• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Generasi Penerus Bangsa Menyikapi Kemerdekaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Sikap Generasi Penerus Bangsa Menyikapi Kemerdekaan"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

Enam Puluh

Delapan Tahun Kita

Sudah Merdeka!

Implementasi

Perlindungan

Ham Dan Supremasi Hukum

Sikap Generasi

Penerus Bangsa

Menyikapi Kemerdekaan

SPIRIT KEMERDEKAAN

SPIRIT KEMERDEKAAN

(2)

KETUA PENGARAH :

Ir.Umar Zunaidi Hasibuan, MM ( WaliKota Tebing Tinggi )

WAKIL KETUA PENGARAH :

H. Irham Taufik, SH, M.AP (Wakil WaliKota Tebing Tinggi )

PENGENDALI :

H. Johan Samose Harahap, SH, MSP (Sekdako Tebing Tinggi Deli )

PENANGGUNG JAWAB :

Ir. H. Zainul Halim (Asisten Administrasi Umum )

PIMPINAN REDAKSI :

Ahdi Sucipto, SH (Kabag Adm. Humas PP)

REDAKSI :

Rizal Syam, Khairul Hakim, Juanda

BENDAHARA :

Jafet Candra Saragih

KOORDINATOR LIPUTAN :

Drs Abdul Khalik, MAP

SEKRETARIS REDAKSI :

Dian Astuti

LAYOUT DESAIN GRAFIS

Edi Suardi, S.Sos Aswin Nasution, ST

FOTOGRAFER :

Sulaiman Tejo Chairul Fadhli

KOORDINATOR DISTRIBUSI

RIDUAN

LIPUTAN DAN REPORTER :

Wartawan Unit Pemko Tebing Tinggi

Redaksi menerima tulis,photo juga surat berisi saran penyempurnaan dari pembaca dengan melampirkan tanda pengenal (KTP, SIM, Paspor) dan Redaksi berhak

mengubah tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan maknanya.

Tulisan dikirim ke alamat redaksi :

Bagian Administrasi Humasy Pimpinan dan Protokol Sekreariat Daerah Kota Tebing Tinggi

Jl,Dr Sutomo No : 14 Kota Tebing Tinggi Deli Deli Eimail : sinergi@tebingtinggikota.go.id Facebook : majalah_sinergi@yahoo.co.id

SALAM REDAKSI

“Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa…” Inilah kalimat pertama termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Paling tidak ada dua kata peting dalam kalimat itu, pertama kemerdekaan dan kedua hak. Kemerdekaan dimaknai sebagai hak manusia yang paling hakiki dan sudah sejak dari azali diberikan Yang Maha Kuasa kepada manusia. Ke-merdekaan itu, bisa dalam bentuk keKe-merdekaan spiritual, mental dan material, di mana tak ada satu kekuatan pun yang bisa menjajahnya. Kemudian hak dapat dimaknai sebagai sesuatu yang melekat dalam diri setiap manusia, di mana manusia lain harus memahaminya, menghormatinya serta menjaganya agar tidak dirampas oleh orang lain. Antar hak dan kemerdekaan, keduanya merupakan satu kesatuan dalam diri setiap individu. Artinya, jika seseorang telah mendapatkan haknya, maka otomatis dia menjadi merdeka, demikian pula seba-liknya.

Bangsa Indonesia secara formal telah meraih kemerdekaan dan hakn-ya sejak 17 Agustus 1945, saat wakil rakhakn-yat Indonesia Soekrno-Hatta meproklamirkan kemerdekaan RI. Namun persoalannya kemudian, hingga 67 tahun sesudah proklamasi itu, benarkah bangsa ini telah meraih kemerdekaan itu secara substantive. Jangan-jangan kita cuma mengalami kemerdekaan formalistic tanpa memperoleh kemerdekaan substantif.

Edisi SINERGI Agustus 2013 ini, mencoba untuk mengupas persoalan ini dalam kerangka yang lebih komprehensif dengan mencoba menya-dur sejumlah tulisan terkait persoalan kemerdekaan itu. Ada tulisan sejumlah pakar, diantarnya Adnan Buyung Nasution yang dikenal sebagai pendekar HAM.

Kami jug amenyajikan sejumlah tulisan terkait berbagai hal, mulai dari masalah pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup yang berkaitan dengan kota kita tercinta Tebingtinggi. Selian itu, sejumlah tulisan juga mewarnai SINERGI kali ini, misalnya di halaman, hokum, wanita, agama, juga parlementaria. Ada sisi lain yang kami sorot, misalnya masalah social dan pluralitas.

Ada sejumlah puisi dari pelajar kota ini yang kami tampilkan. Diper-kaya dengan cerpen yang menghanyutkan buah karya sejumlah anak Tebing.

Harus kami akui, hingga kini masih sulit menemukan anak-anak Tebing, biak pelajar dan mahasiswa yang mau menulis secara kon-sisten di media massa terutama cetak seperti majalah kesayangan kita ini. Sekal lagi kami mengundang rekan sekalian biak pelajar dan mahasiswa bahkan guru untuk mau menulis dan menelurkan berbagai ide dan gagasan di majalah tercinta ini. Bukankah redaks menyediakan biaya lelah kalian berpikir menulis sesuatu itu secara pantas.

Berpikirlah, tulislah pikiran kalian, kemudian antar ke meja redaksi. Niscaya kami akan memperhatikannya dan mencatatnya sebagai karya tulis. Jika kemudian layak untuk dimuat, maka kami akan memuatnya dengan senang hati. Dari meja redaksi kami sambut kehadiran anda sekalian dengan penuh sukacita. Salam…

REFERENSI TEBING TINGGI DELI

TERBIT SEJAK 16 Juli 2002 SK WALIKOTA TEBING TINGGI

NO.480.05/286 TAHUN 2002

SINERGI

(3)

DAFTAR ISI

SINERGI EDISI 128 AGUSTUS 2013

4. MOMENTUM

8. SINERGITAS

Enam Puluh Delapan Tahun Kita Sudah

Merdeka!

9. UTAMA

Sikap Generasi Penerus Bangsa Menyikapi

Kemerdekaan

Implementasi Perlindungan Ham Dan

Su-premasi Hukum

18. PENDIDIKAN

16,6 Juta Anak Usia Sekolah Terima

Ban-tuan BSM

19. KESEHATAN

Risiko Dan Solusi Mudik Menggunakan

Sepeda Motor

20. EKONOMI

• Kreatifitas Kerajinan Bunga Kertas Yang

Perlu Perhatian

21. LINGKUNGAN HIDUP

“Making Ecosystem Services Count”

23. HUKUM

Komisi III: Narkoba Seharusnya Jadi Isu

Utama Pidato Presiden SBY

24. PARLEMENTARIA

289 Caleg Berebut 25 Kursi DPRD Tebing

Tinggi

25. PEMKO KITA

86 Ahli Madya Kebidanan Akbid Pemko

Diwisuda

• Kejari Tebing Tinggi Sosialisasikan Pen

-gelolaan Keuangan Daerah

Walikota Tebing Tinggi Kukuhkan 54

Ang-gota Paskibraka

BAZ T.Tinggi Salurkan Zakat Kepada 1000

Dhuafa

Mengakhiri Bulan Ramadhan 1434 H

Sa-fari Ramadhan Pemko Kunjungi Mesjid Al

Haq

• Walikota Tebing Tinggi Tinjau Pospam

Lebaran Pemudik Motor Dihimbau Jangan

Melebihi Kapasitas

267 Warga Binaan Lapas Tebing Tinggi

Dapat Remisi LebaranMakna Id

Tingkat Kehadiran PNS Pemko T.Tinggi 97

Persen

34. LENSA PEMKO

43. AGAMA

‘PNS Harus Bisa Jadi Solusi Permasalahan

Bangsa’

44. SASTRA

Gadis Berkerudung Merah

46. Sastra

47. RAGAM PLURALIS

• Maninjau, Negeri Para Inspirator Dan

Pembaharu

52. OLAH RAGA

Asian Games 2014 Jadi Target Pasangan

Ganda Indonesia

53. INFONASIONAL

Presiden Apresiasi Keikutsertaan Kongres As

Di Perayaan Hut Ri

KPK Luncurkan Radio "Kanal KPK"

54 . INFORMASI TEKNOLOGI

Jaringan Pita Lebar, Katalisator

Perekono-mian Indonesia

Cyber Crime Marak, Perlu e-Goverment

57.

PUISI

58. IKLAN OVOP GRATIS

59. TEPIAN

Riffat Hassan

Redaksi JUANDA

Redaksi KHARUL HAKIM Sekretaris Redaksi

DIAN ASTUTI Pimpinan Redaksi

AHDI SUCIPTO.SH

Bendahara JAFET CHANDRA SARAGIH

Redaksi RIZAL SYAM Koordinator Liputan

Drs.ABDUL KHALIK.MAP

(4)
(5)
(6)

MOMENTUM

Indonesia

(7)
(8)

SINERGITAS

Enam Puluh Delapan Tahun

Kita Sudah Merdeka!

