• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Media Massa dalam Upaya Kontra Ter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Media Massa dalam Upaya Kontra Ter"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN MEDIA MASSA

DALAM UPAYA KONTRA-TERORISME

(Analisis terhadap Peran dan Posisi Media Massa)

{Adi Sulistyo}

Asymmetric Warfare Study Program, Faculty of Defense Strategy Indonesia Defense University

Jakarta, Indonesia May, 2014

asulistyo28@gmail.com

1. PENDAHULUAN

Sejak dicanangkannya Perang Global terhadap Terorisme (Global War on

Terror (GWoT)) oleh Amerika Serikat, dan berkat dampak secara tidak langsung

dari pemberitaan di media massa, istilah terorisme dan kontra-terorisme menjadi

menjadi semakin populer sampai saat ini. Istilah teroris dapat didefinisikan

sebagai pelaku aksi teror yang bisa bermakna jamak maupun tunggal. Terorisme

diartikan sebagai paham yang gemar melakukan intimidasi, aksi kekerasan, serta

berbagai kebrutalan terhadap masyarakat sipil berdasarkan latar belakang, sebab

dan motif tertentu 1.

Kajian – kajian bertemakan terorisme juga sering menjadi topik utama dalam

seminar/diskusi ilmiah, baik pada level nasional maupun internasional.

Komunikasi global dan media internasional telah membuat penyebaran kebencian

dan teror tidak lagi terhalang oleh batas-batas nasional atau daerah. Hal tersebut

dapat dengan mudah mempengaruhi individu-individu untuk masuk/direkrut ke

dalam sel dan jaringan teroris melalui penyebaran doktrin baik berupa gambar,

film, maupun tulisan.

“Jika koran dipandang sebagai sarana pembuat kekacauan. Koranpun dapat digunakan

sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban” – Bertoit Brecht.[2]

1 Fanani, Akhmad., Kamus Istilah Populer (Yogyakarta : Mitra Pelajar, 2009), p.366.

2 Lihat,

(2)

Kutipan di atas menjadi gambaran bagaimana peran media dan pengaruhnya

terhadap kehidupan masyarakat demokratis. Dalam konteks tulisan ini dapat

dilihat bagaimana media memiliki sifat “dual use”, dimana pada satu sisi, media massa menjadi wadah dalam penyebaran terorisme, namun pada sisi lain, media

massa juga dapat menjadi salah satu senjata dalam upaya pemberantasan

terorisme (kontra terorisme). Media massa menjadi sarana pembentukan

opini/persepsi masyarakat terhadap suatu peristiwa, sehingga secara tidak

langsung dapat mempengaruhi berhasil atau tidaknya penerapan strategi

kebijakan/aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam suatu negara.

Tulisan ini akan membahas mengenai posisi dan peran media massa dalam

isu terorisme, dengan melihat hubungan antara terorisme dan media massa, serta

upaya media massa dalam mendukung strategi kontra-terorisme yang di rumuskan

oleh pemerintah.

2. HUBUNGAN MEDIA MASSA DENGAN TERORISME

Dampak negatif dari jurnalistik adalah pemanfaatan media massa oleh

kelompok teroris untuk menyampaikan pesan atau tujuan dari aksi yang mereka

lakukan. Satu tuduhan menyebutkan bahwa media massa dan kelompok teroris

memiliki kepentingan yang sama.

“The media war is important as the military one. It’s fighting against the United States..”

–Abdul Rahman Al Rasyid.

Pernyataan juru bicara Al-Qaeda tersebut menandakan bahwa media memiliki

peranan yang sangat vital di dalam dunia terorisme. Media massa bekerja pada

tataran psikologi untuk menghasilkan pengaruh yang bersifat negatif terhadap

pihak lawan dalam skala strategis. Hubungan antara media massa dengan

kelompok teroris adalah sebuah hubungan simbiosis-mutualisme (hubungan yang

saling menguntungkan antara dua organisme), sesuai dengan pernyataan A.J.

Behm yang mengatakan bahwa [3]:

”media massa dan teroris memiliki kepentingan yang sama, teroris menyusun dan

memanfaatkan strategi media mereka, sementara di lain pihak, media menempatkan kepentingannya pada aktivitas kelompok teroris.”

