BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umumnya pemahaman kebanyakan orang terhadap desa adalah sebuah tempat atau
daerah yang jauh dari perkotaan, sehingga anggapan terhadap desa merupakan daerah yang
penuh dengan ketebelakangan dan kemiskinan, primitif dan merupakan kumpulan manusia
yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan sejarah pemerintahan,
pemahaman mengenai sosok desa dimaknai berbeda-beda . Secara sosiologi, desa dipahami
sebagai daerah pedesaan (rural), kemudian administrasi negara memahami sebagai satuan
pemerintahan (Pemerintahan Desa), secara historis dan politik adalah desa sebagai sumber
kekuatan dan ketahanan bangsa di masa perjuangan merebut dan mempertahankan
kemerdekaan.1
Desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, dalam UU No. 6 Tahun
2014 dijelaskan mengenai desa, yakni pada Pasal 1 dikatakan: Desa adalah desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
1
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia2; Pemerintahan Desa adala
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia3; Pemerintah Desa adalah Kepala Desa
atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggaraan
Pemerintahan Desa4; Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain
adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil
dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.5
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai badan jembatan penghubung antara
Kepala Desa dengan masyarakat desa, juga dapat menjadi lembaga yang berperan sebagai
lembaga representasi dari masyarakat. sehubungan dengan aspirasi yang datang dari
masyarakat, namun tidak semua aspirasi dari masyarakat dapat ditetapkan dalam bentuk
peraturan desa tapi harus melalui berbagai proses sebagai berikut: (1) artikulasi adalah
penyerapan yang dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa; (2) agresi adalah proses
pengumpulan, mengkaji Peraturan Desa; (3) formulasi adalah proses perumusan Rancangan
Peraturan Desa yang dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa dan/atau Pemerintah
Desa; (4) konsultasi adalah proses dialog bersama antara Pemerintah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa dengan masyarakat.6
2
UU Nomor 6 Tahun 2014. Undang-Undang Tentang Desa. BAB I KETENTUAN UMUM. Ayat 1.
3
Sartika Putri Ngadi. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnaleksekutif/article/viewFile/2323/1877.
Berangkat dari pengertian secara historis dan politik desa menjadi sebuah bagian
dari perjuangan dalam menciptakan pembangunan di Indonesia. Tentunya pada masa-masa
perebutan kemerdekaan, desa memberi sumbangsih tenaga dalam melawan penjajahan.
Namun setelah itu, tentu kita harus menyadari bahwa perjuangan belum selesai. Kehidupan
di desa masih perlu dibenahi dengan seksama, yakni dalam upaya pembangunan di desa.
Kita harus mengerti betapa pentingnya gerakan untuk menyehatkan dan mentertibkan
kehidupan kemasyarakatan bangsa kita, terutama terkait pada anggapan kita terhadap
keterbelakangan baik sosial budaya maupun sosial ekonomi, yang sebagian besar hidup di
masyarakat pedesaan dan umumnya masih hidup di dalam ikatan tradisi yang kuat. Dan itu
masih berlaku hingga saat ini. Memang ada beberapa desa yang kita jumpai telah
mengalami pembangunan yang baik, namun tidak sedikit pula desa yang masih butuh
perhatian khusus dalam mendorong desa untuk melakukan pembangunan. Perhatian tersebut
antara lain meliputi bidang suprastruktur yang terdiri atas pembangunan Pemerintahan Desa,
mental spiritual dan sosial budaya maupun pembangunan infrastruktur antara lain
pembangunan fisik seperti sekolah, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Pasar
Tradisional, dan Kantor Pemerintahan Desa, dimana kebutuhan pembangunan dua hal
tersebut ketika diselenggarakan dan dibangun dengan benar, tentu akan menciptakan
kehidupan masyarakat yang merdeka, aman, baik, sehat dan sejahtera seperti ide daripada
Good Governance.
Hal tersebut dapat dipahami melalui UU Nomor 6 Tahun 2014, dimana pada BAB I
KETENTUAN UMUM, Pasal 1 ayat 8 menyebutkan bahwa : “Pembangunan Desa adalah
Masyarakat Desa”. Mensejahterakan masyarakat desa tentu harus melibatkan masyarakat
desa pula, seperti yang dikatakan pada Ayat 12, yang menyebutkan bahwa : “Pemberdayaan
Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat
dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran
serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan
pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan Masyarakat
Desa”.
