• Tidak ada hasil yang ditemukan

Awalnya aku merasa keberatan ketika Mama memindahkan sekolahku ke Kam- pung. Aku harus kehilangan banyak teman dan kehidupan yang penuh hiruk pikuk di tengah-tengah Kota Medan. Namun apa boleh buat, dengan beberapa alasan yang tidak bisa ku sangkal lagi, akhirnya aku harus nurut untuk melanjutkan sekolah di Pesantren dekat rumah eyang.

Seminggu disini aku mulai merasa jenuh, meskipun aku sudah memiliki banyak te- man namun hidupku terasa sangat terbatas, terkurung dalam pesantren dan kehidupan di dalamnya yang tak pernah aku kenali se- belumnya. Apalagi pesantren menuntutku untuk berbicara dalam bahasa Arab yang kurasa begitu kelu di ujung lidahku. Tapi Farhan, selalu bisa membujukku untuk tetap berada di sini.

***

Sore itu, selepas Ashar aku dan Farhan sengaja cabut mengaji. Aku mempen- garuhi Farhan untuk menemaniku makan di kantin. Mau tidak mau, demi rasa setia kawan Farhan rela menanggung huku- man yang akan kami terima dari Ustadz Rahman nanti. Padahal tidak tanggung- tanggung, kepala kami akan di botak jika kami ketahuan. Ketika sedang menikmati semangkuk indomie, tiba-tiba saja bebera- pa santri perempuan lewat,mereka berjalan menuju rerumputan yang terbentang tidak jauh dari kantin dan duduk melingkar disana. Perhatianku tiba-tiba saja tertuju pada seorang gadis berkerudung merah tua, kedua bola mataku terus saja mem- perhatikan gerak-geriknya seakan tak ingin melepaskannya dari pandanganku. Mereka berlatih memukul rebana sambil menyanyikan lagu-lagu Islami. Sesekali mereka tertawa ketika ada yang melakukan kesalahan. Tiba-tiba saja gadis itu menatap ke arahku sambil tersenyum. Manis sekali. Membuatku semakin tak ingin berpaling untuk memandang wajahnya. Suaranya yang merdu membuatku ikut menikmati lagu yang Ia lantunkan, Ia memandangku dan tersenyum sekali lagi, kali ini cukup membuatku jadi salah tingkah. Diam-diam ternyata Farhan juga sedang mengamati seseorang. Aku memukul wajahnya, Ia tertawa dan kami segera meninggalkan kantin itu.

***

Zahra. Begitu teman-temannya memanggil. Ya, akhirnya aku tahu bahwa gadis itu ber- nama Zahra yang kurasa diam-diam telah mencuri hatiku. Di sisi lain, sepertinya telah tumbuh pula benih-benih cinta antara Farhan dan Ipah. Sejak hari itu, kuperhati- kan wajah Farhan jadi lebih berseri, Ia juga lebih bersemangat ketika belajar dan tentu

lebih bersemangat lagi ketika kuajak makan indomie di kantin.

***

“ Lis, temani aku yuk !” tiba-tiba Farhan menarik tanganku kuat.

“ Mau kemana sih? Buru-buru amat! “ tanyaku protes.

“ Ayo,ikut aja...!” katanya sambil menarik tanganku. Ia membawaku ke belakang asrama, menyusuri jalan setapak di bawah pohon-pohon rambung yang semak. Be- berapa menit kemudian kami pun sampai di persimpangan jalan.

“ Untuk apa kau bawa aku kesini ?” tanyaku penasaran tapi Farhan diam saja, Ia tampak sedang sibuk mengamati jalan menuju Pesantren, lalu tak lama kemudian Ia pun tersenyum.

“ Lihat! Target kita sudah datang! “ bisiknya pelan. Akupun menoleh, rupanya di ujung jalan terlihat Zahra dan Ipah berjalan menuju ke arah Kami.

“ Dasar buaya! “ gumamku pelan, “ tapi kamu juga suka kan ?“ sahutnya dan aku pun hanya membalas dengan senyum. “ Ila aina Ipah ?” sapa Farhan mantap. “ Ngapain kalian disini?” sahut Ipah malah balik nanya.

