Obstruksi mekanik parsial

Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya kram nyeri abdomen, distensi ringan dan diare.

e. Strangulasi

Gejala berkembang dengan cepat: nyeri hebat, terus menerus dan terlokalisir, distensi sedang, muntah persisten, biasanya bising usus menurun dan nyeri tekan terlokalisir hebat. Feses atau vomitus menjadi berwarna gelap atau berdarah atau mengandung darah samar. (Price &Wilson, 2007)

 Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada (Winslet,2002;

c. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah, peningkatan hitung SDP dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar serum amilase karena iritasi pankreas oleh lipatan usus.

d. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolic.

9. Penatalaksanaan

Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.

a. Resusitasi

(9)

b. Farmakologis

Pemberian obat - obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.

c. Operatif

Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi. Berikut ini beberapa kondisi atau pertimbangan untuk dilakukan operasi: Jika obstruksinya berhubungan dengan suatu simple obstruksi atau adhesi, maka tindakan lisis yang dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi maka reseksi intestinal sangat diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam cara/tindakan bedah yang dilakukan pada obstruksi ileus:

1) Koreksi sederhana (simple correction).

Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.

2) Tindakan operatif by-pass.

Membuat saluran usus baru yang “melewati” bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.

3) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.

4) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinoma colon, invaginasi, strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis.

10. Komplikasi

a. Nekrosis usus, perforasi usus, dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama pada organ intra abdomen.

b. Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan cepat. c. Syok-dehidrasi, terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.

d. Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi, karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.

e. Pneumonia aspirasi dari proses muntah,

f. Gangguan elektrolit, karena terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit pada usus.

(10)

B. Konsep Dasar Keperawatan

PENGKAJIAN

1) Identitas Pasien

2) Keluhan utama pasien

Nyeri pada daerah luka post operasi.

3) Riwayat penyakit sekarang (sesuai pola PQRST)

Klien masuk RS tanggal 28 Mei 2003 jam 18.00 Wita dan langsung dilakukan operasi cyto jam 21.00 Wita. Saat pengkajian tanggal 29 Mei 2003 klien mengeluh nyeri pada daerah luka post operasi seperti diiris-iris dan ditusuk-tusuk, nyeri terasa sampai ke samping kiri/ kanan perut nyeri lebih terasa apabila klien melakukan pernafasan perut. Nyeri ilang apabila klien tenang dan tidak merasa tegang pada daerah perut. Intensitas nyeri ± 3 – 5 menit.

4) Riwayat penyakit dahulu.

Klien pernah menderita penyakit yang sama dengan riwayat operasi 2 kali yaitu pada tahun 2001 di RSUD Ulin, 2002 di RS Islam dan yang terakhir di RSUD Ulin, tidak ada riwayat hypertensi, penyakit menular ataupun keganasan.

5) Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada diantara anggota keluarga yang mengalami sakit seperti klien, tidak ada diantara keluarga yang mempunyai riwayat hypertensi, penyakit menular atau keganasan.

 Diagnostik Test

1) Pemeriksaan sinar X: akan menunjukkan kuantitas abnormal dari gas dan cairan dalam usus.

2) Pemeriksaan simtologi

3) Hb dan PCV: meningkat akibat dehidrasi 4) Leukosit: normal atau sedikit meningkat

5) Ureum dan eletrolit: ureum meningkat, Na+ dan Cl- rendah 6) Rontgen toraks: diafragma meninggi akibat distensi abdomen

7) Rontgen abdomen dalam posisi telentang: mencari penyebab (batu empedu, volvulus, hernia).

8) Sigmoidoskopi: menunjukkan tempat obstruktif.

Pemeriksaan fisik pada pasien ileus obstruksi 1. Inspeksi

(11)

harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen. Terkadang dapat dilihat gerakan peristaltik usus (Gambar 2.4) yang bisa bekorelasi dengan mulainya nyeri kolik yang disertai mual dan muntah. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu serangan kolik (Sabiston, 1995; Sabara, 2007)

2. Palpasi

Pada palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum

apapun atau nyeri tekan, yang mencakup ‘defance musculair’ involunter

atau rebound dan pembengkakan atau massa yang abnormal (Sabiston, 1995; Sabara, 2007).