Oleh Khairul Hakim

Enam puluh delapan

sudah kita merdeka, tapi apa yang kita lihat? Duh, harga-harga bahan pokok mahal, me-nyebabkan biaya hidup semakin mem-bubung. Biaya pendidikan tinggi, tak terjangkau masyarakat kelas bawah. Walhasil, orang-orang miskin tak per-nah mengenyam pendidikan secara sempurna. Tak dipungkiri, kemiskinan senantiasa merayap dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Kontras den-gan itu, pejabat-pejabat kita menari-nari di atas penderitaan dan kemiski-nan masyarakat akar rumput. Korupsi, yang menyengsarakan segenap dimensi kehidupan itu, hingga kini terus saja dipertontonkan oleh pejabat yang tak punya hati nurani. Memalukan! Seringkali kita mendengar kekuasaan bergerak tanpa batas. Penguasa se-wenang-wenang dan bertindak tanpa kendali. Atas nama ketertiban para peda-gang miskin yang tengah berjualan digre-bek, sampai-sampai wajah anak pedagang bakso tersiram kuah panas. Rakyat jelata tergusur dari tanah yang hanya sejengkal, demi pembangunan yang tidak pernah dirasakannya. Pelajar miskin dikeluarkan dari sekolah, hanya karena belum mem-bayar uang sekolah. Lengkaplah sudah, lebih lima puluh juta rakyat miskin negeri ini akan tetap miskin dan sepertinya tak akan mampu untuk mengubah diri. Duh! Enam puluh delapan tahun sudah kita merdeka, tapi masih saja pikiran sem-pit nan eksklusif merasuk dalam dada setiap umat. Segenap perbedaan yang muncul di tengah masyarakat ditang-gapi dengan cara permusuhan. Ketika ada yang berbeda dalam hal penda-pat, ras, suku, agama dan prinsip: maka “musnahkan mereka” adalah kata sad-is dari mereka yang tak memaklumi betapa alamiahnya sebuah perbedaan. Berawal dari sini terciptalah gesekan.

Karena persoalan sepele, masih ada saja orang-orang berdemo dengan cara anark-is. Sebaliknya, tetap juga aparat bertindak arogan dan sesuka hati dalam mensuper-visi para demonstran tersebut. Semua berkecamuk. Seakan kerusuhan adalah bagian sejati dari negeri ini. Keseluruhan kejadian itu menunjukkan situasi yang jauh dari kedamaian dan ketenteraman. Enam puluh delapan tahun sudah kita merdeka, tengoklah, betapa takluknya kita pada kehendak dunia internasional dalam menentukan nasib bangsa sendiri. Menyedihkan sekali. Konon, sejak tahun 1967 menurut Kwik Kian Gie -seorang ekonom senior- hanya sekitar dua ta-hun saja negara yang kita cintai ini begitu mandiri dalam bersikap, yaitu pada masa pemerintahan Gus Dur. Kolonialisme dan imperialisme yang berganti kulit jadi ka-pitalisme dan telah diplot sebagai musuh bersama masih sangat terasa dalam kes-eharian kita. Lalu, mana ekonomi rakyat yang sering didengung-dengungkan itu? Bukankah hari ini ekonomi kita sudah di-kuasai oleh pemilik modal? Bukankah itu bagian dari kapitalisme yang menyesat-kan? Tidakkah mereka memperhatikan pedagang kecil miskin (walaupun peda-gang masih tetap dalam keadaan miskin) hanya berharap sesuap nasi dari usahan-ya. Sedangkan para pemilik modal terse-but berusaha menimbun kekayaannya. Enam puluh delapan tahun sudah kita merdeka, kendati demikian hukum tidak pernah tegak dengan tegap di negeri ini. Law inforcement hanya cuap-cuap elit politik. Prilaku penegak hukum yang serakah dan menyimpang berujung pada tindakan ketidakadilan. Si Mbok-mbok nun di penghujung kampung sana, hanya mencuri tiga biji buah cokelat di-hukum berbulan-bulan. Kemudian ada pekerja rumah makan dituduh mencuri piring yang tidak pernah dilakukannya,

harus mendekam dalam penjara. Se-mentara para koruptor yang menyeng-sarakan rakyat, diberi hukuman ringan dan tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya. Padahal mereka adalah pelaku extraordinary crime. Mari kita kenang sejenak sejarah masa lalu, yang terjadi pada kehidupan Nabi Muhammad. Suatu hari elit dari bani Makhzum mengajukan proposal un-tuk meredusir hukuman potong tangan terhadap seorang pencuri perempuan dari kaumnya. Untuk membawa usulan tersebut diutuslah Usamah bin Zaid, agar melalui Usamah yang dikenal dekat den-gan Nabi, kerinden-ganan hukuman dapat diberikan. Melihat hal ini, segera sang Nabi mengumpulkan para sahabatnya, kemudian beliau berorasi dengan lan-tang: “Saudara-saudara sekalian, sung-guh kehancuran masyarakat terdahulu disebabkan mereka tidak pernah meneg-akkan keadilan dalam menjalankan hu-kum. Jika pencuri berasal dari kalangan terhormat (kelompok elit masyarakat), penegakkan hukuman diabaikan. Na-mun bila pencuri berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah, maka hukuman dilaksanakan secara keras. Demi Tuhan, seandainya Fatimah putriku mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Pesan moral yang muncul dari riway-at ini adalah, bahwa hukum baru dis-ebut hukum kalau ia diterapkan dalam prinsip keadilan dan kesetaraan. Tan-pa memandang aTan-pakah dia elit atau masyarakat awam: semua sama saja! Para pemimpin bangsa kita hendaknya dapat belajar dari sejarah masa lalu. Enam puluh delapan tahun kita sudah merdeka, akankah kesejahteraan rakyat, keadilan bagi semua dan kedamaian sejati dapat menjadi milik kita. Semua dari kita wajib berjuang untuk itu. Semoga saja! Indonesia

(9)

UTAMA

Sikap Generasi Penerus Bangsa Menyikapi Kemerdekaan

Upaya pemahaman sejarah

perjalanan bangsa oleh generasi penerus merupakan bagian dari usaha menem-patkan bangsa dalam konteks perubahan zaman yang terus berlangsung, sehingga sumber-sumber sejarah sebuah bangsa akan dapat dijadikan sebagai pemer-satu dan pengikat identitas bangsa di tengah percaturan dan perkembangan hubungan negara bangsa. Ketika seorang warga negara menampilkan gambaran sejarah, maka usaha negara adalah men-coba sejauh mungkin memperkenalkan visi kesejarahan yang relatif tunggal dan memberikan gambaran tentang se-buah sejarah nasional yang dapat dipa-hami dari generasi ke generasi. Melalui penegasan kesejarahan nasional maka identitas bangsa akan terus terpelihara dalam kesatuan kehidupan kebangsaan.

Semakin penting suatu peristiwa akan semakin tinggi pula nilai simboliknya. Peristiwa yang memiliki nilai simbolik tinggi akan lebih mengandung makna dalam sejarah perjalanan bangsa, antara lain mengenai sejarah perjuangan bangsa dalam rangka merebut kemerdekaan.

Proklamasi Kemerdekaan negara Indo-nesia pada 17 Agustus 1945 merupakan buah dan puncak perjuangan bangsa Indonesia sejak berbad-abad sebelumn-ya. Peristiwa pembebasan bangsa In-donesia dari belenggu penjajahan itu makin mengarah kepada pencapaian tujuan ketika masyarakat Nusantara memasuki gerbang abad ke-20 den-gan terjadinya perubahan fundamental dalam strategi perjuangan, yakni dari perjuangan bersenjata kepada perjuan-gan politik melalui berbagai pergerakan dan beragam organisasi sosial politik.

Terdapat benang merah yang sangat jelas dan kuat antara momentum berdirinya berbagai organisasi sosial politik (dimu-lai dengan berdirinya Sarikat Dagang Is-lam pada 1905 dan Budi Utomo 1908) dan berkumandangnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dengan Proklama-si Kemerdekaan 1945. Ketiganya meru-pakan satu rangkaian tonggak-tonggak penting perjuangan pergerakan nasional yang monumental sebagai ikhtiar

kole-ktif bangsa Indonesia membebaskan diri dari imperalisme dan kolonialisme serta membangun jiwa dan raga sebagai suatu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.

Dalam konteks ini kita mendapati secara konkret wujud bangsa Indonesia yang dalam istilah Benedict Anderson imag-ined communitiesatau “komunitas terbayang. Menurut Indonesianis ini, bangsa merupakan suatu komunitas terbayang yang memiliki ikatan keber-samaan dan persatuan sebagai anggota komunitas bangsa tersebut. Inilah yang memungkinkan begitu orang bersedia melenyapkan nyawa pihak lain, bahkan rela membayar perjuangannya den-gan nyawa sendiri demi mewujudkan suatu komunitas terbayang itu. Pada-hal para anggota bangsa terkecil seka-lipun tidak bakal tahu dan tak akan ke-nal dengan sebagian anggota bangsa yang lain, tidak pernah bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka.

Presiden Soekarno dalam Sidang BPUPKI tanggal 18 Agustus 1945 pada acara pe-rumusan Undang-Undang Dasar menga-takan “Negara Indonesia harus diban-gun dalam satu mata rantai yang kokoh dan kuat dalam lingkungan kemakmuran bersama. Kebangsaan yang dianjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri den-gan hanya mencapai Indonesia merdeka, tetapi harus menuju pula pada kekeluar-gaan bangsa-bangsa menuju persatuan dunia. Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.

Makna yang terkandung dalam pidato tersebut, memberikan pesan kepada gen-erasi penerus bangsa untuk secara bahu-membahu membangun bangsa dalam kerangka persatuan. Melalui persatuan dan itikad bulat segenap komponen bangsa akan menjadikan bangsa ini yang kokoh dan kuat sehingga tujuan penca-paian negara sejahtera sebagaimana ter-maktub dalam Pembukaan akan dengan mudah tercapai. Indonesia adalah negara yang suku bangsa dan kekayaannya

be-optimalisasi segenap keanekaragaman yang dimiliki harus menjadi tujuan uta-ma. Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, tetapi semua buat se-mua, semua buat satu. Indonesia harus memiliki keyakinan diri untuk sanggup membela negara sendiri dan memiliki kekuatan yang nyata sebagai bangsa.

