• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBERHASILAN RI GAM DALAM MENCA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS KEBERHASILAN RI GAM DALAM MENCA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBERHASILAN RI-GAM DALAM MENCAPAI KONSENSUS UNTUK MENGAKHIRI SEPARATISME DI ACEH

PAPER

Untuk Memenuhi Tugas Sistem Sosial Budaya Indonesia

Oleh

Sintya Debi Permatasari NIM 130910201004

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA JURUSAN ILMU ADMINISTRASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS JEMBER

(2)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

(3)

memfokuskan pembahasan pada proses integrasi politik GAM ke dalam Republik Indonesia.

Pada awalnya, GAM adalah sebuah organisasi yang diproklamasikan secara terbatas. Deklarasi GAM oleh Hasan Tiro dkk, dilakukan secara diam-diam di sebuah kamp kedua yang bertempat di Bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Pada 4 Desember 1976 inisiator Gerakan Aceh Merdeka Hasan di Tiro dan beberapa pengikutnya mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap pemerintah RI yang dilangsungkan di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie. Diawal masa berdirinya GAM nama resmi yang digunakan adalah AM, Aceh Merdeka. Oleh pemerintah RI pada periode 1980-1990 nama gerakan tersebut dikatakan dengan GPK-AM. Pada awalnya, gerakan ini adalah gerakan sekelompok intelektual (bahkan dapat disebut sebagai gerakan berdimensi kekerabatan) yang kecewa atas model pembangunan di Aceh. Lahirnya GAM terkait pula dengan kemarahan mereka atas penyelenggaraan pemerintahan di bawah orang-orang Jawa. Kelompok ini menuduh telah terjadi kolonialisasi Jawa atas masyarakat dan kekayaan Aceh. Bahkan, Hasan Tiro sendiri mereproduksi gagasan anti-kolonialisasi Jawa untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Aceh dan kalangan pemuda serta tokoh-tokoh agama. Gagasan-gagasan Hasan Tiro ini semakin memuncak setelah Pemerintah Orde Baru mengeksplorasi gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara sejak awal 1970-an.

(4)

Baru dengan cara yang represif. Orba mengirimkan tentara sebagai alat untuk menumpas pemberontakan GAM. Pendekatan militer ini ditempuh dengab tujuan agar pembangunan tidak mengalami gangguan. Di masa Orba, tidak ada toleransi bagi kaum pemberontak, karena itu pendekatan integrasi tidak memungkinkan pada waktu itu. Orba tidak mentolelir adanya gerakan pemberontakan yang dapat menyebabkan istabilitas politik. Pada jaman Soeharto GAM dipandang sebagai gerakan pengacau liar sehingga harus dibasmi. Pendekatan militer menyebabkan terjadinya kekerasan pada periode DOM 1989-1995 di Aceh. Penghilangan orang, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, justru menjadi anti-tesis dari proses integrasi politik selama masa Orba. Akibat penyelesaian yang tidak tuntas di masa lalu dan kegagalan pendekatan dalam menangani separatisme tersebut, sumber-sumber dan sebab-sebab separatisme di Aceh justru semakin subur, bahkan melahirkan generasi baru (generasi korban DOM yang kemudian mendukung GAM). Kelompok GAM di masa DOM melakukan eksodus keluar dan melakukan perjuangan dari luar Aceh, melalui Malaysia, Libya, dan Janewa.

