• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEJAHATAN KORUPSI DAN PUTUSAN HAKIM DALA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEJAHATAN KORUPSI DAN PUTUSAN HAKIM DALA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

A. PENDAHULUAN

Kasus korupsi di Indonesia semakin marak, ibarat parasit yang sudah membiak dan beranak pinak di semua sistim birokrasi pemerintahan. Baik pada level eksekutif, legislatif, yudikatif dan pihak swasta.1 Survei pelaku bisnis yang dirilis

perusahaan konsultan “Political and Economic Risk Consultancy, Ltd” (PERC) yang bermarkas di Hongkong dalam publikasinya yang mengumpulkan data pada Desember 2012 sampai minggu pertama Maret 2013 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup dari 16 negara Asia Pasifik.2

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga superbodi yang dilahirkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, salah satu pertimbangan dibentuknya KPK adalah karena pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional

Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXIX Nomor 343 Juni

2014.

 Hakim Pengadilan Agama Bangil / Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Sains Hukum dan

Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya (UNAIR) - Program Rintisan Beasiswa Balitbang Diklat Kumdil MA RI.

1 Pemantauan ICW terhadap perkara korupsi selama tahun 2013 pelaku yang paling banyak

diadili oleh Pengadilan adalah pejabat atau pegawai dilingkungan Pemerintah Daerah (Kotamadya, Kabupaten, Provinsi) yaitu sebanyak 141 terdakwa. Empat besar selanjutnya adalah Swasta (59 terdakwa), lembaga publik seperti PN/Bappeda/BPK/BPB (20 terdakwa) dan kalangan kampus

sekolah serta BUMN/BUMD masing-masing 15 terdakwa. Baca Catatan Pemantauan Perkara

Korupsi Yang Divonis Oleh Pengadilan Selama Tahun 2013, diakses dari http//www. antikorupsi.org, tanggal 13/01/2014.

2 Political and Economic Risk Consultancy” (PERC) pada Desember 2012 sampai Maret 2013,

(2)

dan lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.3

Ahmad Ali pernah menyindir, permasalahan yang esensial dalam penegakan hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif, melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya.4 Untuk

meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik. Oleh karenanya sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka, as long as the dirty broom is not cleaned, any talk of justice will be empty.5

Oleh karenanya Barda Nawawi Arif berpendapat, keterpurukan penegak hukum yang ada saat ini diawali oleh terpuruknya dekadensi moral aparat penegak hukum, konsep atau metode berpikir “Money Oriented” sedianya dapat diubah menjadi mindset “Service Oriented without Money”.6 Sehingga dibutuhkan

reformasi hukum tidak hanya dalam hal pembaruan Undang-Undang atau substansi hukumnya (legal substance reform), tetapi juga pembaruan struktur hukum (legal structure reform) dan pembaruan budaya hukum (legal ethic and legal

science/education reform), bahkan dalam situasi saat ini, pembaruan aspek immateriil dalam hukum yaitu pembaruan budaya hukum, etika/moral hukum, aparatur penagak hukum, serta ilmu/ pendidikan hukum dapat dilakukan pembaruan untuk mewujudkan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).7

3 Konsideran huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

4 Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta,

2001, hlm.74

5 Ahmad Ali, ibid.

6 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Pranada Media Grup, Jakarta, 2010, hlm.6

(3)

Sementara itu penegakan hukum terhadap perkara korupsi pada tingkat pengadilan mendapatkan sorotan yang sangat tajam karena begitu besarnya ekspektasi masyarakat supaya para koruptor mendapatkan hukuman (vonis) yang setimpal dan mengembalikan semua harta yang digarong (dikorup) kepada negara sehingga menjadikan efek jera dengan vonis yang dijatuhkan hakim (pengadilan) tersebut dan diharapkan dapat meminimalisir munculnya koruptor-koruptor baru.

Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam rilis hasil penelitiannya terhadap vonis kasus korupsi selama tahun 2013 dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi dan peninjauan kembali (PK) menyimpulkan bahwa tidak ada vonis bebas terhadap perkara koprupsi, tren vonis berat meningkat namun belum ada yang membuat kapok para koruptor.8 Menurut Lola Easter, peneliti ICW menyatakan ada harapan yang

ditawarkan pengadilan seperti dalam kasus Djoko Susilo9 dan Angelina Sondakh

yang diputus lebih berat dalam kasasi.10 Walaupun ada beberapa vonis berat namun

rerata putusan masih rendah, yaitu 2 tahun 11 bulan sehingga belum memberikan efek jera.