Pada tingkatan sekarang, segenap kom-ponen bangsa harus terlebih dahulu sa-dar akan kemampuan dan potensi yang dimiliki dan menyatupadukan segenap kehendak rakyat dalam rangka menca-pai tujuan membentuk negara sejahtera. Enam puluh dua tahun adalah usia merdekaan bangsa Indonesia. Nilai ke-merdekaan yang sudah dinikmati selama puluhan tahun ini merupakan modal dasar dalam melaksanakan proses pem-bangunan nasional. Namun dalam usia yang sudah sedemikian, bangsa Indone-sia masih terus berada dalam pasang su-rut. Proses pembangunan bangsa Indo-nesia memang sempat tersendat akibat adanya berbagai musibah dan bencana alam yang akhir-akhir ini sering terjadi. Tsunami, gempa, banjir, kekeringan,

ga-gal panen, flu burung, polio, dan lain

sebagainya, merupakan sebagian dari peristiwa alam atau peristiwa sosial yang menjadi penghambat kelancaran proses pembangunan. Di samping itu, ada hal lain yang memprihatinkan, yaitu mun-culnya perilaku sosial yang kurang men-dukung pada proses pengisian nilai-nilai kemerdekaan Indonesia. Tindak pidana korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran hukum dan HAM, masih terus berlang-sung Oleh sebab itu, melalui peringatan hari kemerdekaan Indonesia dapat di-jadikan sebagai momentum melakukan

refleksi nasional, memaknai kembali

nilai-nilai yang dikandung dalam ke-merdekaan negara Indonesia dan men-umbuhkan kembali karakter perjuangan bangsa sebagai ciri khas dalam mendiri-kan dan membangun bangsa. Karakter bangsa adalah ciri khas yang dimiliki oleh sebuah bangsa, inilah yang mem-bedakan suatu bangsa dengan bangsa lain. Hal inilah yang harus terus dikem-bangkan dalam rangka mewujudkan pen-citraan bangsa dalam membangun dan

(10)

UTAMA

Kemerdekaan merupakan hasil dari proses kerja dan usaha para pejuang masa lalu, persoalan ke depan yang harus dilakukan oleh generasi penerus bangsa adalah bagaimana memaknai konteks kemerdekaan tersebut disesuaikan dengan hal-hal yang berkembang dalam rangka pen-capaian tujuan bangsa dan kondisi sosial politik bangsa. Dengan de-mikian, segenap komponen bangsa dituntut untuk dapat mengedepankan makna kemerdekaan sesuai dengan keberadaan dan spesifikasi bidang dalam konteks pencapaian tujuan pe-nyelenggaraan negara secara optimal. Konteks kemerdekaan harus dimak-nai melalui per wujudan bersatupa-dunya segenap aspek, sumber daya, dan penyelenggara negara dalam sis-tem penyelenggaraan negara menuju tercapainya masyarakat sejahtera.

Seiring dengan perkembangan ke-hidupan global dan tuntutan sebagai akibat dari adanya kemajuan dalam segala bidang, kemerdekaan bangsa harus kita terjemahkan dalam format pembentukan kedaulatan ekonomi, demokratisasi, serta kebebasan se-luruh rakyat Indonesia dari segala bentuk belenggu kemiskinan, kebo-dohan, dan keterbelakangan. Indi-kator-indikator ekonomi dan sosial inilah yang menentukan makna dan tingkat pencapaian kemerdekaan, sekaligus juga untuk menandai adan-ya kemajuan bangsa dalam perjala-nan sejarah penyelenggaraan negara.

Di era globalisasi saat ini, makna ke-merdekaan merupakan sebuah fakta interdependensi di mana bangsa, kelompok, dan individu masyarakat saling tergantung satu sama lain un-tuk secara bersama-sama memajukan peradaban dan pengembangan ke-manusiaan. Tak jarang dalam proses interdependensi demikian muncul berbagai perbenturan kepentingan ataupun konflik peradaban yang se-cara tidak langsung akan meng-giring masyarakat untuk terper-osok ke dalam perangkap politik identitas sempit bersifat komunal.

Ekses negatif dari arus globalisasi dan liberalisasi apabila tidak direspons secara arif, khususnya oleh para elite politik kita, justru akan mengan-cam makna kemerdekaan di tingkat individual di masyarakat. Oleh ka-rena itu, pengukuhan terhadap nilai-nilai dasar dari nasionalisme yang telah dibentuk sejak kemerdekaan, yaitu kecintaan terhadap pluralisme bangsa, solidaritas dan persatuan, merupakan ihwal yang esensial un-tuk dikembangkan sebagai upaya mengisi makna kemerdekaan kita.

Pluralisme tersebut di atas men-jadi faktor yang sangat menentu-kan dalam perjalanan panjang se-jarah bangsa Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa depan. Untuk itu perlu ada kesadaran dan komit-men seluruh bangsa guna komit- menghor-mati kemajemukan bangsa Indonesia dalam upaya mempersatukan kehidu-pan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi tetap tegaknya Ne-gara Kesatuan Republik Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Kini tantangan dan kebutuhan bang-sa telah berubah. Medan perjuangan telah bergeser jauh dibanding era Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Kondisi yang ada di hadapan bangsa telah berubah secara mendasar. Se-cara umum kondisi saat ini dalam berbagai aspek telah jauh berkem-bang dan maju dibanding era revo-lusi kemerdekaan tahun 1945. Namun demikian di sisi lain masih didapati kondisi buruk yang hidup di negeri ini, antara lain masih maraknya ko-rupsi, kolusi, dan nepotisme, lemahn-ya penegakan hukum, belum opti-malnya penerapan demokrasi, masih munculnya konflik bersenjata antar-kelompok masyarakat, menurunnya penerapan nilai-nilai agama dan mor-al, berkembangnya pergaulan bebas, dan maraknya penyalahgunaan narko-ba. Seiring dengan itu sebagai damp-ak negatif globalisasi, di berbagai be-lahan dunia, termasuk di Indonesia, berkembang “kolonialisme gaya baru, antara lain melalui politik,

mi-liter, ekonomi, dan budaya yang san-gat merugikan kepentingan dan ke-daulatan negara-negara berkembang.

Mengingat besarnya persoalan yang dihadapi bangsa tersebut, diperlu-kan kekuatan yang besar dan hebat untuk mengatasi dan menyelesaikan-nya. Kekuatan itu akan terbentuk jika dapat diwujudkan peneguhan kembali ikatan batin atau komitmen semua warga negara kepada cita-cita nasionalnya, yang disertai pembaruan tekad bersama untuk melaksanakan-nya secara konsisten dan konsekuen.

Terkait dengan ini, hendaknya kita pahami bersama bahwa peneguhan kembali ikatan batin dan pembaru-an tekad bersama dari seluruh kom-ponen bangsa merupakan kesempatan sejarah yang lain yang tidak kalah heroiknya dibanding kesempatan seja-rah di sekitar zaman Proklamasi. Itu-lah kesempatan yang bisa kita tangkap dan kita kembangkan dalam semangat yang serupa dengan mereka yang me-nangkap kesempatan sejarah dalam zaman revolusi kemerdekaan dahulu.

Mengingat pada zaman Proklamasi 1945 kaum pemuda telah memain-kan sejarah sangat penting, maka sekarang ini kaum pemuda dipanggil kembali untuk mengambil peran kes-ejarahan yang lain (another historical opportunity), yaitu untuk berjuang kembali mengatasi dan menyelesai-kan masalah-masalah bangsa yang berkembang dewasa ini bersama-sa-ma komponen bangsa yang lain secara demokratis dan konstitusional. Kaum pemuda, baik secara perorangan mau-pun kelompok dan organisasi, dapat mengambil peran sesuai ruang lingkup tugas, pekerjaan, dan pengabdiannya. Baik hal itu dilakukan dalam kapasi-tasnya sebagai pengurus karang taru-na atau remaja masjid, aktivis LSM, kader organisasi, pegawai pemer-intah, pegawai swasta, guru, dosen, peneliti, politisi, polisi dan tentara, nelayan, petani, dan lain sebagainya.

(11)

UTAMA

Terkait dengan ini, kaum pemuda hendakn-ya menhendakn-yadari bahwa “penjajahan gahendakn-ya baru yang tengah melanda berbagai negara berkembang, termasuk di negeri kita, tidak kalah merusaknya dibanding penjajahan bersenjata pada zaman dahulu. Oleh karena itu, kehidupan bangsa hendaknya dikem-balikan dengan mengacu kepada nilai-nilai luhur bangsa yang berlandaskan ajaran agama, moral, dan etika. Kaum pemuda da-pat membentuk budaya sendiri yang men-gakar kepada kepribadian dan adat istiadat masyarakat kita sendiri yang telah berkem-bang selama ratusan tahun, yang berciri religius, persaudaraan, persahabatan, dan harmoni dengan alam dan masyarakat. Bu-daya kita tersebut memiliki kelebihan dan keunggulan dibanding budaya impor dari negara maju yang bermuatan hedonisme, individualisme, dan liberalisme. Untuk itu-lah, kaum pemuda hendaknya memegang erat budaya bangsa serta mengembangkan-nya secara terus menerus agar sesuai dengan perkembangan zaman selama tidak menjadi kehilangan ciri khas dan substansi asalnya.

Peneguhan kembali ikatan batin dan pemb-aruan tekad bersama oleh kaum pemuda itu sangat membutuhkan kesadaran sejarah pertumbuhan bangsa dan perjalanan bangsa

pada masa lalu yang dipenuhi masa pasang dan surut serta suka duka. Terkait dengan ini, penting bagi kaum muda untuk mem-pelajari sejarah bangsa kita secara utuh, obyektif, dan kritis. Berbagai lembaran se-jarah Indonesia memberikan pelajaran dan pengalaman penting bagaimana seharusn-ya kaum pemuda memainkan peran dan membuat sejarah saat ini dan masa datang.

