• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN KOTA YOGY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN KOTA YOGY"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN KOTA YOGYAKARTA

SEBAGAI KOTA BUDAYA

Primus Aryunto

Urban Planer (Manajamen Pembangunan Kota), Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya, Indonesia Email : ryanoyo@gmail.com

1. PENDAHULUAN

Kota merupakan salah satu tempat kehidupan manusia yang dapat dikatakan

paling kompleks, karena perkembangannya dipengaruhi oleh aktivitas pengguna

perkotaan yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan

hidup. Setiap kota memiliki peran dan fungsi masing –masing. Peran kota

tersebut ditentukan oleh karakteristik fungsi kota yang diembannya, yaitu

aksesibilitas yang dipunyai terhadap wilayah pinggirannya (Rondinelli, 1978).

Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami perkembangan

dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan di berbagai sektor dan fungsi

baru untuk menunjang ragam aktivitas manusia terkadang tidak memperhatikan

bangunan-bangunan lama yang telah berdiri jauh sebelumnya. Pada

kenyataannya perubahan seperti ini, khususnya pada bangunan, kawasan

maupun objek budaya yang perlu dilestarikan menjadi rawan untuk hilang dan

hancur, dan dengan sendirinya akan digantikan dengan bangunan, kawasan

ataupun objek lainnya yang lebih bersifat komersial yang dapat merubah peran

dan fungsi utama yang diemban kota tersebut.

Dilema permasalahan perubahan peran dalam pembangunan bagi kawasan

kota yang dihadapi saat ini adalah membangun kota modern dengan

mempertahankan wawasan kota budaya yang masih mempunyai

kesinambungan dengan masa lalu. Konservasi/pelestarian yang dilakukan bukan

semata mengawetkan kawasan kota yang bersejarah, namun berfungsi sebagai

alat dalam mengolah transformasi melalui pemahaman tentang sejarah

perkotaan dan aspek-aspek dalam pelestarian yang dijadikan dasar dalam

(2)

Yogyakarta sebagai kota yang mempunyai ciri khas dan keunikan, secara

khusus mempunyai struktur bermakna filosofis-simbolis, yaitu berdasarkan garis

imajiner yang diyakini membentuk garis lurus. Garis ini membentang dari arah

Utara – Selatan (Gunung Merapi – Tugu Pal Putih – Kraton Yogyakarta –

Panggung Krapyak – Laut Selatan) membentuk suatu jalur linear dan

menghubungkan beberapa simbol-simbol fisik yang mempunyai makna nilai

filosofis. Konsep filosofis kota ini (sumbu imajiner) telah dipikirkan, direncanakan

dan ditanamkan jauh sebelum terbentuknya Ngayogyakarta Hadiningrat tahun

1755 oleh seorang Raja I (pertama) Kraton Kasultanan Yogyakarta yaitu Sri

Sultan Hamengku Buwono I.

Pada perkembangan kota Yogyakarta pada saat ini, sumbu imajiner sudah

banyak mengalami perkembangan namun masih tetap mempertahankan

kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik, etik, simbol, dan filosofis-religius

eksistensinya yang mempunyai keterkaitan dengan berbagai rancangan

sebagaimana fungsi dan maknanya. Nilai historis-kultural, filosofis, dan

arsitektural sumbu imajiner tersebut merupakan identitas yang mempunyai

karakter dan potensi. Keunikan pola tata ruang kota Yogyakarta yang memiliki

nilai historis seperti ini perlu dipertahankan agar tidak mengalami degradasi

seiring dengan berkembangnya pembangunan kota.

Sejak awal Yogyakarta telah memiliki daya tarik, selain sebagai bekas

ibukota kerajaan. Yogyakarta sempat menjadi ibukota Republik Indonesia pada

tahun 1946 – 1950. Kota ini menjadi pusat revolusi yang mempelopori

perubahan-perubahan sosial politik hingga menjalar ke seluruh Indonesia

(Soemardjan, 2009). Iklim pembaharu itu terus tumbuh seiring mewujudnya kota

ini sebagai kota pendidikan. Diawali dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada

pada tahun 1949, puluhan perguruan tinggi didirikan di wilayah kota dan

sekitarnya. Kota Yogyakarta pun berkembang pesat dengan laju pertumbuhan

penduduk 1,9%. Pada tahun 2008, penduduk kota ini berjumlah 456.915 orang.

Dengan luas wilayah 32,50 km persegi, kepadatan penduduk kota ini mencapai

13.881 jiwa per km persegi (BPS Kota Yogyakarta, 2009).

Dua faktor utama yang menjadi dasar perkembangan kota Yogyakarta, yaitu

kraton dan pusat pendidikan, tampaknya tidak memacu perkembangan yang

pesat sebagaimana terjadi di kota-kota lain yang merupakan pusat bisnis seperti

(3)

pada pendapat McGee (1982) dan mengasumsikan bahwa Yogyakarta termasuk

secondary city, maka ciri-ciri seperti kurang modern, dekat dengan daerah

pedesaan, infrastruktur yang terbatas, juga tampak di kota Yogyakarta. Kraton

bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta masih merupakan pusat kekuatan,

terutama yang berhubungan dengan kekuatan spiritual. Perencanaan kota

Yogyakarta didasarkan pada Keraton yaitu keserasian makna filosofis sumbu

imajiner yang merupakan garis lurus Krapyak–Kraton-Tugu, yang masing-masing

di antaranya berdiri bangunan-bangunan yang mempunyai arti dan makna

tentang proses kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai mati. Penggal jalan

Tugu-Kraton (Jalan Mangkubumi – Malioboro - Ahmad Yani - Trikora) sebagai

jalur penghubung Kraton dan Tugu kini merupakan jalan yang sangat sibuk dan

padat. Pada penggal ini dominasi fungsi kawasan merupakan kawasan

perkantoran, jasa dan perdagangan. Terdapat banyak bangunan modern, serta

sebaran pariwisata. Berbeda dengan Penggal Kraton-Panggung Krapyak (Jalan

Gading – D.I Panjaitan) dimana fungsi kawasan merupakan pemukiman,

sehingga aktivitas di kawasan ini tidak terlalu padat.

