• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jagongan sebagai Pendampingan Pastoral Budaya: Kajian Pastoral Budaya kepada Warga Jemaat GITJ Sembaturagung-Pati yang Mengalami Kedukaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jagongan sebagai Pendampingan Pastoral Budaya: Kajian Pastoral Budaya kepada Warga Jemaat GITJ Sembaturagung-Pati yang Mengalami Kedukaan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB III

ASAL USUL, PELAKSANAAN DAN PEMAKNAAN JAGONGAN DI

SEMBATURAGUNG

Bab ini akan memaparkan mengenai hasil penelitian terhadap Jagongan kematian di

masyarakat Sembaturagung. Data diperoleh melalui teknik wawancara. Bab ini akan disajikan

sebagai berikut:

I. Gambaran Umum Desa Sembaturagung.

1.1 Kondisi Geografis.

Desa Sembaturagung merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Jakenan,

Kabupaten pati. Kecamatana Jakenan pada masa kolonial menjadi ibukota Kawedanan yang

membawahi Kecamatan Jaken, Jakenan, Pucakwangi, dan Winong. Namun setelah Indonesia

merdeka, terjadilah pemusatan pemerintahan yang ada di Pati, sehingga Jakenan menjadi sebuah

kecamatan seperti halnya kecamatan Jaken, Pucakwangi dan Winong1. Kecamatan Jakenan

terletak di bagi an timur Kabupaten Pati (sekitar 16 km ke arah timur kota Pati). Berada di

ketinggian antara 10-25 meter dpl. Tepatnya berada di koordinat 6°45'0?LS,111°11'0?BT -

7°4'29?LS,111°9'3?BT. Kecamatan ini berbatasan dengan:

Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Juwana.

Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jaken.

Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pucakwangi dan Winong.

Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pati Kota dan dibatasi oleh sungai terbesar di

Kabupaten Pati, Sungai Juwana.

Seluruh wilayah kecamatan Jakenan terletak di dataran rendah dengan tanah berjenis

aluvial. Wilayah barat yang menjadi daerah aliran sungai Juwana setiap tahun pada musim

penghujan menjadi langganan banjir akibat meluapnya Sungai Juwana. Secara administratif,

(2)

2

kecamatan Jakenan terdiri atas 23 desa yang terbagi ke dalam 58 Rukun Warga (RW) dan 341

Rukun Tetangga (RT). Desa-desa tersebut adalah: Bungasrejo, Dukuhmulyo, Glonggong,

Jakenan, Jatisari, Kalimulyo, Karangrejo Lor, Karangrowo, Kedungmulyo, Mantingan Tengah,

Ngastorejo, Plosojenar, Puluhan Tengah, Sembaturagung, Sendangsoko, Sidoarum, Sidomulyo,

Sonorejo, Tambahmulyo, Tanjungsari, Tlogorejo, Tondokerto, dan Tondomulyo.

1.2 Kondisi Demografis.

Mata pencaharian penduduk kecamatan Jakenan sebagian besar adalah bertani dengan

memanfaatkan lahan pertanian berupa sawah tadah hujan. Sebagian lagi menggantungkan hidup

sebagai buruh pada berbagai industri yang ada di kota Juwana dan Pati kota. Karena minimnya

lapangan pekerjaan yang tersedia maka tidak sedikit warga yang pergi merantau ke lain daerah

bahkan ke luar negeri, seperti umumnya warga kabupaten Pati lainnya. Selain padi, produk

pertanian daerah ini adalah tebu, kedelai, dan kacang hijau. Kecamatan Jakenan mempunyai

empat pasar: Pasar Jakenan yang diberi nama pasar Gorejo, pasar ini digunakan sebagai pasar

orang dan pasar hewan, namun pasar ini mulai sepi beberapa tahun terakhir. Pasar

Sembaturagung yang disebut pasar Jagan, bertempat di desa Sembaturagung dibuka setiap hari,

di desa Glonggong ada sebuah pasar kecil yang biasa disebut pasar dadak’an karena hanya ada

di saat fajar sampai jam 9an pagi dan pasar yang terakhir ada di Banglean yang terdapat di desa

Tambahmulyo.

1.2.1 Desa Sembaturagung.

Sembaturagung merupakan salah satu desa di kecamatan Jakenan, desa ini terbagi atas

dua dukuh yaitu dukuh Gang Malang dan Mbatur, dengan luas wilayah2:

Pemukiman 44 ha.

Sawah 196,276 ha.

Ladang atau tegalan 49.460 ha.

Perikanan (kolam, empang) 14,14 ha.

2. Data diperoleh dari Waryanti sebagai pelaksana sensus ekonomi di desa Sembaturagung tahun 2015.

(3)

3

Jumlah penduduk Sembaturagung adalah sebagai berikut: 960 kepala keluarga, 3.197

jiwa, 1.559 laki-laki dan 1638 perempuan. Struktur mata pencaharian warga desa Sembaturgung

adalah sebagai berikut: Petani 1.257 orang, Pedagang 256 orang, Pns 89 orang, Buruh 116 orang,

Peternak 9 orang, Nelayan /perikanan 2 orang, Industri kecil 40 orang, dan Jasa 6 orang. 94

persen penduduk kecamatan Jakenan adalah suku Jawa, sedangkan sisanya adalah warga

keturunan Thionghua dan dari luar pulau Jawa yang menikah dengan warga masyarakat setempat

atau sedang mencari nafkah di desa ini.

1.3. Jemaat GITJ Sembaturagung.

1.3.1 Profil GITJ Sembaturagung.

Sejarah berdirinya gereja GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa) Sembaturagung diawali

dengan bertobatnya Slamet Santosa3 diawal bulan juli 1967. Slamet Santosa yang pada waktu itu

berprofesi sebagai sekertaris desa memiliki pengaruh yang cukup kuat di masyarakat sehingga

beliau dengan mudah mengajak masyarakat untuk ikut menerima layanan kristiani. Dibantu

dengan sepupunya yang bernama Supomo (Purnawirawan TNI), mereka terus mengajak banyak

warga menerima layanan kristiani. Setelah berjalan tiga bulanan, maka oleh pendeta Susanto

harso yang waktu itu melayani di GITJ Juwana dan Pendeta S. Djojodiharjo yang bertindak

sebagai ketua sinode GITJ meresmikan pepanthan (cabang pelayanan) Sembaturagung sebagai

bagian dari cabang pelayanan GITJ induk Juwana.

Seiring dengan berjalannya waktu, pepanthan Sembaturagung semakin berkembang

secara kuantitas maupun kualitasnya, sehingga pada tanggal 17 oktober 2001 pepanthan GITJ

Sembaturagung didewasakan sebagai gereja yang mandiri dengan pendeta Rukani sebagai

gembala jemaatnya. Pada saat didewasakan sebagai gereja yang mandiri, jumlah jemaat secara

keseluruhan yaitu mulai dari anak-anak sekolah minggu sampai dewasa ada 128 jiwa.

Keseluruhan warga jemaat ini hanya berasal dari satu desa saja, yaitu desa Sembaturagung.

3 Buku sejarah gereja GITJ Sembaturgung terbitan 2016. Sejarah ini selalu dibacakan dalam ibadah

(4)

4

Sampai pada tanggal 5 oktober 2017, jumlah warga jemaat GITJ Sembaturagung

berjumlah 289 jiwa yang terdiri dari laki-laki 92 jiwa, perempuan 119 jiwa, kaum muda 32 jiwa,

remaja 11 jiwa dan 34 anak-anak sekolah minggu.4 98% warga jemaat berasal suku Jawa

sehingga budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Jawa begitu terasa dalam komunitas ini. Bahasa

pengantar dalam setiap bentuk pelayanan ibadah hampir keseluruhannya memakai bahasa Jawa

sebagai bahasa ibu mereka.

Gereja GITJ Sembaturagung ini menganut sistem konggregasional sinodal yang artinya

gereja setempat memiliki kewenangan untuk mengelola seluruh penatalayanan jemaat lokalnya

dengan mengacu kepada tata gereja yang disepakati oleh seluruh gereja-gereja anggota sinode

yang telah ditetapkan dalam sidang raya.5 Artinya bahwa setiap gereja lokal atau setempat dari

sinode GITJ diberi keleluasaan untuk mengembangkan pelayanan sesuai konteksnya, namun

tidak bertentangan dengan tata dasar tata laksana sinode (Tata Gereja).

1.3.2 Pelayanan Kematian di GITJ Sembaturagung.

Secara umum proses pelayanan kematian pada warga jemaat yang meninggal dunia

tidak terlalu banyak perbedaan dengan warga desa yang mengalami kematian. Hanya saja pada

beberapa bagian sudah mengalami sedikit modifikasi oleh karena pengaruh kekristenan. Jika

pada pemberitaan dukacita pada saudara yang beragama muslim biasanya disiarkan lewat

pengeras suara di masjid atau mushola, namun jika yang meninggal adalah warga nasrani maka

berita dukacita ini biasanya disampaikan dari mulut ke mulut ataupun melalui alat

telekomunikasi seperti handphone. Pernah juga beberapa kali ada anggota nasrani yang

meninggal dunia namun pemberitaan kabar dukacita tersebut disiarkan lewat pengeras suara di

masjid yang ada di desa ini,6 namun lebih banyak disampaikan dari mulut ke mulut.