3. Auskultasi

Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush’) diantara masa tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bisa juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus obstruksi strangulata (Sabiston, 1995).

Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rektum dan pelvis. Ia bisa membangkitkan penemuan massa atau tumor serta tidak adanya feses di dalam kubah rektum menggambarkan ileus obstruktif usus halus. Jika darah makroskopik atau feses postif banyak ditemukan di dalam rektum, maka sangat mungkin bahwa ileus obstruktif didasarkan atas lesi intrinsik di dalam usus (Sabiston, 1995). Apabila isi rektum menyemprot; penyakit Hirdchprung (Anonym, 2007).

2. Diagnosa Keperawatan

a. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya mual, muntah, demam dan diaforesis.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi. c. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen

d. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas usus. e. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen

f. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

3. Perencanaan Keperawatan

a. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya mual, muntah, demam dan diaforesis.

(12)

Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi, Mempertahankan hidrasi adekuat dengan bukti membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler baik, tanda-tanda vital stabil, dan secara individual mengeluarkan urine dengan tepat.

 Kriteria hasil:

1. Tanda vital normal (N:70-80 x/menit, S: 36-37 C, TD: 110/70 -120/80 mmHg) 2. Intake dan output cairan seimbang

3. Turgor kulit elastic 4. Mukosa lembab

5. Elektrolit dalam batas normal (Na: 135-147 mmol/L, K: 3,5-5,5 mmol/L, Cl: 94-111 mmol/L).

Intervensi Rasional

1. Kaji kebutuhan cairan pasien

2. Observasi tanda-tanda vital: N, TD, P, S

3. Observasi tingkat kesadaran dan tanda-tanda syok

4. Observasi bising usus pasien tiap 1-2 jam

5. Monitor intake dan output secara ketat

6. Pantau hasil laboratorium serum elektrolit, hematokrit

7. Beri penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang

2. Perubahan yang drastis pada tanda-tanda vital merupakan indikasi kekurangan cairan.

3. kekurangan cairan dan elektrolit dapat mempengaruhi tingkat kesadaran dan mengakibatkan syok.

4. Menilai fungsi usus

5. Menilai keseimbangan cairan

6. Menilai keseimbangan cairan dan elektrolit

7. Meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga serta kerjasama antara perawat-pasien-keluarga.

8. Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit pasien.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi. Tujuan :

Berat badan stabil dan nutrisi teratasi.  Kriteria hasil :

1. Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi. 2. Berat badan stabil.

(13)

Intervensi Rasional 1. Tinjau faktor-faktor individual

yang mempengaruhi

kemampuan untuk mencerna makanan, mis: status puasa, mual, ileus paralitik setelah selang dilepas.

2. Auskultasi bising usus; palpasi abdomen; catat pasase flatus.

3. Identifikasi kesukaan / ketidaksukaan diet dari pasien. Anjurkan pilihan makanan tinggi protein dan vitamin C.

4. Observasi terhadap terjadinya diare; makanan bau busuk dan berminyak.

5. Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan sesuai indikasi: Antimetik, mis: proklorperazin (Compazine). Antasida dan inhibitor histamin, mis: simetidin (tagamet).

1. Mempengaruhi pilihan intervensi.

2. Menentukan kembalinya peristaltik ( biasanya dalam 2-4 hari ).

3. Meningkatkan kerjasama pasien dengan aturan diet. Protein/vitamin C adalah kontributor utuma untuk pemeliharaan jaringan dan perbaikan. Malnutrisi adalah fator dalam menurunkan pertahanan terhadap infeksi. 4. Sindrom malabsorbsi dapat

terjadi setelah pembedahan usus halus, memerlukan evaluasi lanjut dan perubahan diet, mis: diet rendah serat.