Dari karakteristik perkembangan yang dominan dapat dilihat bahwa Kota

Yogyakarat memiliki fungsi dan peran ganda yaitu sebagai kota budaya dan juga

kota pendidikan. Ada beberapa fungsi lainnya seperti wisata dan jasa yang

berkembang seiring dengan pertumbuhan kota, namun fungsi-fungsi tambahan

ini lahir dari perkembangan dua fungsi utama tersebut. Hal ini dinilai positif

karena penggunaan berbagai fungsi dalam suatu kawasan dapat memberikan

keanekaragaman kegiatan dan suasana kehidupan yang meriah bagi

masyarakat serta memberikan ciri wajah lanskape kota (Heryanto, 2011).

Menurut Trancik (1986) dan Knox (1991), dominasi penggunaan fungsi kota

secara tunggal di kawasan tertentu akan menciptakan bentuk pengulangan dan

kesamaan suasana fisik dan visual, dan selanjutnya, keadaan ini akan

menciptakan bentuk kota yang bernuansa monoton dan membosankan serta

tidak menarik untuk dihuni.

Dalam Rencana Tata Ruang Kota Jogja tahun 2010 pasal 4 disebutkan

pembangunan kota diarahkan dengan visi, yaitu menjadikan Daerah Sebagai

Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan

Jasa, yang Berwawasan Lingkungan. Dari visi yang dimiliki dapat diketahui juga

(4)

telah dijelaskan sebelumnya, yaitu fungsi budaya, fungsi pendidikan, fungsi

pariwisata dan fungsi jasa. Dalam penulisan makalah peran dan strategi

pembangunan kota Yogyakarta ini akan fokus menjelaskan fungsi dan peran

kota Jogja sebagai Kota Budaya, karena fungsi ini dianggap sebagai fungsi

utama dari Kota Jogja yang melahirkan fungsi-fungsi lainnya serta merupakan

poin utama yang memberikan keistimewaan dari keberadaan Yogyakarta itu

sendiri.

2. PEMBAHASAN

Peran suatu kota dapat dilihat dari fungsi yang diemban kota tersebut dan

digambarkan oleh karakteristik perkembangan yang ada. Menurut Gist, N.P &

Halbert, L.A (Hadi sabari 2005) mengemukakan enam jenis kelas kota atas

dasar fungsinya yaitu kota yang berfungsi sebagai pusat industry, kota yang

berfungsi sebagai pusat perdagangan, kota yang berfungsi sebagai pusat politik,

kota yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan, kota yang berfungsi sebagai

pusat rekreasi atau kesehatan, dan yang terakhir adalah kota yang tidak

mempunyai fungsi tertentu yang menonjol. Dari penjelasan Gist & Halbert ini kota

yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan, potensi kulturalnya kelihatan

menonjol dibanding dengan fungsi - fungsi lain yang ada. Dalam masa - masa

silam, peranan masjid - masjid di dunia Islam, gereja - gereja di dunia kristiani

serta pusat - pusat kerajaan memegang perananan yang sangat penting dalam

kehidupan bernegara. Hal ini yang menggambarkan potensi kultural dari suatu

Kota. Kota yang mempertahakan dan menonjolkan potensi kultural ini dapat

digolongkan sebagai Kota Budaya. Peran utama dari Kota budaya adalah

mempertahankan nilai kultural yang dimiliki dalam pembangunan yang ada,

sehingga arah pengembangan kota tetap terarah berdasarkan nilai-nilai budaya

dan historis yang dimiliki.

Peran Kota Yogyakarta Dalam Mempertahankan Nilai Kultural dan Historis

Mempelajari kota Yogyakarta berarti juga harus mempelajari budayanya,

sebab Jogja merupakan salah satu kota yang masih memiliki ciri khas selama

bertahun-tahun, dan hal itu biasa sulit ditemukan di tempat lain. Pada tahun 1994

Kota Yogyakarta telah tergabung dalam Liga Kota-Kota Bersejarah Dunia (The

(5)

Kyoto, Amsterdam, Dublin, Vienna, Roma, Barcelona, Jerusalem, Accra,

Kathmandu, hingga Lahore, dan Hanoi. Hal ini menunjukan bahwa perannya

dalam mempertahankan nilai-nilai budaya dan histroris telah diakui dunia

internasional.

Ciri khas yang sulit terhapuskan dari Kota Jogja adalah kraton yang sejak

berdirinya merupakan pusat kota. Menurut Soemardjan (1985) kota Yogyakarta

secara garis besar dibagi menjadi empat wilayah, yaitu: lingkungan Sultan,

lingkungan famili Sultan, Jeron Benteng, dan lingkungan masyarakat umum

diluar benteng. Dua lingkungan yang pertama letaknya di dalam kraton.