Sama seperti pada proses perawatan jenasah pada umumnya, setiap warga jemaat yang

meninggal juga disuceni. Artinya dimandikan dan dirawat sedemikian rupa sebagai bentuk

4 Data diambil dari buku keanggotaan gereja GITJ Sembaturagung tahun 2017. 5 Buku Tata Gereja Sinode GITJ revisi tahun 2015.

(5)

5

perawatan dan penghormatan yang terakhir bagi almarhum yang biasanya akan dipimpin oleh

seorang majelisbagian diakonia. Setelah selesai dibersihkan dan beri pakaian yang baru atau

yang pantas, maka layon akan diletakkan di ruang tengah supaya setiap anggota keluarga,

kerabat dan siapa saja yang hendak memberi penghormatan terakhir akan dapat dengan mudah

melakukannya.

Sementara di rumah duka sedang ada proses perawatan bagi jenasah yang meninggal,

maka di pemakaman juga terjadi proses pembuatan liang lahat sebagai tempat peristirahatan

yang terakhir bagi almarhum. Ukuran liang lahatnya pun sama dengan yang lain, yaitu dua meter

panjangnya serta lebar dan dalamnya masing-masing satu meter, hanya yang membedakannya

adalah ketiadaan cemuri,7 sebab jenasah tidak dibungkus kain kafan namun diberi pakaian

lengkap lalu dibaringkan di dalam peti kemudian baru dimasukkan ke dalam liang lahat.

Setelah semua proses persiapan jenasah dan liang lahat selesai, maka di rumah duka

akan diadakan Pangabekti panguntape layon (ibadah pemberangkatan jenasah). Ibadah ini selalu

dipimpin oleh pendeta jemaat dan biasanya berlangsung hanya 1 sampai 1,5 jam saja, yang

kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari wakil keluarga yang berduka, dari wakil gereja dan

perangkat desa. Prosesi kemudian dilanjutkan dengan pemberangkatan jenasah menuju ke

pemakaman. Prosesi ibadah dipemakaman juga berlangsung sangat singkat, berupa pembacaan

satu bagian dari kitab suci yang kemudian disambung dengan pembacaan pengakuan iman rasuli

secara bersama-sama. Setelah itu maka jenasah almarhum segera ditimbun dengan tanah.

Ketika proses pemakaman selesai, sebagian besar warga akan pulang ke rumah mereka

atau kembali ke pekerjaan mereka yang mereka tinggalkan karena adanya peristiwa kematian

tersebut, hanya kerabat dekat dan beberapa tetangga dekat yang langsung kembali ke rumah

duka untuk menemani keluarga inti yang sedang berduka. Namun pada malam harinya,

masyarakat akan kembali ke rumah duka untuk Njagong. Namun ada perbedaan yang cukup

besar dalam proses pendampingan yang dilakukan masyarakat kristen kepada anggota warganya

7Cemuri adalah sebuah galian yang dibuat seukuran badan manusia yang ada di dasar liang lahat.

(6)

6

yang mengalami kedukaan dengan masyarakat Sembaturagung yang beragama non kristen. Jika

pada masyarakat yang beragama muslim atau penganut kepercayaan melakukan kegiatan

pendampingan secara formal sesuai kepercayaan yang mereka percayai tersebut bisa berlangsung

selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, namun bagi warga kristen justru hanya

berlangsung selama dua malam atau dua hari, yaitu ibadah panglipuran (Penghiburan) malam

pertama dan kedua saja. Ketetapan tersebut dikarenakan adanya keputusan konven8 para

pengajar se-sinode GITJ. Kesepakatan hasil konven tersebut kemudian dilaksanakan oleh seluruh

anggota gereja se-sinode GITJ, tidak terkecuali GITJ Sembaturagung. Itulah sebabnya, sejak

diputuskannya hasil konven tersebut maka ibadah penghiburan hanya dilakukan selama dua

malam berturut-turut saja.

Suwignyo9 menuturkan bahwa sebenarnya penghiburan selama dua hari dirasakan

masih sangat kurang oleh keluarga yang berduka. Baginya, kehadiran pendeta, majelis dan

segenap jemaat di rumah dukanya menjadi kekuatan tersendiri yang menopang hidupnya. Pujian

dan renungan firman Tuhan yang disampaikan oleh pelayan firman begitu menguatkan baginya

dalam menjalani hari-hari yang penuh duka tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan oleh

Saryo:

Tinilar dening tiyang ingkang sampun gesang sesarengan kaleh kula langkung saking 40 tahun punika mboten perkawis ingkang gampil. Saben dinten, rina wengi tansah sesarengan, lajeng kapedotan sesambetan punika saestu sedih sanget. Sinaosa kula mangertos mangke ing kalanggengan badhe pinanggih malih, nanging samangke saestu remuk raose manah kula. Kejawi kekiatan saking Gusti Yesus, bapa pandita, sedaya majelis dan sederek nunggil pitados ingkang sampun mbiyantu abot repote kula saha ngrencangi kula nalika nandang duhkita saestu ngenthengi momotan kawula. Namung kemawon, menawi saget, mbok anggenipun kekempalan panglipuran dipun tambahi maleh supados griya kula mboten suwung.” 10

8 Konven adalah sebuah pertemuan bersama para pengajar se-sinode GITJ yang dihadiri oleh para

pendeta, pembantu pendeta, pendeta khusus dan guru Injil yang membahas tentang sebuah isu teologi ataupun hal-hal yang perlu dibahas secara ber-sinode. Pada konven tahun 2009 yang bertempat di Bandungan, Ambara, ada dua hal yang menjadi pokok pembahasan yaitu mengenai pelayanan Pangrukti layon (Pelayanan kematian) bahwa mengenai pelaksanaan pelayanan ibadah penghiburan diputuskan bersama bahwa hanya boleh dilakukan selama dua hari berturut-turut saja.

9 Wawancara dengan Suwignyo pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. Suwignyo adalah informan yang

mengalami kedukaan karena kematian ibunya.

10 Wawancara dengan Saryo pada tanggal 17 Juni 2017. Saryo adalah informan yang mengalami

(7)

7

Kehadiran pendeta, seluruh majelis dan segenap jemaat menjadi sumber penghiburan

tersendiri bagi hidupnya. Dengan kehadiran banyak orang di rumahnya, Saryo merasa bahwa ada

begitu banyak orang yang peduli dan mengasihi dirinya. Hal itu merupakan sebuah motivasi

yang besar baginya sehingga terus kuat menjalani hidup meskipun istrinya sudah tidak

bersama-sama dia lagi. Ibadah penghiburan selama dua hari baginya terasa begitu kurang, namun apa

daya sebab keputusan sudah diambil. Mereka masih mengharapkan agar di luar ibadah tersebut,

pendeta dan warga jemaat tetap bersedia hadir untuk menemani mereka melewati masa-masa

sedih tersebut.

II. Asal Usul Jagongan.

2.1 Istilah Jagongan.

Setiap kebudayaan pasti sudah mengembangkan berbagai perangkat dan kebijaksanaan

budaya untuk membantu warganya dalam menghadapi setiap tahapan dari siklus perkembangan

kehidupan manusia, mulai dari kelahiran sampai kematian. Karena kematian dan kedukaan

adalah bagian integral dari siklus perkembangan kehidupan manusia, maka setiap kebudayaan

pasti memiliki perangkat dan tata cara dalam membantu masyarakat melewati masa-masa sulit

karena kematian dan kedukaan. Dengan perangkat kebudayaan tersebut, anggota masyarakat

ditolong secara kultural sehingga tidak merasa kesepian dan sendirian dalam menanggung beban

kesedihan.

Masyarakat Jawa mengenal berbagai upacara bagi orang yang meninggal. Berdasarkan

penuturan Dwi Kristiyono11, berbagai perangkat budaya Jawa yang diciptakan oleh masyarakat

Jawa dalam upacara kematian tidak hanya ditujukan bagi orang yang sudah meninggal saja,

namun juga bagi anggota keluarga yang ditinggalkan agar bisa melewati dan mengatasi

kedukaan mereka. Berbagai bentuk upacara yang dibuat oleh masyarakat sebenarnya adalah

11 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017. Selain sebagai dalang wayang kulit,

(8)

8

sebuah bentuk kesatuan dari masyarakat dalam mendampingi (Coorporate caring) sesamanya

yang sedang berduka tersebut.

Di kebudayaan Jawa, kita mengenal upacara yang dilakukan pada saat seseorang

meninggal (geblag12) dan dikuburkan, kita juga menemukan upacara untuk memperingati orang

yang meninggal dunia pada hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, mendak ke satu

(ulang tahun pertama), mendak ke dua (ulang tahun ke dua) dan ke seribu hari13. Pada proses

upacara itulah masyarakat Jawa mempergunakan istilah Jagongan atau Njagong (Untuk

memperpendek kata Jagongan, kebanyakan orang lebih senang mengucapkannya menjadi

Njagong), sebagai sebuah usaha masyarakat dalam melakukan pendampingan kepada keluarga

yang mengalami dukacita.