Terkait pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014, diatur didalam Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014, dimana dikatakan bahwa: “untuk melaksanakan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta untuk mengoptimalkan penyelenggaraan
Pemerintah Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”.7
Good Governance menjadi gagasan untuk memperbaharui tata Pemerintahan
Indonesia dimana terkait pada desentralisasi yang tak lain berdampak baik terhadap
pembangunan di desa. Pertama, good governance adalah sebuah kerangka institusional
untuk memperkuat otonomi desa, karena secara subtantif desentralisasi dan otonomi desa
bukan hanya persoalan pembagian kewenangan antar level pemerintahan tetapi juga
berkaitan terhadap kedekatan masyarakat terhadap negara. Good governance adalah basis
penyelenggaraan otonomi daerah (desa). Pemerintahan lokal yang kuat dan otonom tidak
7
akan bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat lokal jika tidak ditompang oleh tranparansi,
transparansi, akuntabilitas, responsivitas dan partisipasi masyarakat. Tanpa good
governance, otonomi lokal sama saja memindahkan sentralisasi dan banyak hal yang jelek
dari tingkat pusat ke tingkat lokal.8
Kedua, penerapan good governance di level desa merupakan sebuah solusi canggih
terhadap bad governance yang sudah lama diwarisi oleh Orde Baru, yaitu sebuah
pemerintahan desa yang didominasi oleh kepala desa beserta elite desa. Kurang berbasis
pada partisipasi maysarakat serta tidak menjunjung tinggi pada prinsip transparansi,
akuntabilitas dan responsivitas.9
Ketiga, pandangan good governance sangat relevan untuk memilah secara tegas antara
urusan privat dan publik. Di desa, antara urusan antara privat dan publik sangat kabur
karena dibingkai oleh komunalisme. Pandangan good governance tentu tidak dimaksudkan
untuk menghancurkan komunalisme di desa. Bagaimanapun komunlisme adalah sebuah
identitas dan model pengelolaan relasi sosial antar personal. Tetapi dalam urusan publik
(pemerintah), antara empat aktor utama dalam governance (pemerintahan desa, badan
perwakilan desa, maysarakat sipil dan masyarakat ekonomi) harus berpilah karena
masing-masing mempunyai peran dan kepentingan yang berbeda-beda.
Sehingga dalam upaya mewujudkan pembangunan di desa
berjalan dengan baik, dengan terwujudnya beberapa prinsip tersebut.
10
8
Sutoro Eko, dkk. 2002. Pembaharuan Pemerintahan Desa. Yogyakarta: IRE. Hal: 8.
9
Ibid. Hal 9
10
Keempat, konsep good governance sangat relevan dengan bangkitnya semangat
demokrasi maupun tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa yang
lebih baik, jujur, bersih, berbawa, bebas KKN, bertanggung jawab dengan praktik-praktik
pemerintahan bergaya lama yang birokratis, menggurui, mendikte, tertutup, dan
mengabaikan masayarakat.11
Kelima, konsep good governance yang diterapkan secara institusional mampu
mengatasi problem pengelolaan kekuasaan dan pemerintahan secara personal di tingkat
desa. Pemerintahan desa selalu identik dengan kepala desa secara personal. Kekuasaan
personal biasanya rentan manipulasi, korupsi dan tidak terkontrol. Konsep good governance
tentu saja dimaksudkan untuk membangun sistem pemerintahan desa yang terlembaga
secara impersonal. Kepada desa harus melakukan sharing kekuasaan dan tanggunjawab
kepada elemen-elemen lainnya seperti BPD dan masyarakat desa.
Sehingga dengan adanya kekuasaan sediri tanpa ada intervensi
dari kekuasaan yang lebih tinggi, tentu pemerintahan desa dapat menyelenggarakan
kekuasaanya demi kehidupan masyarakat desanya.