Oleh karenanya dibutuhkan seorang hakim yang mempunyai dedikasi dan integritas yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truht and justice) dan hakim bukan lagi sekedar sebagai corong undang-undang

8 detiknews. Minggu, 12/01/2014 16:08 WIB.

9 Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat vonis polisi pemilik rekening gendut

Jenderal Djoko Susilo menjadi 18 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar, subsidair 1 tahun kurungan, dimana sebelumnya pada putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menvonis 10 tahun penjara, dan denda Rp 500 juta, atau jika tak dibayar diganti 6 bulan kurungan . Vonis ini bisa menjadi tren baru hukuman para koruptor, komentar wakil ketua KPK Bambang Widjojanto. Diakses dari www.tempo.co, Kamis, 19 Desember 2013 | 08:53 WIB.

10 Dalam kasus korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga

(4)

(spreekbuis van de wet).11 Sehingga putusan (vonis) yang dijatuhkan benar-benar

memenuhi rasa keadilan (gerechtigkeit), mewujudkan kepastian hukum (rechtsicherheit) dan memberikan kemanfaatan (zwechtmassigkeit) bagi masyarakat.

Dalam perspektif sosio legal,12 proses penanganan perkara di pengadilan

bukanlah sebuah proses yang netral dan berada di ruang hampa, tetapi melibatkan banyak faktor yang ikut menentukan. Secara teoritis faktor-faktor yang terlibat tersebut ada yang mengklasifikasikan menjadi subjektif dan objektif. Faktor subjektif meliputi, (i) sikap perilaku apriori (ii) sikap perilaku emosional (iii) sikap arrogence power (iv) moral, sedangkan faktor objektif meliputi : (i) latar belakang budaya dan (ii) profesionalisme.13

Di tengah upaya pemberantasan korupsi yang sedang digencarkan oleh KPK dan korupsi telah menjadi musuh bersama masyarakat, maka putusan (vonis) hakim terhadap perkara korupsi menjadi menarik dikaji lebih lanjut dari perspektif psikologi. Bertolak dari paparan sebagaimana teruarai dimuka, untuk lebih mensistemasikan tulisan ini maka penulis akan memulai pembahasan sekitar lingkup

11 Inilah yang lebih kental pada paradigma positivisme, dimana tugas hakim tinggal menerapkan

undang-undang secara mekanis dan linear untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya, sesuai dengan bunyi undang-undang; baca Widodo Dwi Putro, dalam tulisannya, Mengkritisi Positivisme Hukum : Langkah Awal Memasuki DiskursusMetodologis dalam Penelitian Hukum,

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 28.

12 Study Sosio Legal adalah pendekatan interdisipliner, yaitu konsep dan teori dari berbagai disiplin

ilmu dikombinasikan dan digabungkan untuk mengkaji fenomena hukum, Sulistyowati Irianto dkk, Kajian Sosio Legal, Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Hukum, Ed.1, Pustaka Larasan, Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, Jakarta, 2012, hlm.2. Studi yang melihat hukum sebagai salah satu faktor dalam sistem sosial yang dapat menentukan dan ditentukan, dimana hukum tidak dapat eksis, oleh karena itu tidak dapat dipelajari dalam ruang yang vakum (hampa), karena hukum terletak dalam ruang sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar hukum. Kajian sosial mengenai hukum lahir pada dekade 1960-1970 an, diikuti juga dengan kelahiran critical legal thought generasi baru, seperti studi hukum kritis (critical legal studies-CLS), baca Rikardo Simarmata dalam tulisannya, Socio Legal Studies dan Gerakan

Pembaharuan Hukum, dalam Digest Law, Society and Development, volume I Desember 2006 –

Maret 2007.

13 Pontang Moerad B.N., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara

(5)

tindak kejahatan korupsi kemudian bagaimana putusan (vonis) hakim terhadapnya dalam perspektif psikologi dan terakhir penutup berupa simpulan pembahasan.

B. TINDAK KEJAHATAN KORUPSI

Korupsi berasal dari bahasa latin “Corruptio – Corrumpere” yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Huntington (1968) korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.

Ruth Shonle Cavan dalam bukunya Criminology telah mengklasifikasikan perilaku kejahatan dalam sembilan jenis :14 (i) the casual ovender; (ii) the occasional

criminal; (iii) the episodec criminal; (iv) the white collar criminal; (v) the habitual criminal; (vi) the proffesional criminal; (vii) the organized criminal; (viii) the mentally abnormal criminal; (ix) the nonmalicious criminal.