Masyarakat Jeron Benteng letaknya diluar Kraton tetapi masih di dalam benteng

yang batasnya, yaitu benteng, sampai saat ini masih ada. Analisis Soemardjan

tampaknya mengacu pada concentric zone theory dari Burgess (dalam Rahardjo,

1983) yang menyatakan bahwa perkembangan suatu kota akan mengikuti pola

lingkungan konsentrik. Perbedaan antara keduanya memang ada. Diantaranya

adalah pusat perkembangan kota menurut Burgess adalah pusat perdagangan,

sedangkan menurut Soemardjan adalah kraton. Atau secara lebih luas lagi,

perbedaan tersebut terutama pada dasar pembagian daerah menurut fungsinya.

Burgess lebih menekankan pembedaan wilayah berdasarkan fungsi bisnis,

sedangkan Soemardjan lebih menekankan pada fungsi kekuasaan tradisional.

Namun dari kedua pendapat ini menggambarkan bagaimana keistimewaan

Jogjakarta dalam memaknai pembagian ruang wilayah sebagai wujud upaya

mempertahankan nilai budayanya.

Salah satu dasar dalam penentuan obyek keistimewaan adalah ketentuan

dalam UU Nomor 26/2007, yaitu struktur dan pemanfaatan ruang kota. Secara

garis besar, tata ruang kota yang akan dinilai keistimewaannya dari aspek

budaya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1.

Komponen Struktur Ruang & Pola Ruang kota sebagai penanda Keistimewaan.

Unsur Penanda/Komponen Uraian

Struktur Ruang  Poros Tugu – Kraton – Panggung Krapyak.

 Bangunan catur sagotra.  Loji Gede, loji kebon,

gereja.

(6)

Unsur Penanda/Komponen Uraian

Kebon (rumah residen) dan loji Gede (beteng vredenburg). Simbol kuasa Raja dan Kolonial menjadi satu, terintegrasi sebagai inti kota.

- Bangunan catur sagotra. - Masjid Pathok Negoro.

Kedua komponen kota tersebut membentuk konsep Mandala dan integrasi budaya Hindu – Budha dengan Islam. Konsep Pusat – Pinggiran, keblat papat limo pancer merupakan salah satu penciri struktur kota Yogya.

Konfigurasi sumbu simetri dan mandala.

Jika penanda struktur tersebut disatukan, mencirikan struktur geometris memusat, yang menjadi ciri ciri kota kerajaan di Eropa.

Pola Ruang - Kawasan kampung prajurit.

- Kawasan Jeron Beteng. - Kawasan Pathok Negoro

Konfigurasi kawasan kawasan tersebut membentuk ciri kota militer, karena konfigurasi tersebut menggambarkan strtategi pertahanan yang tersembunyi. Konfigurasi pola ruang tersebut juga merepresentasikan gelar Sultan.

- Kawasan Malioboro - Kawasan Kampus UGM

Kawasan Malioboro merupakan pusat kota lama padat dengan penanda budaya dan sejarah. Berkembang sebagai kawasan wisata utama kota, menjadi ikon budaya. Bulaksumur merupakan pusat kota baru, ada dipinggiran utara kota. Menjadi ikon pendidikan di Indonesia.

Sumber : Suryanto, 2015

Konsep kebudayaan yang mewujud dalam keruangan kota antara lain konsep

Memayu Hayuning Bawono, Manunggaling Kawulo Gusti, Sangkan Paraning

Dumadi dan Pathok Negoro. Kemudian sikap hidup yang mengakar dan

tercermin dalam konsep sawiji–gregetsengguh–oramingkuh. Perwujudan

konsep-konsep tersebut dalam tata ruang kota dapat dilihatdalam tabel dan gambar

berikut:

Tabel 2

Perwujudan Konsep Budaya Dalam Tata Ruang Kota Jogja

Konsep Budaya Wujud Dalam Ruang Kota Evaluasi

Memayu Hayuning Bawono

Catur Gotro Tunggal atau Catursagotro, Jalinan 4 Ikon kotaYogya: Kraton – Masjid Gede – PasarGede – Alun-alun.

Catur gotro tunggal adalah konsep

(7)

Konsep Budaya Wujud Dalam Ruang Kota Evaluasi

Tugu Golong-gilig, Kraton dan Panggung Krapyak yang disatukanoleh poros utara-selatan, menggambarkan bersatunya pemimpin dan rakyat (Darmosugito, 1956). Dalam kehidupan seharihari konsep ini mewujud dalam pola hidup gotong royong, khusus dan tidak ada duanya adalah upaya mewujudkan konsep yang intangible menjadi tangible. Upaya tersebut berupa memberi nama jalan, menenam jenis tanaman tertentu serta melaksanakan seremonial adalah sifat ksatria Mataram. Konfigurasi ruang kawasan Jeron Beteng dan kampung prajurit menggambarkan prinsip tersebut. Kedudukan Kraton, yang merepresentasikan Sultan sebagai Senopati Ing Ngalogo (diujung gelar, bukan didalam ). Sultan sebagai panglima harus berada didepan, memimpin dan memberi contoh, seperti sifat P. Mangkubumi (Ricklefs, 2002).

