• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTIK PENGEMBANGAN DESA TANGGUH DI PRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PRAKTIK PENGEMBANGAN DESA TANGGUH DI PRO"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTIK PENGEMBANGAN DESA TANGGUH DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DAN JAWA TENGAH OLEH PERKUMPULAN LINGKAR

Oleh: Untung Tri Winarso, M.Si

LATAR BELAKANG

Paradigma penanggulangan bencana sudah beralih dari paradigma bantuan darurat menuju ke paradigma mitigasi/preventif dan sekaligus juga paradigma pembangunan karena setiap upaya pencegahan dan mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksinya telah diintegrasikan dalam program-program pembangunan di berbagai sektor. Dalam paradigma sekarang, Pengurangan Risiko Bencana yang merupakan rencana terpadu yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah serta meliputi aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Dalam implementasinya kegiatan pengurangan risiko bencana nasional akan disesuaikan dengan rencana pengurangan risiko bencana pada tingkat regional dan internasional di mana masyarakat merupakan subyek, sekaligus sasaran utama upaya pengurangan risiko bencana dan berupaya mengadopsi dan memperhatikan kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang ada dan berkembang dalam masyarakat.

Sebagai subyek, masyarakat diharapkan dapat aktif mengakses saluran informasi formal dan non-formal, sehingga upaya pengurangan risiko bencana secara langsung dapat melibatkan masyarakat. Pemerintah bertugas mempersiapkan sarana, prasarana dan sumber daya yang memadai untuk pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana. Dalam rangka menunjang dan memperkuat daya dukung setempat, sejauh memungkinkan upaya-upaya pengurangan risiko bencana akan menggunakan dan memberdayakan sumber daya setempat. Ini termasuk tetapi tidak terbatas pada sumber dana, sumber daya alam, ketrampilan, proses-proses ekonomi dan sosial masyarakat. (Lingkar, 2010)

Tiga hal penting terkait dengan perubahan paradigma ini, yaitu: 1) penanggulangan bencana tidak lagi berfokus pada aspek tanggap darurat tetapi lebih pada keseluruhan manajemen risiko, 2) perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud pemenuhan hak asasi rakyat dan bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah, 3) penanggulangan bencana bukan lagi hanya urusan pemerintah tetapi juga menjadi urusan bersama masyarakat dan lembaga usaha, dimana pemerintah menjadi penanggungjawab utamanya.

Prakarsa atau inisiatif lokal dari masyarakat dipercaya efektif untuk mengurangi risiko bencana, sebab masyarakatlah yang memahami wilayah dan kebutuhannya serta mampu menggunakan kemampuannya bagi perubahan diri dan lingkungannya. Komunitas sebagai pelaku utama dalam menggali informasi, menganalisis, menyimpulkan, merencanaan, melaksanaan, memantau dan mengevaluasi kegiatan untuk mengurangi kerentanannya sekaligus meningkatkan kemampuannya. Pengembangan Desa Tangguh dilaksanakan untuk mencapai komunitas yang mampu mengelola risiko dengan memaksimalkan sumber daya yang ada di komunitas tersebut. Dengan pendekatan desentralisasi peran dalam penanggulangan bencana akan membuka ruang partisipasi komunitas mewujudkan dasa yang tangguh yang diartikan sebagai komunitas desa yang dapat mengelola tekanan atau kekuatan yang menghancurkan (menyerap, mengurangi, menahan, mengalihkan, menghindar, adaptasi) dengan mempertahankan struktur dan fungsi aset penghidupan untuk memulihkan diri setelah bencana.

 Dimuat dalam Konfrensi Nasional PRBBK VII, disampaikan pada “Lokakarya Desa Tangguh dalam Perspektif Manajemen Bencana di Indonesia” PSBA-UGM, 30 Desember 2011.

(2)

Pendekatan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK) merupakan kerangka kerja untuk mewujudkan komunitas yang mampu mengelola risiko bencana dengan memobilisasi sumber daya yang dimiliki dengan menekan keterlibatan pihak luar (external input), lebih dari itu diharapkan masyarakat memiliki daya pegas untuk dapat segera bangkit dari kondisi keterpurukan akibat/dampak bencana. Rangkaian kerja dalam PRBBK diantaranya pengkajian ancaman—kerentanan—kapasitas— risiko, pemaduan PRB di dalam perencanaan pembangunan, pembentukan forum PRB desa, perencanaan penanggulangan bencana, aksi PRB komunitas, serta adaya upaya pelembagaan pada sistem dan mekanisme yang telah mapan di masyarakat.

Maka pelaksanaan program secara khusus bertujuan untuk melindungi masayarakat yang rentan terhadap bencana sekaligus melindungi aset-aset penghidupan mereka dari dampak yang merugikan akibat bencana dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, di sisi lain untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dan pemerintah serta meningkatkan kerjasama lintas sektor.

Pengembangan Desa Tangguh dilaksanakan di 4 Desa, yaitu Desa Pengkok Kecamatan Patuk dan Desa Sampang Kecamatan Gedangsari, keduanya di Kabupaten Gunungkidul Provinsi DIY; Desa Negarajati Kecamatan Cimanggu dan Desa Panulisan Barat Kecamatan Dayeuhluhur, keduanya di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Kejadian bencana gempa bumi di DIY dan Jawa Tengah khususnya di Desa Pengkok dan Sampang (2006), Panulisan Barat (2009) dan tanah longsor di Desa Negarajati (2009) serta banjir di Desa Panulisan Barat (2005) telah mengakibatkan kerugian jiwa maupun kerusakan harta benda, lahan penghidupan dan infrastruktur desa. Dari kejadian bencana di atas, komunitas diharapkan dapat mengambil hikmah pembelajaran dengan meningkatkan kapasitas dan mengorganisir diri agar lebih aman dengan upaya-upaya pengurangan risiko bencana.

PEMADUAN DALAM PEMBANGUNAN

Pengembangan praktik-praktik PRB yang terpadu dengan pembangunan menjadi penting agar masyarakat lebih aman terhadap ancaman bencana, pada saat yang sama masyarakat dapat lebih cepat pulih dari kondisi keterpurukan ekonomi, sosial, infrasatruktur, dan lingkungan. Sebab sudah menjadi perhatian umum, bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan risiko bencana dapat menambah kerentanan dan dapat menimbulkan bencana, bencana juga dapat meruntuhkan dan merugikan hasil-hasil pembangunan. Pada konteks yang berbeda alokasi pembangunan yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terkonsentrasi atau terkurangi untuk memperbaiki infrasturktur yang hilang atau rusak. Upaya-upaya PRB tersebut diawali dari perubahan paradigma penanggulangan bencana yang responsif-reaktif menuju preventif-terencana yang terpadu dalam perencanaan pembangunan desa.