Kejahatan korupsi oleh Ruth Shonle Cavan dimasukan dalam kategori kejahatan the white collar criminal. Berbeda dengan kejahatan yang lainnya yang sudah dikenal lebih dulu, maka kejahatan white collar criminal baru dikenal pada abad modern, yang merupakan pengaruh dari akses dari proses ekonomi.15

Menurut Sutherland, white collar criminal adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha dan pejabat-pejabat dalam hubungan dan fungsinya. Mereka adalah orang-orang terkemuka yang tak segan-segan melakukan kejahatan karena kedudukan mereka yang kuat sehingga memungkinkan mereka memperkaya diri dengan melakukan manipulasi dan korupsi. Sedangkan menurut Ruth Shonle Cavan kaum white collar criminal sering menganggap dirinya melebihi

(6)

atau kebal terhadap hukum, dikarenakan kekuasaan dan kemampuan materiil yang mereka miliki.16

Kejahatan korupsi menurut ilmu psikologi merupakan perilaku menyimpang (defiant behavior), perilaku kejahatan (crime behavior), perilaku rusak atau terganggu (disorder behavior), perilaku buruk (wrong behavior).17 Perilaku korupsi

adalah perilaku melawan hukum merupakan perilaku a-sosial, anti-sosial, a-normatif, dan berkecederungan sebagai psychopat. Perilaku korupsi adalah juga perilaku obsesif (neurosis yang menjadi tekanan psikis) kompulsif yang menuju kleptomania. Perilaku kejahatan itu bersumber dari dalam diri maupun dari luar diri. Sumber dari dalam diri antara lain cacat/kelainan genetik, hormonal, neurologis, fisiologis yang bersifat organik, dan cacat/kelainan psikologis menuju gangguan kepribadian. Sumber dari luar diri adalah cacat/kelainan sosial berupa kemiskinan, a-sosial, lifestyle, anti sosial, yang berkaitan dengan socio-pathy, broken family dan social disaster.18

Dalam pandangan psikologi, penyebab suatu perbuatan ialah interaksi antar faktor yang ada di dalam diri seseorang, dan faktor yang ada di luar diri. Kedua faktor ini berinteraksi satu sama lain dalam wadah budaya yang lebih luas.19

Faktor di dalam diri adalah hal-hal yang disebut sebagai ciri kepribadian. Salah satu sifat kepribadian yang menyebabkan orang mudah tergoda melakukan korupsi adalah motivasi untuk berprestasi yang rendah (low achievement motivation). Konsep motivasi berprestasi dikembangkan oleh David McClelland (1963). Motivasi berprestasi digambarkan oleh McClelland sebagai “virus” yang

16 Bawengan, G.W, ibid, hlm. 18

17 Hatta Albanik, Psikologi Forensik Dalam Pemberantasan Korupsi, dalam artikelnya di www.sosio-polica.com, Jakarta, 2012, hlm. 3

18 Hatta Albanik, ibid, hlm. 4

(7)

mendorong seseorang untuk trus meningkatkan prestasi kerjanya. Orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, bukan asal jadi. Mereka meletakkan standar yang tinggi untuk kualitas pekerjaan yang mereka hasilkan. Mereka bekerja didorong oleh keinginan kuat untuk menghasilkan pekerjaan dengan mutu baik, bukan didorong oleh keinginan untuk mendapatkan uang dengan jumlah besar dalam waktu singkat.

Faktor di luar diri adalah kondisi-kondisi di luar yang mempermudah orang untuk melaksanakna keinginan korupsi. Korupsi, seperti halnya tindak kejahatan lainnya, adalah perbuatan yang dilaksanakan dengan perhitungan secara cermat dan rasional. Demikianlah pendapat beberapa ahli yang menggunakan pendekatan rasional-analitis. Menurut John S. Carroll, ahli yang menggunakan pendekatan rasional-analitis, suatu tindakan kejahatan adalah realisasi dari keputusan yang telah diambil.