Sangat sulit untuk menentukan kapan budaya Jagongan atau Njagong mulai dilakukan

oleh masyarakat Jawa dalam mendampingi dan menguatkan saudaranya yang sedang mengalami

kedukaan. Menurut penuturan Suyita Basuki14, orang mulai peduli dengan kesedihan sesamanya

sudah sejak awal peradapan manusia, sehingga sangat sulit untuk menentukan secara pasti kapan

itu dimulai. Lebih sulit lagi untuk melacaknya sebab belum banyak ahli sejarah yang merekam

kegiatan tersebut dalam bentuk tulisan secara detail. Lebih lanjut Basuki juga menuturkan bahwa

pada sekitar tahun 1864 di daerah Pati dan Jepara pernah muncul istilah Pager layu15, sebuah

tradisi yang makna dan bentuk pelaksanaan sama dengan Jagongan atau Njagong seperti yang

dikenal sekarang ini.

12 Dwi Kristiyono menuturkan bahwa upacara saat seseorang meninggal (geblag), memang lebih banyak

menunjuk kepada perawatan atau pembersihan jasad (layon) supaya siap disemayamkan atau dimakamkan.

Geblag sebenarnya memiliki arti saat dimana seseorang itu rebah atau mati, yang kemudian segera disucikan atau dimandiin sehingga patut untuk dikembalikan kepada asal Jasadnya, yaitu bumi sebab orang Jawa mempercayai bahwa badan wadag (jasad) itu berasal dari bumi atau tanah dan akan dikembalikan ke tanah lagi.

13 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017.

14 Wawancara dengan Suyito Basuki pada tanggal 12 Mei 2017. Suyito Basuki adalah seorang dalang

wayang kulit, yang juga seorang penggiat kebudayaan Jawa. Beliau tinggal di kota Jepara.

15 Suyita Basuki menuturkan bahwa Pager layu memiliki arti menopang yang berduka (sedang mengalami lelayu atau kematian sehingga mengalami kesedihan) agar bisa bertahan dan mendampinginya melewati

(9)

9

Dalam perkembangannya, istilah Pager layu inipun akhirnya berangsur-angsur hilang

seiring dengan datangnya istilah baru yang lebih akrab diucapkan di kalangan pemeluk agama

Islam yaitu Tilawat dan Takziah. Kedua istilah ini berakar dari budaya agama Islam yang mulai

semakin menguat di masyarakat Jawa. Kata Takziah ini memiliki arti dasar menghibur. Takziah

dimaksudkan dengan mengunjungi keluarga orang yang meninggal dunia dengan tujuan supaya

keluarga yang ditinggalkan dapat terhibur, diberikan kesabaran serta mendoakan orang yang

meninggal agar dosanya diampuni oleh Allah.16 Selama proses mendoakan jenasah yang

meninggal ini, saudara-saudara muslim memakai panduan ayat-ayat Tilawatan.17 Memang dalam

perkembangannya, penggunaan istilah Takziah dan Tilawat inipun lebih sering dipakai meskipun

kadang tumpang tindih penggunaannya.

Selain hadirnya dua istilah yang berbau agama Islam tersebut, masyarakat Jawa di Pati

kemudian menghadirkan istilah baru yaitu Jagongan atau Njagong kematian. Informasi yang

dituturkan oleh Bambang Sumartoyo18, bahwa pada sekitar tahun 1860 an, ketika ada seseorang

yang akan berangkat mendatangi rumah duka untuk memberi penghiburan bagi keluarga yang

berduka, saat ditanya akan pergi kemana, maka dia akan menjawab:”Arep lunga njagong

kepaten (akan pergi Njagong di kematian)”. Dalam perkembangannya, masyarakat Jawa

kemudian memakai beberapa istilah untuk mengungkapkan peristiwa pendampingan tersebut.

Kadang orang mengatakan Jagongan atau Njagong kematian, Nglayat, Takziah kadang juga

Tilawat.

Informan kami selanjutnya menjelaskan bahwa pemakaian istilah yang berhubungan

dengan pendampingan kepada keluarga yang mengalami kematian bisa ada beberapa istilah

seperti yang sudah dibahas di atas tadi, namun yang umum dipakai oleh masyarakat di

Sembaturagung adalah Njagong kepaten seperti yang dikatakanya:

16 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017. Parmo adalah salah satu tokoh muslim di

desa Sembaturagung.

17 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

18 Wawancara dengan Bambang Sumartoyo pada tanggal 23 Mei 2017. Bambang Sumartoyo adalah

(10)

10

“Samangke panci kathah istilah ingkang kaginaaken kangge perkawes punika, namung kewamon ingkang limprah dipun ginaaken masyarakat mriki menawi kepengen mbiyantu tetangginipun ingkang bibar nandhang kasisahan karona pepejah, conto ngrencangi ing dalu-dalu sakbibaripun layon sampun dipun sareaken wonten pasarean inggih dipun wastani njagong kepaten utawi jagongan kepaten ing daleme si..., ingkang nandhang kasisahan”.19

Penggunaan istilah ini memang lebih banyak digunakan oleh generasi tua yang usianya diatas 45

tahunan, sebab bagi para pemuda, terutama yang beragama muslim lebih suka menggunakan

istilah Takziah atau Tilawat.

Basuki20 menambahkab bahwa di wilyah Pati bagian utara dan barat laut yang berbatasan

dengan wilayah kabupaten Jepara menyebutkan bahwa tradisi dimana masyarakat sedang

mendampingi kerabat atau masyarakat yang sedang berduka disebutnya sebagai layatan atau

nglayat. Artinya bahwa untuk sebuah kegiatan yang sama, masyarakat Jawa di beberapa tempat

memiliki istilah yang berbeda-beda, namun pada hakekatnya adalah sebuah upaya masyarakat

yang secara bersama-sama sebagai sebuah kesatuan dalam memberikan pendampingan dan

penguatan kepada anggotanya yang sedang berduka.

2.2 Arti kata Jagongan.

Kata Jagongan sebenarnya memiliki arti linggihan Sinambi omong-omongan, maksudnya

adalah duduk bersama sembari berbincang-bincang.21 Memang secara umum proses Jagongan

selalu disematkan kepada mereka yang duduk-duduk sambil berbincang-bincang. Jagongan pada

umumnya dilakukan saat tetangga atau kerabat memiliki hajatan yang berupa pernikahan

(jagongan manten), khitanan (jagongan sunatan), syukuran kelahiran bayi (jagongan bayek)dan

lain sebagainya. Pada umunya jagongan dimulai pada sore hari sampai menjelang pagi hari,22 di

beberapa daerah malah penggunaan istilah Jagongan lebih luas lagi, yaitu digunakan untuk

setiap kesempatan dimana ada beberapa orang yang duduk-duduk sambil berbincang-bincang,

19 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. 20 Wawancara dengan Suyito Basuki pada tanggal 12 Mei 2017.

(11)

11

entahkah di warung kopi atau warung makan, di teras rumah atau pos kampling23. Pokoknya

dimana saja asalkan ada beberapa orang yang duduk bersama sambil berbincang-bincang.

Tetapi masyarakat Sembaturagung mempergunakan istilah Jagongan ini juga sebagai

sebuah kegiatan dimana masyarakat secara komunal membantu dan mendampingi sesamanya

yang sedang mengalami kedukaan karena peristiwa kematian. Jagongan dipakai sebagai sarana

comunity caring di Sembaturagung.

III. Pelaksanaan Jagongan.

3.1. Pemberitahuan kabar dukacita atau Pemberitaan Lelayu.

Hal yang pertama kali dilakukan dalam masyarakat Jawa ketika ada yang meninggal

dunia adalah segera memberikan panglipuran/penghiburan (pendampingan) kepada keluarga

yang kehilangan tersebut. Menolong yang berdukacita agar mampu menerima dengan iklas

kepergian almarhum tersebut meskipun tidak mudah. Kerabat dekat dan tetangga akan berusaha

menenangkan keluarga yang berduka dengan hadir di sekelilingnya, meyakinkan bahwa ada

begitu banyak orang yang menemaninya24. Setelah keluarga mulai agak tenang, maka akan ada

beberapa orang yang dengan segera merawat jenasah dengan menidurkannya secara membujur,

terlentang dan menghadap ke atas. Kaki dipan tempat jenasah dibaringkan biasanya direndam

dengan dengan air, maksudnya adalah supaya jangan sampai dipan dikerumuni oleh semut atau

binatang kecil lainya, juga dibawah dipan biasanya ditaruh dupa wangi atau es batu dalam

sebuah ember besar untuk menghilangkan bau yang kurang sedap25. Selanjutnya jenasah (layon)

akan ditutup dengan kain batik atau selendang yang masih baru. Bersamaan dengan itu, ada

sebagian orang yang segera memberitahu modin, perangkat desa atau pemimpin agama yang lain

tentang lelayu tersebut, ada yang mengumumkannya lewat pengeras suara di masjid atau

mushola (bagi yang beragama muslim), namun bagi yang beragama non muslim biasanya dari

23 Wawancara dengan Suyita Basuki pada tanggal 12 Mei 2017 WIB. 24 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB.