12
Mewujudkan pemerintahan good governance ditingkat pemerintahan desa merupakan
tujuan dari pelaksanaan pembangunan di desa. Secara konsep terkait bagaimana good
governance menjadi sebuah gagasan dalam melakukan pembangunan pemerintahan di desa
telah diuraikan diatas. Tentu dalam pelaksanaan pembangunan di desa, Pemerintah
Indonesia memberikan anggaran dalam pembangunan ditingkat lokal. Namun dalam
penelitian ini nantinya akan melihat bagaimana desa sebagai pemerintahan yang terkecil
11
Ibid.
12
mengelola angaran-anggaran desa dalam melakukan pembangunan. Sehingga yang akan
dilihat adalah politik anggaran di desa.
Anggaran bukan sekedar masalah teknis, melainkan lebih merupakan alat politik.
Karena anggaran disusun tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan teknis ataupun melalui
hitungan-hitungan ekonomi semata, tetapi lebih dari itu anggaran disusun berdasarkan
sebuah terjemahan dari visi dan misi Kepala Desa yang terpilih di desa dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan desa. Hal ini dilihat dari yang dikemukakan
oleh Aaron Wildvsky (1961) yang menyatakan bahwa penganggaran lebih dari mengatasi
sumber daya langka antara X dan Y, tetapi yang lebih penting adalah mempertemukan
berbagai kebutuhan masyarakat yang saling berbenturan melalui proses kompromi dalam
proses politik.13
Terkait mengenai sistem anggaran desa, dapat melihat Peraturan Pemerintah Nomor
43 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang
mengatur bagaimana pengelolaan Keuangan Desa yakni penyelenggaraan kewenangan Desa
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa didanai oleh APB Desa;
Penyelenggaraan keweangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud terhadap
Penyelenggaraan kewenangan lokal berskala Desa selain didanai oleh APB Desa, juga dapat
didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja
daerah; dana anggaran pendapatan dan belanja negara dialokasikan pada bagian anggaran
kementerian/lembaga dan disalurkan melalui satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota;
13
penyelenggaraan kewenangan Desa yang ditugaskan oleh pemertintah daerah didanai oleh
anggaran pendapatan daerah dan belanja daerah.14
Untuk melihat bagaimana proses pelaksanaan Politik Anggaran dalam skala
pemerintahan desa, maka peneliti mengambil lokasi Desa yakni di Desa Martoba,
Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan judul tentu
dikarenakan adanya masalah, dimana peneliti melihat masalah pada Pembangunan di Desa
Martoba. Dimana didapati bahwa Desa Martoba tidak memiliki Kantor Kepala Desa yang
tetap/permanen, tentu ini menjadi sebuah masalah dalam pembangunan di desa. Menjadi
daya tariknya adalah, desa merupakan pemerintahan dalam skala kecil di Negara Indonesia
yang notabene merupakan sebuah sistem pemerintahan yang demokrasi layaknya negara,
hanya saja desa lebih kecil dan lebih sederhana. Tentu dalam penyelenggaraan
pemerintahannya, pemerintahan desa dimana pemimpinnya adalah Kepala Desa beserta
perangkat desa bekerja dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya membutuhkan
tempat/gedung sebagai penyelenggaraan birokrasi guna memenuhi kebutuhan administrasi
masyarakat. Sehingga dengan masalah yang muncul tersebut, peneliti ingin melihat
bagaimana proses penganggaran di Desa Martoba sehingga penelitian ini dikaji berdasarkan
Politik Anggaran di Desa tersebut.
Adapun desa-desa yang ada di Kabupaten Samosir diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Samosir Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan Desa Di Kecamatan
Simanindo, Sinajur Mula-Mula, Nainggolan, Palipi, Sitio-tio dan Kecamatan Harian.
14
Adapun bentuk dari struktur pemerintahan Desa adalah sebagai berikut:
Sumber: diolah dari berbagai sumber
B. Rumusan Masalah
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa tentu harus difasilitasi dengan
perangkat-perangkat yang mendukung pelaksanaan pembangunan di desa, dengan ketidakadaannya
Maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah bagaimana Politik Anggaran di Desa
Martoba dalam Pembangunan Desa terkait dalam ketidakpemilikan Kantor Kepala Desa
yang tetap di Desa Martoba Kecamatan Simanindo?