Sedangkan hubungan antara bencana dan pembangunan memberikan indikasi sedikitnya empat tema dasar (UNDP & UNDRO, 1992), yaitu:

1. Bencana menunda program pembangunan dengan menghancurkan berbagai inisiatif pembangunan yang telah dilakukan bertahun-tahun, misalnya untuk perbaikan insfrastruktur transportasi dan sarana lain yang hancur

2. Pembangunan kembali setelah suatu bencana memberikan peluang peluang yang signifikan untuk memulai program-program baru, misalnya program perumahan mandiri untuk membangun kembali rumah yang rusak akibat gempa bumi, selain itu untuk mengajarkan ketrampilan baru, memperkuat kepemimpinan komunitas, dan menjaga dana pembangunan agar tidak diekspor ke perusahaan

3. Program-program pembangunan dapat meningkatkan kerentanan suatu daerah terhdap bencana, misalnya peningkatan yang besar pada peternakan yang berpengaruh pada desertifikasi (perubahan fungsi hutan)

(3)
(4)

Gambar. Kuadran pembangunan dan bencana

Pembangunan Pembangunan dapat

meningkatkan kerentanan

Pembangunan dapat mengurangi

kerentanan

Bencana dapat memundurkan Pembangunan

Bencana dapat memberikan peluang Pembangunan Bencana

Akhirnya, pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas dengan dukungan multi-pihak terutama pemerintah sebagai pemanggul tugas (duty bearer) dapat menjamin pembangunan yang berkelanjutan dan komunitas yang tangguh, meskipun kemampuan masyarakat dalam mengelola risiko bencana tetap menjadi pondasi utama.

CITA-CITA DESA TANGGUH

Adalah hak setiap warga negara/masyarakat untuk mendapatkan jaminan negara atas perlindungan dan rasa aman. Dalam konteks kebencanaan, upaya penanggulangan bencana menjadi perwujudan dan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memberikan kepastian perlindungan dan rasa aman masyarakat. Ini sejalan dengan amanat UU PB No 24 Tahun 2007. Meski demikian, masyarakat juga wajib mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki yang didukung dengan komitmen semua pihak yang berkepentingan dalam penanggulangan bencana. Pengerahan sumber daya tersebut salahsatunya diwujudkan dalam sebuah kelompok/organisasi (CBO) yang terlibat aktif dalam kegiatan pengurangan risiko bencana (PRB), dimana komunitas sebagai pelaku utama dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan risiko bencana dengan melakukan analisis, identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan dalam setiap tahapan penanggulangan bencana.

Mengutip dari dokumen UN-ISDR (UN-ISDR, Geneva 2004), resilience merupakan “Kapasitas sebuah sistem, komunitas atau masyarakat, yang berpotensi terpapar bahaya, untuk menyesuaikan diri terhadap ancaman, memiliki mekanisme bertahan (coping mechanism) dan mampu memulihkan diri terhadap dampak bencana. Kapasitas tersebut ditentukan oleh sejauh mana sistem sosial yang ada mampu mendorong masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri dalam meningkatkan kapasitas belajarnya dari bencana yang lalu demi perlindungan yang lebih baik di masa depan serta mampu meningkatkan tindakan-tindakan peredaman risiko.”

Kemampuan komunitas yang mampu mengelola risikonya menjadi tujuan dalam PRBBK atau dalam pengertian lain komunitas sebagai pelaku utama mewujudkan ketahanan/ketangguhan terhadap bencana. Definisi umum yang banyak dipakai untuk menjelasakan ‘ketahanan atau ketangguhan’ adalah komunitas yang memiliki kemampuan untuk: mengantisipasi, mengurangi dan menyerap tekanan atau kekuatan destruktif yang potensial melalui adaptasi atau perlawanan; mengelola atau mempertahankan fungsi dasar dan struktur tertentu selama terjadi bencana; memulihkan atau 'bangkit kembali' atau ‘melenting balik’ setelah terjadi bencana (John Twigg, 2009).

Tujuan akhir dari pengurangan risiko bencana adalah untuk membentuk ketahanan atau ketangguhan masyarakat terhadap ancaman bencana. Ketangguhan (resilience) secara bahasa bermakna daya

(5)

pegas, dapat diartikan juga bouncing back atau to jump back, sehingga diartikan melenting balik atau kemampuan untuk kembali pada keadaan semula (Paton, 2006).

Pada masyarakat yang terkena dampak dari bencana, makna melenting balik adalah kemampuan untuk kembali pada keadaan semula sebelum bencana terjadi pada kehiduan normal secara sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pada level komunitas, komunitas tangguh adalah komunitas yang berdaya, komunitas yang bisa mengelola ancaman dan kerentanan yang dimiliki dengan kemampuan dan sumber daya yang ada, sehingga dapat menurunkan risiko sampai pada titik yang diinginkan. Tangguh artinya pada titik intervensi luar yang minimal. Komunitas yang tangguh memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak bencana secara fisik untuk melindungi lingkungan dan kehidupan (seperti perencanaan tata guna lahan, aturan pembangunan rumah) kepastian ekonomi, bisnis dan keberlanjutan administrasi (termasuk manajemen bencana dan keberfungsian sosial), dan keberlanjutan lingkungan.

Komunitas yang tangguh berarti juga komunitas yang memiliki adaptasi terhadap bahaya yang menekankan pada kemampuan komunitas untuk mempergunakan kemampuan personal dan sumber daya sosial untuk mengelola kebutuhan, tantangan dan merubah kenyataan. Ketahanan berarti memberikan penekanan yang lebih besar pada apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat bagi diri mereka sendiri dan pada cara-cara untuk memperkuat kapasitas mereka, alihalih memusatkan perhatian pada kerentanan mereka terhadap bencana atau kebutuhan-kebutuhan mereka dalam situasi darurat. Dari pengertian diatas, kapasitas beradaptasi terbagi menjadi dua elemen: Pertama, mencurahkan perhatian pada sumber daya yang telah ada untuk mengatasi kerugian yang ditimbulkan dari bahaya; Kedua, sistem dan kemampuan yang diperlukan individu dan komunitas untuk berkoordinasi dan mempergunakan sumber daya untuk menghadapi keadaan dan beradaptasi dengan ancaman bahaya (Paton, 2008).