(8)

berterus terang (non asertif) akan menyebabkan orang memilih diam daripada melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, pejabat di masa awal kemerdekaan adalah seseorang yang menjadi pemimpin rakyat untuk memimpin perjuangan kemerdekaan, memimpin rakyat Indonesia untuk mencapai cita-cita kesejahteraan bangsa Indonesia, perilaku dasarnya adalah berkorban, dedikatif. Pejabat setelah Indonesia merdeka adalah seseorang yang diserahi kekuasaan publik oleh bangsa dan negara Indonesia untuk menyelenggarakan kekuasaan agar melaksanakan kegiatan kenegaraan bagi kepentingan tercapainya tujuan negara. Ternyata perilaku dasar di awal kemerdekaan berangsur-angsur berubah menjadi lebih berorientasi kepada kekuasaan, fasilitas dan kekayaan pribadi.

Kini korupsi telah menjadi problem serius bagi bangsa ini karena yang melakukan korupsi saat ini tidak lagi pegawai rendahan, tetapi mereka yang kedudukan dan pendidikannya tinggi serta gaya hidupnya sangat mewah sehingga korupsi berlangsung secara sistemik dan jumlahnya miliaran. Ibarat ulat, yang dimakan bukan saja daun, dahan, dan buahnya, melainkan batang tubuhnya yang lama-kelamaan akan menjalar ke akar kehidupan bernegara. Para koruptor memang sudah berhasil menghancurkan martabat dan wibawa pemerintah serta bangkrutlah kekayaan negara dan bangsa.

(9)

negara serta mental pejabat, rakyat mesti marah dan bangkit melawan koruptor.20

Oleh karenanya maka putusan (vonis) terhadap para koruptor menjadi perhatian tersendiri bagi semua lapisan masyarakat dan negara supaya hakim (pengadilan) memberikan hukuman yang seberat-beratnya dan para koruptor supaya mengembalikan harta yang telah diambil kepada negara – sebagai upaya pemiskinan – yang selanjutnya dapat menciptakan efek jera.

C. PUTUSAN (VONIS) HAKIM

Putusan hakim atau lazim disebut putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.21 Sedangkan menurut Lilik

Mulyadi, putusan hakim merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.22 Dengan demikian dapat

difahami bahwa putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum yang dapat diartikan dengan pernyataan tersebut bahwa hakim telah mengakhiri suatu proses panjang penegakan hukum pidana dan berarti pula dengan terbitnya putusan hakim tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi terdakwa, apakah dipidana atau dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

20 Komarudin Hidayat, Psikologi Korupsi, dalam www.uinjkt.ac.id 13 April 2010 19:02 21 Bab I Pasal 1 angka 11 KUHAP

22 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya, Bandung, 2007,

(10)

Dengan adanya putusan pengadilan tersebut memberikan “jalan” bagi terdakwa maupun jaksa penuntut umum, apakah menerima atau bila tidak menerima maka dapat menggunakan upaya hukum banding, kasasi atau mengajukan peninjauan kembali atau grasi dan sebagainya. Sedangkan bagi hakim putusan pengadilan merupakan hasil dari proses memeriksa, menelaah serta mempertimbangkan secara matang dari berbagai aspek baik yuridis maupun non yuridis terhadap bukti-bukti maupun fakta persidangan yang dihadapkan kepadanya.

Dalam hal hakim menjatuhkan hukuman dengan putusannya, hakim akan mendasarkan pada adanya 2 (dua) alat bukti yang sah dan dengan bukti-bukti tersebut hakim menjadi yakin bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan sehingga hakim tidak ada keragu-raguan dalam menjatuhkan pidana (hukuman) yang setimpal dengan perbuatan terdakwa.23

Ada beberapa teori yang berkaitan tentang hukuman;24 Pertama teori absolut

atau teori pembalasan, yang menyatakan bahwa hukuman adalah suatu konsekuensi dilakukannya suatu kejahatan, sebab melakukan kejahatan maka akibatnya harus dihukum, sehingga bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Kedua teori relatif atau teori tujuan, yang berpendapat bahwa hukuman adalah suatu cara untuk

mencapai tujuan tertentu. Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman sebagai pembalasan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yang menjadi tujuan penghukuman. Ketiga teori gabungan (verenigingstheorien), merupakan gabungan antara teori absolut yang bercorak pembalasan dan teori relatif yang menekankan pada tujuan hukuman itu sendiri.