25 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017. Imawati merupakan salah satu tokoh gereja

(12)

12

mulut ke mulut juga sangat cepat sekali kabar dukacita ini tersebar kepada para kerabat dan

masyarakat sekitar26.

Segera setelah masyarakat mendengar berita kematian atau lelayu dari anggota

masyarakat, maka mereka akan segera meninggalkan semua pekerjaan yang sedang dilakukan

untuk segera pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian itu. Tidak peduli apakah dia

seorang guru, pegawai pemerintahan, tukang bangunan, petani ataupun pedagang di pasar,

mereka akan segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas ke rumah duka27.

3.2. Perawatan Jenasah.

Setelah sampai di rumah, sebagian orang akan mempersiapkan segala keperluan untuk

nyuceni layon (membersihkan jenasah dengan memandikan untuk yang terakhir kali), dengan

mencari kursi panjang dari kayu atau bambu untuk tempat duduk tiga orang yang akan

memangku jenasah saat dimandikan nanti28. Mencari ember-ember besar atau Blung (semacam

tempat tandon air yang berukuran besar, biasanya setiap Rukun Warga/RT pasti memiliki 3

sampai 4 buah sebagai persediaan kalau ada kematian), kemudian mengisinya dengan air bersih

untuk upacara nyuceni layon tersebut. Selain itu juga disiapkan sabun mandi yang sudah

dipotong-potong, shampo dan minyak wangi untuk keperluan si jenasah. Bersamaan dengan itu,

ada sebagian warga yang lainnya akan membersihkan dan membereskan rumah sebelum semakin

banyak orang yang datang.29

Segera setelah pemimpin agama tiba di rumah duka, entahkah modin (kalau yang

meninggal dunia memeluk agama Islam), pendeta atau majelis gereja (kalau yang meninggal

dunia memeluk agama Kristen), ia akan segera membuka pakaian orang yang meninggal tersebut

dan menggantinya dengan kain sarung yang longgar atau dengan jarit, dibantu dengan beberapa

26 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017. Suci rahayu adalah salah seorang tokoh

wanita yang biasa merawat jenasah di desa Sembaturagung.

(13)

13

orang mengikat rahangnya ke atas dengan kain kafan agar tidak terbuka, mengikat kedua

kakinya menjadi satu dan melipatkan kedua tangannya di dada.

Sriyono30 menuturkan bahwa sebelum agama-agama berkembang dengan pesat di

Sembaturagung, yang melakukan tugas itu adalah sesepuh desa atau pemimpin aliran

kepercayaan. Jasad kemudian dimandikan oleh anggota keluarga, kerabat atau juga teman-teman

dekat, diutamakan perempuan kalau yang meninggal adalah seorang perempuan (tetapi ini tidak

menjadi keharusan), dan orang laki-laki kalau yang meninggal laki-laki di bawah pimpinan para

sesepuh tadi. Tempat memandikan jenasah biasanya diadakan di samping rumah atau teras

rumah, yang penting tempatnya lumayan lebar dengan banyak orang yang membentangkan kain

penutup berupa jarit atau sarung-sarung yang lebar sehingga prosesi memandikan ini tidak serta

merta bisa dilihat secara langsung. Namun jika ada yang ingin menyaksikannya juga bisa sebab

kain yang dibentangkan sambung menyambung itu tidak terlalu tinggi sehingga bisa dengan

mudah melihat prosesi tersebut. Cara memandikan layon harus diguyur secara perlahan-lahan

dari arah kepala ke kaki dan terus menerus sampai selesai tanpa henti, dengan terus mencoba

membersihkan layon sebersih mungkin31.

Setelah selesai dimandikan maka jenasah akan diletakkan di sebuah ruangan yang lebih

lebar supaya para kerabat dan tetangga dapat memberi penghormatan yang terakhir. Setelah

jenasah dibaringkan di dalam rumah, maka dengan segera beberapa wanita dan pria akan

membereskan area bekas memandikan tersebut, memastikan air bekas memandikan jenasah

tersebut mengalir habis, jarit dan sarung serta berbagai peralatan yang dipakai untuk

memandikan tadi segera dicuci serta dibersihkan oleh beberapa wanita dan kelarabat yang

berduka sehingga semuanya kembali bersih dan rapi. Mesti tidak ada yang memberi instruksi,

namun para warga akan dengan cekatan mengerjakan semuanya itu32.

30 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. Sriyono adalah salah seorang penganut

aliran kepercayaan Sapto Darmo di desa Sembaturagung.

(14)

14

Beberapa orang yang lain akan menyiapkan tempat duduk bagi para tamu yang akan

Njagong di rumah duka, ada yang meminjam para tetangga, ada juga yang memang memesan

dari tetangga desa yang memiliki persewaan tenda dan kursi. Warga akan dengan sigap

memasang tenda, menata kursi, menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan sehingga pihak

keluarga yang berduka tidak perlu lagi memikirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan

penyiapan tempat bagi para tamu, kebutuhan bagi jenasah dan segala sesuatu bagi proses

pemakaman jenasah nanti. Semuanya sudah dibantu disiapkan oleh warga dengan

bergotong-royong33.

3.3. Pembuatan Liang Lahat.

Sebagian pria yang lain akan pergi ke makam untuk mempersiapkan liang lahat bagi

sang jenasah tadi. Tidak ada yang memberi komando, namun saat ada berita kematian, beberapa

pria sudah dengan sengaja datang ke pemakaman dengan membawa cangkul, linggis, arit dan

beberapa peralatan lain yang dibutuhkan untuk membuat liang lahat. Sriyono34 menuturkan

bahwa setiap orang yang datang ke makam ini sudah dengan sadar akan kebiasaannya untuk

meringankan beban keluarga yang meninggal dengan menyiapkan liang lahat sebagai tempat

peristirahatan yang terakhir, maka mereka akan dengan segera menyiapkan itu. Mereka akan

saling bahu membahu, saling bergantian menggali tanah yang biasanya disiapkan dengan ukuran

panjang sekitar dua meter, lebar satu meter dan dalamnya sekitar satu tengah meter.

Sebagiannya lagi akan memasang tenda atau deklet di atas area pemakaman yang akan

dijadikan makam manakala peristiwa kematian terjadi dimusim penghujan agar dalam proses

penggalian dan pemakaman nantinya tidak basah kuyup. Juga ada beberapa pria yang membuat

nisan dari kayu yang diberi nama orang yang meninggal tadi. Dalam perkembangannya memang

sekarang banyak nisan beton yang sudah dijual di toko-toko penyedia perlengkapan kematian.

Bahkan dahulu, bagi yang menghendaki dimakamkan dengan peti, para pria yang memiliki

kemampuan tukang kayu akan bergotong-royong membuat peti bagi jenasah tersebut, selebihnya

33 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

(15)

15

para pria akan duduk-duduk sambil ngobrol-ngobrol di sekitar area makam sampai semua proses

pemakaman siap dilakukan35.

3.4. Persiapan Di rumah.

Sementara para wanita yang datang ke rumah duka biasanya akan membawa se”baki

beras (baki adalah semacam tempayan kecil yang mampu menampung beras 1-2 kg, pada zaman

dahulu terbuat dari anyaman pohon bambu namun sekarang sudah terbuat dari plastik atau

tembaga), juga kadang ada yang membawa mie instan, gula, kopi, teh, minyak goreng dan lain

sebagainya. Sementara para pria yang datang ke rumah duka akan membawa sejumlah uang

yang dimasukan ke dalam sebuah kotak atau sebuah baki yang ditutupi kain yang sudah

disiapkan, biasanya diletakkan di depan rumah orang yang berduka supaya warga yang datang

bisa dengan mudah menemukannya (nominal uang yang dimasukan tersebut sesuai dengan

kerelaan, tidak ada ukuran standar harus berapa sebab ini lebih kepada kepedulian sosial).

Pemberian uang itu merupakan bentuk dukungan dari tetangga, kenalan maupun kerabat kepada

keluarga yang berduka. Uang yang terkumpul itu harapannya bisa digunakan untuk membeli

keperluan-keperluan bagi kebutuhan jenasah maupun untuk tambahan biaya menjamu yang akan

Njagong nantinya36.

Para wanita yang sudah datang akan ada yang sebagian langsung ke dapur untuk secara

bersama-sama dengan wanita yang lain memasak nasi dan lauk pauk untuk para pria yang

bekerja menggali liang lahat bagi jenasah yang akan dimakamkan nanti, juga untuk suguhan

malamnya manakala para tetangga, kenalan dan kerabat yang Njagong untuk memberi

penghiburan bagi keluarga yang berduka37. Pada umumnya para wanita yang memasak makanan

tersebut tidak di rumah duka, namun akan memakai rumah kerabat atau rumah tetangga yang

letaknya dekat dengan rumah duka. Bagi tetangga yang rumahnya dipakai untuk memasak

makanan bagi para tamu atau orang-orang yang ikut Njagong itu, akan dengan sukarela atau

(16)

16

sukacita mengijinkan rumahnya dipakai untuk memasak. Salah satu informan kami, Imawati38

menuturkan bahwa rumah yang bersedia dipakai untuk membantu meringankan beban orang

yang kesripahan (Kesedihan yang mendalam) pasti akan diberkahi Yang Maha Kuasa sebab

rumah itu sudah menjadi saluran berkah bagi sesamanya. Itulah sebabnya kebanyakan orang

pasti bersedia jika rumahnya dipakai untuk kebutuhan memasak bagi keluarga yang sedang

berdukacita. Jika di rumah yang dipakai itu tidak memiliki peralatan memasak yang cukup

memadai maka para wanita akan segera mencari di tetangga yang lain, atau kalau ada yang

punya di rumahnya maka akan segera pulang dan mengambilnya39. Yang menarik adalah bahwa

mereka begitu antusias dan bersemangat dalam bekerjasama membantu segala kebutuhan

tersebut.