Sumber : Suryanto, 2015

Struktur dan pola ruang yang terbentuk oleh komponen-komponen ruang yang merupakan simbolisasi konsep-konsep budaya tersebut, mengarah pada tipe tertentu dari citra kota, yaitu citra monumental dan pertahanan. Penyatuan kedua konsep tersebut, banyak ditemui di India (durga atau skandhavara) dan Eropa (bastides). Di Indonesia, kota benteng sekaligus monumental adalah kota-kota pantai, yang memang disiapkan untuk menghadapi musuh dari luar (Banten, Batavia, Makasar). Kota pedalaman yang dibangun dengan konsep tersebut hanya Yogyakarta.

(8)

Warisan budaya yang mewujud sebagai komponen ruang kota penanda keistimewaan adalah yang berhubungan dengan konsep-konsep budaya yang “ditempelkan” pada ruang kota. Konsep kota yang monumental dan militeristik dibungkus dengan konsep budaya Jawa yang adi luhung. Konsep budaya tersebut adalah Memayu Hayuning Bawono, Catur Sagotra, Sangkan paraning dumadi dan Golong – Gilig, Sawiji – greget – sengguh ora mingkuh. Komponen ruang kota yang merupakan wujud konsep budaya tersebut adalah Sumbu Tugu – Kraton – Panggung Krapyak, Kawasan Malioboro, Kawasan Njeron Beteng. Analisis Hermeneutik (Ricoeour, 1981) memperkirakan bahwa penempelan konsep-konsep budaya dalam wujud komponen ruang kota yang monumental tersebut bertujuan :

 Menunjukkan Kesultanan Yogyakarta adalah Kesultanan yang besar, tidak kalah dibanding kesunanan Surakarta yang lebih tua, sebagai sesama penguasa di Jawa.

 Membangkitkan kebanggaan dan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Sultan dalam memimpin Negara Yogyakarta.

 Kebanggaan tersebut dibutuhkan untuk menangkal pengaruh Belanda yang semakin kuat.

Dari pemaknaan struktur ruang, pola ruang maupun wujud tata ruang secara

keseluruhan dapat dilihat nilai-nilai kultural dan historis dimiliki oleh Yogyakarta.

Nilai kultur dan historis ini menggambarkan peran yang dimiliki Kota Yogyakarta

sebagai intepratsi dari fungsi Kota Budaya yang diembannya. Peran utama

dalam mempertahankan nilai-nilai ini tidak mudah untuk dilakukan, karena seiring

perkembangan zaman saat ini banyak nilai-nilai keistimewaan yang mulai

terkikis.Jika mengacu pada pendapat Lewis Mumford (1938) maupun Raymond

William (1975), diperkirakan bahwa terkikisnya nilai-nilai dan semangat

keistimewaan yang menjadi roh Yogya Istimewa adalah bagian dari proses

perubahan budaya yang terjadi di Yogyakarta. Semakin heterogennya penduduk

Yogya dan kuatnya pengaruh Globalisasi di satu sisi serta semakin berkurangnya

pemahaman terhadap konsep-konsep budaya lokal yang adi luhung, adalah

faktor-faktor yang potensial menggerus roh keistimewaan Yogyakarta.

Dibutuhkan pemaknaan kembali terhadap konsep-konsep budaya tersebut,

sebagaimana pernah dilakukan oleh HB IX dengan merangkum konsep-konsep

tersebut dalam konsep tahta untuk rakyat pada waktu beliau bertahta sebagai

Sultan Yogyakarta (Suryanto, 2015). Jika tidak ada upaya pemaknaan kembali

dalam bentuk strategi pembangunan, maka penanda keistimewaan tersebut

(9)

Strategi Pembangunan Kota Yogyakarta Dalam Mempertahankan Nilai

Kultural dan Historis

Pertumbuhan penduduk yang tinggi, dinamika migrasi yang pesat, dan

wilayah yang tidak cukup luas menjadikan Yogyakarta dan sekitarnya menjadi

wilayah yang potensial berubah dan rawan tidak lestari. Oleh karena itu

dibutuhkan strategi pembangunan yang tepat sehingga peran kota Yogyakarta

dalam mempertahankan nilai-nilai kultural dapat tetap terjaga. Stratergi

pembangunan yang dapat diterapkan di Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut:

1. Memantapkan fungsi lindung melalui pemeliharaan dan pelestarian terhadap

kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan serta pencegahan dampak

negatif kegiatan manusia terhadapnya dengan pemberian sanksi yang tegas.

Dalam proses pembangunan yang terjadi sering mengakibatkan aset pusaka

yang dimiliki mejadi rusak, tergusur, atau berubah fungsi (lihat, Haryono,

1995). Perusakan dan kerusakan itu terjadi baik pada skala mikro, meso,

maupun makro. Ruang pada skala mikro adalah ruang-ruang dalam rumah

tinggal atau bangunan. Ruang skala meso dapat berupa daerah permukiman,

seperti kampung, desa, atau kelurahan. Ruang makro adalah yang memiliki

luasan terbesar dan dapat terdiri dari beberapa ruang meso, seperti sebuah

kawasan kota lama dan kawasan budaya (Haryadi, 1995). Proses perubahan

yang tidak diinginkan dari sudut pandang kelestarian pusaka itu terjadi secara

menerus dalam beragam tingkatan ruang tersebut, baik sebelum maupun

sesudah Yogyakarta tergabung dalam Liga Kota-Kota Bersejarah Dunia.