Pada hakekatnya hukuman dalam telaah psikologi tidak saja selalu diperoleh atau menunggu proses peradilan dengan dijatuhkannya putusan (vonis) hakim,

23 Pasal 183 KUHAP.

(11)

namun dapat juga hukuman itu datang dengan melalui “penghukuman personaliches” melalui suatu proses psikologis, seperti munculnya proses

kecemasan, feeling of guilty, ketakutan didalam pribadi itu sendiri yang sering disertai dengan gejala-gejala psikosomatik, psikotik dan sebagainya.25

Menurut kajian ICW terhadap banyaknya putusan bebas dalam perkara korupsi ketika ditangani di Pengadilan Negeri dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2004-2009, adalah dikarenakan : (i) terdakwa memang benar-benar tidak terbukti bersalah; (ii) dakwaan yang disusun oleh jaksa lemah atau memang sengaja dilemahkan; (iii) hakim mencari-cari pertimbangan yang menguntungkan terdakwa; (iv) atau karena kombinasi antara dakwaan yang lemah dan hakim yang mencari-cari pertimbangan yang menguntungkan terdakwa.26

Namun trend vonis bebas dalam perkara korupsi pada tahun 2013 menjadi menurun27 dan munculnya fenomena baru / trend pemberatan vonis terhadap pelaku

korupsi. Beberapa kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat dijatuhkan hukuman lebih berat ketika diajukan upaya hukum di tingkat banding maupun kasasi. Beberapa perkara korupsi yang menarik masyarakat memang diputus dengan pidana penjara berat, seperti korupsi simulator SIM yang menjerat Djoko Susilo dengan pidana selama 18 tahun di tingkat banding, maupun perkara korupsi di Kemenpora dan Kemendiknas yang menjerat Angelina Sondakh selama 12 tahun penjara di tingkat kasasi.28

Dalam kajian sosio legal, proses penegakan hukum memang tidak berada di ruang hampa. Ada beberapa faktor yang menentukan proses penanganan perkara di pengadilan. Secara teoritis ada yang mengklasifikasikannya menjadi : (i) raw in-put,

25 Bawengan, G.W, opcit, hlm. 74

26 Baca hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang putusan-putusan pengadilan dalam

perkara korupsi sejak tahun 2005-2009. www//http: antikorupsi.org.

27 http// www: antikorupsi.org, tanggal 13/01/2014 (2011: 65 terdakwa, 2012: 51 terdakwa, 2013: 16

terdakwa)

28 Baca Catatan Pemantauan Perkara Korupsi Yang Divonis Oleh Pengadilan Selama Tahun 2013,

(12)

yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan latar belakang dari aktor penegak hukum seperti suku, agama, pendidikan dan sebagainya; (ii) instrumental in-put, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal; (iii) environmental in-put, yakni faktor lingkungan sosial budaya yang berpengaruh dalam kehidupan seseorang, umpamanya lingkungan keluarga, organisasi dan sosial.29

Ada juga yang membagi menjadi faktor subjektif dan objektif. Faktor subjektif meliputi: (i) sikap perilaku apriori, yakni adanya sikap seorang hakim yang sejak semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana; (ii) sikap perilaku emosional, yakni putusan pengadilan akan dipengaruhi oleh perangai hakim. Misalnya, hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula putusan seorang hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan seorang hakim yang sabar; (iii) sikap arrogence power, yakni sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuasaan”. Di sini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain (jaksa, pembela apalagi terdakwa); (iv) moral, yakni moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut terlebih dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara. Adapun Faktor objektif meliputi: (i) latar belakang budaya, yakni kebudayaan, agama, pendidikan seorang tentu ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Meskipun latar belakang hidup budaya tidak bersifat determinis, tetapi faktor ini setidaknya ikut mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu putusan; (ii) profesionalisme, yakni

(13)

kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi keputusannya. Perbedaan suatu putusan pengadilan sering dipengaruhi oleh profesionalisme hakim tersebut.30

Sedangkan jika dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan, terdapat faktor-faktor yang meliputi: (i) faktor hakimnya sendiri, yang dapat berupa jenis kelamin, ras, keperibadian otoritarian dan status perkawinan; (ii) faktor terdakwa seperti jenis kelamin, ras, dan daya tarik; (iii) faktor saksi seperti daya tarik, jenis kelamin dan ras; (iv) faktor penuntut umum seperti kepribadian otoritarian dan daya tarik; (v) faktor pengacara seperti daya tarik dan ras; (vi) faktor masyarakat, yang dapat berupa opini publik dan budaya.31

Sebagai pemegang “palu kekuasaan peradilan” hakim mempunyai peranan yang sangat menentukan – karena di tangan seorang hakim pula akan ditentukan “masa depan” seorang terdakwa akan mendapatkan hukuman yang berat atau ringan. Maka disinilah integritas, moralitas, adil, profesionalisme dan pengalaman di ranah hukum,32 menjadi acuan dan pijakan utama bagi seorang hakim ditengah pergulatan

kepentingan dan faktor-faktor non teknis yang mengitari dan mempengaruhinya. Sehingga kehadiran seorang hakim yang ideal sebagaimana dicita-citakan menjadi ekspektasi seluruh lapisan masyarakat dan negara dalam perang melawan korupsi.