Ketangguhan atau ketahanan masyarakat dalam arti yang lebih luas bermakna tindakan baik seseorang dan komunitas dapat beradaptasi untuk merubah realitas dan mempergunakan kemungkinan baru yang ditawarkan, dengan kata lain seseorang ataupun komunitas memiliki kemampuan (kapasitas) untuk beradaptasi (Klein, Nicholls & Thomalla, 2003) dan mengembangkan kapasitas dengan pembelajaran (Paton, 2006). Untuk mencapai ketangguhan, individu, komunitas, atau institusi sosial yang terkena dampak bencana harus sadar untuk mengembangkan dan mengelola sumber daya .

‘Masyarakat yang tahan bencana’ adalah sesuatu yang lebih bersifat cita-cita. Tidak ada masyarakat yang sepenuhnya aman dari bahaya alam ataupun bahaya-bahaya terkait kegiatan manusia. Mungkin dapat membantu bila kita membayangkan suatu masyarakat yang tahan bencana atau tangguh terhadap bencana sebagai ‘sebuah masyarakat dengan tingkat keamanan tertinggi yang kita ketahui memiliki kemampuan merancang dan membangun dalam lingkungan yang mengandung risiko bahaya alam’, yang meminimalkan kerentanannya dengan memaksimalkan penerapan langkah-langkah PRB. Dengan demikian PRB merupakan gabungan aksi-aksi, atau proses, yang dilaksanakan dalam rangka mencapai ketahanan. (Geis DE, dalam John Twigg, 2009)

Maka dapat diambil satu kesimpulan awal bahwa masyarakat/komunitas yang tangguh atau memiliki ketahanan/kemampuan meredam, mengelola, mengurangi akibat bencana yang dapat memapar dirinya karena segera memiliki daya pegas atau keseimbangan baru untuk memulihkan fungsi-fungsi dan struktur menggunakan sumberdayanya sendiri secara bijaksana, serta memastikan fungsi dan struktur tersebut tetap berlanjut untuk penghidupan mereka. Inisiasi pihak luar diposisikan mendorong komunitas akar rumput memiliki kemampuan untuk mengelola risiko di tingkat lokal dengan memaksimalkan sumber daya internal dan meminimalkan sumber daya eksternal.

(6)

Pelaksanaan program Desa Tangguh Lingkar ini menggunakan pendekatan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). PRBBK merupakan suatu kerangka kerja pengembangan komunitas yang diselenggarakan oleh komunitas itu sendiri dengan mengembangkan kemampuan untuk mengenali dan mengelola ancaman, mengurangi kerentanan, mengelola sumber-sumber daya secara sistematis dan terpadu dalam upaya pembangunan yang berkelanjutan tanpa menciptakan ketergantungan untuk menurunkan risiko bencana, sehingga masyarakat menjadi lebih aman dan memiliki ketahanan terhadap bencana.

Penerapan pengurangan risiko bencana mengasumsikan bahwa: a) Komunitas dan kelompok paling rentan adalah aktor utama/kunci dalam PRBBK, b) Tidak ada yang lebih berkepentingan dalam memahami masalah bencana di tingkat komunitas sendiri yang kerap bertahan dan bertaruh dengan bencana, c) Komunitas lokal memiliki kesempatan untuk lebih mengetahui tantangan, ancaman, hambatan dan kekuatan lokal dalam menghadapi bencana, d) Sumber daya lokal dalam penanganan bencana (maupun pembangunan) layak diasah dan dikembangkan secara berkelanjutan, e) Pengalaman PRBBK di komunitas tertentu dapat dimodifikasi, direvisi, dan disesuaikan di tempat lain. Kelompok rentan sebagai aktor utama, tidak diartikan sebagai satu-satunya kelompok target akan tetapi kelompok-kelompok lain (“tidak rentan”) dapat menjadi kelompok pendukung pada saat bencana terjadi/ mengenai kelompok rentan.

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi PRBBK adalah: 1) Partisipasi bermakna, dengan mengandaikan partisipasi pihak rentan laki-laki dan perempuan; anak-anak, tua-renta, cacat, ras marginal, dan sebagainya; 2) “bottom up” bukan “top down”, komunitas memiliki akses dan kontrol, pendekatan inklusif yang menghadirkan rasa memiliki (komunitas) terhadap sistem penanganan bencana yang sudah/sedang/akan dibangun; 3) Konsep “dari, oleh dan untuk” masyarakat dalam keseluruhan proses, partisipasi penuh dalam merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi – komunitas bukan sekedar penyumbang dana atau bergotong royong; 4) Masyarakat yang mengontrol sistem (bukan dikontrol sistem PRB).

Untuk memastikan keberhasilan program, strategi yang digunakan yaitu: Pengarusutamaan Gender; Peningkatan Kapasitas; Penghidupan Berkelanjutan; Pembangunan Berkelanjutan; Pengkajian Risiko Bencana secara Partisipatif; Integrasi PRB dalam Perencanaan Pembangunan; Keberlanjutan Program dan Pelembagaan.

PROSES DAN PELAKSANAAN

Riset Aksi Partisipatoris Kajian HVCA

Kegiatan ini berbentuk kajian-kajian bersama masyarakat untuk mengenali dan menganalisis ancaman, kerentanan, kapasitas, identifikasi dan penilaian risiko yang ada di komunitas yang menghasilkan profil risiko komunitas, dilengkapi dengan pembedaan risiko berdasarkan gender dan pandangan perempuan atas kerentanan dan risiko. Profil risiko kumunitas ini sebagai dasar penyusunan perencanaan pembangunan desa, Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), Rencana Aksi Masyarakat (RAK), dan Rencana Kontijensi. Lebih dari itu, dengan mengenali risiko, komunitas dapat melakukan upaya Pengurangan Risiko Bencana dalam kehidupan sehari-hari secara mandiri.