Terkait dengan hal ini, kaum pemuda hen-daknya memiliki penghargaan yang tinggi kepada para pahlawan, pejuang, dan tokoh pada masa lalu yang telah mengukir dan membuat sejarah. Mereka telah memberi-kan pengabdian jauh di atas standar kewa-jaran, bahkan mengorbankan jiwa dan rag-anya untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Adalah sangat penting kaum muda menempatkan mereka pada tempat terhormat dengan tetap menyadari bahwa mereka juga tetap manusia yang tidak luput dari salah dan kekurangan. Prinsip kaum pe-muda dalam hal ini adalah apa-apa yang baik dari mereka hendaknya diteruskan, dan apa yang tidak baik, hendaknya ditinggalkan.

Perjuangan kemerdekaan adalah perjuan-gan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Nilai

dasar perjuangan berperan sebagai pemicu membangkitkan semangat bangsa dalam upaya pembangunan segala bidang, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan kemanan, dan keagamaan. Saat ini, su-dah seharusnya segenap komponen bangsa bahu membahu menyatukan langkah me-majukan bangsa, khusus untuk penyeleng-gara nepenyeleng-gara perwujudannya dapat dilakukan melalui perumusan kebijakan pemerinta-han yang menjunjung tinggi nilai kemanu-siaan dan nilai-nilai kebenaran. Untuk gen-erasi muda, momentum kemerdekaan dapat dijadikan sebagai pemicu membangkitkan semangat kebangsaan dan patriotisme.

Akhirnya, momentum peringatan ke-merdekaan dapat dijadikan sebagai bagian dari upaya memperkaya pengetahuan ten-tang sejarah perjuangan bangsa yang dihara-pkan akan membantu membentuk dan me-matangkan kepribadian dan meneguhkan tekad serta semangat penyelenggara negara dan generasi bangsa untuk membangun masyarakat dan bangsa sesuai ruang ling-kup tugas, pekerjaan, dan pengabdiannya. Disadur dari Artikel HM Hidayat Nur Wa-hid (Mantan Ketua MPR RI). Abdul Khalik.

(12)

UTAMA

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN

HAM DAN SUPREMASI HUKUM

Oleh: Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution

Persoalan hak-hak asasi

manusia (HAM)

merupakan masalah hukum dan politik yang saya geluti sejak akhir tahun 1960-an dan awal dasawarsa 1970-an melaluiLem-baga Bantuan Hukum (YLBHI). Pengala-man ini terkristalisasi sedemikian rupa dalam diri saya sebagai manusia Indo-nesia dan mempersubur kesadaran in-telektual saya sebagai sarjana hukum ketatanegaraan untuk kemudian mel-akukan studi,antara lain mengenai per-gulatan pemikiran para pemuka bangsa ini tentang HAM dalam perdebatan di Majelis Konstituante (1956- 1959). Gabungan antara perspektif konstil-tusionalisme dalam kajian yang saya gunakan,pengalaman dan pergumulan selama ini membuat saya selalu melihat HAM bukansemata persoalan hukum, tetapi lebih sosiologis. Bahwa HAM se-bagai bagian dari hukum internasional pada saat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkait dengan masalah politik, sosial dan budaya. Pandangan ini diperkuat dengan hasil telaahan historis, yang ke-mudian memperkokoh keyakinan pada diri saya bahwa masalah HAM, bukan semata-mata pemikiran barat, tetapi merupakan persoalan yang nilai-nilainya terkait dengan dan mendasari pergera-kan kemerdekaan Indonesia. Dengan lain perkataan, substansi dan nilai-nilai HAM memiliki akar yang dalam, didalam dialektika perjuangan bangsa ini sejak sebelum kemerdekaan sampai seka-rang. Berdasarakan premis pemikiran inilah, saya ingin mengajak forum dalam kesempatan ini, untuk memikirkan persoalan memajukan implementasi perlindungan HAM dalam konteks pen-egakan supremasi hukum di negeri ini.

Latar Kesejarahan

Gencarnya kampanye promosi HAM di berbagai belahan dunia dan di tanah air lebih dari dua dasawarsa terakhir mem-beri kesan kepada masyarakat bahwa

seolah-olah masalah HAM merupakan pemikiran asing, yang sepenuhnya barat, yang kemudian “dipaksakan” supaya dit-erima oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi karena dua hal pokok. Pertama kekuasaan negara selama lebih dari em-pat puluh tahun berhasil mengeleminir pemikiran tentang HAM yang mele-kat dalam sejarah perjuangan bangsa di satu sisi, dan kedua pada sisi yang lain karena kealpaan kalangan akad-emisi dan cendekiawan untuk menggali serta penelusuri persoalan HAM dalam khazanah pemikiran bangsa sendiri. Seperti diketahui, pemikiran anti HAM dalam perdebatan dan perumusan UUD 1945 di BPUPKI memang lebih domi-nan. Akan tetapi berkat kegigihan Mo-hamad Hatta dan Yamin, beberapa pasal tentang HAM seperti jaminan atas kebe-basan beragama dan kebekebe-basan berseri-kat dan berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan lain sebagainya, bisa masuk di dalam kon-stitusi tersebut, Kalau ditelusuri lebih mendalam substansi nilai HAM ini jelas terkait dan mendasari seluruh gerak per-juangan kemerdekaan. Seperti muncul secara dominan saat perumusan Deklara-si Universal HAM ( Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948, primus interpares hak-hak asasi manusia ada-lah dignity of man, kemuliaan manusia. Padanan kata Inggris “dignity” didalam bahasa Indonesia adalah derajat atau yang lebih tepat adalah martabat. Martabat adalah sesuatu yang mele-kat dalam diri manusia. Oleh sebab itu kalau kita perhatikan seluruh konvensi dan atau kovenan internasional beri-kut protokolnya tampak bahwa seluruh hak-hak yang masuk dalam hak asasi manusia terkait dan dirumuskan dalam kerangka (melindungi, menghormati atau meninggikan) martabat manusia. Masalah martabat dan inti kemuliaan manusia itu sudah dipikirkan sejak abad ke 12, bahkan lebih subur lagi muli abad ke 15 dan 16 dalam sejarah Eropa. Tum-buh suburnya pemikiran ini terkait

den-gan absolutisme kekuasaan raja-raja yang menindas dan sewenang-wenang. Kesepakatan internasional tentang HAM yang termuat dalam DUHAM dicapai karena adanya keprihatinan bersama mengenai terinjak-injaknya martabat manusia dalam dua kali perang dunia, terutama dalam Perang Dunia II. Seba-liknya, terhina-dinakannya martabat ma-nusia Indonesia terkait dengan kejamnya penguasa kolonial yang dimulai abad ke-15, justru pada saat di Eropa, negara asal para penjajah dunia ketiga, sedang tum-buh pemikiran mengenai hak-hak alami-ah manusia untuk memuliakan manusia. Bangkitnya kesadaran nasional sebagai embrio pergerakan kemerdekaan dapat dilihat sebagai awal bangkitnya nasion-alisme Indonesia. Tetapi dari sudut yang lebih mendasar tumbuhnya kesadaran nasional tersebut merupakan awal dari berkembangnya kesadaran tentang martabat manusia Indonesia sebagai reaksi atas penindasan penguasa kolo-nial. Inilah akar menumbuhkan cita-cita bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari kolonialisme. Secara historis, cita-cita tersebut pertama kali dicetus-kan oleh Budi Utomo Pada tahun 1908 yang, bertujuan untuk memajukan pen-didikan “orang Jawa”(baca: orang In-donesia, karena istilah itu belum dike-nal pada saat itu) menjadi bangsa yang setara atau sederajat dengan bangsa-bangsa lain yang beradab di dunia. Sekalipun disebut orang Jawa, namun yang dimaksud pada hakekatnya adalah meningkatkan derajat bangsa (terjajah) Indonesia agar setara dengan bangsa-bangsa lain. Cita-cita untuk mengangkat martabat manusia Indonesia itu muncul semakin jelas dalam perdebatan antara Soetatmo dan dr. Tjipto Mangunkusumo. Perdebatan di antara mereka berkisar sekitar orientasi pendidikan dan bu-daya dalam rangka memajukan marta-bat manusia Indonesia. Soetatmo lebih

(13)

UTAMA

berorientasi budaya dan nasionalisme Jawa, sedangkan Tjipto lebih menga-jukan tawaran pemikiran untuk lebih berorientasi nilai-nilai budaya moderen sehingga gagasan nasionalisme yang ditawarkannya bukanlah yang berori-entasi Jawa tetapi nasionalisme yang moderen. Apa yang mereka sengketakan adalah soal cara dan orientasi budaya, tetapi keduanya berpikir sama dalam kerangka mengangkat martabat manu-sia. Orientasi pemikiran tersebut bukan hanya sampai pada perlunya pengem-bangan nasionalisme Indonesia yang moderen, tetapi bagi Tjipto sampai pada perlunya pengembangan demokrasi. Tjipto memandang, demokrasi lebih sesuai dengan cita-cita meningkat-kan martabat manusia Indonesia. Pergulatan dalam merumusan cita-cita perjuangan bangsa ini berkembang terus hingga mencapai puncaknya yang ditandai dengan Sumpah Pemuda 1928, yaitu peristiwa monumental disana diikrarkan sosok bayangan keindone-sian: Satu Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa Indonesia. Deklarasi Sumpah Pe-muda dapat ditafsirkan sebagai bingkai untuk mewujudkan upaya meninggikan martabat manusia Indonesia dalam sua-tu ikatan kebangsaan. Didalamnya im-plisit hasrat mewujudkan suatu Negara Indonesia. Dan di dalam Negara Indo-nesia itu, menurut Hatta, yang berlaku adalah “Daulat rakyat”. Bentuk negara-nya itu sendiri, sebagaimana Sebelumn-ya sudah dicanangkan oleh Tan Malaka, adalah republic sebagai alternatif dari sistem pemerintahan penjajah, bukan kerajaan. Sejak itu dengan meminjam judul buku Tan Malaka, sejarah per-juangan bangsa adalah tidak lain meru-pakan perjuangan menuju republik. Dicapainya Proklamasi Kemerdekaan tanggall 17 Agustus 1945 dapat di-pandang sebagai puncak dari tumbuh-berkembangnya cita-cita bangsa terse-but. Para pendiri bangsa itu sendiri, menandai peristiwa monumental itu sebagai “pintu gerbang” bagi proses pemerdekaan bangsa Indonesia. Men-gacu kepada pikiran Bung Karno, proses pemerdekaan ini mencakup ke-dalam maupun keluar. Pemerdekaan kedalam mengandung arti sebagai proses pemerdekaan rakyat Indonesia