3 Behm, A.J., Terrorism : Violence Against the Public and the Media (The Australian Approach :

(3)

Kelompok teroris, dalam setiap aksi yang dilakukannya selalu bergantung

kepada pemberitaan media massa yang menyebarkan informasi dengan maksud

untuk [4]:

Mencari perhatian internasional dan membangkitkan kesadaran lingkungan /

masyarakat yang menjadi target maupun yang bukan target mereka, serta

mengintimidasi komunitas yang menjadi target;

Memperkenalkan tujuan dan motif yang mereka lakukan;

Menarik simpati dan respek dari simpatisan dan masyarakat yang mendukung

aksi yang mereka lakukan;

Serta memperoleh pengakuan / legitimasi bagi para anggotanya yang

memposisikan diri sebagai perwakilan kelompoknya.

Kecurigaan terhadap adanya interdependensi teroris dan media ditegaskan

oleh Giessmann, yang menyatakan bahwa, kelompok teroris mencari perhatian

media untuk sebisa mungkin mendapatkan penerimaan publik dengan mengusung

sensasi sebagai “nilai berita” yang mereka manipulasi untuk tujuan propaganda.

Sementara pada lain sisi, media massa secara lebih lanjut menerima bentuk

simbiosis tersebut demi untuk mendapatkan gambar-gambar yang menarik dan

berita-berita yang mengejutkan serta menjadi leading newspaper terhadap

kompetitomya, dimana sebenarnya media massa memiliki kesempatan dan

tanggung jawab untuk membatasi penyebaran terorisme dengan menyampaikan

pemberitaan yang lebih berlandaskan pada kesadaran moral dan reportase yang

telah disortir demi kemaslahatan masyarakat [5].

Brian McNair dalam bukunya Introduction to Political Communication

(1999), menyatakan bahwa Teror adalah sebuah bentuk komunikasi politik, yang

dilakukan di luar prosedur konstitusional. Para teroris mencari publisitas untuk

membawa tujuan psikologis mereka melalui penggunaan kekerasan guna

menghasilan berbagai efek psikologis seperti demoralisasi musuh,

mendemosntrasikan kekuatan gerakan mereka, mendapatkan simpati publik dan

4 Nacos, Brigite L., Mass Mediated Terrorism : The Central Role of The Media in Terrorism and

Counterterrorism, 2nd Edition (Maryland : Rowman & Littlefield Publisher, 2007), p.20.

5 Giessmann, Hans I., Media and the Public Sphere: Catalyst and Multiplier of Terrorism ? (Media

(4)

menciptakan ketakutan dan chaos. Untuk mencapai tujuan ini, para teroris harus

mempublikasikan aksi mereka.

Melalui publisitas yang tercipta dari pemberitaan mengenai aksi terorisme

yang mereka lakukan, kelompok teroris melakukan komunikasi dengan

pemerintah di negara tempat mereka melakukan aksi terorisme dan bahkan

pemerintah luar negeri. Sehingga secara tidak langsung, sebenarnya kelompok

teroris berusaha menciptakan agenda media dengan harapan ada perhatian dari

publik terhadap aksi mereka .

Hubungan antara media massa dengan terorisme dapat terlihat pada ilustrasi

dalam model diagram yang dirumuskan oleh Dr. Ali Alkarni, sebagai berikut [6]:

Gambar 2.1 Model hubungan terorisme.

Penjelasan dari Gambar 2.1, di atas yaitu :

Creating Events (Teroris)

Kelompok teroris merencanakan dan berupaya melaksanakan beberapa

peristiwa seperti ide politik, sosial atau agama yang dapat menarik media

untuk melakukan reportase. sehingga, apa yang biasa kita lihat sebagai

peristiwa terorisme, adalah hasil ekspresi kekerasan dari ide-ide kelompok

teroris yang ditujukan kepada masyarakat umum melalui media massa.

Faktor–faktor yang menjadi pertimbangan kelompok teroris agar dapat menarik

perhatian media massa, antara lain :

6 Alkarni, Ali., Dr., A Media/Terrorism Model : The Saudi Experience (Taipei : International

Association for Media & Communication Research, 2003), pp.09-14.

(5)

Waktu yang tepat bersamaan secara signifikan dengan perkembangan

politik, baik lokal maupun global;

Memilih target fisik yang dapat di jangkau oleh media massa;

Berdampak secara luas, dengan jumlah kerugian yang besar; dan

Target dari aksi yang dilakukan adalah kepada pemerintah.