Sedangkan sebagian wanita yang lainnya, terutama yang lebih tua (yang dituakan

seperti halnya pemimpin agama atau pemimpin masyarakat), mereka yang memiliki hubungan

kekerabatan dengan yang berduka atau mereka yang memiliki kedekatan hubungan seperti

halnya sahabat karib akan dengan segera bergabung dengan anggota keluarga inti yang berduka

untuk memberi penghiburan (pendampingan)40. Ada yang memang terbiasa membantu

menenangkan manakala ada yang menangis dengan histeris, atau sekedar duduk berkumpul di

sekitaran jenasah yang sudah selesai di suceni. Ada juga beberapa wanita yang merangkai

bunga-bunga untuk hiasan keranda (tempat untuk mengusung jenasah), karangan bunga untuk

hiasan di atas makam atau juga untuk bunga tabur yang nantinya akan ditaburkan di sepanjang

jalan yang akan dilalui oleh iring-iringan usungan jenasah almarhum.

Menurut pengalaman Saryo41 dan Suwignyo42 yang diungkapan dengan pernyataan

yang senada; “Saestu pak, nalika kula ningali bilih kathah sederek ingkang rawuh wonten griya

kula, raos sedih kula radi kirang, awit kula ngraosno bilih kathah tiyang ingkang ntresnani

38 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. 39 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 40 Wawancara dengan Imawat pada tanggal 17 Juni 2017 WIB.

41 Saryo adalah informan yang mengalami kedukaan karena meninggalnya Suwarni istrinya pada bulan

maret 2017.

42 Suwignyo adalah informan yang mengalami kedukaan karena meninggalnya Warkinah ibunya pada

(17)

17

brayat kula”. Bagi mereka, kehadiran para pemimpin masyarakat, agama, kerabat, tetangga dan

para wanita yang duduk menemani keluarga yang berduka di sekitar jenasah almarhum sangat

besar pengaruhnya bagi jiwa mereka yang sedang tergunjang karena kesedihan. Mereka yang

duduk menemani keluarga di samping jenasah, dirasakan bagi yang berduka sebagai kekuatan

besar bagi yang berduka dalam melewati masa-masa sulit tersebut.

Setelah prosesi nyuceni layon selesai, maka keluarga dan warga akan segera meletakkan

layon (Jenasah) di ruangan tengah di atas pandosa (balai-balai kecil untuk menidurkan jenasah),

semua lubang yang ada di badan layon akan di tutup dengan kapas, lalu layon diberi pakaian

yang terbaik yang dimiliki saat masih hidup, atau kadang juga dikenakan pakaian yang baru serta

sedikit didandani. Memang bagi yang beragama muslim, hanya dibungkus kain mori (kafan)

dengan diikat di tiga tempat yaitu di bagian kaki, pinggang dan atas kepala43.

3.5. Persiapan Pemberangkatan Jenasah.

Pemakaman orang Jawa di Sembaturagung (apapun agama yang dianut) akan

dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. Walaupun mungkin ada beberapa yang harus

menunggu sanak keluarga yang kebetulan berada di tempat yang jauh, namun pada umumnya

masyarakat akan berusaha secepat mungkin memakamkan jenasah saudaranya atau kerabatnya

yang meninggal tersebut. Sekalipun nilai-nilai agama sudah mulai mewarnai pemahaman

masyarakat Jawa di kota Pati, namun kepercayaan lokal hasil warisan leluhur ternyata masih

tetap dihidupi. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa jenasah orang yang meninggal harus

sesegera mungkin di makamkan agar rohnya tidak berkeliaran tanpa arah.44 Masyarakat Jawa

mempercayai bahwa jika jasad seseorang yang meninggal dibiarkan berlama-lama dan tidak

segera dikebumikan maka rohnya tidak bisa segera kembali ke tempatnya yang layak, namun

akan berkeliaran tidak menentu seperti burung yang mencari sarangnya. Itulah juga yang

menjadi alasan mengapa ketika ada orang yang meninggal dunia, anak-anak kecil dilarang untuk

mendekat, sebab anak-anak masih rentan untuk dihinggapi oleh roh orang yang meninggal dunia.

(18)

18

Setelah semuanya sudah siap, maka upacara pemberangkatan jenasah menuju ke

pemakamannya akan dilakukan dengan diawali memanjatkan doa-doa khusus yang dipanjatkan

kepada Yang Murbeng Gesang (manakala yang meninggal adalah penganut aliran kepercayaan

Kejawen), bagi yang beragama Islam akan disholatkan dan dibacakan beberapa ayat suci

Alquran, sementara bagi yang beragama kristen akan segera dilaksanakan ibadah Panguntape

layon (Ibadah pemberangkatan jenasah menuju tempat peristiratan yang terakhir). Setelah proses

doa-doa selesai, maka jenasah akan segera diusung untuk dibawa ke pemakaman45.

Biasanya jenasah akan dipikul oleh empat atau enam pria yang akan membawanya

sampai ke liang lahat. Sebelum usungan pergi meninggalkan rumah duka, biasanya akan berhenti

sejenak di depan pintu atau halaman rumah duka untuk melakukan prosesi brobosan46. Brobosan

adalah sebuah ritual dimana kerabat atau keluarga berlari-lari kecil secara bolak-balik di bawah

usungan yang diangkat itu sebagai lambang bahwa segenap keluarga merelakan dengan iklas

yang meninggal itu pergi ke alam baka atau sangkan paraning dumadi 47. Ritual ini menjadi

pertanda bahwa jiwa mereka telah iklas dan tenang melepaskan almarhum pergi, perasaan

mereka dibuat tenang sehingga tidak ada lagi yang akan menghalang-halangi kepergian

almarhum ke tempat peristirahatannya yang terakhir (beberapa tahun terakhir ini prosesi

brobosan di kalangan kristiani sudah jarang dilakukan) . Pada umumnya yang memimpin proses

brobosan ini adalah dari anggota keluarga yang paling tua. Proses brobosan tersebut

dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut:

1.Peti mati di bawa ke luar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa lematian selesai. 2. Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan akan berjalan berurutan melewati pati jenasah yang

berada di atas mereka (mrobos) sebanyak tiga kali searah jarum jam. 3.Urutan akan

selalu diawali dengan anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada diurutan pertama,

anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakangnya.48

45 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 46 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 agustus 2017 WIB.

47 Suwardi Endraswara. Agama Jawa: Ajaran, Amalan dan Asal-usul Kejawen. (Yogyakarta: Narasi-Lembu

Jawa, 2015), 210.

(19)

19

Setelah itu usungan jenasah akan segera dipikul beberapa pria yang secara bergantian

mengusungnya ke pemakaman. Mereka yang diwajibkan untuk memikul usungan jenasah

almarhum adalah semua kerabat laki-laki dan sahabat karib harus ikut merasakan berat jenasah

ini, tujuannya supaya mereka yang bergantian memikul ini juga merasakan beratnya berpisah

dengan orang yang mereka cintai tersebut.49 Sebagian besar yang hadir di rumah duka akan

mengikuti dari belakang usungan jenasah tersebut sampai dipemakaman.

3.6. Pemakaman Jenasah.

Upacara di pemakaman akan berlangsung dengan singkat, jenasah diangkat dan di

turunkan di liang lahat dan segera di upacarai sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh

almarhum, apapun bentuk kepercayaan yang dianut, upacara pemakaman akan selalu

dilaksanakan dengan cepat. Sebelum liang lahat ditutup dengan tanah secara penuh biasanya

pihak keluarga akan dengan simbolis melemparkan gumpalan-gumpalan tanah kecil sebagai

tanda bahwa mereka iklas ikut mengembalikan layon almarhum kembali ke asalnya, yaitu

kembali ke tanah atau bumi50. Setelah timbunan liang lahat sudah selesai dan membentuk

gundukan seperti bukit kecil maka nisan atau pathok di tanjapkan sebagai pertanda makam serta

ditaburi bunga-bunga. Rangkaian prosesi ini biasanya diakhiri dengan pidato atau sambutan dari

wakil keluarga atau perangkat desa mengenai ucapan terima kasih kepada segenap warga yang

sudah membantu semua proses pemakaman almarhum ini, sambutannya biasanya sangat singkat.

Segera setelah upacara pemakaman selesai, maka sebagian besar warga yang datang

akan kembali ke rumah dan ke tempat pekerjaan mereka yang tadinya mereka tinggalkan.