C. Batasan Masalah
Penelitian ini membatasi masalah yakni dimana peneliti melihat indikator ketiadaan
Kantor Kepala Desa yang tetap/permanen menjadi sebuah masalah pembangunan politik di
Desa Martoba, dimana akan melihat bagaimana Politik Anggaran yang ada di Desa
Martoba tersebut terkait Pembangunan di Desa, terkhususnya pada upaya dalam pengadaan
Kantor Kepala Desa.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan daripada penelitian ini adalah melihat bagaimana mekanisme politik dalam
menentukan anggaran di Desa Martoba.
E. Manfaat Penelitian
1. Secara Akademis, penelitian ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan di Bidang Ilmu
Politik khususnya dalam kajian mengenai Pemerintahan di Desa.
2. Secara Praktis, dapat menjadi bahan kajian dan literatur daftar kepustakaan yang hendak
meneliti mengenai Pemerintahan di Desa, dan/atau sekedar menjadikan bahan bacaan
dalam melaksanakan kegiatan di Pemerintahan di Desa .
3. Bagi Penulis, sarana pengalaman dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan melatih
untuk menulis sebuah karya ilmiah yang penting bagi akademisi terkhususnya dalam
F. Kerangka Teori
Teori dapat kita pahami sebagai generalisasi sebuah fenomena dari
interaksi-interaksi yang muncul yang menarik untuk dipahami secara konsep yang terstruktur,
menjadi sebuah alat kajian terhadap suatu peristiwa guna membantu kita dalam meliihat dan
menganalisa sebuah fenomena, dimana akan dipahami sebagai sebuah sebab-akibat terhadap
fenomena tersebut. Teori selalu memakai konsep-konsep, konsep lahir dari dalam pikiran
manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu
loncatan.15
F.1 Good Governance (Pemerintahan Yang Baik)
Tentunya teori sangat membantu peneliti dalam menganalisis masalah yang
menjadi penelitiannya. Sehingga penelitian ini, teori-teori yang digunakan untuk mengkaji
permasalahan yang diteliti oleh peneliti adalah:
Good governance atau tata pemerintahan yang baik adalah sebuah perspektif yang
relevan digunakan untuk menciptakan sebuah pembaharuan pemerintahan, termasuk juga
pemerintahan desa. Governance merupakan cara pandang baru untuk menggantikan
paradigma lama Goverment. Cara pandang Goverment secara konvensional memandang
bahwa sebuah negara adalah segala-galanya atau lembaga yang sangat kuat, sentral dan
superior. Sementara, Governance memandang bahwa negara (pemerintah) dan masyarakat
berada dalam posisi sejajar yang secara bersama-sama dan belajar mengelola pemerintahan.
Dimana perubahan peran pemerintah dalam masyarakat dan kemampuannya mewujudkan
kepentingan bersama di bawah batasan internal maupun eksternal yang merupakan jantung
15
Governance. Dapat dipahami bahwa good governance adalah melibatkan masyarakat dalam
proses pemerintah.16
Perhatian good governance adalah pengelolaan negara yang bersandar pada empat
dimensi ganda:
1. Kekuasaan-kewenangan.
2. Pertukaran-resiprositas.
3. Akuntabilitas-inovasi.
4. Kepercayaan-kerelaan.
Keempat dimensi ini tidak saja dimainkan sendiri oleh tangan-tangan negara, melainkan
melibatkan elemen-elemen masyarakat sipil, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi.17
Pandangan good governance itu juga mengedepankan beberapa argumen yang
meninjau ulang peran negara dalam mengelola masyarakat dan ekonomi. Pertama, negara
tetap menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, tetapi negara
adalah aktor setara yang mempunyai kapasitas-kapasitas memadai untuk memoblisasi
aktor-aktor masyarakat untuk mencapai tujuan besar.
Kedua, negara bukan lagi sentrum kekuasaan formal tetapi sebagai sentrum
kapasitas politik. Kekuasaan negara harus ditransformasikan dari “kekuasaan atas” (power
over) menuju “kekuasaan untuk” (power to). Ketiga, negara harus berbagi kekuasaan dan
16
Sutoro Eko, dkk. Pembaharuan Pemerintahan Desa, op. Cit. Hal. 7-8.
17
peran pada tiga level : “keatas” pada organisasi internasional; “kesamping” pada NGO dan
swasta; “kebawah” pada dan masyarakat lokal.
Keempat, negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya
agar mendorong segmen-segmen di luar negara mampu mengembangkan pertukaran dan
kemitraan secara kokoh, otonom, dan dinamis. Kelima, negara harus melibatkan
unsur-unsur masyarakat dan swasta dalam agenda pembuatan keputusan dan pemberian pelayanan
publik. Keenam, penyelenggara negara harus mempunyai kemampuan responsif, adaptasi
dan akuntabilitas publik.18
Pandangan baru tentang peran dan kapasitas negara itu merupakan basis untuk
memahami good governance. George Heyden (1992)19
1. Partisipasi warga negara dalam proses politik (partisipasi politik, agregasi politik
dan akuntabilitas publik).
, mengidentifikasikan tiga dimensi
empirik good governance:
2. Kepemimpinan yang responibel dan responsif (penghormatan terhadap warga,
keterbukaan pembuatan keputusan dan menjunjung tinggi rule of law).
3. Responsitas sosial masyarakat (kesetaraan politik, toleransi antar kelompok dan
inklusivitas keanggotaan asosiasional).
18
Sutoro Eko, dkk. Pembaharuan Pemerintahan Desa, op. Cit.
19
Good governance lebih populer dipahami sebagai pengelolaan pemerintahan yang
menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas dan responsivitas, rule of law, serta berbasis
pada partisipasi masyarakat.
F. 2 Pembangunan Politik
Beberapa pengertian mengenai pembangunan politik sebagai sebuah teori yang terus
berkembang dimana merupakan pencapaian tujuan-tujuan kebijaksanaan umum. Pertama,
pembangunan politik sebagai prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi.
Masalah-masalah pertumbuhan yang swasembada, ahli-ahli ekonomi dengan cepat menunjukkan
bahwa kondisi-kondisi sosial dan politik dapat memainkan peranan penentu yang dapat
menghalangi ataupun membantu peningkatan pendapatan per kapita. Sehingga pantaslah
bila pembangunan politik dipandang sebagai keadaan masyarakat politik yang dapat
membantu jalannya pertumbuhan ekonomi.20
Secara pelaksanaan pandangan pembangunan politik seperti itu dipandang negatif,
sebab lebih mudah bagi kira untuk dengan mengetahui prestasi sistem politik yang mungkin
menghalangi atau menggagalkan perkembangan ekonomi daripada menjelaskan bagaimana
sistem politik itu membantu pertumbuhan ekonomi itu. Pertumbuhan ekonomi bisa terjadi
dalam berbagai macam sistem politik dengan berbagai macam kebijaksanaan umum yang
ditempuh.
Kedua, pembangunan politik sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat
industri. Dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi, menyangkut pandangan abstrak mengenai
20
jenis khas kehidupan politik yang mendasari masyarakat industri maju. Asumsinya adalah
bahwa kehidupan masyarakat industri menciptakan tipe kehidupan politik tertentu kurang
lebih umum dan dapat ditiru oleh masyarakat maupun, baik yang sudah menjadi masyarakat
industri atau belum. Menurut pandangan ini, masyarakat industri, baik yang demokratis atau
bukan, menciptakan standar-standar tertentu mengenai tingkah laku dan prestasi politik
yang dapat menghasilkan keadaan pembangunan politik dan yang merupakan contoh dari
tujuan-tujuan pembangunan yang cocok bagi sistem politik. Dengan demikian beberapa
khas pembangunan politik merupakan pola tertentu dari tingkah laku pemerintah yang
rasionil dan bertanggung jawab, yaitu penghindaran dari tindakan yang dapat mengancam
kepentingan dari golongan masyarakat yang penting, kesadaran akan batas-batas kedaulatan
politik, penghargaan terhadap nilai-nilai administrasi yang teratur dan prosedur hukum,
pengakuan bahwa politik adalah suatu mekanisme pemcahan masalah dan bukannya tujuan
itu sendiri, penekanan pada program-program kemakmuran dan tentunya terhadap kesediaan
menerima suatu bentuk partisipasi massa.21
Ketiga, pembangunan politik sebagai modernisasi politik. Pandangan bahwa
kehidupan politik merupakan kehidupan politik yang khas dan ideal dari masyarakat industri
berkaitan erat dengan pandangan bahwa pembangunan politik sama dengan modernisasi
politik. Negara-negara maju adalah pembuat mode dan pelopor dalam hampir setiap segi
kehidupan sosial dan ekonomi, karena itu dapat dimengerti bila banyak orang yang
mengharapkan bahwa hal seperti itu terjadi juga dalam dunia politik.22
21
Ibid.
22
Keempat, pembangunan politik sebagai pembangunan adminstrasi dan hukum.
Tentu saja tidak ada negara yang disebut maju, jika negara sama sekali tidak memiliki
kesanggupan untuk menangani masalah-masalah masyarakat secara efektif. Sehingga tidak
hanya perbaikan dari segi adminisrasi, dan apabila administrasi saja yang dianggap penting,
tentu akan menimbulkan ketimpangan dalam kehidupan politik yang dapat menghalangi
pembangunan politik. Pembangunan politik yang hanya diartikan sebagai perbaikan
administrasi akan melupakan sama sekali pendidikan kewarganegaraan dan partisipasi
masyarakat, dimana dua hal ini jelas merupakan segi-segi penting pembangunan politik.23
Keenam, pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi. Dimana dimaksudkan
bahwa pembentukan lembaga-lemabaga dan praktek-praktek demokratis. Umumnya, asumsi
bahwa satu-satunya bentuk pembangunan politik yang bermakna adalah pembinaan
demokrasi. Bahkan ada orang yang menekankan pentingnya hubungan ini dan berpendapat
bahwa pembangunan baru bermakna bila dikaitkan dengan suatu ideologi tertentu, apakah
itu demokrasi, komunisme, ataupun totaliterisme.24
Ketujuh, pembangunan politik sebagai stabilitas dan perubahan teratur. Pandangan
ini dapat dibatasi terutama pada dunia politik sebab suatu masyarakat yang proses politiknya
secara rasionil dan terarah mampu menyelenggarakan dan mengendalikan perubahan sosial,
dan bukan hanya menanggapinya saja, jelas lebih maju dari pada masyarakat yang proses
politiknya merupakan korban kekuatan sosial dan ekonomi yang mengendalikan nasib
rakyatnya. Kita dapat memandang pembangunan politik tergantung pada kesanggupan
23
Ibid. Hal. 10.
24
untuk mengendalikan atau dikendalikan oleh perubahan sosial. Tolak ukur untuk
mengendalikan kekuatan-kekuatan sosial itu adalah kesanggupan untuk memelihara
ketertiban.25
Kedelapan, pembangunan politik sebagai mobilisasi dan kekuasaan. Pandangan ini
membawa kita pada konsep bahwa sistem-sistem politik dapat dinilai dari sudut tingkat atau
kadar kekuasaan yang dapat dimobilisir oleh sistem itu. Beberapa sistem yang bisa atau
tidak bisa menciptakan kestabilan tampaknya akan berjalan dengan kadar kekuasaan yang
amat kecil dan para pembuat keputusan yang berwenang hampir tak berdaya sama sekali
untuk memprakarsai dan mencapai tujuan-tujian kebijaksanaan umum. Bila pembangunan
politik diartikan sebagai mobilisasi dan peningkatan kekuasaan dalam masyarakat, dapatlah
kita membedakan antara tujuan pembangunan kekuasaan dengan ciri-ciri yang biasanya
diletakkan pada pembangunan. Ciri-ciri tersebut dapat diukur dan tentunya bisa disusun
indeks-indeks pembangunan. Item-item dalam indeks seperti itu bisa meliputi: pengaruh dan
penetrasi media massa yang diukur berdasar sirkulasi surat kabar dan distribusi pemilikan
radio basis perpajakan masyarakat, proporsi orang yang duduk dalam pemerintahan dan
distribusinya dalam berbagai kategori kegiatan, proporsi dari alokasi sumber-sumber untuk
pendidikan, pertahanan, dan kesejahteraan sosial.