(5)

Untuk mengatasi persoalan separatisme di Aceh yang semakin berkembang, pemerintahan transisi sejak masa Presiden BJ. Habibie hingga Megawati telah mengupayakan beberapa kebijakan. Sayang pendekatan-pendekatan yang pernah ditempuh sebelum adanya perjanjian Helsinki umumnya tidak beranjak dari pola dan pendekatan lama, pendekatan militeristik yang cenderung mengedepankan cara-cara kekrasan dalam mewujudkan keamanan di Aceh. Tak jarang pendekatan pemerintahan transisi sejak masa Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati pada akhirnya mengalami jalan buntu, menyebabkan penyelesaian masalah separatisme Aceh berlarut-larut, dan gagal menghentikan perlawanan pihak GAM serta meminimalisir korban masyarakat sipil. Meskipun sejak masa Abdurrahman Wahid telah ada upaya untuk melakukan dialog damai (Jeda Kemanusiaan I dan II) yang dilanjutkan pada masa Presiden Megawati, namun upaya damai ini masih dibayang-bayangi oleh ketakutan bahwa cara ini kurang efektif untuk menghentikan pemberontakan GAM, sehingga pendekatan militer kembali ditempuh melalui kebijakan Operasi Terpadu. Kebijakan ini bertujuan untuk memulihkan keamanan di Aceh dan meningkatkan kinerja pemerintahan. Namun langkah ini pun kurang berhasil memadamkan pemberontakan GAM, yang terjadi justru semakin menjauhkan GAM dari pangkuan Republik Indonesia.

(6)

yang terletak di luar ibukota Finlandia Helsinki. Pemerintahan yang baru melakukan terobosan melalui pendekatan baru, dianggap pendekatan baru karena supervisi Jusuf Kalla yang secara konsisten dan terus-menerus untuk memilih cara damai dalam menyelesaikan separatisme di Aceh. Pendekatan baru ini lebih menekankan pada cara-cara dialog dan pemberian pengampunan.

Akhir dari pembicaraan informal ini adalah penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Walaupun menimbulkan pro dan kontra, SBY-JK tetap konsisten memilih cara damai sebagai resep untuk mengakhiri separatisme Aceh melalui kebijakan politik pengintegrasian yang tercermin pada butir-butir dalam MoU Helsinki. Cakupan integrasi politik ini meliputi beberapa aspek sebagaimana tercermin dalam MoU Helsinki, yaitu: penyelenggaraan pemerintahan Aceh; partisipasi politik; ekonomi, peraturan perundang-undangan; hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat; dan pengaturan keamanan. Cakupan integrasi politik tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mengembalikan GAM menjadi Warga Negara Republik Indonesia (WNI). Hal ini ditempuh dengan cara memberikan beberapa kelonggaran terhadap pihak GAM, khususnya adanya pengampunan, kompensasi ekonomi, dan peluang politik bagi mantan anggota GAM untuk terlibat pemerintahan, sebagai cara mengintegrasikan pihak GAM ke dalam Republik Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang muncul dalam kajian ini antara lain; a. Bagaimanakah sebab-sebab lahirnya Gerakan Aceh Merdeka? b. Bagaimanakah faktor penyebab kegagalan dan keberhasilan

(7)

c. Bagaimana model penyelesaian konflik dan integrasi politik di Aceh hingga tercapainya konsensus untuk mengakhiri separatisme?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang menyertai adalah sebagai berikut ;

a. Mengetahui dan menganalisis sebab-sebab lahirnya Gerakan Aceh merdeka.

b. Mengetahui dan menjelaskan faktor penyebab kegagalan dan keberhasilan hingga sampai pada proses keberhasilan RI-GAM dalam mencapai konsensus untuk mengakhiri separatisme di Aceh.

(8)

BAB 2. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Resolusi Konflik

Dalam pandangan John Burton, studi konflik memiliki dua fokus perhatian, yaitu pertama menjelaskan gejala konflik dan kekerasan di dalam masyarakat dan masyarakat dunia, guna menemukan pendekatan konstruktif untuk memecahkannya; kedua, memberikan penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari proses dan kebijakan yang diturunkan dari suatu penjelasan mengenai konflik. Konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka.