Kajian Manajemen Risiko dan kajian Building Code

Kegiatan ini dilakukan untuk menganalisis kerugian pada sektor penghidupan dengan melakukan kajian proyeksi kerusakan dan kerugian (damage and loses assesment). Serial kajian dilengkapi dengan kajian strategi adaptasi, agar masyarakat dapat melindungi aset-aset penting dalam penghidupan dan melakukan adaptasi dalam mengadapi bencana dan perubahan iklim sebagai strategi awal penghidupan berkelanjutan.

(7)

pembangunan gedung dan bangunan pemukiman dipadukan dengan peraturan dan standar-standar dari pemerintah. Pelaksanaannya dilakukan dengan tahapan sebagai berikut; mengidentifikasi ancaman dan akibatnya, menggali pengetahuan warga mengenai standar-standar yang umum dilakukan, menyelaraskan dengan peraturan yang ada.

Hasil kajian ini berupa dokumen building code yang berisi tentang gambaran profil ancaman yang berpengaruh terhadap bangunan gedung (rumah tinggal dan fasilitas umum) dan sejarah bencana, persyaratan umum mengenai; lokasi, administratif, kemudahan akses, sosial budaya, material dan kontruksi, air bersih dan sanitasi, serta pelaksana pembangunan. Dokumen building code menjadi dokumen desa sebagai rekomendasi dan atau acuan desa dan warga masyarakat dalam mendirikan bangunan yang aman.

Pengarusutamaan PRB dalam Pembangunan Desa

Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana dalam pembangunan adalah upaya menjadikan PRB sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam perencanaan pembangunan desa dan kebijakan-kebijakan sektoral. Bagi desa yang belum menyusun RPJMDesa dapat secara langsung memasukkan program PRB yang beririsan dengan bidang-bidang atau berdiri sendiri sebagai bidang kebencanaan, sedangkan bagi desa-desa yang sudah memiliki RPJMDesa dapat melakukan revisi atau perubahan.

Proses integrasi melalui tiga tahapan. Pertama, tahap input, dimulai dari penilaian masalah dan potensi desa menggunakan perangkat penilaian desa secara partisipatif/PRA (transek, sketsa desa, kalender musim, diagram kelembagaan), dalam tahap input ini masyarakat terlibat dalam diskusi membahas potensi, masalah, dan ancaman yang ada di desa yang menghasilkan daftar masalah dan potensi atau profil desa sebagai dasar penyusunan kebijakan dan program, profil risiko bencana desa menjadi pertimbangan untuk mengintegrasikan PRB dalam perencanaan pembangunan desa. Kedua, tahap proses, dengan melakukan lokakarya desa dengan pengelompokan masalah, pemeringkatan masalah, pengkajian alternatif tindakan, dan penyusunan program dan kegiatan pembanguman desa yang mengarusutamakan PRB dalam bidang-bidang program yang selanjutnya disusun draft perdes RPJM. Ketiga, dilaksanakan musrenbangdes untuk mengkonfirmasi, menggali input, dan memprioritaskan program. Keempat,

tahap hasil, setelah RPJMDesa direvisi berdasarkan saran dan masukan masyarakat Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa mengesahkan RPJMDesa. Proses penyusunan perencanaan pembangunan desa berdasarkan mekanisme dalam Permendagri No. 66 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa.

Perencanaan pembangunan desa yang mengintegrasikan PRB didasari dengan pendekatan perencanaan yang mengacu pada UU No. 25 Tentang Sistem Perencaan Pembangunan Nasional, yaitu: pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, dan atas bawah (top down) dan bawah atas (bottom up) dengan prinsip berkesinambungan, holistik, mengandung sistem yang dapat berkembang (a learning and adaptive system), serta terbuka dan demokratis (a pluralistic social setting).

Kegiatan ini juga disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintahan desa guna mendorong terciptanya kebijakan-kebijakan yang mengarusutamakan PRB dengan memperbaharui profil dusun dan desa, pelatihan penyusunan RPJM Desa sesuai dengan Permendagri No. 66/2007 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa, pelatihan penyusunan Perdes, dan Manajemen Pemerintahan Desa, serta pendampingan penyusunan RPJM Desa. Disamping hal diatas, untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan dengan mengadakan pelatihan public speaking.

(8)

Setelah risiko bencana telah dikaji dan risiko prioritas telah ditetapkan sebagai dasar perencanaan pengurangan risiko bencana, komunitas menyusun perencanaan penanggulangan bencana/PRB yang didahului dengan rembug (musyawarah) warga untuk memperoleh kesepakatan (road map) guna mewujudkan desa yang tangguh. Kesepakatan-kesepakatan tersbut ditindaklanjuti dengan menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), Rencana Aksi Komunitas (program pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan), dan Rencana Kontinjensi termasuk pembentukan Forum PRB Desa yang beranggotakan perwakilan multi-pihak untuk memastikan upaya PRB secara lintas sektor dan kepentingan bersama seluruh komponen masyarakat. Fasilitasi mendorong proses perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring serta evaluasi aksi sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat dengan mekanisme dari-oleh-untuk masyarakat, yang sekaligus sebagai media belajar dari dan antar masyarakat dalam mengelola risiko.

Aksi Komunitas

Rencana aksi komunitas (RAK) PRB yang telah disepakati diaplikasikan dalam aksi komunitas pengurangan risiko bencana dalam program pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan oleh komunitas secara partisipatif yang dimotori oleh Forum PRB dengan harapan terjadi mobilisasi sumber daya komunitas secara maksimal dengan kontribusi dari berbagai pihak (pemerintah kabupaten, institusi vertikal, pemerintah desa, pihak swasta) sesuai tanggung jawab dan tugas masing-masing untuk menuju desa yang tangguh. Tindakan pengelolaan risiko bencana tersebut diantaranya:

Peredaman ancaman/pencegahan

Serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.Diantaranya:

 Pembuatan tanggul

 Rehabilitasi lahan dengan melakukan rehabilitasi lahan (reboisasi, terasiring, dan penanaman vegetasi penutup lahan) terutama pada lahan-lahan kritis untuk ancaman longsor dan kekeringan

Fogging untuk ancaman Demam Berdarah

Rehabilitasi dilakukan pada kawasan hutan produksi Perum. Perhutani RPH Cimanggu BKPH Majenang yang masuk dalam wilayah KPH Banyumas Barat yang menjadi titik longsor (2009) dan berpotensi longsor kembali. Forum PRB Desa Negarajati sedang mendesak Perhutani memenuhi kewajibannya dalam pengelolaan hutan untuk mengurangi risiko bencana tanah longsor, diantaranya dengan melakukan rehabilitasi lahan dengan reboisasi dan terasiring, mendesak perubahan status hutan menjadi kawasan lindung terutama pada lahan yang sangat berpotensi longsor dan dekat dengan pemukiman, serta keterlibatan dalam tindakan kesiapsiagaan dengan menyediakan alat peringatan dini dan keterlibatan dalam sistem peringatan dini tanah longsor.