Reporting Events (Media Massa)

Salah satu fungsi dasar media massa adalah pemantauan, dimana media

mencoba untuk memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang apa

yang terjadi di dunia, dimana peristiwa terorisme masuk ke dalam kriteria

tersebut [7]. Media mencari cerita yang dramatis untuk meningkatkan rating

pembaca atau peringkat.

Influencing Events (Pemerintah)

Pemerintah, dalam upaya untuk mempertahankan stabilitas nasional terhadap

ancaman terorisme, mencoba untuk memobilisasi dan mempengaruhi seluruh

sumber daya (termasuk media massa) yang memungkinkan untuk mendukung

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Pemerintah mendorong media untuk menyebut teroris sebagai kriminal, serta

tindakan yang mereka lakukan sebagai kejahatan, dalam rangka untuk

mempengaruhi persepsi masyarakat/publik terhadap terorisme [8].

Understanding Events (Masyarakat)

Masyarakat adalah tujuan akhir dari komunikasi massa. Peran media massa

dalam memberikan informasi kepada publik mengenai peristiwa yang terjadi

bertujuan agar masyarakat memahami dan membentuk opini terhadap peristiwa

tersebut. Persepsi publik terhadap terorisme dapat dipengaruhi oleh isi media

dan konteks dimana aksi terorisme disiarkan.

Pemanfaatan media massa secara aktif menunjukkan bagaimana upaya para

teroris memanfaatkan media untuk mendapatkan efek nyata dari tindakan mereka.

7 Lihat, http://cfrterrorism.org/terrorism/media, diakses pada tanggal 22 Mei 2014, Pukul

01.15 WIB.

8 Perl, Raphael., Terrorism, the Media and the Government: Perspectives, Trends and Options for

(6)

Selain penggunaan media secara aktif, teroris juga menggunakan media secara

pasif dengan tujuan sebagai berikut [9]:

Sebagai jaringan komunikasi eksternal di antara kelompok/anggota teroris;

Mempelajari teknik-teknik penanganan atau upaya penanggulangan terbaru

terhadap terorisme;

Mendapatkan informasi tentang kegiatan terkini pasukan keamanan dalam

menghadapi teror yang sedang mereka lakukan;

Menikmati laporan media yang berlebihan tentang kekuatan teroris sehingga

menciptakan ketakutan pihak yang menjadi target serta mencegah keberanian

aparat keamanan secara individual;

Mengidentifikasi target-target selanjutnya; dan

mencari tahu reaksi masyarakat terhadap tindakan/aksi yang mereka lakukan.

Kelompok teroris memanfaatkan pemberitaan media massa dan internet untuk

menunjukkan ideologi dan menyebarkan ajaran mereka yang diyakini sebagai

kebenaran. Mereka berupaya membuat rekaman atas semua tindakan yang mereka

lakukan sebelum dipublikasikan dengan tujuan untuk menarik perhatian dari

masyarakat secara luas.

Teori agenda setting dan framing dapat menjelaskan bagaimana kaitan antara

terorisme dan media. Dalam agenda setting semakin besar perhatian media

terhadap suatu fenomena maka semakin besar perhatian masyarakat terhadap

fenomena tersebut, sedangkan Framing adalah bagaimana penyajian suatu berita

akan mempengaruhi audiens dalam mengartikan dan memahami

fenomena/peristiwa yang diberitakan [10].

3. PENGGUNAAN MEDIA MASSA DALAM KONTRA-TERORISME

Untuk meminimalisisr dugaan hubungan simbiosis mutualisme antara media

massa dengan terorisme, maka peran media dalam pemberitaan terorisme

diharapkan tidak menimbulkan ekses negatif bagi masyarakat. Pemberitaan media

diharapkan tidak menimbulkan keinginan dari orang yang menonton pemberitaan

9 Mubarok, S.Sos., M.Si., Posisi Media dalam Perang Melawan Terorisme (Semarang : Universitas

Islam Sultan Agung, 2012), p.07.