Pada skala mikro, misalnya, perubahan yang menimbulkan kerusakan

pusaka budaya terjadi pada kasus Senisono di kompleks Istana Negara Republik

Indonesia di Yogyakarta. Pemugaran dan pengambilalihan gedung yang pada

masa pendudukan Belanda merupakan Societeit de Vereeniging oleh Sekretariat

Negara pada awal tahun 1990-an itu menyebabkan ada perubahan teknis yang

melanggar kaidah pelestarian pusaka budaya (Prihantoro, 1998; Wijoyono,

2009). Gedung publik yang setelah masa pendudukan Jepang berganti nama

menjadi Balai Mataram, dan sempat digunakan sebagai tempat pelaksanaan

Kongres Pemuda Indonesia pertama pada November 1945, ini diubah atas

pesanan pemerintah pusat, sehingga tak banyak yang bisa dilakukan untuk

melindunginya. Pada saat itu belum ada peraturan khusus untuk melindungi

(10)

(Staatsblad Tahun 1931 Nomor 138) tinggalan pemerintah Hindia Belanda.

Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala – SPSP Yogyakarta (saat ini Balai

Pelestaraian Peninggalan Purbakala – BP3 Daerah Istimewa Yogyakarta)

mengaku sudah memberikan masukan teknis terhadap renovasi yang

berlangsung, tetapi dimentahkan dalam penerapannya.

Salah satu kasus pelanggaran pelestarian lingkungan pusaka pada skala

meso terjadi pada tahun 2002 ketika Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan

proyek tamanisasi di beberapa ruang publik kota yang tidak mengindahkan

prinsip fungsi ruang dan keaslian. Pemerintah Kota Yogyakarta membangun

pot-pot raksasa di beberapa ruas boulevard di kawasan Kotabaru dan di kawasan

nol kilometer Kota Yogyakarta. Aktivis pelestarian memandang praktik itu tak

sesuai dengan prinsip desain taman kota yang tepat guna dan filosofi Kota

Yogyakarta. Pemerintah kota dianggap tak terbuka dalam hal perencanaan dan

perancangan ruang publik kota yang mencakup ruang pusaka yang memiliki nilai

ilmiah dan kebudayaan yang harus mendapatkan perlakukan khusus. Proyek

tamanisasi di kawasan nol kilometer yang menyesaki ruang trotoar sebagai

ruang terbuka publik itu disinyalir sebagai langkah halus pemerintah kota

menyingkirkan para pedagang kaki lima yang memenuhi ruang pusat kota. Para

pedagang itu mencoba menggaet keuntungan dari ribuan pelancong setiap

harinya di ruang strategis di pusat kota, di ujung kawasan perbelanjaan

Malioboro, tanpa izin (lihat data jumlah wisatawan di Kota Yogyakarta dalam

Bapeda, 2007; antara tahun 2001 – 2006 rata-rata dikunjungi sebanyak

1.414.604 wisatawan per tahun. Sebagian besar berkunjung ke kawasan

Malioboro, lebur bersama ribuan warga kota lain).

Proses pembangunan dan perubahan ruang pada skala makro dapat dilihat

dari kacamata saujana; sejauh mata memandang alam dan budaya dalam

kesatuan ruang dan waktu. Ada beberapa kawasan perkotaan yang terpengaruh

kelestariannya akibat pertumbuhan yang tak terkendali. Terletak sangat dekat

dengan pusat kota Yogyakarta, kawasan Jeron Beteng yang merupakan

kawasan inti Kraton Yogyakarta adalah satu contoh kawasan pusaka yang

terancam kelestariannya. Ruang yang semula digunakan sebagai kawasan

permukiman para abdi dalem Kraton Yogyakarta ini sejak masa revolusi

kemerdekaan Republik Indonesia telah berubah menjadi permukiman yang

(11)

Kecamatan Kraton. Wilayah seluas 1,40 km persegi ini dihuni oleh 22.520 jiwa

(104,45 Ha dari 1,40 km persegi itu digunakan untuk permukiman). Kecamatan

Kraton yang meliputi tiga wilayah kelurahan itu (Panembahan, Kadipaten,

Patehan) itu pun memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi, yakni 16.086 jiwa /

km2 (data tahun 2008 dalam BPS Kota Yogyakarta, 2009). Kompleks Kraton

Yogyakarta yang terletak di dalam kawasan ini tidak cukup terusik karena tidak

digunakan sebagai permukiman untuk umum. Namun, sebagain besar ruang

lainnya dalam kawasan ini yang terbuka digunakan sebagai permukiman

mendapatkan akibat perubahan yang sangat besar. Salah satunya adalah

kompleks pesanggrahan kesultanan yang dibangun pada masa Hamengku

Buwono I, yakni Taman Sari. Perubahan besar di sini terjadi karena telah tidak

difungsikan sebagai taman sejak akhir abad XIX dan banyak yang rusak akibat

gempabumi di periode yang sama. Pascarevolusi kemerdekaan, Taman Sari

menjadi tempat permukiman yang sangat padat dengan beragam aktivitas di

dalamnya, seperti pembuatan batik dan pasar hewan yang berpotensi limbah

dan polusi. Kompleks ini pun sempat masuk dalam daftar situs pusaka dunia

terancam (Endangered Heritage Sites) yang dikeluarkan oleh World Monument

Fund pada tahun 2004 (http://www.wmf.org/project/tamansari-water-castle; lihat,

Wijoyono, 2005).

Kawasan pusaka di kota Yogyakarta yang terancama oleh kerusakan dan

perubahan adalah Kotagede. Bekas pusat kerajaan Mataram Islam ini sudah

tidak digunakan kembali sebagai ibukota kerajaan sejak tahun 1648. Sultan

Agung saat itu telah memindahkan ibukota Mataram Islam ke Plered, tak jauh

dari Kotagede (Adrisijanti, 2000). Namun, dinamika Kotagede tak lantas mati,

tetap hidup karena ada Pasar Legi Kotagede yang menjadi pusat perdagangan di

Jawa Tengah selatan hingga berdirinya Kota Yogyakarta di tahun 1756 dengan

Pasar Beringharjo sebagai pasar utama. Perkembangan Kotagede sebagai pusat

perdagangan batik, emas, berlian, perak, dan beragam kerajinan lain di akhir

abad XIX hingga masa revolusi menjadikan kawasan ini tetap ramai dan padat

penduduk (lihat, Nakamura, 1983). Apalagi, Kotagede menjadi pusat kegiatan

dakwah Islam dengan adanya organisasi Muhammadiyah. Dinamika kawasan

yang cukup pesat di Kotagede menyebabkan perubahan yang besar. Perubahan

ini terjadi antara lain oleh tindakan pengubahan fungsi tinggalan fisik oleh

(12)

waktu 2002 – 2005, terjadi proyek pemugaran besar-besaran pada kompleks

Masjid Gede Mataram dan makam kerajaan. Sayangnya, pemugaran ini

dilakukan tanpa memperhatikan prosedur pemugaran arkeologis yang benar,

sehingga banyak kerusakan terjadi di situs ini (Wijoyono, 2007). Ketidaktepatan

penanganan dalam pemugaran yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi

D.I. Yogyakarta ini juga dilakukan di beberapa titik situs lain di kawasan

Kotagede, seperti tembok baluwarti Bokong Semar dan tembok cepuri Bobolan

Raden Rangga. Kerusakan paling parah terjadi akibat gempabumi pada tanggal

27 Mei 2006 yang mengakibatkan kehancuran dalam skala luas. World

Monument Fund pun memasukkan kawasan Kotagede sebagai situs terancam

pada tahun 2008 (http://www.wmf.org/project/kotagede-heritage-district).

Melihat fakta empiri yang terjadi saat ini strategi utama yang harus diterapkan

adalah memantapkan penetapan fungsi lindung pada kawasan-kawasan

peninggalan budaya yang ada di Kota Yogyakarta ini baik dalam skala mikro,

meso maupun makro. Dari fakta yang ada kegiatan yang tidak melestarikan dan

memelihara peninggalan kawasan budaya yang ada tidak hanya dilakukan oleh

masyarakat dan pihak swasta, tetapi pemerintah kota juga terlibat di dalamnya.

Oleh karena itu dengan strategi pemantapan penetapan fungsi kawasan lindung

melalui pemeliharaan dan pelestarian serta pemberian sanksi tegas kepada

semua pihak yang melakukan upaya merusak diharapkan dapat menjaga peran

kota Jogja dalam mempertahankan nilai-nilai kultur dan historis yang ada.

2. Mengoptimalkan zonasi sebagai upaya pelestarian cagar budaya

Salah satu bentuk pelindungan kawasan budaya/cagar budaya adalah zonasi

atau pemintakatan. Dalam konteks penerapannya di Indonesia, pemintakatan

atau zonasi telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993tentang

pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang masih

tetap berlaku. Dalam ketentuan umum UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya disebutkan “Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi

dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan,

Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya”.

Sementara itu, zonasi dipahami sebagai penentuan batas-batas keruangan

(13)

Dengan demikian, dalam pelaksanaan pelestarian zonasi merupakan tahapan

penting yang perlu dilakukan sebagai bentuk pelindungan terhadap cagar

budaya.

Zoning adalah suatu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan

sekaligus mengatur peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan

lain yang terjadi disekitarnya, yang oleh Callcott (1989) disebutkan bahwa zonasi

merupakan suatu cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol

pemanfaatan lahan pada masa datang (Callcott,1989:38). Pernyataan yang

dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di tekankan pada pengaturandan

pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis kepentingan yang diatur

secara bersama. Sementara dalam zonasi cagar budaya tujuan utamanya

adalah menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan setiap

kegiatan yang dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka

zonasi cagar budaya yang dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih

sempit dibanding dengan pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun

memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya, yaitu masing-masing

mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat

dipertahankan kelestarianya.

Pada prinsipnya, penetapan wilayah-wilayah zonasi ditetapkan dengan

mengacu pada nilai arkeologis dan keaslian lingkungan masa lalu yang

merupakan satu kesatuan pada masanya. Hal ini dibutuhkkan untuk

mempertahankan keaslian situs, baik yang berhubungan dengan keaslian bahan,

bentuk, tataletak dan teknik pengerjaannya (Anonim, 1992: 81). Bentuk dan jenis

zoning serta luas areal yang dibutuhkan, didasarkan pada berbagai

pertimbangan meliputi: (i) aspek sebaran temuan dan konteksnya; (ii) aspek

lingkungan sebagai pendukung keberadaan situs, baik lingkungan yangmemiliki

konteks masa lalu, maupun dukungan keserasian dan keselarasan antara

situsdan lingkungannya pada saat ini; (iii) aspek keamanan dan perlindungan

situs; dan (iv) aspek pemanfaatan situs.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa batas zona inti mengikuti batas situs

yang dasarkan pada temuan arkeologisnya, atau jika tidak dapat ditemukan

batas-batas sebarannya, dapat ditetapkansecara arbitrer berdasarkan kondisi

geografis dan artifisial dengan tetap mengacu pada aspek perlindungan dan

(14)

penyangga ditetapkan berdasakan sumber ancaman, luas dihitung berdasakan

jenis dan besar ancaman yang dihadapi dan disesuaikan dengan kondisi

keruangan yang memungkinkan. Sedangkan zona pengembangan ditetapkan

berdasarkan pertimbangan kemungkinan bentuk pengelolaan yang akan

dikembangkan atau berdasarkan pada perencanaan pengelolaan yangtelah ada

sekaligus mengatur standar pengelolaan ruang yang tidak mengganggu situs.

Penentuan batas-batas tersebut sangat bergantung pada kondisi-kondisi

tersebut di atas dan jenis sebaran cagar budaya yang nilainya tidak diragukan

lagi. Umumnya ancaman yang dihadapi adalah aktivitas manusia dan alam yang

sifatnya sangat kontekstual tergantung dimana cagar budaya tersebut berada.

Misalnya untuk cagar budaya yang berada dalam kawasan kota, seperti Keraton,

kampung-kampung tua maupun bangunan-bangunan kolonial di Kota Jogja,

ancaman terbesarnya adalah aktifitas pembangunan kota yang tidak

mengindahkan peraturan pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu, penentuan

strategi zoning harus bersifat aplikatif dan diupayakan dapat mengakomodir

berbagai kepentingan.

Dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota Jogjakarta telah ditetapkan bahwa

salah satu sub zona lindung yaitu zona suaka alam dan cagar budaya. Adapun

subzona cagar budaya yang dimaksud terdiri dari :

a. Cagar budaya bersejarah Kota Gede ditetapkan seluas lebih kurang 8

hektar di subBWP Purbayanuntuk kegiatanBangunan Cagar Budaya

untuk pemakaman;

b. Cagar budaya bersejarah Benteng Vanderburg ditetapkan seluas lebih

kurang 7,5 hektar di sub BWP Ngupasanuntuk kegiatanBangunan Cagar

Budaya dalam bentuk Benteng

c. Cagar budaya bersejarah Kompleks Gedung Agungditetapkan seluas

lebih kurang6 hektar di sub BWP Ngupasan untuk kegiatanBangunan

Cagar Budaya dengan fungsi sebagai Istana Kepresidenan Yogyakarta;

d. Cagar budaya bersejarah Masjid Agung Kauman ditetapkan seluas lebih

kurang 1,5 hektar di sub BWP Ngupasan.(dapat disebutkan lokasi

kelurahannya) untuk kegiatanBangunan Cagar Budaya sebagaitempat

peribadatan;

e. Cagar budaya bersejarah Kompleks Keraton Yogyakarta ditetapkan

(15)

sebagian KelurahanPatehan dan sebagian KelurahanPanembahanuntuk

kegiatanBangunan Cagar Budaya sebagai Pusat Pemerintahan

Kasultanan Yogyakarta; dan

f. Cagar budaya bersejarahKompleks PuroPakualaman ditetapkan seluas

lebih kurang 4,5 hektar di sub BWP Purwokinanti untuk

kegiatanBangunan Cagar Budaya.

3. Pengembangan kawasan cagar budaya sebagai Heritage Tourism

Dalam pengembangannya kawasan cagar budaya sebagai Heritage Tourism

dapat mengadopsi zona pengembangan model Smith (1980) menjadi 3 zona

pengembangan kawasan yaitu:

a. Kawasan utama kegiatan wisata. Kawasan ini merupakan daya

tarik utama yaitu poros imajiner dalam hal ini Tugu Pal Putih –

Kraton Yogyakarta – Panggung Krapyak

b. Kawasan pendukung langsung kegiatan wisata. Kawasan ini

merupakan kawasan yang secara langsung mendukung

kegiatan wisata cagar budaya yang merupakan pusat dari

fasilitas pelayanan kegiatan pariwisata yang dibutuhkan oleh

masyarakat dan juga wisatawan seperti perdagangan jasa,

sarana akomodasi dan sarana pendukung wisata serta

berbagai sarana penunjang lainnya. Kawasan ini berada di

sekitar zona inti.

c. Kawasan pendukung tidak langsung kegiatan wisata. Kawasan ini

merupakan daerah yang masih terkena pengaruh atau

dampak dari adanya kegiatan wisata cagar Kompleks keraton,

baik yang berupa kegiatan perdagangan dan aktivitas

masyarakat maupun berupa daya tarik wisata lain yang

dijadikan sebgai pendukung selain berkunjung ke

(16)

3. KESIMPULAN

Peran suatu kota dapat dilihat dari fungsi yang diemban kota tersebut dan

digambarkan oleh karakteristik perkembangan yang ada. Dari karakteristik

perkembangan yang dominan dapat dilihat bahwa Kota Yogyakarat memiliki

fungsi dan peran ganda yaitu sebagai kota budaya dan juga kota pendidikan.

Ada beberapa fungsi lainnya seperti wisata dan jasa yang berkembang seiring

dengan pertumbuhan kota, namun fungsi-fungsi tambahan ini lahir dari

perkembangan dua fungsi utama tersebut. Dari beberapa fungsi yang diemban,

fungsi dan peran kota Jogja sebagai Kota Budaya dianggap sebagai fungsi

utama dari Kota Jogja karena melahirkan fungsi-fungsi lainnya serta merupakan

poin utama yang memberikan keistimewaan dari keberadaan Yogyakarta itu

sendiri.