Mitigasi

Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Diantaranya yaitu:

 Legalisasi Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi Komunitas (RAK)

PRB dengan Peraturan Desa

 Penetapan kawasan lindung hutan untuk konservasi lahan dan air

 Perbaikan dan pembuatan sarana air bersih, Penampungan Air Hujan (PAH)

 Pembuatan peta ancaman, peta jalur evakuasi dan tanda evakuasi

(9)

 Pembangunan kebun bibit komunitas

 Pengembangan usaha produktif rumah tangga

 Peningkatan ketrampilan pengolahan hasil-hasil pertanian; budidaya dan pengolahan empon-empon, umbi-umbian, sale pisang, dll.

Kesiapsiagaan

Program dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat.Diantaranya yaitu:

 Adanya Radio komunitas (DeTa FM) di Desa Pengkok

 Pendirian posko pemantauan ancaman banjir dan tanah longsor  Pengadaan alat peringatan dini; ekstensometer

 Adanya rencana kontijensi yang telah diujicobakan

 Pelaksanaan simulasi/gladi teknis penanganan longsor dan banjir

 Pelatihan SAR dan evakuasi dan manajemen pengungsian

 Pengadaan alat tanggap darurat; tenda, HT, alat dapur umum, generator set, peralatan

P3K, peralatan evakuasi.

 Adanya dana siap pakai pada keadaan darurat yang dikelola melalui koperasi simpan pinjam.

Inisiasi Organisasi PRB Tingkat Desa

Tujuan dari pembentukan organisasi masyarakat adalah untuk memungkinkan masyarakat untuk menjadi lebih siap menghadapi bencana yang akan datang dan menjadi tangguh dalam jangka panjang. Pengorganisasian komunitas merupakan metode untuk memobilisasi sumber daya agar organisasi memiliki rumusan visi, tujuan, stuktur, tugas masing-masing bagian, serta komitmen yang disepakati oleh anggota. Selain itu, agar menjadi organisasi yang kapabel untuk mengelola risiko bencana, diperlukan peningkatan kapasitas yang terencana minimal dengan memberikan pelatihan tentang tema-tema PRB (analisis risiko, kesiapsiagaan dan respon, penghidupan berkelanjutan, advokasi) dan manajemen organisasi (kepemimpinan, perencanaan, negosiasi, mobisisasi sumber daya, budgeting dan manajemen keuangan, penulisan proposal dan pelaporan, fasilitasi pertemuan dan pelatihan, dokumentasi).

Keberadaan Organisasi sebagai perwujudan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan risiko bencana sebagai upaya pelembagaan PRB di masyarakat yang terorganisir, terkoordinasi, dan sistematis sekaligus menjadi mitra pemerintah desa terutama dalam melakukan upaya-upaya pengurangan risiko bencana pada fase pra bencana/kondisi normal, sedangkan pada fase saat dan setelah bencana (tanggap darurat dan pemulihan) organisasi komunitas menjadi mitra pemerintah desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan memonitoring serta mengevaluasi aktifitas tanggap darurat dan pemulihan dengan semangat kerelawanan. Dengan kata lain, organisasi komunitas sebagai leading sector dalam memobilisasi sumber daya komunitas untuk melakukan upaya peredaman ancaman, penurunan kerentanan, dan peningkatan kapasitas yang pada gilirannya dapat mengurangi intervensi pihak luar (eksternal input).

(10)

Pada tahap ini organisasi komunitas berperan dalam (1) penyusunan Rencana Penanggulanan Bencana (RPB) Desa, (2) penusunan Rencana Aksi Komunitas (RAK) PRB, (3) penyusunan Rencana Kontinjensi, (4) membentuk tim aksi tiap kegiatan dan memobilisasi sumber daya komunitas, (4) mendorong proses integrasi PRB dalam perencanaan pembangunan desa, (5) pelaksanaan aksi PRB, (6) memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaan aksi. Misalnya dalam penyusunan rencana kontinjensi, Forum PRB mengundang para pemangku kepentingan lintas sektor dalam merumuskan tahapan, alokasi sumber daya dan komitmen pada saat tanggap darurat yang dilanjutkan dengan gladi posko dan uji materi/simulasi. Pada saat uji materi para relawan Forum terlibat aktif melakukan peringatan dini, evakuasi, penyiapan barak pengungsian, penyiapan pos kesehatan dan dapur umum. Kemudian pasca simulasi melakukan evaluasi bersama pemerintah desa dan para pemangku kepentingan untuk memperbaiki dokumen rencana kontinjensi tersebut.

Salah satu aktivitas organisasi komunitas yang masih aktif melakukan upaya PRB adalah Forum PRB Desa Negarajati dengan mengembangkan jejaring dan kemitraan sekaligus advokasi hak-hak masyarakat pada Perum Perhutani agar memenuhi kewajibannya sebagai pengelolaan hutan, upaya tersebut merupakan realisasi perencanaan yang tertuang dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi Komunitas (RAK). Walaupun masih ada beberapa kelemahan yang ditemukan dari sisi manajerial organisasi, manajemen komunikasi, dan keaktifan anggota.

Forum PRB beranggotakan minimal perwakilan dari:

a. Sosial-Fungsional : Pemerintah desa, BPD, LPPMD, PKK, Karang Taruna, LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama

b. Territorial-khusus : Kepala Dusun, RT, RW, Instansi Pemerintah/swasta c. Profesi: Petani, Pengrajin, Pengusaha, Peternak, PNS, TNI, POLRI, bidan

d. Marginal: Kelompok miskin, Perempuan, difabel.

Organisasi yang kababel merupakan organisasi yang dapat (1) memobilisasi sumber daya dan aset komunitas yang dapat mengurangi tingkat risiko dan dampak bencana, (2) menyebarluaskan pengetahuan dan ketrampilan, (3) mengembangkan jejaring dan kemitraan, (4) melakukan prakarsa-prakarsa peredaman ancaman, pengurangan kerentanan, peningkatan kapasitas secara berkelanjutan.