Namun malamnya, mereka akan datang kembali untuk Njagong di rumah duka untuk menemani

keluarga almarhum melewati kedukaannya. Yang langsung kembali ke rumah duka pasca

pemakaman biasanya hanya keluarga inti, sahabat karib dan tetangga yang akan mempersiapkan

untuk acara Njagong kematian pada malam harinya51.

(20)

20 3.7. Upacara Slametan.

Pada malam harinya para keluarga dan kerabat akan mengadakan upacara selametan

untuk memperingati arwah almarhum dengan mengundang semua orang yang telah memberikan

bantuan serta sumbangan yang berupa materi maupun non materi. Setiap slametan yang

diadakan selalu dilakukan doa bersama untuk arwah almarhum maupun untuk keluarga yang

ditinggalkan. Rata-rata pertemuan dalam ritual doa ini berlangsung selama 1,5-2 jam. Joko

Susilo52 menuturkan bahwa maksud dari acara selametan ini adalah:

Pertama, Mendoakan arwah almarhum agar segera diampuni dosa-dosanya dan segera mendapat tempat yang layak di sisi Yang Maha Kuasa. Kedua, Mendoakan anggota

keluarga yang ditinggalkan almarhum agar senantiasa tatag (tegar), iklas dan ara ana

apa-apa (tidak terjadi hal-hal yang buruk selepas kepergian almarhum, itulah inti

penggunaan istilah selametan). Ketiga, Sebagai sebuah proses untuk tetap memelihara

hubungan dengan almarhum sekalipun almargum sudah tidak bersama dengan mereka. Masyarakat Sembaturagung mempercayai bahwa dengan terus memelihara hubungan baik dengan almarhum akan mendatangkan kebaikan bagi hidup mereka di dunia ini.

Acara doa selametan yang berhubungan dengan kematian juga akan terus diadakan

oleh keluarga pada hari ke tiga selepas kematian almarhum (Nigang ndinteni), hari ke empat

puluh (Ngawandasa dinten), hari ke seratus (Nyatus), peringatan setahun meninggalnya

(Mendhak sepisan), peringatan dua tahun meninggalnya (Mendhak kaping kalih), peringatan ke

seribu harinya (Nyewu), dan yang terakhir adalah peringan ke dua ribu yang di kenal dengan

Lepas/lepase. Tetapi jika yang meninggal masih anak-anak, maka cukup diadakan sampai hari

yang ke seratus saja dengan istilah Selametan/sedhekah Ngesah.53 Setelah peringatan hari ke

seribu dan lepase maka oleh keluarga dan kerabat dianggap bahwa tanggung jawabnya kepada

almarhum dianggap sudah selesai. Akan tetapi masyarakat di Sembaturagung masih tetap

memelihara ikatan emosional dan spiritual dengan almarhum tetap ada, itulah sebabnya setiap

hari-hari tertentu seperti malam jumat atau menjelang hari besar Jawa (Satu Syuro) serta hari

raya besar agama mereka akan mengunjungi makamnya untuk Nyekar.

52 Wawancara dengan Joko Susilo diadakan pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. Joko Susilo adalah salah

seorang tokoh muda desa Sembaturagung yang juga peduli dengan budaya Jawa.

(21)

21

Pada zaman dahulu proses doa Selametan ini dipimpin oleh sesepuh desa atau sesepuh

agama Jawi, namun karena sekarang masyarakat Jawa di Sembaturagung sudah banyak yang

menganut agama Islam dan Kristen, maka proses upacara itupun mulai mengalami perubahan.

Bagi yang menganut agama Islam, upacara selametan masih diadakan, baik untuk tiga harinya,

tujuh harinya, empat puluh harinya dan seterusnya namun diisi dengan Dhikir atau membaca

Yazin.54 Bagi yang masih menganut agama Jawi seperti halnya Sapta Darma maka upacara

seperti ini dilaksanakan dengan teliti. Sedangkan bagi penganut kristiani, Cuma mengadakan

kumpulan atau pengabekti panglipuran selama dua malam berturut-turut setelah meninggalnya

almarhum.

Yang paling menarik dari budaya masyarakat Sembaturagung dalam menjalani

malam-malam upacara selametan tersebut, ketika ritual doanya sudah selesai sebagian dari mereka tidak

langsung pulang ke rumah, tetapi akan dengan sengaja tinggal untuk beberapa jam lagi di rumah

duka untuk dengan sengaja Njagong menemani keluarga yang masih dirundung kedukaan

tersebut. Mungkin ada beberapa yang pulang dahulu ke rumahnya sebentar untuk mengantar

sedikit makanan dan jajan (berkat) dari acara selamatan tersebut namun akan segera bergabung

dengan warga desa yang lain untuk Njagong juga. Terutama pada minggu pertama setelah

kematian almarhum, rumah duka pasti tidak akan terlihat sepi sebab keluarga, kerabat dan

tetangga akan terlihat Njagong di rumah tersebut. Warga Sembaturagung menyadari bahwa

ditinggal pergi orang yang dikasihi itu bukan perkara yang mudah, karena itu mereka sengaja

datang untuk menemani dan memberi dukungan kepada saudaranya yang berduka agar kuat dan

tabah melewati masa-masa sulit tersebut. Memang yang banyak melakukan Jagongan ini adalah

kaum pria, para wanita hanya sedikit jumlahnya, itupun bertugas untuk menyediakan sekedar

makanan dan minuman sebagai teman untuk melekan atau Wungon55 saja.

54 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

55Melekan atau Wungon adalah sebuah istilah yang berarti berjaga-jaga atau tidak tidur. Dimana ada

(22)

22

Mereka yang Njagong selama berhari-hari di rumah duka biasanya adalah kerabat

almarhum, pemimpin agama, sahabat karib, dan tetangga yang dekat dengan rumah duka.

Kegiatan yang dilakukan selama Njagong itu biasanya hanya duduk-duduk sambil

ngobrol-ngobrol bersama dengan keluarga yang berduka. Pada umumnya hanya sebagian orang saja yang

secara intens selama beberapa jam berbicara serius dengan memberikan beberapa nasehat yang

menguatkan bagi pihak keluarga agar bisa dengan iklas melepaskan dan merelakan kepergian

almarhum ke alam kekekalan. Karena pada prinsipnya, ketika seseorang masih dikuasai rasa

duka, banyak nasehat tidaklah terlalu berarti56. Yang mereka butuhkan adalah kehadiran banyak

saudara menemani dan mendukung mereka agar mereka tidak merasa kesepian dan sendirian

melewati malam-malam yang hampa tanpa kehadiran almarhum57.

Kebanyakan dari kerabat dan warga masyarakat yang hadir dalam Jagongan akan mulai

meninggalkan rumah duka saat tengah malam tiba, hal ini mereka lakukan sebab esok harinya

mereka harus bekerja, hanya keluarga dekatlah yang biasanya bertahan sampai subuh.

Masyarakat Sembaturagung mengusahakan minimal selama seminggu atau 7 hari berturut rumah

duka tidak boleh terlihat sunyi atau sepi. Menurut penuturan Joko susilo58 supaya yang berduka

tidak merasa nglangut (terbawa dalam kesedihan yang mendalam karena merasa sendiri tanpa

ada yang menemani). Masyarakat menyadari bahwa kehilangan seseorang yang dicintai itu

meninggalkan kesedihan yang mendalam, apalagi jika kematian terjadi secara tragis atau

tiba-tiba, maka makin dalamlah rasa kesedihan itu. Itulah sebabnya masyarakat berusaha untuk

membantu dengan menemaninya melewati kesedihan tersebut59.

Jagongan kematian itu berarti segala bentuk bantuan yang dengan sukarela diberikan

oleh masyarakat saat menjelang proses pemakaman almarhum sampai dengan hadir di

malam-malam acara Selametan. Semua bentuk bantuan dan kehadiran kerabat, kenalan dan warga

masyarakat desa saat terjadi kematian merupakan sebuah bentuk pendampingan masyarakat

(23)

23

secara komunal yang tumbuh dan berakar dari budaya lokal. Sebuah kearifan lokal yang ternyata

memberi dampak yang sangat baik bagi mereka yang sedang mengalami kedukaan. itulah

sebabnya tradisi jagongan ini tetap terpelihara dengan baik meskipun gempuran modernisasi

menyerang di berbagai bentuk budaya di dalam masyarakat60.

Di dalam Jagongan kita melihat bagaimana kearifan lokal mampu mempersatukan

segala lapisan masyarakat tanpa membedakan agama, suku, dan status sosial. Rasa kekeluargaan

dan solidaritas yang tinggi membuat masyarakat Sembaturagung berusaha untuk datang saat

mendengar ada berita meninggalnya salah satu warga mereka. Keinginan mereka untuk

membantu tercermin dari tanpa adanya perintah atau komando dari seseorang untuk melakukan

sesuatu, namun mereka seperti telah memiliki tugas masing-masing serta mengerti bagaimana

harus segera bertindak. Masyarakat tidak menuntut imbalan sedikitpun dari pihak keluarga yang

berduka, mereka iklas melakukan semuanya itu. Informan kami, Suwignyo61 menuturkan bahwa

sering terjadi, manakala yang meninggal kebetulan dari keluarga yang sangat sederhana maka

beberapa warga yang mampu secara finansial akan saweran atau iuran secara sukarela untuk

membantu semua kebutuhan bagi perawatan jenasah sampai pada memberi jamuan sederhana

bagi warga masyarakat yang akan Njagong pada malam-malam sesudah jenasah dimakamkan.