dalam rangka memanusiakan setiap individu manusia Indonesia agar men-jadi manusia yang sederajat dengan manusia-manusia dari bangsa lain. Pada saat kita dijajah oleh Belanda mau-pun Jepang, rakyat kita, orang-orang Indonesia dianggap koeli di antara koeli-koeli di dunia, yang dapat dihina dan diperjual-belikan sebagai budak. Proses memerdekakan manusia Indo-nesia dimaksudkan agar setiap orang Indonesia apapun suku bangsa, agama, keturunan, ras, warna kulit ataupun la-tar belakang sosial dan budayanya, se-muanya harus dipandang, diakui dan dihormati sama kedudukan dan marta-batnya. Dengan lain perkataan proses pemerdekaan manusia Indonesia adalah upaya untuk membebaskan rakyat In-donesia dari segala bentuk penindasan penghinaan dan pelecehan dari siapapun atau oleh siapapun, tidak terkecuali diri pemerintah negaranya sendiri sehingga mereka menjadi tuan di negaranya sendi-ri yang dihormati oleh semua orang. Pemerdekaan keluar berarti proses pen-ingkatan harga diri bangsa Indonesia dalam pergaulan Internasional melalui berbagai upaya diplomatik, sehingga di-terima sebagai bangsa bermartabat dan masuk dalam jajaran bangsa-bangsa beradab di dunia. Upaya-upaya untuk mewujudkan kesederajatan sebagai sebuah bangsa ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia diterima dan memperoleh pengakuan dari bangsa lain atas dasar kesederajatan terse-but. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Pemerdekaan rakyat di dalam negeri merupakan prasyarat bagi peningka-tan derajat bangsa secara keseluru-han di forum internasional. Dari sudut pandang inilah pentingnya. Dari sudut pandang inilah pentingnya legislasi HAM dalam konstitusi berikut undang-undang organik serta implementas-inya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena merupakan dasar bagi upaya peningkatan dan pengakuan bangsa lain atas tinggi-rendahnya bang-sa Indonesia sebagai bangbang-sa beradab. Berdasarkan telusuran historis seperti itu, saya sampai pada kesimpulan bahwa komitmen terhadap apa yang sekarang disebut sebagai hak-hak asasi manusia itu merupakan benang merah yang

men-jadi serat dari keseluruhan perjuangan bangsa untuk memerdekakan manusia Indonesia pada zaman penjajahan, dari status budak atau koeli yang dijajah menjadi manusia Indonesia yang bebas merdeka sedangkan pada pasca ter-bentuknya Negara Indonesia, berwujud pemerdekaan dari belenggu kekuasaan bangsa sendiri yang otoriter dan dari berbagai keterbelakangan yang meren-dahkan martabat manusia Indonesia. Se-muanya itu ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonsia.

Tujuan mengangkat harkat dan mar-tabat setiap manusia Indonesia inilah yang saya maksudkan sebagai pers-pektif perjuangan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang dengan sendirinya harus dipahami sebagai komitmen

Na-sional. Apapun dan siapapun aktifis

Hak Asasi Manusia yang berjuang di ne-gara ini baik dalam bentuk perorangan, kelompok, golongan, lembaga swadaya masyarakat, ataupun ORNOP, partai-partai bahkanseluruh aparat kekuasaan termasuk polisi dan tentara (militer) dan lain sebagainya harus memahami bahwa perjuangan HAM yang mereka lakukan adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia agar menjadi anak bangsa yang terhor-mat dan bermartabat. Dengan demiki-an berkembdemiki-angnya isu HAM di negeri kita dalam dua dasawarsa terakhir ini tidak bisa dikatakan sebagai ditentukan oleh desakan masyarakat internasional; masalah HAM itu sendiri tak bisa dika-takan sepenuhnya mengambil pemikiran barat, karena akar-akar gagasan tentang HAM itu sendiri melekat dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Dalam studi men-genai perdebatan di Konstituante, saya menemukan fakta politik bahwa tidak satu pun pemuka bangsa yang mewakili seluruh komponen masyarakat Indone-sia yang menolak hak-hak asasi manuIndone-sia. Di antara mereka memang ada pro-kon-tra mengenai tiga atau empat isu yang berkaitan dengan agama yang belum terselesaikan. Tetapi mereka sudah ber-hasil merumuskan pemikiran mengenai hak-hak yang di kemudian hari masuk dalam kovenan hak sipil dan politik, atau kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya, Indonesia

(14)

UTAMA

bahkan termasuk mengenai hak-hak pembangunan yang baru dirumuskan PBB sekitar dua dasawarsa kemudian. Meskipun demikian, tentu saja faktor ekternal atau pengaruh internasional

tidak perlu dinafikan, karena masyarakat

barat sudah terlebih dahulu memikirkan-nya secara sistematis sehingga amat wa-jar kalau mereka cukup dominan dalam perumusan berbagai piagam atau ber-bagai konvensi/kovenan tentang HAM. Tetapi perlu segera dicatat bahwa semua produk instrumen HAM itu adalah hasil kesepakatan seluruh bangsa. Dimuka bumi ini pengaruh internasional itu pun merupakan konsekuensi saja dari keterikatan bangsa ini sebagai bagian dari komunitas internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa.

Ham Untuk Mencegah

Absolutisme Kekuuasaan

Negara

Berdasarkan pemahaman tentang akar HAM, dalam sejarah perjuangan bang-sa itu, menurut hemat bang-saya, persoalan penegakan HAM haruslah dilihat dari cita-cita bangsa untuk mengangkat har-kat dan martabat manusia Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa penyalah-gunaan Kekuasaan Negara (abuse of power) merupakan ancaman paling efek-tif terhadap hak-hak asasi yang meren-dahkan martabat manusia sebagaimana dibuktikan selama 40 tahun terakhir. Terutama kecenderungan penguasa un-tuk membangun kekuasaan yang abso-lute. Cita-cita bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia tersebut dapat bahkan harus dijadikan alat ukur untuk menakar rejim-rejim yang pernah berkuasa setelah Indonesia merdeka. Adanya perlakuan sewenang-wenang terhadap hak-hak asasi manusia oleh penguasa dalam empat puluh ta-hun terakhir, baik apa dalam masa Orde Lama maupun Orde Baru, sudah meny-impang dari cita-cita bangsa untuk men-gangkat martabat manusia Indonesia. Kita mesti mengambil pelajaran penting dari kecanggihan rejim Orde Baru dalam mengeliminir hak-hak asasi manusia

den-gan menggunakan berbagai instrument

politik. Secara sosial, HAM dikualifikasi -kan sebagai paham individualistik yang bertentangan dengan watak dan kepriba-dian bangsa Indonesia yang kolektivistik; secara politik HAM distigmatisasi seba-gai paham liberalistik yang bertentan-gan denbertentan-gan Pancasila; dan secara budaya diajukan argument partikularistik bahwa bangsa Indonesia memiliki hak-hak asasi sendiri (khas) yang didasarkan pada bu-daya bangsa. Pemikiran partikularistik tersebut dipakai untuk menolak watak universal dari HAM yang secara efektif memungkinkan dilahirkannya kebija-kan politik, termasuk di bidang hukum, yang mengabaikan hak-hak asasi ma-nusia. Bagi saya sendiri, kecenderungan semacam itu -yang juga mewarnai zaman Orde Lama - dimungkinkan terjadi

ka-rena filosofi kenegaraan, staatssidee in -tegralistik dari Soepomo, yang menjiwai UUD 1945 waktu itu, yang pada dasarnya menolak hak-hak asasi manusia, kendati di dalamnya ada beberapa pasal menge-nai hak-hak warganegara. Seperti kita ketahui, hasil dari kecenderungan itu adalah absolutism kekuasaan negara yang dipegang kepala negara (presiden). Ini sebenarnya yang menjadi dasar bagi saya menawarkan constitutional govern-ment atau constitutionalism sebagai al-ternatif pendekatan untuk memikirkan reformasi sistem politik dan pemerin-tahan di Indonesia, yang saya tawarkan jauh-jauh hari sebelum munculnya gera-kan reformasi. Tawaran ini juga secara pro-aktif saya ajukan pada saat mulai munculnya gagasan untuk mengamande-men UUD 1945. Menurut paham ini, hak-hak asasi manusia yang secara tertulis harus secara ekspilit dan terinci tertuang dalam konstitusi. Dengan demikian se-cara normatif hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga negara maupun kewajiban negara terdeskripsikan secara jelas seba-gaimana kerangka berpikir perumusan HAM PBB, mulai dariMDUHAM dan berb-agai konvensi/kovenan lainnya. Rumusan konstitusi akan menjadiMukuran atau ta-karan untuk membatasi kekuasaan nega-ra, kekuasaan pemerintahMkhususnya. Aturan normatif memang tidak dengan

sendirinya berefek membatasiMkekua-saan negara. Akan tetapi apa yang tertu-ang dalam konstitusi bisa menjadi dasar dan instrumen bagi masyarakat sipil, bagi rakyat, untuk menilai, bergerak dan melakukan tuntutan terhadap negara. Jaminan konstitusional atas hak-hak asa-si manuasa-sia memberikan dasar yang ko-koh bagi rakyat pemilik kedaulatan, yang nota bene memiliki dasar historis untuk ikut menentukan corak kekuasaan nega-ra. Dimasukkannya hak-hak asasi manu-sia ke dalam UUD 1945, melalui amande-men dalam beberapa tahun terakhir ini, dapat dicatat sebagai langkah awal dalam menjabarkan cita-cita bangsa ini untuk menghormati dan meningkatkan harkat dan martabatnya, sekaligus meletakkan rambu-rambu untuk mencegah lahirnya kembali penguasa negara yang otoriter .