Kampanye

Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaratahuan masyarakat dan sekolah agar dapat terlibat dalam aksi komunitas, terlebih sekolah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas. Kampanye PRB dilakukan melalui; (1) pemutaran film dan disertai tanya jawab; (2) Penyebaran informasi PRB pada kegiatan-kegiatan formal/informal masyarakat (pengajian, arisan, posyandu, pertemuan RT/RW); dan (3) kampanye di sekolah dengan permainan edukatif dan diskusi untuk mengenali ancaman, kerentanan, kapasitas, risiko, dan memahami kesiapsiagaan bencana, serta workshop pengintegrasian PRB kedalam pendidikan sekolah.

Pelembagaan PRB

(11)

pegurangan risiko bencana dapat menjadi bagian dalam sistem sosial masyarakat dan perencanaan pembangunan desa.

Secara sederhana, kerangka kerja diatas dapat digambarkan pada diagram alur di bawah:

Diagram 1. Alur Pelaksanaan

HASIL-HASIL

1. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat untuk mengenali risiko, merencanakan, melaksanakan, dan memonitoring upaya pengelolaan risiko bencana.

2. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan pemerintah desa dalam perencanaan pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan partisipatif.

3. Terbentuknya Forum Pengurangan Risiko Bencana yang terdiri dari perwakilan kelompok sosial-fungsional, sektoral, teritorial khusus, dan marginal, serta Tim Aksi Komunitas.

4. Terdokumentasikannya blue print perencanaan PRB dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana, Rencana Aksi (PRB) Komunitas, serta rencana kontinjensi yang telah diujicobakan. 5. Adanya upaya pengurangan risiko struktural melalui pembangunan PAH, tanggul, penyediaan

sarana kesiapsiagaan berupa tenda, jerigen, HT dan radio komunitas, rehabilitasi lahan (terasiring lahan dan drainase), pembuatan gorong-gorong, pos pemantauan dan alat peringatan dini.

6. Adanya upaya pengurangan risiko non-struktural diantaranya pelatihan SAR-Evakuasi, pelatihan public speaking untuk perempuan, pelatihan pertanian organik, dana kesiapsiagaan, budidaya dan pengolahan tanaman lokal, simulasi penanganan bencana tanah longsor dan banjir.

7. Masyarakat mampu mendemonstrasikan penggunaan perangkat analisis risiko dan perangkat perencanaan pembangunan.

(12)

9. Mobilisasi sumber daya komunitas untuk mengelola ancaman dengan keswadayaan tenaga, waktu, alat-alat dan bahan-bahan bangunan.

10. Terbukannya peluang kerjasama yang lebih erat antara masyarakat dengan pemerintah kabupaten, institusi pemerintah vertikal dan swasta dalam pengelolaan risiko bencana. 11. Meningkatnya kewaspadaan masyarakat dalam mengenali tanda-tanda dan peringatan

ancaman.

12. Hubungan antar kelompok masyarakat, kelompok dengan perangkat/ lembaga desa mengalami peningkatan dengan rasa saling percaya dan terbuka.

13. Tersedianya alolasi anggaran desa (APBDes) untuk program dan kegiatan PRB, termasuk operasional Forum PRB.

14.

Dokumentasi berupa film dokumenter persepsi perempuan terhadap bencana. Perempuan lebih sadar terhadap posisinya dalam perencanaan pembangunan dan penanggulangan bencana. Kesadaran ini nampak pada keterlibatan perempuan dalam setiap kegiatan, suara perempuan lebih diperhatikan, mengapresiasi kebutuhan perempuan dalam kondisi darurat, dan sadar bahwa perempuan harus meningkatkan kapasitasnya karena termasuk kaum rentan yang sangat berisiko terhadap ancaman.

Perempuan lebih sering berada di rumah yang sangat berisiko ketika terjadi bencana, perempuan juga harus menyelamatkan anak. Maka, perempuan juga harus terlatih dan terampil dalam melakukan evakuasi bagi dirinya dan anak. (Suciwati).

Bapak sudah mau melakukan pekerjaan rumah, setelah kadang kami mendiskusikan hasil-hasil pertemuan. Dan saya akan terlibat aktif dalam Forum PRB, karena sangat penting untuk membangun masyarakat yang aman. (Siti Hanani)

KENDALA YANG DIHADAPI

1. Otonomi desa belum dipahami dan dipraktikkan dengan baik oleh pemerintah desa mupun pemerintah kebupaten, sehingga berdampak pada keberanian desa mengatur pemerintahannya sendiri termasuk dalam menerbitkan peraturan desa dan kebijakan sektoral.

2. Komitmen multistakeholder untuk melakukan aksi PRB berbenturan dengan birokrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program. Maka diperlukan pengawalan dan advokasi secara berkelanjutan.

3. Pemahaman bahwa PRB/PB merupakan urusan wajib pemerintah belum terlembaga dengan baik. Program PRB belum menjadi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam RPJMD Kabupaten.

4. Paradigma penanggulangan bencana yang berorientasi pada penanganan gawat darurat masih tertanam kuat pada masyarakat dan pemerintah. Tingkat kehadiran/partisipasi masyarakat pada kegiatan kajian, rembug, perencanaan, kegiatan pencegahan dan mitigasi sangat minimal. Namun pada kegiatan gladi/simulasi tanggap darurat sangat maksimal.

5. Kesulitan dalam menerjemahkan istilah-istilah kebencanaan ke dalam bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat.

6. Kurangnya optimalnya Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan desa.

PELUANG DAN TANTANGAN

Peluang

(13)

2. Pengetahuan dan kebijakan masyarakat tentang PRB yang belum tertulis sebagai kapasitas masyarakat yang dapat dilembagakan.

3. Adanya kebijakan Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten Gunungkidul.

4. Adanya program dan aktor lain (tagana, sekolah lapang pertanian, kader kesehatan/desa siaga) yang bisa bersama-sama mendukung program.

Tantangan

1. Meningkatkan keterlibatan masyarakat secara kolektif untuk merencanakan, melaksanakan, dan memonitoring rencana aksi komunitas, diperlukan sosialisasi RPB dan RAK pada masyarakat desa secara luas oleh pemerintah desa dan Forum PRB.

2. Pemutakhiran data-data desa/profil desa secara berkala dengan melakukan pengkajian risiko, masalah, dan potensi desa pada berakhirnya periode dokumen perencanaan PB, RAK, RPJM Desa.