5. Mencegah muntah.

Menetralkan atau menurunkan pembentukan asam untuk mencegah erosi mukosa dan kemungkinan ulserasi.

c. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen Tujuan :

pola nafas menjadi efektif  Kriteria hasil :

pasien memiliki pola pernafasan: irama vesikuler, frekuensi: 18-20x/menit

Intervensi Rasional

1. Observasi TTV: P, TD, N,S 1. Perubahan pada pola nafas akibat adanya distensi abdomen

dapat mempengaruhi

(14)

Intervensi Rasional 2. Kaji status pernafasan: pola,

frekuensi, kedalaman

3. Kaji bising usus pasien

4. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat

5. Observasi adanya tanda-tanda hipoksia jaringan perifer: cianosis

6. Monitor hasil AGD

7. Berikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyebab terjadinya distensi abdomen yang dialami oleh pasien

8. Laksanakan program medic pemberian terapi oksigen

2. Adanya distensi pada abdomen dapat menyebabkan perubahan pola nafas.

3. Berkurangnya/hilangnya bising usus menyebabkan terjadi distensi abdomen sehingga mempengaruhi pola nafas. dan kerjasama dengan keluarga pasien.

8. Memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien

d. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas usus. Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola eliminasi kembali normal.  Kriteria hasil:

Pola eliminasi BAB normal: 1x/hari, dengan konsistensi lembek, BU normal: 5-35 x/menit, tidak ada distensi abdomen.

Intervensi Rasional

1. Kaji dan catat frekuensi, warna dan konsistensi feces

2. Auskultasi bising usus

3. Kaji adanya flatus

4. Kaji adanya distensi abdomen

(15)

Intervensi Rasional

5. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga penyebab terjadinya gangguan dalam BAB

5. Meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga serta untuk meningkatkan kerjasana antara perawat-pasien dan keluarga. 6. Membantu dalam pemenuhan

kebutuhan eliminasi

e. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen Tujuan :

rasa nyeri teratasi atau terkontrol

 Kriteria hasil:

pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan relaks. menggunakan tehnik pengalihan saat merasa nyeri hebat.

6. Kolaborasi dengan medic untuk terapi analgetik

1. Nyeri hebat yang dirasakan pasien akibat adanya distensi abdomen dapat menyebabkan peningkatan hasih TTV.

2. Mengetahui kekuatan nyeri yang dirasakan pasien dan menentukan tindakan selanjutnya guna mengatasi nyeri.

(16)

Kecemasan teratasi.

peningkatan kecemasan: wajah tegang, gelisah sehubungan dengan keadaan penyakit pasien

4. Berikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa takut atau kecemasan yang memberikan support kepada pasien mengurangi tingkat kecemasan pasien dan meningkatkan kerjasama

4. Dengan mengungkapkan kecemasan akan mengurangi rasa takut/cemas pasien

5. Lingkungan yang tenang dan nyaman dapat mengurangi stress pasien berhadapan dengan penyakitnya

6. Support system dapat mengurani rasa cemas dan menguatkan pasien dalam memerima keadaan sakitnya.

4. Evaluasi

Hasil yang diharapkan sesuai diagnose keperawatan 1. Tidak ada atau nyeri abdomen berkurang

2. Menunjukkan tanda-tanda keseimbangan cairan elektrolit

3. Membuat pola eliminasi sesuai kebutuhan fisik dan gaya hidup dengan ketetapan jumlah dan konsistensi

4. Mendapat nutrisi yang optimal 5. Tidak adanya depresi pernafasan 6. Tidur/istirahat tidak ada gangguan

(17)
(18)

DAFTAR PUSTAKA

Donna Ignatavician, (2006). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis Missouri: Elsevier Sounders

Lewis Heitkemper Diksen, (2007). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis Missouri: Mosby Elsevier.

Price &Wilson, (2007). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6, Volume1. Jakarta: EGC.

Referensi

Dokumen terkait