“ Enggak, kami Cuma mau ke pekan, mau membeli sesuatu , kalau Ipah mau kemana ?” tanya Farhan lagi namun Ipah hanya tersenyum, mereka terus berjalan tanpa menghiraukan kami. Sementara Zahra sedikitpun tidak mau mengangkat kepalan- ya, Ia terus menunduk padahal aku tahu kalau Ia juga tersenyum.

“ Ayo!” farhan menarik tanganku, Ia terus membuntuti Ipah dan meninggalkan aku, entah apa yang Ia katakan pada Ipah, yang jelas Zahra tampak memperlambat langkahnya. Mungkin Ia tahu kalau Farhan mau mendekati Ipah.

“ Mungkin ini yang namanya kesempatan yang tak terduga “ pikirku nakal, aku pun segera menyusun strategi untuk mendekati Zahra.

“ hai Zahra !” sapaku memberanikan diri. “ Waalaikum salam !” jawabnya mem- buatku jadi malu dan serba salah, namun naluriku sebagai lelaki jadi semakin tertan- tang untuk menggodanya. Entah mengapa, aku jadi agak kikuk berdekatan dengannya, padahal di sekolahku dulu aku dicap seba- gai playboy sejak kelas satu SMP.

“ tatap matamu membuatku takut, tolong jangan menatapku seperti itu! “ katanya menyadarkan aku bahwa dari tadi mataku memang tak lepas dari wajahnya.

“ Maaf, kamu cantik sih !” bisikku mulai melancarkan jurus-jurus lelaki jatuh cinta. Namun Zahra diam saja, tak ada ekspresi apapun yang terlihat di wajahnya, padahal

biasanya cewek-cewek sudah cukup Ge-er kalau kubilang cantik, memang Zahra sangat berbeda dari kebanyakan gadis yang aku kenal, dan itu yang membuatku men- gaguminya. Sepanjang perjalanan akhirnya aku dan Zahra sama-sama diam, sementara di depan sana kulihat Farhan sudah terlihat akrab dengan Ipah dan itu membuatku merasa iri. Kulirik Zahra diam-diam, Ia masih tetap berjalan sambil menunduk dan tetap menjaga jaraknya denganku. Farhan bilang gadis ini selalu menunduk untuk menjaga pandangannya. Aku baru tahu bahwa di zaman ini masih ada gadis seperti itu padahal di Kota, jangankan menjaga pandangannya gadis-gadis bahkan sudah tak sungkan untuk memperlihatkan auratnya. “ sungguh beruntungnya aku, jika aku bisa memiliki gadis seperti Zahra ini “ batinku sambil meliriknya lagi.

“ Kamu mau beli apa di pekan “ tanyaku memberanikan diri.

“ Cuma mau cari buku “ jawabnya singkat. “ bolehkan aku temani ? hm...aku,aku juga mau beli buku “ ujarku, dan kulihat Ia tersenyum sambil memalingkan wajahnya sehingga aku tak bisa melihat senyumnya dengan jelas.

Akhirnya kamipun sampai dipekan, Zahra memilih-milih buku Islami. Iseng-iseng aku juga membeli buku untuk menutupi kebohonganku tadi. Buku yang kubeli berjudul ‘kado cinta untuk isteri’,entah mengapa aku memilih buku itu padahal ada banyak buku yang lebih menarik. “ memangnya kamu sudah punya istri ?” tanya Zahra terdengar seperti sedang meledekku.

“ sekarang sih belum, tapi calon istriku kan sudah ada disampingku sekarang !” jawabku membuatnya tertawa. Ia langsung membalikkan badannya dan meninggalkan aku.

“ kamu mau beli apa lagi ? tanyanya kemu- dian.

“ jilbab!” aku menjawab sekenaku. “ kamukan laki-laki !”

“ aku ingin membelikannya untuk sese- orang “, jawabku, tanpa curiga Ia pun mem- bawaku ke penjual jilbab. Aku bingung mau beli jilbab seperti apa,aku diam saja ketika penjual jilbab itu bertanya padaku. Akhirnya Zahra yang memilihkan jilbab itu, modelnya memang cantik tapi aku lebih tertarik untuk membeli yang ber- warna merah tua. Seperti yang Zahra pakai saat aku melihatnya pertama kali.

***

Indonesia Merdeka

Diperjalanan pulang, Farhan dan Ipah justru tampak memperlambat jalannya. Aku jadi makin serba salah, entah apa yang harus aku katakan agar Zahra mau bercer- ita tentang sesuatu padaku.