3. Keberlanjutan pengawalan realisasi komitmen pelaksanaan RPB dan RAK oleh para pemangku kepentingan. Upaya yang dilakukan dengan mengintensifkan komunikasi dengan pemangku kepentingan.

4. Pelembagaan dan atau pemaduan PRB pada kegiatan-kegiatan perencanaan pembangunan wilayah setempat secara berkelanjutan.

5. Penyusunan kebijakan Kabupaten tentang RPB, RAK, Rencana Kontinjensi, dan RPJMD yang telah mengintegrasikan dan atau mengarusutamakan PRB.

6. Peningkatan Kapasitas UPTD/instansi di tingkat kecamatan dan kabupaten dalam hal kerangka kerja PRBBK agar program dan kegiatan PRB terpadu dan berkesinambungan.

PEMBELAJARAN

1. Rencana kontinjensi hendaknya terpadu dengan kegiatan lain, diantaranya pelatihan evakuasi dan PPGD, pembuatan peta jalur evakuasi dan rambu evakuasi, penyediaan alat-alat tanggap darurat.

2. Masyarakat yang pernah mengalami kejadian bencana besar lebih terbuka dan kooperatif terhadap program, ketimbang masyarakat yang belum pernah mengalami bencana, tantangannya adalah merubah memori kolektif menjadi aksi kolektif.

3. Untuk melakukan integrasi PRB pada perencanaan pembangunan harus didasari tata kelola pemerintahan yang baik dan kapasitas perangkat pemerintahan desa agar dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mengarusutamakan PRB. Begitu pula dengan partisipasi komunitas, partisipasi bermakna dari komunitas dapat terpenuhi apabila komunitas telah meningkat kapasitasnya.

4. PRBBK tidak berjalan efektif selama otonomi desa belum dijalankan secara holistik, baik dalam aturan, sistem, birokrasi, dan pelaksanaan. Desa sebagai entitas dan ujung tombak pemerintahan masih terbelenggu dengan sistem dan birokrasi pemerintah diatasnya, semisal inisiatif desa menjalankan program PRB terpaksa tercerabut karena belum adanya kebijakan yang mengatur.

5. Tidak semua kearifan lokal masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola risiko, praktik kearifal lokal yang ada lebih banyak menjadi pendorong kerentanan semisal pandangan mistik dan fatalistik.

(14)

7. Program PRBBK memberikan peluang untuk memasukkan pengarusutamaan gender dalam masyarakat pedesaan, melalui pendekatan pengarusutamaan gender dalam program. Hal ini menjadi wajib, bahwa fakta menunjukkan bahwa korban bencana kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak yang termasuk dalam kategori kelompok rentan yang perlu perhatian khusus dalam upaya pengurangan risiko bencana. Pentingnya pengarusutamaan gender dapat dilakukan pada program dengan prinsip kehati-hatian terhadap kemungkinan timbulnya beban ganda pada perempuan yang merupakan efek atau dampak dari program.

8. Kesadaran warga akan pentingnya membangun rumah yang aman sudah menjadi bagian dari budaya baru warga. Hal ini karena warga belajar dari dampak kejadian bencana Gempa Bumi 2006 khususnya di Desa Pengkok dan Sampang. Secara budaya dalam pemilihan lokasi yang baik untuk mendirikan bangunan gedung sudah ada dari jaman dahulu dan masih digunakan sampai sekarang.

POTENSI REPLIKASI

Program ini bisa berjalan efektif apabila masyarakat telah memiliki sistem pengetahuan dan keahlian baru maupun dari pengalaman mengalami kejadian bencana yang didorong dengan potensi keswadayaan dalam mengelola risikonya. Intervensi program Desa Tangguh dengan membantu mensistematisasikan pengetahuan dan keahlian tersebut menjadi bangunan pengetahuan yang tidak terpisahkan dalam sistem sosial, dari memori kolektif menuju aksi kolektif. Pihak ekternal hanya mendorong terciptanya mobilisasi sumber daya komunitas untuk mengelola risiko sesuai dengan elemen perencanaan atau siklus penanganan bencana.

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah tentang gagasan dasar integrasi PRB dalam perencanaan desa, usulan-usulan program dan prioritas merupakan hasil dari prioritas risiko dan ancaman juga potensi dan masalah masing-masing wilayah, bukan hanya masalah infrastruktur-fisik. Hal tersebut harus disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintah desa secara teknis dan manajerial dalam menjalankan pemerintahan, seperti keterampilan validasi data, pelaksanaan musrenbangdes, pembuatan peraturan desa dan anggaran. Pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah merangkul berbagai pihak untuk dapat terlibat dalam pelaksanaan program, terutama kelompok marginal yang jarang diperhatikan oleh komunitas.

Pengorganisasian kelompok/Forum PRB Desa dapat dilakukan dengan dua metode. Pertama,

dengan membentuk organisasi baru berbentuk Forum PRB Desa karena tidak ada organisasi yang melakukan kegiatan PB/PRB dengan mewadahi multistakeholder desa. Kedua, jika telah ada organisasi untuk melakukan PB/PRB upaya yang dilakukan cukup merevitalisasi organisasi tersebut. Forum PRB di empat desa dibentuk dengan metode pertama, yaitu membentuk kelompok/organisasi baru untuk melakukan PB/PRB.

Dalam program ini memberikan dana hibah kepada desa/komunitas dimana pemberian dana hibah ini menjadikan gambaran program Desa Tangguh memerlukan biaya yang besar. Biaya yang besar ini bisa dikurangi dengan kegiatan dan pengelolaan program yang menggunakan sumber daya yang ada di desa/komunitas.

(15)

KESIMPULAN

Tujuan program ini adalah “Masyarakat yang lebih aman dan berbudaya keselamatan melalui praktik PRB berbasis komunitas (PRBBK) dan mengintegrasikannya ke dalam proses pembangunan wilayah setempat”. Indikator keberhasilan tujuan tersebut adalah adanya praktik dan pelembagaan PRBBK oleh kelompok-kelompok masyarakat yang telah dipadukan dengan perencanaan pembangunan, dengan demikian kapasitas masyarakat telah meningkat dan secara tidak langsung telah dapat menurunkan tingkat risiko bencana. Program pengembangan Desa Tangguh ini merupakan program peletakan pondasi bagi kerangka kerja Pengurangan Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) untuk menuju Desa Tangguh.