IV. PEMAKNAAN JAGONGAN.

Tradisi dalam upacara kematian ini merupakan peninggalan kebudayaan atau warisan

leluhur masyarakat setempat yang masih dibudayakan. Meskipun harus diakui bahwa seiring

perkembangan zaman, ada beberapa hal yang mulai dihilangkan. Yang dihilangkan bukan pada

tata cara atau makna dari pelaksanaanya namun lebih kepada peralatan atau properti yang diganti

dengan sesuatu yang lebih mudah ditemukan. Sebagai contoh, dahulu saat mau mencuci rambut

layon, masyarakat harus mencari merang (ujung batang dari tanaman padi yang dibakar) sebagai

bahan untuk keramas, namun sekarang cukup dengan membeli shampo yang lebih praktis. Jika

60 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

61 Wawancara dengan Suwignyo pada tanggal 17 Juni 2017. Suwignyo merupakan anggota BPD desa

(24)

24

pada zaman dahulu, tempat untuk menutupi area memandikan jenasah (Nyuceni layon) harus

ditutup dengan gedek (anyaman dari bambu) atau kloso (Tikar yang terbuat dari anyaman daun

pandan), namun sekarang orang lebih praktis menggunakan selendang atau kain yang lebih lebar

dan panjang serta beberapa hal praktis lainnya62.

Tradisi Jagongan merupakan suatu bentuk tradisi yang selalu dilakukan masyarakat

Sembaturagung setiap kali terjadi kematian. Bagi masyarakat Sembaturagung, Jagongan

memiliki nilai atau falsafah hidup yang sangat mendalam.

4.1 Jagongan sebagai wujud guyup rukun atau gotong-royong.

Sebagai masyarakat yang tumbuh, hidup dan berkembang di pulau Jawa, warga

Sembaturagung sungguh-sungguh menghidupi nilai luhur warisan leluhur mereka yaitu

kebersamaan atau guyup rukun. Joko Susilo63 menuturkan: “Guyup rukun niku ngih,

gotong-royong lah menawi wonten ing istilah bahasa Indonesia.”. Penghayatan akan nilai inilah yang

membuat masyarakat dengan rela berjerih lelah membantu sesamanya, bukan hanya tenaga dan

waktu yang mereka berikan, bahkan harta merekapun rela mereka korbankan.

Sriyono64 menambahkan bahwa guyup artinya dilampahi kanthi sesarengan, sedangkan

rukun artinya dalam proses melakukannya, dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang

perbedaan. Sehingga guyup rukun ini dimaknai sebagai melakukan sebuah pekerjaan yang

dikerjakan secara bersama-sama dalam kerukunan tanpa melihat berbagai perbedaan, baik suku,

agama maupun status sosialnya.

Guyup-rukun dipahami sebagai bentuk partisipasi aktif setiap individu untuk ikut

terlibat dalam memberi nilai positif dari setiap obyek, permasalahan, atau kebutuhan orang-orang

di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan,

(25)

25

tenaga fisik, mental, spiritual, ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasehat yang konstuktif,

bahkan sampai hanya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa65.

Budaya guyup-rukun dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni guyup-rukun

tolong-menolong dan guyup-rukun kerja bakti. Budaya guyup-rukun tolong menolong terjadi

pada aktifitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan perayaan dan pada peristiwa

bencana atau kematian. Sedangkan budaya guyup-rukun kerja bakti biasanya dilakukan untuk

mengerjakan sesuatu yang sifatnya untuk kepentingan umum, entah yang terjadi atas inisiatif

warga atau guyup-rukun/sambatan lain seperti memperbaiki rumah warga, membangun tempat

ibadah, membangun sarana umum untuk masyarakat (kerja bakti) dan lain sebagainya.66 Nilai

luhur guyup-rukun adalah sebuah semangat yang diwujudkan dalam bentuk perilaku atau

tindakan individu dimana saat dilakukan tanpa mengharapkan balasan, dilakukan secara

bersama-sama demi kepentingan bersama atau individu tertentu67.

Setiap orang sadar bahwa kehilangan seseorang yang dicintai merupakan beban berat

yang harus ditanggung, ditambah lagi harus memberikan pelayanan kematian yang pantas bagi

almarhum sebagai tanda kasih dan penghormatan terakhir bagi almarhum. Tentu aja hal itu

semakin membuat beban keluarga yang berduka semakin bertambah. Belum lagi harus

mempersiapkan segala hal yang berhubungan dengan prosesi upacara pemakaman yang

membutuhkan persiapan dan dana yang juga tidak sedikit. Semuanya itu akan membuat beban

keluarga yang berduka semakin terasa berat. Untuk itulah anggota masyarakat yang lain, yang

tidak berduka atau mengalami kesedihan itu berusaha guyup rukun membantu meringankan

beban keluarga yang sedang berduka tersebut dengan menyiapkan segala hal yang dibutuhkan

bagi kebutuhan jenasah dan prosesi upacara pemakamannya serta segala hal yang dibutuhkan

keluarga yang berduka selama beberapa hari ke depannya.68 Masyarakat yang sadar akan kondisi

tersebut secara sukarela mengambil inisiatif untuk bergotong-royong atau guyup rukun

65 Wawancara dengan Zaman Madyo Admojo pada tanggal 23 Mei 2017 WIB. 66 Wawancara dengan Joko Susilo pada tanggal 18 Juni 2017 WIB.

(26)

26

meringankan beban keluarga yang sedang berduka. Itulah sebabnya Jagongan bagi masyarakat

di desa Sembaturagung dimaknai sebagai wujud kerjasama masyarakat secara bersama-sama

dalam meringankan beban saudaranya yang sedang berduka. Masyarakat Sembaturagung juga

sadar bahwa guyup rukun atau gotong-royong juga berperan sebagai perekat kerukunan diantara

sesama anggota masyarakat.

4.2 Jagongan sebagai wujud rasa paseduluran atau solidaritas.

Paseduluran adalah rasa kebersamaan, rasa kesatuan kepentingan, rasa simpati sebagai

salah satu anggota dari keluarga atau kelompok yang sama, atau juga bisa diartikan sebagai

perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok/komunitas yang dibentuk oleh kepentingan

bersama.69 Demikianlah masyarakat di Sembaturagung terikat dengan satu dengan yang lain

karena mereka tinggal dan hidup di area/wilayah yang sama, dengan tingkat kepentingan hidup

saling membutuhkan yang sama dan juga mempercayai nilai-nilai luhur budaya yang sama

juga70.

Sebagaian besar masyarakat Sembaturagung masih memiliki hubungan kekerabatan

atau kekeluargan. Dahulu saat populasi masyarakat masih sedikit, desa Sembaturagung awalnya

hanya dihuni puluhan kepala keluarga saja. Namun karena keluarga-keluarga ini terus beranak

cucu dari generasi ke generasi maka desa ini menjadi semakin banyak jumlah penduduknya

seperti sekarang ini71. Memang benar bahwa ada sebagian warga yang karena pendidikan,

pekerjaan dan pasangan hidup harus keluar dari desa ini, tetapi sebagian besar dari generasi ke

generasi menetap di desa ini72. Itulah yang membuat masyarakat Sembaturagung memiliki

kedekatan hubungan satu dengan yang lain sebab kebanyakan dari mereka terlahir dari

keluarga-keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Mereka mayoritas bersuku sama,

memiliki kebudayaan dan memahami nilai-nilai kehidupan yang sama.

(27)

27

Informan kami, Suci Rahayu menuturkan: “Kadospundi kula mboten nderek sisah

menawi rencang kula ingkang rinten lan dalu tansah sesarengan ing dusun menika nembe

nandhang kesrimpahan?Temtu kula nderek sisah, wong sampun kados sederek kok. 73 Hal itulah

yang membangun masyarakat ini memiliki rasa paseduluran/persaudaran yang kuat. Kesadaran

bahwa jika ada anggota yang menderita, maka anggota yang lain berkuwajiban untuk

menolongnya. Jika ada yang menanggung kedukaan maka anggota yang lainnya berkuajiban

mendampingi dan menopangnya supaya bisa bertahan melewati masa-masa krisis hidupnya.

Inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat di Sembaturagung begitu kompak membantu

anggotanya yang sedang kesripahan atau mengalami kedukaan yang berat karena sebuah

kematian dengan berusaha membantu melakukan segala hal yang bisa meringankan beban

saudaranya tersebut.

4.3 Jagongan sebagai wujud tanggung jawab sebagai saudara.

Masyarakat yang tinggal di Sembaturagung kebanyakan masih memiliki keterikatan

atau hubungan darah meskipun jauh. Hal itulah yang membuat setiap orang seperti terikat satu

dengan yang lain dengan mengatakan bahwa “awake dewe iki sejatine iseh mambu sedulur,

senajan to wes adoh74” (kita ini sebenarnya masih ada hubungan darah meskipun sudah jauh).