Menurut Gist, N.P & Halbert, L.A (Hadi sabari 2005) mengemukakan

beberapa jenis kelas kota atas dasar fungsinya salah satunya adalah Kota

berfungsi sebagai pusat kebudayaan. Dari penjelasan ini kota yang berfungsi

sebagai pusat kebudayaan, potensi kulturalnya kelihatan menonjol dibanding

dengan fungsi lain yang ada. Dalam masa - masa silam, peranan masjid - masjid

di dunia Islam, gereja - gereja di dunia kristiani serta pusat - pusat kerajaan

memegang perananan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Hal ini

yang menggambarkan potensi kultural dari suatu Kota. Kota yang

mempertahakan dan menonjolkan potensi kultural ini dapat digolongkan sebagai

Kota Budaya. Peran utama dari Kota budaya adalah mempertahankan nilai

kultural yang dimiliki dalam pembangunan yang ada, sehingga arah

pengembangan kota tetap terarah berdasarkan nilai-nilai budaya dan historis

yang dimiliki dan Yogyakarta tergolong didalamnya. Mempelajari kota

Yogyakarta berarti juga harus mempelajari budayanya, sebab Jogja merupakan

salah satu kota yang masih memiliki ciri khas selama bertahun-tahun, dan hal itu

biasa sulit ditemukan di tempat lain.

Struktur dan pola ruang Kota Yogyakarta yang terbentuk oleh

komponen-komponen ruang yang merupakan simbolisasi konsep-konsep budaya tersebut,

mengarah pada tipe tertentu dari citra kota, yaitu citra monumental dan

pertahanan. Dari pemaknaan struktur ruang, pola ruang maupun wujud tata

ruang secara keseluruhan dapat dilihat nilai-nilai kultural dan historis dimiliki oleh

(17)

Yogyakarta sebagai intepratsi dari fungsi Kota Budaya yang diembannya. Peran

utama dalam mempertahankan nilai-nilai ini tidak mudah untuk dilakukan, karena

seiring perkembangan zaman saat ini banyak nilai-nilai keistimewaan yang mulai

terkikis, oleh karena itu dibutuhkan strategi yang tepat dalam menjaga

kelestarian yang ada. Strategi pembangunan yang dapat diterapkan adalah :

1. Memantapkan fungsi lindung melalui pemeliharaan dan pelestarian

terhadap kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan serta

pencegahan dampak negatif kegiatan manusia terhadapnya dengan

pemberian sanksi yang tegas.

2. Mengoptimalkan zonasi sebagai upaya pelestarian cagar budaya

(18)

Daftar Pustaka

Damayanti, R dan Handinoto (2005) Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan di Jawa, Dimensi Teknik Arsitektur 3(1).

Darmosugito (1956) Sejarah kota Yogyakarta, ” Kota Yogyakarta, 200 Tahun”, Panitia Peringatan Kota Yogyakarta 200 Tahun.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977) Sejarah Daerah Istimewa

Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud.

K.P.H. Brotodiningrat (1978) Arti Kraton Yogyakarta. Yogyakarta, Museum Kraton Yogyakarta.

Suryanto (2015) Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta, Naskah Disertasi JUTAP FT UGM, Yogyakarta.

Surjomihardjo, A (2008) Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880 – 1930, Jakarta: Komunitas Bambu

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2013 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Yogyakarta Tahun 2013-2033

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=177506&val=4186&title=Ara han%20Pengembangan%20Kawasan%20Cagar%20Budaya%20Singosari %20Malang%20Sebagai%20Heritage%20Tourism

https://www.academia.edu/2923484/Mengoptimalkan_Zonasi_Sebagai_Upaya_P elestarian_Cagar_Budaya

http://perencanaankota.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-kota-fungsi-kota-dan.html

https://elantowow.wordpress.com/2011/05/13/dinamika-pembangunan-kawasan-di-yogyakarta-peluang-atau-ancaman/

https://ugm.ac.id/id/berita/10349keistimewaan.tata.ruang.kota.yogyakarta.makin. ditinggalkan

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi, yang menjadi persoalan dalam ritual setiap tarekat yang ada adalah bahwa hampir mayoritas ritual tarekat mencitrakan Tuhan dalam bentuk atau citra laki-laki dan

Kadar Asam Urat Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar yang Dibuat Hiperurisemia dengan Pemberian Ekstrak Etanol Daun Dewa 10% b/v (Kelompok E1) ... Kadar Asam Urat Darah Tikus

Justeru, perubahan dasar ekonomi telah dilaksanakan untuk menyertai pertubuhan antarabangsa dan juga serantau seperti ASEAN untuk mendapatkan pengiktirafan antarabangsa telah

Untuk lokasi terpilih “Urimesing” dapat dilihat dari beberapa kriteria yaitu : kriteria lokasi dari hasil pengolahan data expert choice menunujukan lokasi urimesing

dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya, yakni peraturan daerah (Perda), Karena memungkinkan juga bahwa di setiap daerah memiliki perda tentang pembuatan tanggul

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif dan bermakna dengan koefisien korelasi yang cukup kuat antara ekspresi protein EGFR dan ekspresi

Hasil analisis ketahanan hidup dengan stadium kanker menunjukkan bahwa stadium tidak mempengaruhi ketahanan hidup secara signifikan karena secara keseluruhan, EPG

Pada laporan ini, dapat diperoleh gambaran bahwa pasien tipe mutasi yang ada adalah mutasi tunggal (single