Muswadi Rauf membagi antara konflik sosial dan konflik politik. Menurutnya, tidak semua konflik sosial adalah konflik politik. Konflik politik berkaitan dengan penguasa politik dan atau keputusan politik yang dibuatnya. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan tentang penguasa politik, perbedaan penilaian terhadap sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki oleh penguasa politik, dan perbedaan penilaian terhadap keputusan politik. Konflik politik inilah yang terkait dengan masalahintegrasi dan dapat menimbulkan masalah disintegrasi.

(9)

sebagai suatu hal yang utama. Ada perbedaan antara resolusi konflik sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi konflik sebagai penanganan (seatlement) konflik dengan cara-cara paksa (coersion) atau dengan cara tawar-menawar (bargaining) atau perundingan (negotiation).

Menurut Lewis A. Coser, walaupun konflik oleh pendekatan Marxis dianggap gejala serba hadir dalam masyarakat, bukannya tidak dapat diselesaikan atau setidaknya dikendalikan. Upaya penyelesaian ini memiliki fungsi pengintegrasian, karena konflik memiliki sifat distruksi. Menurut Coser, ada enam (6) cara untuk penyelesaian konflik yakni:

1. Menciptakan federasi (federation). Upaya ini dilakukan dengan memberi otonomi relatif kepada unit-unit yang ada. Ini berangkat dari faktor-faktor yang memungkinkan munculnya konflik, adanya heterogenitas, sehingga perlu federasi.

2. Mengubah hasil yang dikehendaki (altering the payoffs). Upaya ini dilakukan terutama terhadap ciri konflik yang menang-kalah (zero sum conflict) yang intensitasnya tinggi. Agar intensitasnya lebih rendah, struktur konfliknya harus diubah menjadi non zero sum conflict agar tercipta kompromi dan konsensus.

3. Memperluas sumber-sumber (expantion of recources). Cara ini dilakukan dengan memperluas sumber-sumber yang dipertentangkan. Perluasan ini diharapkan dapat meredakan konflik.

4. Memberikan bayaran tambahan (side payments). Pihak-pihak yang kalah dalam konflik diberi “subsidi”, atau sejumlah kompensasi agar tidak tercipta oposisi politik.

(10)

cara mengalihkan pola komunikasi yang bersifat antagonistik dapat dilakukan.

6. Mendefinisikan kembali konflik (redefining the conflict). Hal ini dilakukan terhadap konflik yang cenderung berubah dari konflik yang bersifat khusus ke konflik yang bersifat umum, maka konflik harus diarahkan pada hal-hal yang bersifat khusus, agar mudah penyelesaiannya.

Dari penjelasan tersebut diatas, separatisme di Aceh dapat dianggap sebagai konflik politik. Sementara perundingan yang ditempuh oleh RI dan GAM tergolong sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik. Dalam penyelesaiannya, sebagaimana telah disebut bahwa resolusi konflik lebih menekankan pada penggunaan cara tawar-menawar dan melalui suatu proses perundingan atau negosiasi. Untuk dapat mewujudkan hal itu, masing-masing kelompok yang bertikai harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu sebagai kerangka penyelesaian sehingga memungkinkan adanya hubungan-hubungan sosial di antara mereka untuk menemukan pola penyelesaian.

2.2 Integrasi Politik dan Konsensus Normatif

Istilah integrasi menunjukkan adanya suatu pembauran dan penggabungan yang menyeluruh dari hal-hal yang khusus sehingga masing-masing telah kehilangan jati diri yang khas. Dari definisi harfiah tersebut, integrasi merujuk pada suatu proses pembauran atau penggabungan bagian-bagian maupun unsur-unsur sehingga mengarah pada suatu keseluruhan. Dalam pengertian yang luas, integrasi dipandang dari akar katanya, integer dalam bahasa Latin berarti keseluruhan.

(11)

1. Integrasi mungkin merujuk pada proses penyatuan berbagai budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah, dan pada pembentukan suatu identitas nasional.

2. Integrasi sering digunakan dalam arti yang serupa untuk merujuk pada masalah pembentukan wewenang kekuasaan nasional pusat diatas unit-unit atau wilayah-wilayah politik yang lebih kecil yang mungkin beranggotakn suatu kelompok budaya atau sosial tertentu.

3. Integrasi sering digunakan untuk menunjuk pada masalah menghubungkan pemerintah dengan yang diperintah.

4. Integrasi kadang-kadang juga digunakan untuk menunjukkan adanya konsensus nilai yang minimum, yang diperlukan untuk memelihara tertib sosial; dan

5. Berkaitan dengan “tingkah laku integratif” yaitu kapasitas orang-orang di dalam suatu masyarakat untuk berorganisasi demi mencapai beberapa tujuan bersama.

Myron Weiner membagi integritas menjadi lima yaitu integritas nasional, integrasi wilayah, integrasi nilai, integrasi elit-massa dan tindakan integratif. Meskipun Weiner membagi lima tipe integrasi, istilah integrasi politik yang dimaksudkan cakupannya lebih luas tidak hanya mencakup dimensi vertikal, horizontal, tetapi juga mencakup nilai-nilai dan budaya.

(12)

Secara substantif dalam memahami persoalan separatisme Aceh yang merupakan konflik politik sebagaimana ciri yang disebutkan oleh Maswadi Rauf, maka lebih cocok menggunakan integrasi politik. Strategi politik dilakukan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan separatisme di Aceh melalui perundingan dengan pihak GAM, pada dasarnya adalah suatu proses yang bersifat bottom up (prosesnya berawal dari suatu upaya untuk membangun kesepakatan-kesepakatan normatif) antara RI-GAM, sehingga lebih tepat digunakan istilah integrasi politik.

Dari beberapa penjelasan di atas, dalam kajian ini integrasi politik dipandang sebagai suatu proses, shingga didalamnya mencakup sejumlah faktor yang memengaruhi proses dan yang menentukan proses integrasi politik. Faktor-faktor tersebut mencakup perilaku politik elit, tingkat kepercayaan dan komitmen elit sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses integrasi politik, khususnya dalam membangun kultur dan kepercayaan terhadap pihak GAM dalam mewujudkan sistem politik, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai dasar tindakan politik. Para penganut teori integrasi politik telah menyampaikan beberapa pandangan mengenai strategi untuk memperkuat integrasi politik. Weiner mengusulkan cara mengurangi/ menghilangkan kesetiaan nasional atau integrasi politik. Strategi yang dapat ditempuh adalah dengan cara asimilasi dan Bhineka Tunggal Ika (unity in diversity). Sementara Coleman dan Rosberg menegaskan bahwa upaya memperkuat integrasi politik perlu dilakukan dengan cara mengurangi diskontinuitas dan ketegangan regional dan kultural. Sedangkan Ake, mengusulksn cara konsensus normatif.

(13)

kesetiaan terhadap klain negara dan bagaimana meningkatkan konsensus normatif mengenai oerilaku politik diantara anggota-anggota dalam suatu sistem politik. Cara ini dipandang lebih memiliki relevansi dalam memahami persoalan formula penyelesaian dalam perundingan antara RI-GAM di Helsinki yang akhirnya melahirkan sejumlah butir mengenai sistem politik lokal (pemerintahan Aceh) dan sejumlah kesepakatan lainnya sebagai kesepakatan kedua belah pihak dalam menyelesaikan akar-akar separatisme.

Dibandingkan dengan cara Weiner dan Coleman dan Rosberg, sebagaimana telah disebut di atas, formula yang dikembangkan oleh Ake dan Geertz lebih relevan dalam membahas cara penyelesaian separatisme di Aceh. Formula Geertz yang menekankan perlunya akomodasi, dimana kelompok-kelompok primordial yang ada akomodasi secara politik juga dapat digunakan sebagai salah satu cara lain dalam meningkatkan integrasi politik. Cara Geertz ini dianggap dapat mengurangi diskontinuitas dan ketegangan regional dan kultural, yang kerap kali menimbulkan problem-problem integrasi. Dengan model akomodasi Geertz, sejumlah capaian dalam perundingan antara RI-GAM di Helsinki dapat dianalisis dari pandangan Claude Ake dan Geertz tersebut.

2.3 Separatisme

(14)

kegagalan modernisasi politik yang justru cenderung meningkatkan munculnya sentimen primordial. Pandangan Geertz ada benarnya mengenai masalah separatisme di negara-negara yang baru merdeka seperti Indonesia, ternyata bukan “one way traffic” yang lalu berakhir, tetapi merupakan suatu “two way traffic” yang terus berjalan, karena terkait dengan persoalan kebangsaan dan sentimen primordial.

Dengan pemahaman seperti itu, maka persoalan separatisme di Aceh dapat dipahami dalam kerangka “two way traffic” tersebut, karena ternyata sejak 1953 ketika pemberontakan Darul Islam pertama kali muncul di Aceh, tampaknya wilayah ini tak pernah surut dari masalah separatisme. Artinya ada hubungan persoalan sentimen perimordial sebagai landasan ketidakpuasan masyarakat yang terus-menerus berbenturan dengan ideologi dan masalah kebangsaan. Kerangka Geertz ini dapat digunakan sebagai pijakan dalam membahas perkembangan GAM mulai dari kelahirannya pada 1976 hingga kebangkitannya kembali pada masa transisi.

Di sisi lain, untuk dapat mencari penyebab separatisme di masa lalu di Indonesia khususnya munculnya GAM; mengapa separatisme muncul dalam suatu negara akan digunakan beberapa kerangka yang telah dibangun oleh beberapa orang yang sebelumnya telah membahas mengenai hal itu.

(15)

Kedua, dari segi akar separatisme mungkin terdapat perbedan-perbedaan antara masa Orde Lama dengan mas Orde Baru saat lahirnya Gerakan Aceh Merdeka.

Masih dalam konteks sumber-sumber separatisme, Metta Spencer menyebut ada beberapa faktor penyebab yang bervariasi antara nasionalisme dan separatisme, yaitu: pertama, emotional resentment, beberapa analisis dari psikologi sosial tentang nasionalisme pada dasarnya terkait dengan sentimen emosional, termasuk adanya anggapan “rival community”, perasaan yang irasional; kedua, alasan perlawanan dari para korban (the justified resistance of victim); ketiga, propaganda kekuatan-kekuatan politik (propaganda orchestrated for political gain); keempat, kelompok etnik yang dominan dalam kekuasaan (the power of a dominant ethnic group); dan kelima adalah motivasi ekonomi (economic motivations). Kelima hal itu merupakan sumber terjadinya separatisme. Selain sumber-sumber tersebut, faktor struktural tertentu pun memiliki kontribusi atas terjadinya separatisme. Faktor tersebut adalah: (1) faktor etnisistas yang menjadi basis ideologi dalam suatu wilayah; (2) sentralisasi dan desentralisasi sistem pemerintahan; (3) prospek negara baru; (4) adanya manipulasi demografi dan politik aneksasi (political annexation); dan (5) ambiguitas hukum internasional, karena kebanyakan para separatis percaya bahwa gerakan mereka akan mendapat dukungan dari pihak internasional.

(16)
(17)

BAB 3. PEMBAHASAN

Aceh adalah wilayah yang unik dari segala segi, khususnya budaya yang resisten terhadap segala upaya yang ingin mendominasi (apalagi “menjajah”) wilayah yang dikenal serambi mekaah tersebut. Wilayah ini tak henti-henti menabuh genderang perang sejak masa Hindia Belanda, pasca-kemerdekaan dengan terjadinya perang Cumbok antara kaum uleebalang dengan ulama, meletusnya pemberontakan DI/TII Daud Beureueh 1953 hingga proklamasi kemerdekaan Gerakan Aceh Merdeka 4 Desember 1976.

3.1 Sebab-sebab Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka

Orientasi ke-Aceh-an dapat dipandang sebagai salah satu faktor yang turut mempengaruhi lahirnya Gerakan Aceh Merdeka, meskipun bukanlah faktor yang paling menentukan. Sebagaimana tercermin pada awal lahirnya GAM misalnya, orientasinya pada waktu itu adalah untuk membentuk negara sebagaimana Aceh di masa lalu, yaitu Aceh di jaman kesultanan. Sementara itu, Isa Sulaiman menyebutkan bahwa GAM ada kaitannya dengan peroslan Daru Islam (DI) di Aceh yang belum tuntas diselesaikan. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh Soekarno untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII Daud Beureueh. Tokoh-tokoh DI/TII yang kecewa ini kemudian mendukung lahirnya GAM, bahkan mereka menyebut Mohammad Hasan Di Tiro sebagai Wali Negara terakhir.

(18)

sebagai fase konsolidasi kelompok, bukan fase perang bersenjata. Sudah sejak 1965 Hasan Tiro menghimbau putra-putra Aceh, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan lain-lain untuk tegak berdiri merebut kembali kekuasaan dan kehormatan mereka selama 20 tahun yang sudah direndahkan oleh kolonialisasi Jawa. Pada dasarnya, gagasan yang dikembangkan oleh Hasan Tiro melalui cara mengorbankan semangat patriotisme lokal adalah untuk mencari dukungan.

Pihak GAM sering menganggap bahwa Aceh bukanlah wilayah Republik Indonesia. Secara historis beberapa anggota GAM seperti Tgk. Abdullah Syafe’i, penglima GAM memandang bahwa antara Bangsa Aceh dengan Bangsa Indonesia Jawa tidak ada hubungan sama sekali. Secara historis Aceh adalah suatu bangsa yang memiliki struktur sendiri. Kalaupun Aceh sekarang berada di bawah Indonesia, tiu karena kesalahan Belanda, sebab sejak 1873 bangsa Aceh diberi kemerdekaan oleh Inggris. Pihak Aceh memahami bahwa Aceh adalah wilayah yang lepas dari Indonesia, dan memiliki identitas serta pemerintahan sendiri.

(19)

kecil dan lebih menguntungkan Indonesia ketimbang Aceh. Mengenai kekecewaan Hasan Tiro, versi lain menyebutkan bahwa kekecewaan Hasan Tiro Bermula ketika ia menawarkan seorang penguasa kontraktor dari Amerika Serikat yang kemudian ditolak oleh Pemerintah Indonesia. Kekecewaan inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa ia sangat kecewa dengan Soeharto, yang kemudian mendorong lahirnya Gerakan Aceh Merdeka.

Dari gambaran diatas, tumbuhnya kelompok separatis (GAM) di Aceh tidaklah lahir dalam arena yang kosong, tetapi berkaitan dengan dinamika politik, ekonomi, sosial, dan pembangunan di Aceh yang menjadi latar belakangnya. Selain itu, tumbuhnya GAM di Aceh juga tak luput dari begitu banyaknya kepentingan aktor-aktor lain di balik peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi apabila dirunut dari aspek asal-usul perkembangannya.

3.2 Faktor Penyebab Kegagalan dan Keberhasilan Hingga Bisa Sampai Pada Keberhasilan RI-GAM Dalam Mencapai Konsensus Untuk Mengakhiri Separatisme di Aceh

Banyak sudah lembaga-lembaga kajian dan perguruan tinggi melakukan studi tentang latar belakang dan dampak konflik di Aceh. Seluruhnya sepakat bahwa akar masalah konflik di Aceh adalah ketidakadilan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah dan Rakyat Aceh.

(20)

yang taken for granted, sekali jadi, tetapi merupakan suatu proses yang panjang. Dari proses ini menunjukkan bahwa untuk mengembalikan kaum separatis ke dalam Republik Indonesia, membutuhkan sejumlah persiapan baik dari segi waktu, biaya, tenaga, maupun komitmen pemerintah. Salah satu kesulitannya adalah menciptakan rasa saling percaya antar kedua belah pihak. Kesulitan ini berkaitan dengan janji-janji yang pernah disampaikan oleh pemerintah RI dari rangkaian upaya-upaya penyelesaian sebelumnya yang dianggap oleh pihak GAM sebagai kebohongan Pemerintah RI.

(21)

berkepanjangan ini. Hasil yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 15 Agustus 2005 yang lalu, menurut Martti adalah 95 persen dari draft yang telah disusun oleh CMI selaku pihak negosiator yang kemudian dibahas pada perundingan kelima

Adanya keinginan dari kedua pihak untuk melakukan kompromi dalam hal ini dipandang sebagai faktor penting dalam terwujudnya titik terang perdamaian. Lika-liku dalam membangun kepercayaan dengan pihak yang selama ini bersebrangan, bukanlah sebuah proses yang mudah. Keberhasilan untuk mendorong GAM agar bersedia berdialog tergantung dari sejumlah faktor. Faktor tersebut adalah: adanya kepercayaan antara kedua belah pihak, adanya kondisi yang mendiring kedua belah pihak meyelesaikan pertentangan yang sudah sangat lama, komitmen pemerintah bahwa hanya cara damailah yang dapat menyelesaikan persoalan separatisme, dan momentum yang mempercepat kedua belah pihak untuk melakukann dialog mencari alternatif penyelesaian lain dalam meyelesaikan masalah separatisme.

(22)

keinginan untuk membentuk Negara Aceh Merdeka. Dengan kata lain, faktor alamiah telah mendorong sekaligus mempercepat kedua belah pihak untuk memikirkan terobosan-terobosan baru mengakhiri perang dan menyelesaikan masalah separatis yang telah berlangsung puluhan tahun. Kebutuhan akan dana bagi rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias turut mendorong dilakukannya perjanjian. Setelah terjadinya tsunami, seolah-olah sekat ideologis yang selama ini menjadi penghambat hubungan NKRI-masyarakat Aceh dan pihak GAM relatif melunak, Pemerintah pusat memiliki peluang yang amat besar untuk masuk ke Aceh secara mudah, demikian pula dengan pihak luar, NGO’s domestik dan internasional untuk membantu rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca-tsunami.

3.3 Model Penyelesaian Konflik dan Integrasi Politik di Aceh Hingga Tercapainya Konsensus Untuk Mengakhiri Separatisme

Salah satu sarana yang dimanfaatkan oleh GAM untuk memperkuat basis wilayah, jumlah kekuatan, dan moderniasai tentaranya karena dua hal, yaitu adanya peluang demokratisasi dan kecenderungan lemahnya negara. Faktor lemahnya negara ini kurang banyak disinggung dalam teori tentang tumbuhnya separatisme, dimana membesarnya ekuatan separatis didalam suatu wilayah tergantung dari perubahan politik kelompok otoritarian yang selama ini menindas mereka. Artinya, politik aneksasi, melalui tekanan-tekanan dan cara-cara yang represif oleh aparatus negara yang melemah, telah memberi peluang bagi bangkitnya kelompok-kelompok yang selama ini menentang dan ingin memisahkan diri.

(23)

pendekatan rezim otoriter sebelumnya. Artinya, transisi demokrasi telah mengubah perspektif elit yang berkuasa dalam menyelesaikan konflik akibat separatisme.

Mode inilah yang dipraktikkan dalam menyelesaikan kelompok separatisme -GAM- yang telah puluhan tahun lamanya menjadi masalah bagi pemerintah Republik Indonesia. Jalan untuk mencapai two-way traffic yang diperkenalkan oleh Geertz, yang dikenal sebagai “first and second track diplomacy”, dalam teori penyelesaian konflik, berguna dalam memahami lika-liku strategi Pemerintah RI untuk melakukan perundungan dengan pihak GAM. Jika tidak ada perubahan politik dari sistem otoritarian ke demokrasi, peluang untuk melakukan pendekatan nonmiliter dalam menyelesaikan kelompok separatisme mungkin akan sulit dilakukan. Salah satu alasannya, rezim otoriter berpandangan bahwa kelompok separatis adalah ancaman, oleh karena itu perlu ditindak dengan cara kekerasan. Dengan kata lain, di era transisi demokrasi peluang bagi penyelesaian konflik yang lebih baik sangat memungkinkan. Hal ini karena ada perbedaan orientasi antara elit politik otoritarian yang tidak demokratis, dengan elit politik di era transisi yang menggunakan cara-cara demokrasi dalam menyelesaikan suatu masalah.

(24)
(25)

BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Proses untuk mengintegrasikan separatis GAM bukanlah sesuatu yang sekali jadi (taken for granted) dan langsung berhasil. Perundingan yang dilakukan Pemerintah RI dengan GAM melalui cara nonmiliter dengan negosiasi mendorong terjadinya integrasi politik. Implikasi teoritik yang dapat dipetik dari pembahasan kajian ini adalah bahwa untuk menyelesaikan konflik yang telah berlarut-larut, dengan intensitas yang tinggi dan waktu yang sangat lama, cara non-kekerasan lebih efektif ketimbang cara-cara militer. Relevansi teori-teori resolusi konflik dalam hal ini cukup signifikan bagi penyelesaian konflik politik untuk menciptakan integrasi politik. Relevansi teori-teori integrasi politik yang dibangun oleh sejumlah ilmuwan seperti Weiner, Ake, James C. Coleman dan Rosberg, tampak masih cocok untuk menganalisis proses integrasi politik dalam perundingan Helsinki. Kerangka teoritik yang dibangun Claude Ake yang menekankan pentingnya konsensus normatif dalam meningkatkan derajat integrasi politik lebih relevan dalam konteks proses integrasi politik GAM ke dalam Republik Indonesia. Teori Ake ini kemudian diperkuat oleh landasan teoritik Metta Spencer yang menggagas tentang demokrasi sebagai jalan untuk menciptakan integrasi politik.

(26)
(27)

DAFTAR PUSTAKA

Nurhasim, Moch. 2008. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka Kajian Tentang Konsensus Normatif antara RI – GAM dalam Perundingan Helsinki. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Alfian, ed. 1977. Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: LEKNAS.

Sulaiman, M.Isa. 2000. Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Kareem, L. (2011). Perundingan Helsinki; “Suatu Upaya Menuju Integrasi

Politik Aceh”. [online]. Tersedia:

http://luqmankareem.blogspot.com/2011/06/perundingan-helsinki-suatu-upaya-menuju.html. [27 Mei 2014].

Leba, EG. (2014). Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik

Indonesia (RI). [online]. Tersedia:

Referensi

Dokumen terkait

rena itu, tidak heran jika respons terhadap modernisasi di kalangan umat Islam dimulai dengan membicarakan apa arti modernisasi itu bagi umat Islam. Cak Nur

Di atas pintu utama terdapat ukiran bunga teratai (lotus) diberi warna emas dan warna merah di bagian tengahnya yang menandakan sebuah tempat suci, yaitu tempat ibadah yang

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, sistem mampu berinteraksi dengan baik dilihat dari hasil pengujian yang sepenuhnya berhasil diuji yaitu saat awal

Setelah pembelajaran materi akhlak terhadap Allah diharapkan siswa memiliki kompetensi yang diwujudkan melalui indicator-indikator.. kemampuan sebagai berikut

“Kreativitas adalah hasil dari interaksi antara individu dan lingkungannya, seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada dengan demikian baik berubah di

Dengan demikian yang dijadikan populasi dalam penelitian ini ialah seluruh pegawai negeri yang bekerja pada Kantor Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara, sesuai