(7)

terkait aksi terorisme untuk meniru, serta media massa juga diharapkan tidak

hanya menjadi kepanjangan tangan penyebaran ideologi teror.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pemanfaatan media massa

oleh kelompok teroris (memutus hubungan yang saling menguntungkan antara

media massa dengan terorisme) adalah sebagai berikut [11]:

Kebijakan Laissez-faire

Kebijakan ini mengasumsikan bahwa tidak ada langkah-langkah tertentu harus

diambil berkaitan dengan pemberitaan media massa terhadap terorisme. Media

diharapkan memiliki kesadaran sendiri terkait etika dan tanggung jawab moral

(sesuai dengan kode etik jurnalistik) terhadap dampak dari pemberitaan yang

mereka sajikan kepada masyarakat.

Media cencorship

Terlepas dari kenyataan bahwa kebebasan berbicara dan perdebatan politik

merupakan bagian utama dari konsep masyarakat demokratis, pembatasan

kebebasan pers dan berekspresi sangat mungkin diperlukan dalam upaya

memerangi terorisme. Karena jika pemberitaan terkait aksi terorisme tidak

menjadi porsi utama yang menjadi perhatian media massa, maka secara

perlahan terorisme akan semakin kecil dan pada akhirnya akan menghilang

dengan sendirinya.

Voluntary self-restraint

Media massa (dengan kesadaran sendiri, dibantu oleh pemerintah)

merumuskan dan menerapkan pedoman tentang bagaimana bertindak dan

bekerja dalam situasi krisis yang disebabkan oleh tindakan/aksi terorisme,

tanpa adanya unsur paksaan dari pemerintah.

Terkait peran serta media massa dalam mendukung keberhasilan strategi

kontra-terorisme yang dicanangkan oleh pemerintah, maka media massa dapat

mempertimbangkan beberapa hal selama melakukan peliputan terhadap

peristiwa/insiden terorisme, antara lain :

11 Wilkinson, P., Terrorism versus Democracy : The Liberal State Response, Second Edition (New York:

(8)

Critical imperative

Pemberitaan media haruslah menjadi kritik bagi setiap peristiwa yang mereka

liput. Dalam kasus terorisme, media harus bisa memberikan kritik dan masukan

bagi pemerintah dan masyarakat terkait bagaimana menyikapi kasus terorisme

yang terjadi [12].

Interviewing terrorists

Organisasi teror biasanya akan mengundang media untuk melakukan

wawancara terhadap tokoh-tokoh mereka sehingga mendapatkan publikasi

yang luas, seperti : AL-Qaeda yang secara rutin mengundang media untuk

mewawancarai tokoh mereka, dan pada level nasional terjadi pada saat Mayor

Alfredo Stefano yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Timor Leste

mengundang Metro TV untuk melakukan wawancara.

Jurnalis yang mewawancarai teroris harus memiliki kemampuan khusus agar

berita yang disampaikan tidak menimbulkan dampak negatif bagi pemirsa atau

masyarakat secara luas. Tantangan bagi media massa ketika melakukan

wawancara dengan teroris adalah kemampuan untuk mendapatkan informasi

tanpa terperangkap dalam empati dan ketertarikan berlebih dalam penyebaran

ideologi yang mereka sampaikan.

Moral obligations of reporting

David L. Paletz and Laura L. Tawney menekankan pentingnya aspek moral

dari jurnalis, editor, penyiar, dan awak media lainnya ketika memberitakan

kasus terorisme. Media massa harus menyadari bahwa realitas yang mereka

liput, materi wawancara dan kronologi yang mereka beritakan akan membawa

dampak bagi orang yang menerima/menyaksikan pemberitaannya [13].

Bagi pemerintah, dalam upaya menggalang media massa untuk ikut berperan

dalam penerapan strategi kontra-terorisme adalah dengan memberikan pelatihan

kepada awak media tentang isu terorisme, sehingga dapat memiliki peran yang

nyata dalam upaya mengurangi dampak pemberitaan terorisme di kalangan

generasi muda/masyarakat. Pemberitaan terorisme harus disajikan dengan

kecerdasan intelektual sehingga memberikan efek kekebalan di kalangan

12 Biernatzki, William E., Terrorism and Mass Media (California : Santa Clara University, 2002),

p.20.

(9)

masyarakat dari pengaruh ideologi teroris. Media massa juga perlu

mengembangkan pemberitaan yang mampu mengajak masyarakat melakukan

beragam aktifitas bermanfaat agar tidak terpengaruh pada paham terorisme [14].