Konsep inilah yang membuat warga Sembaturagung menganggap bahwa warga desa adalah

saudaranya. Mereka merasa saling memiliki satu dengan yang lain (ndarbeni).

Selain itu, mereka juga memiliki keterikatan emosional karena mereka menghabiskan

hidup bersama-sama di tempat atau desa yang sama75. Perasaan yang tumbuh karena selalu

bersama dalam waktu yang lama membuat mereka saling peduli dan memperhatikan sehingga

ikatan persaudaraan mereka menjadi sedemikian kuat. Kondisi seperti ini akan sangat berbeda

dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan atau perumahan yang mayoritas bertetangga

dengan warga pendatang. Masyarakat Sembaturagung yang lebih ke arah pinggiran memegang

(28)

28

teguh pemahaman bahwa tetangga dekat itu lebih baik dibanding saudara kandung yang jauh

tempat tinggalnya. Itulah sebabnya setiap orang di desa ini berusaha untuk menjadikan

tetangganya sebagai saudaranya. Mengapa demikian, sebab jika terjadi sesuatu maka yang

pertama kali datang menolong atau membantu adalah tetangga yang terdekat dari rumahnya76.

Tetangga adalah saudara terdekat kita, sebab merekalah yang selalu dengan cepat

membantu apapun yang menjadi kesulitan kita. Sebagai contoh, manakala ada musibah

kebakaran rumah, tetanggalah yang akan pertama kali menolong, bukan keluarga yang rumahnya

jauh dari kita.77 Pemahaman inilah yang membuat warga desa menempatkan sesamanya penting

di kehidupannya seperti saudara kandungnya sendiri. Itulah yang mendorong masyarakat untuk

rela bekerja keras serta bergotong-royong membantu sesamanya yang sedang dilanda dukacita.

Masyarakat bukan hanya rela memberikan waktu dan tenaga mereka guna membantu keluarga

yang sedang berduka karena kematian, jika diperlukan hartapun rela mereka sumbangkan.

4.4 Jagongan sebagai wujud bela raos kepada sesamanya yang sedang menanggung beban

dukacita.

Kehilangan orang yang dicintai merupakan sebuah gonjangan hidup yang tidak mudah.

Apalagi jika yang berpulang itu masih terbilang dalam usia yang relatif muda, ditambah lagi

bentuk kehilangannya terjadi secara mendadak seperti terkena musibah kecelakaan atau tiba-tiba

saja meninggal dunia. Tentu saja akan membuat rasa dukanya semakin berat dan mendalam.

Sebagai anggota masyarakat yang sudah lama hidup bersama dalam suatu komunitas tentu

menyadari bahwa kehilangan tersebut sangat menyakitkan78. Berangkat akan kesadaran akan hal

itu, maka masyarakat mencoba memposisikan diri di keadaan orang yang sedang mengalami

kedukaan tersebut, bagaimana rasa sedih dan hancurnya hati karena harus kehilangan serta

berpisah dengan orang yang dicintai, masyarakat ikut merasakan kesedihan (bela raos).

76 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

(29)

29

Masyarakat bukan hanya menaruh simpati, tetapi juga empati terhadap setiap anggotanya yang

mengalami kematian. Informan Imawati menjelaskan bahwa:

“Sebagai sesama manusia dan anggota masyarakat, kita ikut merasakan kesedihan yang

mendalam juga (bela raos) manakala ada anggota warga kita yang meninggal dunia. Kita

juga ikut merasakan apa yang mereka rasakan, mencoba memposisikan diri kita seperti mereka yang berduka, sehingga dengan demikian kita bisa membantu dan mendampingi mereka dengan tulus, sebab kita tahu bahwa beban yang mereka sedang tanggung sangat berat. Siapa lagi yang menjadi harapan dan kekuatan bagi mereka dalam menjalani kesedihan ini kalau bukan kita? kita memang tetangganya, tapi kita juga adalah saudara dekatnya.”79

Rasa itulah yang mendorong masyarakat untuk sesegera mungkin membantu anggota

masyarakat yang berduka. Bahkan, jika yang meninggal dari keluarga yang tidak mampu atau

miskin, maka akan ada beberapa tokoh masyarakat atau gereja yang akan menggerakkan

masyarakat untuk “patungan” atau melakukan iuran guna mencukupi semua kebutuhan upacara

pemakaman jenasah serta biaya untuk kebutuhan yang lain sesudah prosesi pemakaman selesai.

Apa yang menggerakan masyarakat untuk melakukan semunya itu? Rasa empati dan simpatilah

yang mendorongnya atau bela raos..

4.5 Jagongan sebagai wujud “ Mulad sarira hangkrasa wani”.

Pemaknaan berikutnya yang dihidupi oleh masyarakat Sembaturagung adalah “ Mulad

sarira hangkrasa wani”. Secara sederhana dapat diartikan kalau seandainya hal itu terjadi di

hidup saya. Secara sederhana mungkin pemaknaan ini hampir sama dengan rasa empati, namun

perasaan ini jauh lebih dalam dan lama. Rasa empati secara sederhana dapat diartikan sebagai

mengerti perasaan atau pengalaman orang lain, dan merasakannya sesaat seakan-akan anda

sendiri yang merasakan80, namun makna “ Mulad sarira hangkrasa wani” itu menempatkan

seseorang yang pasti akan mengalami kedukaan seperti orang yang sedang dia bantu. Dwi

Kristiyono81 menjelaskan makna ini dengan sebuah kalimat sederhana:

“Besuk kalau keluargaku ada kesusahan, saya juga butuh orang lain untuk membantu dan menemani saya melewati masa-masa sulit itu. Karena itu, mumpung sekarang saya bisa

(30)

30

menolong orang lain yang sedang kesusahan, maka saya akan berusaha semampu saya untuk membantunya, karena apa yang ditanam baik, baik pula yang akan didapatnya kelak”.

Masyarakat Sembaturagung percaya bahwa apa yang ditaburkan baik, maka kelak akan

menuai baik juga. Apabila sekarang menghibur mereka yang susah, maka kelak ketika

mengalami kesusahan, maka akan ada orang yang menghiburnya juga. Setiap orang sadar bahwa

kemalangan dan malapetaka bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja, itulah sebabnya

mengapa masyarakat menyadari pentingnya saling membantu dan saling menolong diantara

sesamanya yang sedang menanggung kemalangan atau kesusahan. Kesadaran akan hal itu

membuat masyarakat menjadi peduli akan kesusahan sesamanya.

Mulad sarira hangrasa wani sebagai nilai diri masyarakat.

Masyarakat Jawa memiliki pepatah hidup “aja rumangsa bisa nanging bisaa

rumangsa”, jika diuraikan secara literal akan memiliki maksud aja senang rumangsa bisa yen

durung bisa, nanging bisaa ngrumangsani yen durung bisa, nduwenan sifat rumangsaa seng

jero. Artinya setiap orang Jawa diharapkan agar jangan merasa bisa atau mampu, tetapi bisalah

(dapatlah) merasa (mengakui) bahwa dirinya belum bisa. Intinya jadilah orang yag rendah hati,

tidak sombong dan kesadaran bahwa seperti apapun kita, kita tetap membutuhkan orang lain.

Pepatah inilah yang mengantarkan orang Jawa pada kesadaran bahwa setiap manusia tidak bisa

hidup tanpa orang lain, mereka memerlukan bantuan orang lain dan saling ketergantungan satu

dengan yang lain82. Apabila orang Jawa sudah kehilangan nilai diri ini maka akan disebut

sebagai wong jawa seng ilang jawane83.

Mulad sarira hangrasa wani sebagai identitas diri. Mulad sarira hangrasa wani

berasal dari tiga suku kata utama yaitu sarira yang berarti badan/tubuh/diri sendiri, hangrasa

yang berarti merasa, wani yang berarti berani. Sehingga mulad sarira hangrasa wani artinya

berani melihat diri sendiri (menempatkan diri sendiri dengan segala kekurangan dan

Referensi

Dokumen terkait

file .pdf secara langsung di browser yang berbasis Android bisa dilakukan dengan metode embedded pdf menggunakan bahasa Java.. Kajian Pengembangan e-Book

[r]

Bagi para Calon Penyedia Jasa / Peserta Pelelangan yang keberatan terhadap hasil pelelangan ini diberikan kesempatan untuk memberikan sanggahan selama 3 (tiga)

Tombol untuk pergerakan berjalan yang digunakan dalam video game ini adalah tombol W, A, S, dan D yang merupakan tombol default pada. Unreal Engine

mantan suami untuk melaksanakan isi putusan Pengadilan. Bila surat peringatan pertama tidak dilaksanakan, Pengadilan akan mengeluarkan surat tersebut sampai tiga kali. Bila

[r]

matematika. Desain penelitian Quasi exsperimental. Populasinya semua siswa kelas.. VII SMP Negeri 1 Nguter Sukoharjo. Pengambilan sampel dengan cluster sampling. Metode

Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas Trisakti. Kajian strukturalisme dan Nilai Edukatif Dalam Cerita Rakyat