Supremasi Hukum Dalam

Rangka Peningkatan

Perlindungan HAM

Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti diketahui, ada sejumlah produk politik yang penting tentang HAM. Ter-catat mulai dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, kemudian amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah me-masukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak-hak asasi manusia, UU No, 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah dilakukannya amandemen dengan sendirinya UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitu-sional untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Adanya undang-undang tentang HAM dan per-adilan HAM, merupakan perangkat or-ganik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau se-baliknya penegakan supremasi hu-kum dalam rangka perlindungan HAM.

(15)

Semua ini melengkapi sejumlah kon-venan PBB tentang HAM seperti ten-tang hak-hak perempuan, hak anak atau kovenan tentang anti diskrim-nasi serta kovenan tentang anti

tinda-kan kekejaman yang sudah diratifikasi.

Saya sendiri memang kurang puas den-gan pasal-pasal tentang HAM yang su-dah tercantum dalam UUD 1945. tetapi, menurut hemat saya, akan lebih baik kalau pasalpasal inti dari DUHAM, kov-enan hak sipil dan politik, dan kovkov-enan hak ekonomi, sosial dan budaya secara komprehensif dimasukkan ke dalam UUD 1945. Namun demikian, dimasuk-kannya sejumlah hak dalam UUD 1945 tersebut dengan sendirinya mengand-ung makna simbolik dan menjadi dasar

bagi diratifikasinya, khususnya dua kov -enan yang amat monumental yaitu kov-enan hak sipil dan politik serta kovkov-enan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protokol-protokolnya sebagaimana yang sudah diagendakan dalam Rencana Aksi Nasional HAM sejak 1998 walaupun tampaknya tidak berjalan dengan baik. Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan lang-sung dengan upaya penegakan hukum. Saya mencatat, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga terse-but, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendi-rinya upaya-upaya peningkatan peng-hormatan dan perlindungan HAM ini me-miliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan per-adilan HAM yang memungkinkan ber-bagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan. Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletak-kan dalam kerangka supremasi hukum. Dengan demikian pula apa yang saya katakan di atas “perjuangan harus dipa-hami sebagai komitmen nasional” mem-peroleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelem-bagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana di-lakukan lembaga-lembaga di luar negeri tidak penting. Peran masyarakat tetap

penting, karena institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebi-hlebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya Negara, lebih khusus aparat pemerintah -terutama yang berurusan dengan kea-manan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM. Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara) berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan tetapi bila dilihat dari penega-kan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin menyempurna-kan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM. Kalau demikian halnya, kemudian muncul agenda besar. Pertama, menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang secara eksplisit sudah memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM. Termasuk disesuai-kan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional tentang HAM, baik dari segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelemba-gaan Komnas HAM dan peradilan HAM. Kedua, melakukan inventarisasi, men-gevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentan-gan denbertentan-gan HAM. Termasuk UU yang dihasilkan dalam lima tahun terakhir ini. Hal ini sebagai konsekuensi dari watak rejim sebelumnya yang memang anti-HAM, sehingga dengan sendirinya produk UU-nya pun sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda ini seja-lan dan dapat disatukan dengan agenda

reformasi hukum nasional dan ratifikasi

konvensi/kovenan, internasional ten-tang HAM yang paling mendasar sep-erti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, social dan budaya berikut protocol operasionalnya. Dari segi uku-ran maupun substansi serta permasala-hannya hal ini merupakan agenda rak-sasa. Untuk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat yang memiliki perhatian

yang sama seperti kalangan LSM bi-dang hukum. Dan untuk itu pula perlu dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelak-sanaannya dilakukan bertahap. Ketiga, mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi per-adilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Dalam kesem-patan ini, saya tidak ingin ikut membic-arakan persoalan memburuknya kondisi system peradilan kita, akan tetapi yang perlu diprioritaskan dalam pengem-bangan kelembagaan ini adalah menin-gkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungn-ya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini harus disadari betul mengingat masalah HAM baru masuk secara resmi dalam bebera-pa tahun terakhir ini saja dalam sistem

peradilan kita. Bahkan, perlu diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dika-takan pada umumnya, aparat penegak hu-kum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Lebih-lebih untuk menangani perka-ra hukum di peperka-radilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institu-tional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak. Keempat, penting juga diagendakan ada-lah sosialisasi dan pemahaman tentang HAM itu sendiri, khususnya di kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan in-stansi yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah HAM. Sosialisasi pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekejaan raksasa, dan sangat terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya. Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan ber-urusan dengan masyarakat yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini dis-ebabkan, antara lain bukan semata-mata karena kurang memahami masalah HAM, akan tetapi juga karena mereka umumnya kurang dapat melaksanakan ramburam-bu profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun aparat keamanan.

UTAMA

Indonesia

(16)

Kelima, tentu saja kerjasama dengan kalan-gan di luar pemerintahan, terutama kalankalan-gan Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi agenda yang ter-program dengan baik. Bukan saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalan-gan masyarakat sebagaimana terjadi di masa lalu. Dalam kerangka mengembangkan iklim yang lebih demokratis, kini saatnya kalangan pemerintah, bersikap lebih terbuka kepada masyarakat, lebih-lebih untuk keinginan bersa-ma mebersa-majukan HAM dalam konteks penega-kan hukum. Perlu disadari bahwa kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga LBH /YLBHI, sudah lama berkecimpung di bidang penega-kan HAM, sejak ketika HAM masih dipandang sebagai masalah sensitif atau bahkan subversif secara politik. Pengalaman panjang mereka dapat dimanfaatkan untuk penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM.

Perjuangan HAM untuk Memperkokoh Keutuhan Bangsa dan Negara

Seperti saya singgung di atas! bahwa peran-per-an kalperan-per-angperan-per-an di luar Negara tetap dperan-per-an akperan-per-an tetap penting dalam penegakan HAM, termasuk penegakan supremasi hukum, sekalipun Ne-gara mulai menjalankan fungsi dan kewajiban-nya untuk menjamin dan melindungi HAM. Dalam perspektif konstitusionalisme, penega-kan HAM dan supremasi hukum yang menjadi kewajiban imperatif Negara tidak akan den-gan sendirinya direalisasikan manakala tidak didukung dan memperoleh desakan efektif masyarakat. Lebih-lebih untuk masalah HAM yang jelas-jelas berimplikasi membatasi kekua-saan Negara. Oleh sebab itu, peran masyarakat menjadi penting, dan akan terus penting mengingat masyarakat juga berkepentingan dengan penegakan supremasi hukum dan HAM. Apalagi, sebagaimana saya kemukakan di bagian awal, dengan mengacu kepada seja-rah perjuangan bangsa maka perjuangan untuk menegakan, menjunjung tinggi dan menghor-mati hak-hak asasi manusia dengan sendirinya harus menjadi kewajiban semua pihak. Dengn lain perkataan, menjadi komitmen Nasional. Lebihlebih Indonesia sudah memberikan komitmennya sebagai warga bangsa-bangsa di dunia yang terikat dengan Piagam Universal Declaration of Human Rights. Ini merupakan konsekuensi masuknya Indonesia ke dalam masyarakat dunia ketika menandatangani pi-agam Perserikatan Bangsa Bangsa (United

Na-tion Charter) pada tahun 1950 di mana bangsa dan negara kita mengikatkan diri untuk ikut mempromosikan HAM. Hal ini berarti bah-wa bangsa dan negara kita sejak saat itu bah-wajib menjunjung tinggi dan menjamin berlakunya HAM kedalam dan keluar, di dalam kehidu-pan berbangsa dan dalam kehidukehidu-pan antar bangsa-bangsa. Sekalipun hal itu merupakan komitmen internasional, menurut hemat saya bagi bangsa dan negara kita bukan sekedar komitmen Internasional melainkan harus di-pandang dan disadari sebagai bagian dari janji para pendiri bangsa untuk memerdekakan ma-nusia Indonesia setelah gerbang kemerdekaan dapat diraih. Dengan sendirinya di dalamnya terkandung tekad dan ikrar bangsa yang harus terwariskan terus-menerus untuk memajukan kehidupan rakyat Indonesia, menegakkan hak-haknya, baik secara orang perorangan (individ-ual) maupun sebagai masyarakat bangsa dan negara. Menurut hemat saya, percuma beru-saha mempromosikan kehormatan bangsa dan Negara di mata masyarakat internasional jika di dalam negeri sendiri rakyat dan bangsanya masih terjajah, diperbudak dan rakyatnya di-jadikan koeli oleh penguasa dari bangsanya sendiri. Untuk itu, menurut hemat saya, men-gangkat harkat dan martabat bangsa ini, mela-lui penegakkan HAM haruslah menggunakan perspektif Indonesia sendiri dengan mengacu kepada sejarah perjuangan bangsanya yang amat panjang dan penuh dengan penderitaan. Perspektif semacann itu memang akan menim-bulkan pertanyaan, bahkan kecurigaan untuk menghidupkan kembali perspektif partikular-istik. Kenapa perjuangan HAM harus diletak-kan dalam perspektif Indonesia, jawabannya sederhana sekali, yaitu adalah karena kita se-mua orang Indonesia atau anak bangsa yang terikat kepada Sumpah Pemuda yang sudah diikrarkan pada tahun 1928 yaitu bahwa kita akan memerdekakan semua orang Indonesia apapun latar belakang suku, agama, keturunan, warna kulit, dan daerahnya di dalam satu bang-sa yang merdeka yaitu Negara Indonesia. Be-rangkat dari pemikiran tersebut, maka penega-kan prinsipprinsip HAM -yang mengacu pada perumusan HAM universal -tidak boleh ada maksud lain lain kecuali untuk memerdeka-kan manusia Indonesia; dan itu merupamemerdeka-kan perjuangan untuk keseluruhan anak bangsa, bukan perjuangan yang ditujukan hanya atau untuk satu dua suku bangsa atau daerah saja. Bahkan kalaupun perjuangan HAM itu, karena satu dan lain sebab, terpaksa “dibatasi” pada perjuangan untuk meningkatkan HAM salah satu suku bangsa atau daerah tertentu saja, maka tindakan semacam itu pun, menurut