4. KESIMPULAN

Media massa dan teroris memiliki kepentingan yang sama, dimana teroris

menyusun dan memanfaatkan strategi media mereka, sementara media

menempatkan kepentingannya pada aktivitas kelompok teroris. Kelompok teroris

mencari publisitas melalui media massa untuk memperkenalkan tujuan psikologis

mereka, sehingga pemanfaatan media massa secara aktif menunjukkan bagaimana

upaya para teroris memanfaatkan media untuk mendapatkan efek nyata dari

tindakan/aksi yang mereka lakukan.

Terkait upaya kontra-terorisme, Awak media yang berkaitan dengan

pemberitaan tentang terorisme perlu memiliki kesadaran dan kemauan kuat untuk

mengurangi dampak buruk berita yang mereka buat, dengan tidak menggiring

masyarakat untuk memiliki pemahaman yang sama dengan kelompok teroris.

Dalam mendukung strategi kontra-terorisme yang dicanangkan oleh pemerintah,

media massa dapat melakukan hal-hal seperti : bertindak sebagai pusat edukasi

dan informasi penanganan terhadap aktifitas yang mencurigakan, menjadi sarana

untuk mensosialisasikan dan meredam kepanikan masyarakat terhadap insiden

terorisme, dan memberitahu bagaimana langkah-langkah preventif untuk

mencegah tindakan/aksi terorisme di lingkungan masyarakat.

{@sulistyo_28}

(10)

REFERENSI

1. Alkarni, Ali., Dr., A Media/Terrorism Model : The Saudi Experience (Taipei : International Association for Media & Communication Research, 2003).

2. Behm, A.J., Terrorism : Violence Against the Public and the Media (The Australian Approach : Political Communication and Persuasion. Vol 8, 1991).

3. Biernatzki, William E., Terrorism and Mass Media (California : Santa Clara University, 2002).

4. Fanani, Akhmad., Kamus Istilah Populer (Yogyakarta : Mitra Pelajar, 2009).

5. Giessmann, Hans I., Media and the Public Sphere: Catalyst and Multiplier of

Terrorism ? (Media Asia Communication Quarterly : Vol 20 No.3, 2002).

6. Mubarok, S.Sos., M.Si., Posisi Media dalam Perang Melawan Terorisme (Semarang : Universitas Islam Sultan Agung, 2012).

7. Nacos, Brigite L., Mass Mediated Terrorism : The Central Role of The Media in

Terrorism and Counterterrorism, 2nd Edition (Maryland : Rowman & Littlefield

Publisher, 2007).

8. Perl, Raphael., Terrorism, the Media and the Government: Perspectives, Trends and

Options for policymakers (Washington DC : Congressional Research Service, 1997).

9. Wilkinson, P., Terrorism versus Democracy : The Liberal State Response, Second

Edition (New York: Routledge, 2006).

Gambar

Gambar 2.1 Model hubungan terorisme.

Referensi

Dokumen terkait

Proses Pelaksanaan RitualMemburu Giok di Kawasan Pegunungan Singgah Mata Berikut ini adalah uraian tentang proses pelaksanaan ritual memburu giok di kawasan Pegunungan

Melalui perbaikan proses pelaksanaan metode cooperative learning tipe index card match pada siklus II tersebut, motivasi belajar siklus II mencapai skor 137

Aset tetap disebut juga plant asset atau fixed assets dan mendefinisikannya sebagai berikut: Harta berwujud (tangible asset) yang memiliki masa manfaat ekonomis lebih dari

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada bunga buah naga daging super merah (Hylocereus costaricensis) menunjukkan bahwa bunga tanaman ini memiliki

tersebut memiliki arti yang berbeda. Kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang arti dalam bahasa Indonesianya berarti kebiasaan. Kemudian dalam Islam,

Memberi pendedahan kepada ahli kadet yang baru cara berkawad yang betul dan mencari bakat baru untuk mewakili sekolah ke pertandingan kawad kaki1.

Sebagai misal, badekan #2 bila diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga macam hubungan antara tanda dan objeknya di atas, maka akan diketahui apakah pertanyaan apa

Ketercapaian pemahaman konsep siswa dapat dilakukan melalui pembelajaran konflik kognitif dengan alat evaluasi two-tier test. Penelitian ini bertujuan menganalisis