“ Zahra, boleh aku bertanya sesuatu padamu ?”, tanyaku mengawali percaka- pan kami di jalan pulang, tapi Zahra diam saja, namun aku tak putus asa untuk tetap bertanya.

“ Aku hanya ingin tahu, mengapa kamu selalu menunduk, apalagi jika berbicara padaku? ” lanjutku.

“ Kamu akan tahu setelah kamu baca buku yang kamu beli tadi !” jawabnya singkat. “ Apa?” tanyaku tak mengerti.

“ Iya, dalam buku itu ada kalimat yang berbunyi seperti ini : wanita diptakan dari tulang rusuk pria, bukan dari kepala untuk jadi atasannya, bukan pula dari kaki untuk jadi alasnya. Ia disamping untuk jadi pen- damping, Ia berada dihati untuk dicintai, Ia berada di jiwa untuk dihormati dan Ia berada di mata untuk jadi pelipur lara.” Katanya membuatku tercengang. “ apakah kamu tahu kalau zina itu ada macamnya? Ada zina mata, zina hati dan zina pikiran?semua hal yang baik atau- pun yang buruk kebanyakan berawal dari pandangan kita, apalagi anak-anak muda sekarang, awalnya sih saling pandang, trus senyum, habis itu kenalan, lalu janjian dan akhirnya...ya mungkin bisa baik tapi tidak menutup pula untuk kemungkinan yang buruk kan?, menjaga pandangan itu perin- tah Allah, kalau kamu nanti ngaji sore coba lihat Surah An-Nur ayat tiga puluh. Oh ya, kamu tau nggak kenapa Allah memberi kita dua mata, dua telinga tapi mulut dan hidung hanya satu ?” tanyanya padaku, aku hanya menggeleng karena tidak tahu. “ hmmm... mungkin kalau Allah memberi kita dua mulut, Ia harus menciptakan dua lubang anus pula untuk kita, jadi bisa sesuai antara pemasukan dengan pengeluaran...” jawabku kemudian. Ia tertawa mendengar jawabanku.

“ Benar juga yang kamu bilang, tapi se- cara filosofis Allah itu memberi kita dua mata,dua telinga dan satu mulut agar kita dalam kehidupan ini bisa lebih bijaksana dalam melakukan sesuatu, untuk mengam- bil keputusan juga demikian harus dua kali dilihat, dua kali didengar lalu satu kali diucapkan. Jadi ucapan kita memang benar-benar sudah kita telaah terlebih dahulu, karena kata Rasul lidah itu lebih tajam dari pedang, jadi kita memang harus berhati-hati menjaga lisan kita. Lalu apa kamu tau, Mengapa Allah memberi kita hanya satu hidung saja?” tanyanya lagi, aku pun menggeleng cepat.

“ ya kalau hidung kamu dua bisa-bisa aku nggak kebagian oksigen...” jawabnya dan kami pun sama-sama tertawa. Rupanya

Zahra enak juga di ajak bicara. Banyak pelajaran yang bisa ku ambil darinya. Dan tak terasa kami harus berpisah, Zahra dan Ipah masuk dari pintu depan sedangkan aku dan Farhan harus mengendap-endap lagi melalui kebun rambung yang semak karena pergi tanpa izin.

***

Setelah hari itu, aku jadi semakin terpikir pada Zahra, dan aku semakin pula menga- guminya. Tidak hanya pada ayu wajahnya tapi juga pada kehalusan budi pekerti dan keluasan ilmunya. Aku bahkan merasa kerdil dihadapannya.

“ dia terkurung di tengah-tengah pesantren yang kecil ini tapi bisa melihat dunia ini lebih luas dan bisa memaknai kehidupan- nya menjadi lebih berarti, sedangkan aku yang selama ini hidup bebas dan sudah mengelilingi separuh dari negeri ini hanya seperti sampah yang di bawa ombak kesana-kemari tanpa mendapatkan makna apapun dibalik semua itu“ batinku tak habis pikir.