Dalam program ini terlihat upaya untuk menurunkan kerentanan seperti menemukenali ancaman, kerentanan, kapasitas, risiko, potensi dan masalah di masing-masing desa. Upaya mandiri lainnya seperti adanya upaya peredaman risiko dengan melakukan rehabilitsi lahan. Sedangkan upaya meningkatkan kapasitas dengan adanya integrasi PRB dalam RPJMDes, adanya roadmap Desa Tangguh, adanya dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), dokumen Rencana Aksi Komunitas (RAK) PRB, dan dokumen Rencana kontijensi di masing-masing desa, adanya dokumen

building code, penyediaan jalur evakuasi, penyediaan sarana instalasi air untuk kekeringan, pengadaan alat peringatan dini, penyediaan alat-alat tanggap darurat, penyediaan dana kesiapsiagaan, pembuatan posko pemantauan ancaman, radio komunitas, pengolahan sumber daya alam, dan adanya Forum PRB Desa.

Berangkat dari keyakinan bahwa pengurangan risiko bencana merupakan urusan semua pihak, hal ini menjadi pendekatan untuk melibatkan multi-pihak dalam program yang diwujudkan dengan keterlibatan pada Forum PRB secara sukarela. Dorongan lain yang dilakukan dengan mengadakan audensi antara Forum PRB dengan pihak-pihak yang berkepentingan agar terjalin kerjasama dan kolaborasi yang efektif dan menyukseskan praktik-praktik PRB.

Upaya pelembagaan kerangka kerja PRBBK oleh komunitas menggunakan metode peningkatan kapasitas perangkat pemerintahan desa dan lembaga desa tentang tata kelola dan kebijakan desa perebutan serta alat/perangkat kajian ancaman, kerentanan, kapasitas, risiko dan perebutan alat/perangkat kajian desa partisipatif (PRA) berikut proses dan mekanisme perencanaan pembangunan. Diharapkan komunitas dapat melakukan kembali analisis risiko sebagai dasar penyusunan dokumen RPB, RAK, dan Rencana Kontinjensi, serta dapat melakukan kajian masalah dan potensi sebagai dasar perencanaan pembangunan yang memadukan prakarsa PRB. Terlebih masyarakat dapat menerapkan PRB dalam kehidupan rutin dan menjadi sebuah sistem yang tidak terpisahkan dengan sistem sosial yang telah mapan.

Karakteristik umum Desa Tangguh adalah dengan praktik-praktik PRBBK yang dipadukan pada pembangunan desa, hal tersebut dijabarkan dengan:

1. Adanya proses menemukenali wilayah desa (risiko, masalah, dan potensi) secara partisipatif. 2. Komunitas adalah pelaku utama dalam pengelolaan risiko bencana di wilayahnya. Adanya proses

perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi untuk mengelola risiko dengan pendekatan dari-oleh-untuk komunitas,

3. Adanya mobilisasi sumber daya komunitas untuk mendukung praktik-praktik PRB, seperti adanya Forum PRB, alokasi dana desa, keswadayaan dalam bentuk tenaga, waktu, dan materi.

4. Adanya pemaduan prakarsa PRB ke dalam perencanaan pembangunan desa dan kebijakan-kebijakan sektoral dengan pola intervensi multidisiplin, lintas sektor, dan lintas ancaman.

(16)

Tentunya dalam waktu 1 tahun pelaksanaan program di Desa Negarajati, Desa Panulisan Barat, Desa Pengkok, dan Desa Sampang tidak secara langsung menjadi Desa Tangguh, secara umun program ini mencapai peletakan dasar untuk menuju Desa yang Tangguh telah dimulai dengan meningkatkan kapasitas komunitas supaya dapat menurunkan risiko, mengelola aset agar tetap berfungsi selama terjadi bencana, dan mampu pulih dengan baik setelah terjadi bencana.

DAFTAR BACAAN

Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 2007 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme

Penyusunan Peraturan Desa.

SC-DRR, Rancangan Panduan Desa Tangguh, 2009.

UN-ISDR, Living with Risk: A Global Review of Disaster Rreduction Initiatives, Geneva: 2004.

Gustavo Wilches and Inter Works, Bencana dan Lingkungan: Program Pelatihan Manajemen Bencana (DMTP), Edisi ke 2, UNDP 1995.

Jhon Twigg, Characteristics of a Disaster-Resilient Community: A Guidance Note, Version 2, DFID, 2009.

Paton, Dauglas & Kathryn Gow (ed.), The Phoenix of Natural Disaster: Comminity Resilience, New York: Nova Science Publishers, 2008.

Paton, Douglas & David Johnston, Disaster Resilience: An Integrated Approach (edt.), Illinois: Charles C Thomas-Publisher, 2006.

Perkumpulan Lingkar, Modul Pelatihan Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Dalam Program Dan Kegiatan Pemerintah Provinsi DIY, 2010.

Gambar

Gambar. Kuadran pembangunan dan bencana

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tanggapan tentang ke- nyamanan ruangan pabrik keduanya berada pada kuadran b yaitu sangat memuaskan, sedangkan untuk kelengkapan fasilitas dan ketersedian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Efektivitas Pembelajaran Matematika Berbasis Humanistik dengan Pendekatan Konstruktivisme Berbantuan CD Interaktif Materi Segi

licheniformis AQ1 mampu menghidrolisis substrat oatspelt xylan, beechwood xylan, dan carboxymethyl cellulose (CMC), akan tetapi pita protein yang menunjukkan aktivitas enzim

maksimal, dimana masih ada karyawan yang belum memanfaatkan portal web tersebut sesuai dengan tujuan awal dibuat intranet ini, sehingga akhirnya menyebabkan kasus

Setelah dilaksanakan penelitian yang diawali dari pengambilan data hingga pengolahan data yang akhirnya dijadikan patokan sebagai pembahasan hasil penelitian

Skripsi yang berjudul ” Pengaruh Diet Rendah Magnesium Terhadap Jumlah Makrofag dan Kadar TNF-α Pada Tikus Wistar Jantan ” ini diajukan untuk memenuhi salah

Memang benar bahwa untuk setiap jumlah masing-masing sistem termodinamika ekuilibrium terpisah sendiri homogen, semua dengan nilai yang sama dari variabel intensif,

Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat,