• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Keskap Vol. 14 No 1 Januari 2016.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnal Keskap Vol. 14 No 1 Januari 2016."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH ANORGANIK DI SMP N 8 MEDAN

Pertumbuhan sampah di Kota Medan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 ke tahun 2012 terjadi peningkatan produksi sampah sebesar 270,3306 ton. KUPTD Kebersihan Kota Medan memprediksi volume sampah pada tahun 2014 meningkat menjadi 2.000 ton perhari. Jika persoalan pertumbuhan sampah ini tidak segera di atasi dengan baik maka akan berdampak pada munculnya banyak persoalan baru. Pada proses inilah pendidikan dalam bentuk pelatihan pengelolaan sampah dianggap menjadi penting khususnya bagi mereka generasi muda yang berada di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana model pengelolaan sampah anorganik di SMP N 3 Medan dan SMP N 8 Medan? Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan model analisis intraktif sebagaimana yang diajukan oleh Miles dan Huberman. Sedangkan narasumber atau informant dalam penelitian ini adalah perwakilan siswa dari setiap kelas yang berjumlah sebanyak 10 orang dan ditambah 2 guru yang membidangi pengelolaan lingkungan hidup di sekolah. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara FDG dan observasi langsung pada lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengelolaan sampah anorganik di SMP N 8 Medan dan SMP N 3 Medan belum terlalu maksimal meski sudah dilakukan pelatihan pengelolaan sampah anorganik dan manajemen bank sampah di dua sekolah tersebut. Bank Sampah di dua sekolah ini belum dapat berjalan maksimal karena partisipasi masih minim.

Kata Kunci: Sampah Anorganik, Sekolah Menegah Pertama dan Bank Sampah

PENDAHULUAN

(5)

Sampa-sampah hasil produksi manusia biasanya bersifat organik (teruraikan) dan bersifat anorganik (tidak terurai). Sampah-sampah ini kemudian selalu berakhir pada tempat-tempat sampah. Baik di setiap rumah tangga, pasar, pusat perbelanjaan, perkantoran, institusi pendidikan, industri, rumah sakit dan lain sebagainya. Sampah-sampah itu, kemudian diangkut oleh para pekerja Dinas Kebersihan untuk dipindahkan ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA).

Di Kota Medan sebagai ibu kota provinsi yang masuk ke dalam katagori kota metropolitan, sebenarnya juga mengalami persoalan dalam penanganan masalah sampah. Persoalan sampah yang ada di Kota Medan perlu mendapatkan perhatian yang lebih intensif dan serius. Hal ini mengingat volume sampah di Kota Medan sudah cukup besar, dan diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan, terlihat volume sampah yang di hasilkan masyarakat kota medan dari tahun ke tahun semakin meningkat (Lihat Tabel 1).

Tabel 1: Jumlah sampah Di Kota Medan 2008-2012.

Tahun 2008 2009 2010 2011 2012

Rata-rata produksi sampah perhari (ton)

587,25 615,1 1 292,99 1 270,3344 1 540 665

Sumber Data : Medan Dalam Angka 2009, 2010, 2011, 2012 (BPS Kota Medan)

(6)

pada tahun 2011 ke tahun 2012 kembali terjadi peningkatan produksi sampah sebesar 270,3306 ton.

Di satu sisi pemerintah Kota Medan masih menggunakan sistem open dumping (pembuangan terbuka) dalam penanganan sampah di Kota Medan. Bentuk pembuangan akhir sampah dengan sistem open dumping dapat dikatagorikan sebagai jenis pembuangan akhir sampah yang paling sederhana dan murah. Dalam UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pasal 44 ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah daerah harus menutup tempat pembuangan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka (open dumping) paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.

Undang-undang ini sudah genap berusia 5 (lima) tahun pada tahun 2013 kemarin. Faktanya masih banyak pemerintah daerah yang belum melakukan penutupan terhadap TPA dengan model terbuka (open dumping) ini dan menggantikannya dengan model Sanitary Landfill atau Control Landfill. Alasan utamanya adalah keterbatasan pada sumber daya manusia dan dana. Kondisi ini diakui langsung oleh Direktorat Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) Kementrian PU. Kementrian PU mengakui sebagian besar TPA masih dioprasikan secara open dumping, bahkan disebutkan 90 persen TPA masih melakukan praktik open dumping, dengan alasan keterbatasan SDM dan dana (Indonesia Solid Waste Newsletter; Edisi 2 Maret 2013, Hlm 2).

(7)

banyak hasil penelitian telah ditemukan banyak manfaat yang bisa dihasilkan dari sampah sebagai satu sumber daya yang dapat diolah dan dimanfaatkan kembali. Misalnya saja; sampah organik yang dihasilkan oleh rumah tangga dapat dijadikan sebagai pupuk kompos. Bahkan terdapat satu hasil penelitian menyatakan bahwa sampah organik layak dijadikan sebagai bahan baku produk obat anti-nyamuk. Sedangkan sampah anorganik biasanya diolah kembali untuk dijadikan aksesoris –khusus pada sampah jenis plastik, dapat dicincang kembali dan kemudian dilebur menjadi biji plastik untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan barang-barang yang berasal dari plastik.

Meski hasil penelitian dan penemuan tentang manfaat sampah telah banyak diungkapkan, namun dalam kenyataan sehari-hari, masih banyak sampah yang terabaikan dan dilihat sebagai satu materi yang sudah tidak memiliki kegunaan. Pada proses inilah pendidikan dalam bentuk pelatihan pengelolaan sampah dianggap menjadi penting khususnya bagi mereka generasi muda yang berada di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hasil dari pelatihan ini nantinya diharapkan memunculkan generasi yang peduli terhadap sampah dengan mampu memanfaatkan sampah sebagai potensi ekonomi dengan membentuk bank sampah di sekolah mereka. Sebab sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah harusnya dapat membentuk insan-insan yang bersikap dan berperilaku peduli terhadap kondisi lingkungan. Namun pada faktanya, masih banyak sekolah yang belum mampu untuk mengajarkan pendidikan kebersihan terhadap setiap siswa yang ada di lingkungan sekolah.

(8)

tong-tong sampah pasti akan selalu bermuara ke TPA. Jika hal ini terus terjadi tentu akan menambah beban lingkungan khususnya untuk TPA dengan model open dumping.

Oleh karenanya, anak-anak sekolah yang pada umumnya berusia 12 hingga 14 tahun dan masih belum mengerti manfaat sampah yang terkadung pada sampah harus mendapatkan pelatihan pengelolaan sampah dengan pendekatan 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Dari hasil ini nantinya diharapkan akan terbentuk satu manajemen bank sampah yang siap untuk merubah nilai sampah dari yang tidak ekonomis menjadi memiliki nilai ekonomis. Sehingga setiap siswa nantinya dapat memiliki tabungan sampah yang bernilai ekonomi dan dapat membantu kebutuhan harian mereka selama mengejam pendidikan di sekolah tersebut. Atas dasar latar belakang masalah tersebut maka kami tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul model pengelolaan sampah anorganik di SMP N 8 dan SMP N 3 Medan.

PERUMUSAN MASALAH

Penelitian ini hanya akan melihat model pengelolaan sampah anorganik di SMP Negeri 8 Medan dan SMP Negeri 3 Medan. Untuk melihat model pengelolaan tersebut akan diajukan rumusan masalah penelitian yaitu sebagai berikut;

 Bagaimana model pengelolaan sampah di SMP N 8 Medan dan SMP N 3 Medan?

LANDASAN TEORITIS

(9)

a. Sampah Anorganik

Menurut kamus Istilah Lingkungan, sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama. (Suwerda, 2012). Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, sampah diartikan sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sementara Sasmita (2009) mengutip pendapat Hadiwiyonto mendefenisikan sampah sebagai sisa-sisa bahan yang mengalami perlakukan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya, yang ditinjau dari segi sosial ekonomis tidak ada harganya, yang dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian.

Pengertian sampah (Refuse) yang sederhana dapat dilihat dari defenisi yang diberikan oleh Azwar yaitu sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi yang bukan biologis (karena kotoran manusia tidak termasuk di dalamnya) dan umumnya bersifat padat. (Simanungsong: 2003).

Sedangkan penggolongan sampah dapat dibagi ke dalam empat kelompok yaitu; (1) human excreta yang merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia,

meliputi tinja (faeces) dan air kencing (urine). (2) Sawage yang merupakan sampah yang dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga. (3) Refuse yang merupakan bahan dari sisa proses industry atau hasil sampingan kegiatan rumah tangga. (4) Industrial waste yang merupakan bahan-bahan buangan dari sisa proses industri (Apriadji, Sasmita: 2009).

(10)

nilai ekonomi, seperti plastik, kertas bekas, kain perca, styrofoam. Namun demikian sampah anorganik ada juga yang tidak dapat diolah sehingga tidak memiliki nilai secara ekonomi seperti kertas karbon, pampers, pembalut dan lain-lain. Kedua, sampah organik yaitu sampah yang dapat didegradasi atau diuraikan secara sempurna melalui proses biologi baik secara aerob maupun secara anaerob. Beberapa contoh yang termasuk sampah organik adalah berasal dari sampah dapur, sisa-sisa hewan, sampah dari pertanian dan perkebunan.

Jenis-jenis dan karakteristik sampah tersebut juga dapat menjadi rujukan untuk membedakan dan mengkelompokan tingkat pendapatan satu kota dengan kota lainnya. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan antara pendapatan ekonomi terhadap jenis dan jumlah sampah yang ada. Zuska (2008) menjelaskan; “makin banyak orang dan makin banyak kegiatannya, maka akan banyak pula sampah yang dihasilkannya. Namun perlu digarisbawahi, bahwa timbulan sampah di negara kaya (berekonomi maju) meski penduduknya tak selalu lebih banyak dari penduduk di negara miskin jumlah selalu lebih besar.”

Bagi Zuska (2008) faktor perkambangan ekonomi dalam hal ini, dapat mempengaruhi besarnya jumlah timbulan sampah. Sebagaimana yang ia kutip dari Word Bank yang menghubungkan komposisi sampah kota-kota di dunia dengan pendapatan penduduknya.

Slamet dalam Sasmita (2009) menyatakan bahwa secara kuantitas maupun kualitas, sampah dipengaruhi oleh berbagai kegitan dan taraf hidup masyarakat, antara lain:

1. Jumlah Penduduk: Semakin banyak penduduk, semakin banyak pula sampah yang dihasilkan

(11)

3. Kemanjuan teknologi: kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kualitas sampah, karena pemakaian bahan baku semakin beragam, cara pengepakan produk dan produk manufaktur yang semakin beragam.

Kondisi jumlah penduduk dan kondisi sosial-ekonomi dalam hal ini pendapatan masyarakat memang sangat mempengaruhi perkembangan sampah secara kualitas dan kuantitas. Sampah-sampah dengan jenis anorganik seperti kertas, plastik, kaca dan logam lebih banyak ditemui di kota-kota dengan pendapatan penduduk yang tinggi. Sedangkan untuk kota-kota dengan pendapatan menengah ke bawah cenderung lebih banyak menghasilkan sampah organik. Dengan demikian dapat dikatakan kota dengan penghasilan menengah kebawah yang lebih banyak menghasilkan unsur sampah organik memerlukan aktivitas pengumpulan sampah yang lebih sering dibandingkan dengan kota-kota yang menghasilkan sampah-sampah anorganik lebih banyak.

b. Konsep pengolaan sampah

Permadi (2011) mencatat terdapat beberapa konsep tentang pengelolaan sampah yang berbeda dalam penggunaannya, antara negara-negara atau daerah. Beberapa yang paling umum adalah:

Hirarki sampah

Hirarki limbah merujuk kepada “3M” mengurangi sampah, menggunakan

kembali sampah, dan daur ulang, yang mengklasifikasikan strategi pengelolaan sampah sesuai dengan keinginan dari segi minimalisasi sampah

Perpanjangan tanggungjawab penghasil sampah/Extended Producer Responsibility (EPR).

(12)

untuk menentukan akuntabilitas atas seluruh lifecycle produk dan kemasan diperkenalkan ke pasar.

Prinsip pengotor membayar

Prinsip pengotor membayar adalah prinsip di mana pihak pencemar membayar dampak akibatnya kelingkungan. Sehubungan dengan pengelolaan limbah, ini umumnya merujuk kepada penghasil sampah untuk membayar sesuai dari pembuangan.

c. Jenis Pengelolaan Sampah

Ada beberapa jenis pengelolaan sampah, Suwerda (2012) membagi pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat saat ini menjadi empat jenis, antara lain: 1) Pengelolaan sampah rumah tangga dengan sistem tradisional

Adalah Sistem pengelolaan sampah yang banyak dilakukan oleh warga terutama di pedesaan, di mana sampah dikumpulkan, kemudian dilakukan pembuangan atau pemusnahaan.

2) Pengelolaan sampah rumah tangga dengan sistem kumpul-nngkut-buang Adalah sistem pengelolaan sampah di mana sampah yang dihasilkan dari rumah tangga, dikumpulkan di TPS, kemudian diangkut/diambil petugas, untuk selanjutnya dilakukan pembuangan di TPA sampah (WALHI, dikutip Suwerda, 2012)

3) Pengelolaan sampah dengan sistem mandiri dan produktif

(13)

beberapa wilayah mengembangkan sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat, seperti di Kampung Sukunan Sleman, Perumahan Minomartani, Perumahan Tirtasani, Kampung Jetak Sleman, Metes II Sedayu dan lain-lain. (Suwerda, 2012).

4) Pengelolaan sampah dengan tabungan sampah di bank sampah

Adalah suatu tempat di mana terjadi kegiatan pelayanan terhadap penabung sampah yang dilakukan oleh teller bank sampah. Ruangan bank sampah dibagi dalam tiga ruangan/loker tempat menyimpan sampah yang ditabung, sebelum diambil oleh pengepul/pihak ketiga. (Suwerda, 2012).

Penabung dalam hal ini adalah seluruh warga baik secara individual maupuun kelompok, menjadi anggota penabung sampah yang dibuktikan dengan adanya kepemilikan nomer rekening dan buku tabungan sampah, serta berhak atas hasil tabungan sampahnya. (Suwerda, 2012).

d. Bank Sampah

Dilihat dari pengertiannya, Bank Sampah adalah satu sistem pengelolaan sampah kering secara kolektif yang mendorong masyarakat untuk berperan serta aktif di dalamnya. Sistem ini akan menampung, memilah, dan menyalurkan sampah bernilai ekonomi pada pasar sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan ekonomi dari menabung sampah. Jadi semua kegiatan dalam sistem bank sampah dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat (Utami, 2013).

(14)

diterapkan oleh bank sampah. Di sini nilai guna barang yang sudah menjadi sampah dapat ditingkatkan, yang sebelumnya tidak berguna menjadi barang berguna. Selain itu, usaha penampungan dan pengolahan sampah dengan mendistribusikan ke fasilitas pengolahan sampah yang lain atau kepada pihak yang membutuhkan juga bisa membantu pengurangan intensitas pembuangan sampah ke TPS atau TPA.

Di bank sampah, sebelum sampah disetorkan oleh nasabah sampah harus dipilah. Hal ini sengaja disyaratkan agar dapat mendorong masyarakat untuk memisahkan dan mengkelompokkan sampah yang ada di rumah mereka masing-masing. Misalnya, berdasarkan jenis material; plastik, kertas, kaca dan metal. Perilaku memilah sampah ini akan menciptakan budaya baru agar masyarakat mau memilah sampah. Dengan demikian sistem ini dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial. Sehingga terbentuk satu tatanan atau sistem pengelolaan sampah yang lebih baik di masyarakat. Kini, menurut Kementerian Lingkungan Hidup, sudah ada 1.195 bank sampah telah dibangun di 55 kota di seluruh Indonesia. Selain itu, ada pula bank sampah yang digagas oleh perusahan atau lembaga swadaya masyarakat (Utami, 2013).

Untuk dapat mendirikan bank sampah menurut Utami (2013) harus melewati lima tahap yaitu; pertama; tahap sosialisasi awal yang dilakukan untuk memberikan pengenalan dan pengetahuan dasar mengenai bank sampah. Beberapa hal yang penting disampaikan pada tahap sosialisasi awal ini adalah pengertian bank sampah, bank sampah sebagai program nasional, dan alur pengelolaan sampah serta sistem bagi hasil dalam bank sampah. Kedua; tahap pelatihan teknis. Pada tahap ini masyarakat diberikan penjelasan tentang standarisasi sistem bank sampah, mekanisme kerja bank sampah dan keuntungan sistem bank sampah.

Ketiga: Tahap Pelaksanaan Sistem Bank Sampah. Tahap ini Bank sampah sudah

(15)

sampah. Keempat: Tahap Pemantauan dan Evaluasi. Pada tahap ini organisasi masyarakat harus terus melakukan pendampingan selama sistem terus berjalan. Sehingga bisa membantu warga untuk lebih cepat mengatasi masalah. Evaluasi ini bertujuan untuk perbaikan mutu dan kualitas bank sampah secara terus menerus. Dan kelima: Tahap adalah tahap pengembangan. Pada tahap ini bank sampah sudah mulai dikembangkan menjadi unit simpan pinjam, unit usaha sembako, koprasi dan pinjaman modal usaha. Pengembangan bank sampah ini kemudian dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat atau nasabah.

Hadirnya bank sampah dibeberapa kota di Indonesia diharapkan mampu untuk memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat. Suwerda (2012) mencatat terdapat empat manfaat yang bisa diharapkan dari hadirnya bank sampah sebagai satu model pengelolaan sampah. Bank sampah – bank sampah yang ada kemudian diharapkan dapat bermanfaat bagi; pertama, kesehatan lingkungan. Kedua, sosial ekonomi masyarakat. Ketiga, aspek pendidikan

dan keempat, bagi pemerintah.

(16)

e. Pendidikan Formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan di sekolah yang diperoleh secara teratur, sistematis, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat yang jelas. Sebagai lembaga pendidikan formal sekolah lahir dan berkembang secara efektif dan efesien dari dan oleh serta untuk masyarakat dan merupakan perangkat lembaga yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada generasi muda dalam mendidik warga masyarakat. (https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_formal)

Sekolah Menengah Pertama (SMP) juga merupakan bagian dari pendidikan formal yang didapatkan oleh masyarakat setelah lulus dari pendidikan dasar atau sederjat. Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditempuh dalam waktu tiga tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004 sekolah ini pernah disebut sebagai Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pelajar Sekolah Menengah Pertama umumnya berusia 13-15 tahun. (https://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_menengah_pertama).

Kondisi sampah di sekolah-sekolah menengah pertama pada umumnya hampir sama. Sampah-sampah yang ada di sekolah pada umumnya belum dipilah secara maksimal sesuai dengan jenisnya. Apalagi sampah-sampah tersebut secara umum masih saja dibuang langsung ke tempat pembuangan sampah. Sampah belum dikelola secara maksimal dan dimanfaatkan untuk kebutuhan siswa.

METODE PENELITIAN

(17)

harus dilihat bagaimana model pengeloaan sampah yang dilakukan oleh kedua sekolah menengah pertama tersebut.

SUBJEK PENELITIAN

Dalam penelitian ini, istilah yang digunakan untuk subjek penelitian adalah Informant dan Key Informant. Hal ini mengacu pada apa yang dituliskan oleh Idrus (2009) tentang karakteristik penelitian kualitatif. Idrus menjelaskan pada penelitian kualitatif sasaran penelitian berlaku (disebut) sebagai Subjek penelitian. Dalam menentukan informant, Asumsi yang dikedepankan adalah bahwa seorang informant adalah seseorang yang dianggap paling tahu tentang dirinya dan tentang objek penelitian yang akan diteliti oleh si peneliti. Sehingga peneliti dapat menggali objek yang diteliti pada informannya (Idrus, 2009).

Oleh karenanya, pada penelitian ini, Informant dan key informan yang diwawancarai akan diambil secara purposive yaitu berdasarkan pertimbangan dan tujuan tertentu. Sebagaimana dijelaskan oleh Sugiyono (2010), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti.

Total Informant pada penelitian ini berjumlah 10 (sepuluh) orang yang dibagi atas 5 orang siswa SMP 8 Medan dan 5 orang siswa SMP 3 Medan. Sedangkan untuk Key Informant pada penelitian ini berjumlah 2 (dua) orang yang terdiri atas guru yang membina

lingkungan hidup di sekolah.

TEKNIK PENGUMPULAN DATA

(18)

primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam, Fokus Discusion Group (FDG) dan juga observasi partisipasiaktif yang dilakukan oleh peneliti.

ANALISIS DATA

Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif model interaktif sebagaimana yang diajukan oleh Miles dan Huberman, yang terdiri dari tiga hal utama yaitu: Reduksi data, Penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi, sebagai suatu hal yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis (Idrus, 2009).

LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini akan mengambil lokasi di Sekolah Menengah Pertama Negeri 8 Medan jalan H. Bahrum Jamil/Turi No. 96 Medan. Dan Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Medan Jalan Pelajar No. 69 Medan.

PEMBAHASAN

Pada umumnya pengelolaan sampah di dua sekolah ini masih menggunakan model pengelolaan sampah yang sangat umum dilakukan oleh sekolah-sekolah lainnya. Meski di kedua sekolah ini telah berdiri Manajemen Bank Sampah. Namun sebelum berdirinya Manajemen Bank Sampah Sekolah, model pengelolaan sampah di dua sekolah ini masih menggunakan model kumpul-angkut-buang. Padahal komposisi sampah di dua SMP Negeri ini lebih banyak didominasi oleh sampah jenis anorganik yaitu sampah kertas dan plastik.

(19)

dihasilkan dari proses belanja jajanan di kantin sekolah dan jajanan dari pedagang kaki lima di luar sekolah. Setiap harinya sampah-sampah tersebut berserakan di halam sekolah. Sangat sedikit sekali siswa-siswi yang peduli untuk membuang sampah mereka di tong-tong sampah.

Sampah-sampah yang berserakan di halaman sekolah tersebut baru dapat dikumpulkan di tempat pembuangan sampah sementara (TPS) sekolah setelah disapu oleh petugas kebersihan sepulang anak-anak sekolah. Sedangkan sampah di kelas dikumpulkan setelah disapu oleh petugas piket kebersihan kelas yang bergantian setiap harinya. Jika dikumpulakn secara akumulatif setiap harinya sampah di kedua sekolah ini dapat terkumpul lebih kurang sebanyak 8 sampai 10 tong sampah (dengan ukuran tong 100 liter air atau 520 x 520 x 610 mm). Sedangkan sampah organik sangat minim sekali, hanya dari sisa produksi kantin dan setip harinya hanya terkumpul sekitar lebih kurang satu tong sampah dengan ukuran yang sama.

(20)

Namun setelah bank sampah berdiri di dua sekolah ini model pengelolaan sampah anorganik secara perlahan mulai berubah. Sebelumnya model pengelolaan sampah hanya berorientasi pada mekanisme kumpul-angkut-buang seperti yang ditujukan pada gambar 1, kini sampah secara perlahan sudah mulai ditabung untuk kepentingan siswa atau kelas. Berdirinya bank sampah di SMP N 8 dan SMP N 3 Medan dilatar belakangi oleh pelatihan yang sudah dibuat oleh dua orang dosen IKS FISIP UMSU.

Pelatihan tersebut merupakan bagian daripada pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh kedua dosen tersebut. Hasilnya, selain berdirinya manajemen bank sampah, pengetahuan siswa terkait manfaat pengelolaan sampah mulai bertambah. Pengetahuan tersebut kemudian berdampak pada partisipasi siswa untuk ikut serta membuka tabungan di Bank Sampah Sekolah. Sampah-sampah yang dibawa siswa untuk ditabung rata-rata berasal dari rumah. Sedangkan tabungan sampah untuk kelas berasal dari sampah-sampah yang ada di kelas masing-masing.

Sumber sampah

Kelas Kantin/Pedagang Kaki Lima

Tong Sampah Kelas Lapangan Sekolah

Tong Sampah Sekolah

TPS Sekolah Gambar 1 : Bagan Model

Pengelolaan Sampah Sebelum berdirinya Bank

(21)

Meski jumlah tabungan sampah yang dihasilkan tidak terlalu banyak namun beberapa siswa mengaku manfaat yang dihasilkan dari tabungan sampah ini adalah dapat membantu untuk menambah uang saku. Sedangkan beberapa perwakilan kelas mengatakan manfaat yang dihasilkan dari tabungan sampah kelas dapat dijadikan tambahan bagi uang kas kelas. Selain itu, intensitas siswa untuk membuang sampah sembarangan juga sudah mulai berkurang di mana mereka secara bersama-sama sudah memilih untuk membuang sampah di tong sampah yang telah tersedia di dalam kelas.

Sampah-sampah yang ditabung di bank sampah sekolah kemudian dijual oleh pengurus bank sampah ke pihak pengepul atau ke bank sampah terdekat. Sehingga hasil penjualan tersebut dapat disalurkan untuk tabungan anggota dan sisanya untuk kas bank sampah sendiri.

Sedangkan pengelolaan saampah anorganik yang bersifat daur ulang sampah belum dapat berjalan secara maksimal. Sampah-sampah anorganik jarang sekali diolah menjadi barang kreasi untuk dijual atau dipergunakan kembali. Hal ini disebabkan minimnya waktu yang dimiliki pengurus dan siswa untuk mendaur ulang sampah. Faktor lainnya juga didorong dengan minimnya skill daur ulang yang dimiliki oleh pengurus bank sampah sekolah. Sehingga sampah-sampah anorganik yang diproduksi oleh siswa di sekolah hanya

(22)

dijual ke pihak pengepul dan bank sampah mitra untuk selanjutnya dikelola menjadi barang berguna. Selain itu, perlu juga untuk diketahui, meskipun bank sampah sekolah telah berdiri, partisipasi siswa untuk menabung sampah secara individu masihlah sangat minim dan karenanya model tabungan sampah hanya mengandalkan model tabungan kelas.

KESIMPULAN

Setelah melakukan analisis data dan pembahasan maka kesimpulan dari penelitian ini adalah ada dua model pengelolaan sampah anorganik di SMP N 8 Medan dan SMP N 3 Medan. Model pertama, pengelolaan sampah anorganik masih menggunakan model kumpul-angkut-buang dari tong sampah, TPS Sekolah dan TPA Terjun. Sedangkan model kedua, pengelolaan sampah anorganik sudah melalui bank sampah sekolah. Di mana sampah yang ada di kelas dan atau sampah individu sudah dikumpulkan untuk ditabung di bank sampah. Hasil tabungan tersebut biasanya digunakan siswa untuk keperluannya sehari-hari termasuk jajan sekolah.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kota Medan. (2009, 2010, 2011, 2012). Medan Dalam Angka. Medan: BPS Kota Medan.

Idrus, Muhammad. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. (Edisi Kedua). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Permadi, A. Guruh. (2011). Menyulap Sampah Jadi Rupiah; Kita Sukses Meraup Uang Tanpa Modal. Surabaya: Mumtaz Media.

Sasmita, Wulan Tri Eka. (2009). Evaluasi Program Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat; Studi Kasus Pengelolaan Sampah Terpadu Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Perumahan Pondok Pekayon Indah, Kelurahan Pekayon Jaya Bekasi Selatan. Skripsi. Bogor: Departement Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Simangungsong, Rahidun. (2003). Analisis Partisipasi Masyarakat Terhadap Program Kebersihan Sampah Di Kota Pematang Siantar. Tesis. Medan: Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Suwerda, Bambang. (2012). Bank Sampah; Kajian Teori dan Penerapan). Yogyakarta: Pustaka Rihama.

Utami, Eka. (2013). Buku Panduan Sistem Bank Sampah & 10 Kisah Sukses. Jakarta: Yayasan Unilever Indonesia.

Zuska, Fikarwin. (2008). Relasi Kuasa Antar Pelaku Dalam Kehidupan Sehari-hari; Studi Kasus di Kancah Pengelolaan Sampah Kota. Medan: Fisip USU Press.

Perundang-Undangan:

Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008: Tentang Pengelolaan Sampah.

Sumber Majalah & Web;

Indonesia Solid Waste Newsletter; Edisi 2 Maret 2013, Hlm 2 https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_formal

Gambar

Tabel 1: Jumlah sampah Di Kota Medan 2008-2012.
Gambar 1  : Bagan Model
Gambar 2 : Bagan Model

Referensi

Dokumen terkait

Keempat , karakteristik tingkah laku/ behaviour wisatawan yang datang ke Pantai Goa Cemara, Pantai Kuwaru, dan Pantai Pandansimo Baru mayoritas berkunjung untuk rekreasi

4 Saya membutuhkan waktu dalam memilih model busana muslim yang akan saya beli..

Mahsiswa dapat memahami dan mengerti tentang pandangan hidup, cita-cita, kebajikan, keyakinan, usaha atau perjuangan, langkah- langkah pandangan hidup serta kaitannya dengan

Organisasi lain dalam industri atau jenis usaha yang sama yang menyediakan barang dan jasa kepada sekelompok pelanggan yang sama..

Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan

berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat diangkat sebagai wakil rektor, ketua dan sekretaris jurusan, kepala laboratorium/bengkel/studio/kebun

Metode yang digunakan masyarakat desa Patas yaitu metode rawai karena merupakan cara yang paling fleksibel dalam pemilihan lokasi dan juga biaya yang dikeluarkan

tentunya hal ini merupakan suatu pencapain yang baik bagi pengelola wisata rembangan akan tetapi dengan meningkatnya pelanggan harus di imbangi dengan kualitas