hemat saya, harus diletakkan dalam proporsi membangun bangsa Indonesia. Bukan untuk membangun satu suku atau daerah saja sehing-ga karena daerah-daerah lainnya merasa terd-iskriminasikan lalu mengambil jalan memisah-kan diri dari ikatan persatuan bangsa Indonesia secara keseluruhan sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda. Hal terakhir ini pent-ing disadari oleh semua aktifis pembela HAM di dalam negeri berkaitan dengan Perjuan-gan bersama dan kerjasamanya denPerjuan-gan pihak aktifis dan para pejuang HAM dari pihak asing (Luar Negeri) yang juga bermaksud

memperjuangkan dan meningkatkan hak-hak suku-suku bangsa, agama, keturunan, ras, daerah dan latar belakang sosial budaya tertentu yang ada di Indonesia. Pejuang

dan aktifis HAM dalam negeri dan aktifis

HAM asing, bisa saja bersatu dalam satu front perjuangan penegakan HAM untuk satu suku, agama, daerah dan lain-lain den-gan tujuan yang sama untuk memajukan dan meningkatkan kondisi HAM bagi suku, agama, daerah tertentu. Namun demikian,

para aktifis HAM dari organisasi apapun

baik LSM, ORNOP, kalangan Gereja, kalan-gan Islam dan lain sebagainya haruslah waspada terhadap kemungkinan adanya motif-motif yang tujuan akhirnya adalah berbeda bahkan bertentangan dengan ikrar Sumpah Pemuda yang sudah menjadi komitmen Nasional kita semua. Perbedaan motivasi ini perlu diperhatikan kalangan

aktifis HAM Indonesia, karena tidak mus -tahil kalangan aktivis HAM asing memiliki tujuan yang lain yang lebih jauh yaitu den-gan memperjuangkan dan meningkatkan HAM suku-suku, agama ataupun daerah dan lain-lain yang mendorong bagian dari masyarakat bangsa ini melepaskan diri dari bangsa Indonesia secara keseluruhan. Jika ada motif tersembunyi dari kalangan aktivis HAM asing itu, maka konsekuensin-ya berdampak negatif terhadap persatuan bangsa dan keutuhan Negara Republik Indonesia. Sebaliknya, perjuangan HAM Indonesia yang didasarkan motivasi dan tujuan untuk memajukan harkat Dan mar-tabat bangsa akan membawa efek positif: memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dengan demikian, perjuangan HAM itu tidak lepas dari per-juangan untuk memperkokoh dalam membangun terus bangsa dan negara In-donesia yang kita cita-citakan bersama.

UTAMA

Indonesia

(17)

Dengan demikian pula perjuangan penega-kan HAM dengan sendirinya menjadi bagian dari upaya untuk mengkongkretkan konsep keIndonesiaan, yang mencakup konsep politik kebangsaan yang meliputi tanah air (wilayah) Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Sumpah Pemuda. Tetapi konsep politik keindo-nesiaan sebagaimana terbayangkan pada saat Sumpah Pemuda diucapkan itu sampai saat ini pun sebenarnya belum sepenuhnya terwujud secara sempurna; konsep politik tersebut se-bagian masih merupakan cita-cita, yang secara sosiologis harus dipahami sebagai sesuatu yang belum menjadi “barang jadi” (becoming) atau suatu kenyataan yang sudah sempurna, sehingga tidak bisa lagi berubah-ubah atau-pun dirubah bentuk dan wujudnya. Sebagai barang yang belum jadi dengan sendirinya konsep keindonesiaan itu masih selalu dalam taraf “into being”, masih berproses yang harus terus menerus diisi, diwarnai dan diwujudkan bersama agar menjadi suatu kenyataan : Indo-nesia yang bersatu, Satu Bangsa, Satu Negara dan Satu Tanah Air. Penyempurnaan ini adalah sesuatu yang perlu terus-menerus diperjuang-kan perwujudannya dari generasi ke generasi oleh semua anak bangsa. Untuk itu perjuangan penegakan hak-hak asasi manusia sebagaima-na yang dilakukan para aktivis HAM seharusn-ya ditujukan untuk memberikan kontribusi dalam mewujudkan keIndonesiaan sesuai cita-cita Sumpah Pemuda. Satu Bangsa dalam satu negara, apapun bentuk dan strukturnya, dan satu tanah air dari Sabang sampai Mer-auke adalah cita-cita luhur yang harus senan-tiasa menjadi acuan dan pedoman perjuangan di dalam menegakkan dan menghormati hak-hak asasi dan martabat manusia di Indonesia. Dengan lain perkataan bagi saya, perjuangan HAM Indonesia harus ditujukan untuk meng-isi dan memperkokoh konsep keIndonesiaan. Jika hal ini dipahami benar-benar maka ada-lah tabu untuk ikut serta bekerja samaatau secara sadar ataupun tidak sadar terbawa arus perjuangan HAM dari piha asing yang memiliki motivasi dan potensial mendorong bagian dari masyarakat kita untuk memisah-kan diri dari keutuhan dan kesatuan bangsa, negara dan wiliyah Indonesia. Akibatnya, perjuangan semacam itu pada akhirnya akan menghasilkan desintegrasi bangsa. Perbedaan motivasi dan tujuan dalam memperjuangkan HAM dalam konteks keutuhan dan persatuan seluruh bangsa, wilayah dan tanah air Indo-nesia ini amat prinsipil (fundamental). Bukan maksud saya untuk menuduh ataupun

men-curigai semua pejuang dan aktifis atau LSM

Luar Negeri sebagai pihak asing yang ingin memecah belah bangsa, negara dan tanah air Indonesia. Banyak di antara mereka yang juga berjuang untuk memajukan hak asasi dan martabat manusia Indonesia dengan bekerja sama dengan pihak LSM atau pejuang-pejuang

dan aktifis Indonesia. Mereka ini tentu saja

adalah sahabat seperjuangan atau comrade

in arms yang bekerjasama dalam perjuangan

dengan LSM atau aktifis pejuang HAM Indo -nesia sejak rezim Soeharto masih berkuasa. Peranan dan jasajasa mereka dalam perjuan-gan menegakkan demokrasi, negara hukum dan hak asasi bersama-sama LSM Indonesia

dan atau para aktifis pejuang HAM Indo -nesia harus dihargai, diakui dan dihormati. Namun demikian, setelah jatuhnya rezin otoriter dan represif Soeharto, peranan dan

ak-tifitas mereka yakni sebagian LSM-LSM dan/

atau aktivis HAM luar negeri yang kini bekerja di berbagai pelosok Indonesia haruslah dikaji ulang. Karena tidak semua memiliki motivasi dan tujuan semata-mata memperjuangkan dan menegakkan HAM, melainkan tidak mus-tahil memiliki agenda lain (hidden agenda) yang lebih jauh, yakni mendarong bagian dari masyarakat kita, satuan wilayah suku-suku, agama, dan daerah-daerah tertentu untuk memisahkan diri dari keutuhan bangsa, ne-gara dan wilayah territorial Indonesia. Terha-dap sebagian LSM-LSM atau aktivis HAM asing yang memiliki motifasi dan tujuan memecah belah atau memisahkan suku bangsa, agama dan atau daerah-daerah Indonesia, menurut hemat saya, kita harus bersikap tegas dan mengambil tindakan preventif. Sebaliknya, saya ingin menegaskan manakala kita ingin meretakkan HAM dalam konteks untuk mern-perkokoh keIndonesiaan, maka menjadi ke-harusan untuk secara konsisten menegakkan konsep negara hukum atau Supremasi Hu-kum yang menjamin kebenaran dan keadilan bagi semua rakyat atau warga negara, apapun sukunya, agama, keturunan, daerah ataupun asal usul sosial dan budayanya. Prinsip persa-maan dihadapan Hukum (equality before the law), prinsip HAM seperti tertuang dalam DU-HAM, harus dapat dirasakan dalam praktek, yaitu bahwa hukum itu berada diatas segala-galanya serta berlaku bagi semua pihak tanpa pandang bulu. Artinya hukum itu diperlakukan sama, tidak membedak-bedakan atau diskrim-inatif apalagimerendahkan martabat seba-gian rakyat atau suku bangsa, agama, daerah ataupun latar belakang sosial budayanya. Jika hal-hal ini tidak dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh penguasa, bagaimana pun juga akan menimbulkan ketidakpuasan di sebagian rakyat yang kemudian menum-buhkan sentimen kesukuan, golongan, agama, kedaerahan yang menjadi bibit-bibit perpeca-han. Sementara secara politik harus dihindari adanya monopoli kekuasaan oleh pemerintah pusat, apalagi membangun kewenangan yang dominan terhadap satu daerah atau satu suku bangsa saja, yang akan berakibat merusak makna kebersamaan. Dalam hal ini pengem-bangan disentralisasi wewenang sebagai bagian dari pengembangan otonomi daerah menjadi penting. Dan dalam konteks itu dae-rah perlu diberi peluang untuk ikut menentu-kan corak pemerintahan dan kekuasaan pusat. Dilihat dari perspektif HAM pemikiran

terse-but akan bermuara pada urgensi pengemban-gan demokrasi secara konsisten. Demokrasi mengandaikan adanya supremasi hukum; dan berkembangnya kesadaran rakyat tentang hak-haknya, diNsamping tentunya ada pem-bagian kewenangian antar cabang kekuasaan baik dalam struktur pemerintahan di pusat maupun di daerah. Sebaliknya demokrasi juga mengandaikan adanya dan memberi peluang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesadaran akan hak-hak rakyat yang diap-likasikan dalam partisipasi politik mereka. Bahkan kondolidasi demokrasi memper-syaratkan adanya partisipasi rakyat yang efek-tif. Dalam konteks Negara yang dalam taraf transisi menuju demokrasi, penegakan supre-masi hukum, peningkatan kesadaran rakyat atas hak-haknya dan perlindungan HAM merupakan bagian dari agenda urgen un-tuk mendorong pemapanan demokrasi yang dikenal dengan istilah konsolidasi demokrasi.

Penutup

Sebagai kata akhir saya ingin memperkuat apa yang dikemukakan panitian dalam TOR yang saya terima. Arah dari politik hukum dan reformasi hukum serta pembenahan hukum nasional, yang dirasakan mendesak, dilakukan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertib, teratur dan berkeadi-lan serta terlindunginya HAM. Pemikiran ini didasarkan kenyataan bahwa masalah pen-egakan hukum dewasa ini semakin mempri-hatinkan. Karena itulah para ahli hukum yang masih setia dengan hati nuraninya seharusn-yalah terketuk untuk memberikan kontribusi dalam mengatasi ketidakpastian di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dunia hukum, yang berkepanjangan sampai sekarang. Perlu diakui, bahwa tetap tingginya country risk Indonesia di kalangan investor asing sebe-narnya tidak lepas dari adanya ketidakpas-tian di bidang hukum. Konsistensi di dalam penegakan; supremasi hukum (law enforce-ment) dan penegakan HAM akan memberi-kan kontribusi untuk mengatasi krisis multi dimensi yang berkepanjangan sekarang ini. Saudara-saudara sekalian. Saya berharap dari forum ini lahir pemikiran-pemikiran tero-bosan hukum untuk meningkatkan efektivi-tas penegakan supremasi hukum dan HAM dan dituangkan dalam rencana program yang sistematis, realistis dan terukur. De-mikian. Atas perhatian Saudara-saudara saya ucapkan terima kasih. Selamat berdiskusi. *Makalah Disampaikan Pada : “SEMINAR PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL VIII” Diselenggarakan Oleh: Badan Pembinaan Hukum Nasional

KEMENTERIAN KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA RI

Denpasar, 14 - 18 Juli 2003. (Penyadur Abdul Khalik)

UTAMA

(18)

PENDIDIKAN

Pemerintah memberikan program Ban-tuan Siswa Miskin (BSM) kepada 16,6 juta anak usia sekolah dari 15,5 juta Rumah Tangga Miskin dan Rentan miskin pen-erima Kartu Perlindungan Sosial (KPS). Koordinator Pokja Pengendali Program Bantuan Sosial, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Sri Kusumastuti Rahayu mengatakan un-tuk mendapatkan BSM ini, rumah tangga penerima KPS yang memiliki anak usia sekolah dapat membawa KPS dan bukti identitas ke sekolah tempat siswa terdaf-tar untuk dicalonkan sebagai penerima BSM paling lambat 13 September 2013. "Sebagai bagian dari kompensasi kenai-kan BBM, pemerintah telah meluncur-kan program Bantuan Siswa Miskin (BSM) melalui mekanisme KPS," ujar dia dalam acara " Peluncuran BSM melalui mekanisme KPS" di Kantor Sekretariat Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (22/8). Sri mengatakan yang berhak menda-patkan BSM adalah anak usia sekolah dari jenjang Sekolah Dasar (SD),

kolah Menengah Pertama (SMP), Se-kolah Menengah Atas (SMA)/ SeSe-kolah Menengah Kejuruan (SMK) serta Ma-drasah Tsanawiah (MTs)/ MaMa-drasah Aliah (MA), dan Madrasah Ibtidaiah (MI). Dia menjelaskan saat membawa KPS ke sekolah, penerima BSM harus meny-ertakan bukti tambahan seperti Kartu Keluarga atau surat keterangan dari kepala RT/RW/Dusun. Menurut Sri, BSM diberikan setiap semester den-gan jumlah bervariasi. Untuk SD/MI Rp 225.000, SMP/MTs Rp 375.000, dan ting-kat SMA/SMK/MA sebesar Rp 500.000. Mekanisme penyaluran BSM adalah setelah Rumah Tangga Penerima KPS mendaftarkan anaknya, kepala sekolah/ madrasah akan membuat rekapitu-lasi penerima BSM di sekolah/madra-sah masing masing, dan pada perten-gahan Agustus dan akhir September 2013 akan dikeluarkan surat keputu-san penetapan penerima program BSM oleh Kementerian Pendidikan dan Ke-budayaan serta Kementerian Agama.

Setelah penetapan dilakukan maka pada akhir Agutus dan akhir September atau awal Oktober 2013, dana BSM dapat diambil di lembaga penyalur, dengan membawa dokumen pendukung sep-erti Surat Pemberitahuan Penerima BSM dari kepala Sekolah/Madrasah serta bukti identitas lain seperti Akte kela-hiran, kartu keluarga, rapor dan ijazah. Selain melalui mekanisme KPS, Kepala Sekolah/Madrasah bersama komite se-kolah/madrasah dapat mengusulkan penerima BSM untuk dimasukkan ke dalam formulir rekapitulasi usulan. Men-urut dia siswa calon penerima BSM di luar mekanisme KPS harus memenuhi syarat bahwa orang tua siswa terdaftar sebagai peserta program keluarga harapan, siswa terancam putus sekolah karena kesulitan biaya, siswa yatim, piatu atau yatim pi-atu, siswa berasal dari korban musibah. Penulis: DHO/AF

Sumber:InvestorDaily

(Aswin Nasution)

16,6 Juta Anak Usia Sekolah

Terima Bantuan BSM

(19)

KESEHATAN

Risiko Dan Solusi Mudik Menggunakan

Sepeda Motor

Mudik lebaran selalu terjadi satu tahun sekali saat umat muslim menyambut hari raya Idul Fitri. Mudik juga sudah menjadi tradisi besar bagi muslimin di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat perlu mem-perhatikan faktor keamanan dan kesehatan saat akan mudik, khususnya bagi pemudik yang menggunakan sepeda motor.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen PP dan PL) Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE, menyampaikan risiko yang terjadi jika mudik menggunakan sepeda motor, serta solusinya bila pemudik terpaksa harus menggunakan sepeda motor saat mudik yaitu :

Apakah naik motor saat mudik sampai berjam-jam, bahkan berhari-hari itu baik?

Dirjen PP dan PL mengungkapkan, naik motor berjam-jam bisa mengakibatkan masalah kesehatan yang serius. Berikut adalah lima masalah kesehatan dan risikon-ya risikon-yang disebabkan oleh kebiasaan duduk atau berkendara selama berjam-jam :

Pertama, bisa mengakibatkan sakit ping-gang, duduk berjam-jam bisa

menyebab-kan rasa sakit di bagian punggung, hal ini biasanya disebabkan oleh masalah kekuatan otot.

Kedua, dapat mengganggu metabolisme, beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa duduk selama berjam-jam dapat menganggu sistem metabolisme tubuh. Alhasil, tubuh mengalami penurunan kadar kolesterol baik, sehingga menimbul-kan berbagai masalah kesehatan, maupun peningkatan kadar gula darah.

Ketiga, bermotor dalam waktu yang lama juga dapat menyebabkan nyeri leher atau nyeri otot. Keluhan ini bisa disebabkan oleh peradangan pada sendi tulang belakang.

Keempat, bisa menurunkan konsentrasi, sehingga berisiko terhadap terjadinya ke-celakaan lalu lintas.

Kelima, menggunakan sepeda motor dalam waktu yang lama juga dapat mengakibat-kan kelelahan, sehingga sering mengalami gangguan kesehatan dan kecelakaan di jalan.

Apa yang perlu diperhatikan pemudik bermotor?

Siapkan kesehatan baik fisik dan mental, sebaiknya periksakan kesehatan dahulu sebelum perjalanan, pastikan kendaran dalam keadaan baik, hindari penggunaan obat yang menyebabkan kantuk dan minu-man beralkohol.

Hindari membawa beban atau orang melebihi kapasitas, gunakan helm standar keselamatan, patuhi rambu-rambu lalu lintas, tidak menggunakan alat komunikasi saat mengemudi.

Beristirahatlah setiap 3-4 jam sekali dan istirahat saat mengantuk/lelah, hati-hati mengemudi saat turun hujan/cuaca buruk, dan jaga jarak dengan kendaraan lain.

Sebaiknya tidak mudik menggunakan sepeda motor, mengingat angka kecelakaan tertinggi selama musim mudik dialami pengendara sepeda motor. Manfaatkan fasilitas mudik gratis atau fasilitas pen-gangkutan sepeda motor dengan kapal laut maupun kereta api dari pemerintah dan sektor swasta, atau gunakan moda trans-portasi umum saja.

(aswin)

Referensi

Dokumen terkait