D. PENUTUP

Kejahatan korupsi di Indonesia sudah termasuk kategori kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) karena sudah menerobos ke berbagai lini pada lembaga dan kementerian. Yang disebabkan adanya interaksi antara faktor yang ada dalam diri

30 Pontang Moerad B.N. opcit, hlm. 117-118.

31 Yusti Probowati Rahayu, Dibalik Putusan Hakim, Kajian Psikologi Hukum dalam Perkara

Pidana, Penerbit Srikandi, Surabaya, 2005, hlm. 103.

(14)

seseorang dan faktor dari luar diri, kemudian kedua faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dalam wadah budaya yang lebih luas. Oleh karenanya korupsi menurut ilmu psikologi merupakan perilaku menyimpang (defiant behavior), perilaku kejahatan (crime behavior), perilaku rusak atau terganggu (disorder behavior), perilaku buruk (wrong behavior). Ruth Shonle Cavan mengkategorikannya sebagai kejahatan the white collar criminal.

Penegakan hukum terhadap korupsi – dalam hal putusan (vonis) hakim – tidak dapat dilepaskan dengan adanya faktor-faktor yang menentukan dalam proses penangannya di pengadilan, baik itu raw in-put, instrumental in-put dan environmental in-put; maupun faktor subjektif dan objektif pada diri hakim, serta

pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan. Wallahu a’lamu bis shawab…….!!!

Bangil, 21 Maret 2014

Penulis,

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Pranada Media Grup, Jakarta,

(15)

Bawengan,G.W, Pengantar Psikologi Kriminal, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991. Djamaludin Ancok, Psikologi Terapan, Darussalam, Yogyakarta, 2004.

Indonesia Corruption Watch (ICW), Catatan Pemantauan Perkara Korupsi Yang

Divonis Oleh Pengadilan Selama Tahun 2013, dari www//http:

antikorupsi.org

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya, Bandung, 2007.

Loebby Luqman, Delik-delik Politik, Ind-Hill. CO, Jakarta, 1990.

Pontang Moerad B.N., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam

Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005.

Rikardo Simarmata dalam tulisannya, Socio Legal Studies dan Gerakan

Pembaharuan Hukum, dalam Digest Law, Society and Development, volume

I Desember 2006 – Maret 2007.

Sulistyowati Irianto dkk, Kajian Sosio Legal, Seri Unsur-Unsur Penyusun

Bangunan Hukum, Ed.1, Pustaka Larasan, Universitas Indonesia,

Universitas Leiden, Universitas Groningen, Jakarta, 2012.

Widodo Dwi Putro, dalam Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011.

Yusti Probowati Rahayu, Dibalik Putusan Hakim, Kajian Psikologi Hukum dalam

Perkara Pidana, Penerbit Srikandi, Surabaya, 2005.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.

(16)

Hatta Albanik, Psikologi Forensik Dalam Pemberantasan Korupsi, dalam artikelnya di www.sosio-polica.com, Jakarta, 2012.

Komarudin Hidayat, Psikologi Korupsi, dalam www.uinjkt.ac.id, Jakarta, 2010 Political and Economic Risk Consultancy” (PERC) pada Desember 2012 sampai

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Dari definisi diatas dapat kita lihat bahwa tujuan dari Public Relations adalah menciptakan hubungan yang baik dan harmonis dengan public di luar lembaga, sehingga

Oleh karena itu,penulis mengajukan menyatakan tentang keluarga sebagai berikut :pertama, keluarga khususnya orang tua, hendaknya memberikan pendidikan keagamaan

Pembelajaran dengan model kooperatif TGT menuntut peserta didik bekerja dalam tim untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru dan sekaligus untuk mempersiapkan

Ajeng Nastiti, 2016, News Translation and News Making at RRI Surakarta, English Diploma Program, Faculty of Cultural Sciences, Sebelas Maret University!. This final project report

[r]

pemanfaatan N.gracilis. Pengaturan zonasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002

[r]

Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) pengelolaan kursus keterampilan berbasis life skill di Sanggar Kegiatan Belajar selama ini masih lemah yang terkait dengan