Sejak hari itu, aku memutus- kan untuk benar-benar menimba ilmu di pesantren ini. Aku mulai mempelajari bahasa arab, aku juga mulai rajin mem- baca buku dan mulai menghafal ayat-ayat Qur’an. Zahra bersedia membimbingku melakukan itu semua dengan menjadi guru private gelapku. Ya, melalui surat-surat kaleng yang kami kirimkan secara sem- bunyi-sembunyi. Melalui surat-surat itu, kami juga saling bertukar informasi dan berdikusi. Ini semua sangat menyenangkan bagiku, sayangnya di tahun 2013 lalu kami harus berpisah. Kami lulus 100% di Ujian Nasional tahun ini, dan harus mengejar im- pian kami masing-masing. Tidak ada yang lebih berat bagiku, selain berpisah dengan Zahra.

Tepat pada hari Jum’at, tanggal 31 Mei 2013 ,Aku, Zahra, Farhan dan Ipah berkumpul di rumah eyang untuk meraya- kan perpisahan ini, perpisahan yang telah kurencanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Karena aku berencana untuk menyatakan perasaanku pada Zahra hari ini. Dan aku- pun segera melancarkan jurus menyatakan perasaan, di hadapan Farhan dan Ipah. “ Zahra boleh aku berkata sesuatu padamu ?” kataku membuat mereka bertiga tercen- gang, suasana pagi itu seketika jadi hening. “ sebenarnya, selama ini aku telah me- mendam perasaanku padamu. Hidupku benar-benar berarti sejak aku mengenalmu. Sungguh, aku tak ingin berpisah den- ganmu. Aku mencintaimu melebihi diriku sendiri. Apakah kau mau menerima cin- taku ?” lanjutku dengan sungguh-sungguh. Aku, Farhan dan Ipah sangat penasaran dengan jawaban yang akan dikatakan Zahra. Jantungku berdebar sangat kencang seakan ingin melompat dari dadaku, aliran

darahku juga terasa berdesir begitu hebat, mengalir di setiap pembuluh darahku. “ Lis, apakah kau tahu bahwa sesung- guhnya di dalam agama kita pacaran yang halal hanyalah pacaran setelah menikah? Aku hanya manusia yang dho’if karena itu aku sangat berhati-hati dengan ucapan dan tindakanku, aku tidak ingin menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Lis, ada pepa- tah yang mengatakan takkan lari gunung dikejar, begitupun dengan jodoh. Kalau jodoh, takkan kemana. Kejarlah impianmu setinggi mungkin, carilah ilmu yang lebih luas di luar tembok-tembok pesantren yang mengurung kita selama ini agar kelak kau punya cukup bekal untuk menjadi imam bagi keluargamu. Kau harus lebih banyak belajar lagi. Aku ingin kau mencintaiku karena Allah dan bukan mencintai Allah karena aku. Aku ingin duduk di bangku an- nimru tsalis di hatimu, setelah Allah dan Rasul. Karena Rasul bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim : ada tiga hal, siapa yang ada dalam ketiganya itu, niscaya ia akan merasakan manisnya iman,yakni (1) orang yang mencintai Al- lah dan Rasul-Nya melebihi selain kedu- anya,(2) orang yang mencintai manusia karena Allah semata-mata dan (3) orang yang tidak suka kembali kafir sesudah diselamatkan Allah dari kekafiran, seba- gaimana bencinya terhadap dilemparkan ke dalam api neraka.

Jangan sia-siakan kehidupan yang hanya sekali dan waktu yang tak mungkin kem- bali dengan cinta yang masih dibarengi oleh nafsu. Jika kau sanggup untuk mencin- taiku karena Allah, aku akan menunggumu di pesantren kita Lis “. Sahutnya lembut dan penuh makna, tak terasa air mataku mengalir deras membanjiri pipiku. “ Subhanallah ! Ya Allah begitu berun- tungnya aku ini yang memiliki kesempatan untuk menjadi pemilik hati seorang gadis seperti Zahra...” bisikku lirih. Dalam hatiku aku berjanji, suatu saat aku akan men- emuinya lagi di pesantren kami setelah aku berhasil memenuhi ucapannya itu. Aku bertekad untuk bisa menjadi imam seperti yang Ia harapkan. Untuk bisa lebih mencin- tai Allah dan Rasul dan mendudukkankan- nya di bangku cinta yang ketiga di dalam hatiku, dan untuk bisa menggapainya menjadi pendamping hidupku, selamanya...

S A S T R A

Indonesia Merdeka

O P I N I

UMAT ISLAM MEMPERINGATI HARI KEMERDEKAAN

Dokumen terkait