Kesembilan, pembangunan politik sebagai suatu segi proses perubahan sosial yang
multidimensi. Pandangan bahwa pembangunan politik bagaimanapun juga punya hubungan
erat daris segi-segi perubahan sosial dan ekonomi yang lain. Setiap item yang mungkin
relevan dalam menerangkan potensi kekuasaan suatu negara tentu juga akan mencerminkan
25
keadaan ekonomi dan tatanan sosialnya. Selanjutnya bisa ditambahkan argumen bahwa
tidak perlu dan tidak wajar untuk mencoba mengisolir sama sekali pembangunan politik dari
bentuk pembangunan lainnya. Meskipun secara terbatas dunia politik hanya bisa dipisahkan
dari masyarakat, namun pembangunan politik hanya bisa berjalan dalam konteks proses
perubahan sosial yang multidimensi di mana tidak ada bagian atau sektor masyarakat yang
terlalu jauh tertinggal.26
F.3 Politik Anggaran
Menurut Mulyadi (1993), pengertian anggaran adalah suatu rencana kerja yang
dinyatakan secara kuantitatif yang diukur dalam satuan moneter standar dan satuan lain
yang mencakup jangka waktu satu tahun.27 Dan menurut Edwards (1959), istilah anggaran
dalam Bahasa Inggris adalah budget berasal dari Bahasa Perancis “bougette” yang berarti
tas kecil. Secara historis istilah itu muncul merujuk pada peristiwa tahun 1733 ketika
Menteri Keuangan Inggris menyimpan proposal keuangan pemerintah yang akan dilaporkan
kepada parlemen dalam sebuah tas kulit kecil. Anggaran umumnya dibuat dalam jangka
pendek, yaitu dalam durasi waktu satu tahunan atau kurang. Namun tidak jarang juga
dijumpai anggaran yang dibuat dalam jangka menengah (2-3 tahun) dan anggaran jangka
panjang (3 tahun lebih).28
Politik berasal dari Bahasa Yunani “polis” berarti “kota” atau “negara kota”. Dari kata
26
Ibid. Hal. 15.
27
Nanda Hapsari A. R. 2011. Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial Dengan Komitmen Organisasi Dan Locus Of Control Sebagai Variabel Moderating.
http://eprints.undip.ac.id/26440/2/jurnal.pdf diakses tanggal 30 Mei 2014. Pukul : 19:59 WIB. Hal. iv.
28
berarti “kewarganegaraan”.29 Berkaitan dengan Politik Anggaran terdapat beberapa definisi
yaitu antara lain30
a. Politik anggaran adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang
mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya;
bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan didistribusikan; siapa yang
diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk
penyimpangan negatif maupun untuk peningkatan pelayanan publik. :
b. Politik anggaran adalah proses saling mempengaruhi di antara berbagai pihak yang
berkepentingan dalam menentukan skala prioritas pembangunan akibat terbatasnya
sumber dana yang tersedia.
c. Politik anggaran adalah proses mempengaruhi kebijakan alokasi anggara yang
dilakukan oleh berbagai pihak yang berkepentingan dengan anggaran.
d. Politik anggaran adalah proses penegasan kekuasaan atau kekuatan politik antara
berbagai pihak yang terlibat dalam penentuan kebijakan maupun alokasi anggaran.
Maka dalam hal melihat bagaimana politik anggaran, peneliti menggunakan
pemahaman anggaran menurut Musgrave, dimana Ia telah menidentifikasikan tiga fungsi
anggaran :
1. Pertama, fungsi alokasi. Anggaran merupakan instrumen pemerintah dalam
penyediaan barang dan jasa masyarakat, dalam konteks Indonesia fungsi alokasi
29
Rudi Salam Sinaga, S.Sos. M.Si. 2013. Pengantar Ilmu Politik Kerangka Berpikir Dalam Dimensi Arts, Praxis Dan Policy. Yogyakarta : Graha Ilmu. Hal. 1.
30
sering disebut “belanja publik”, karena alokasi anggaran untuk memenuhi pelayanan
publik seperti kesehatan, pendidikan, perumahan.
2. Kedua, fungsi distribusi. Anggaran merupakan instrumen untuk membagi
sumberdaya dan pemanfaatannya kepada masyarakat secara adil. Fungsi ini
bertujuan untuk menanggulangi kesenjangan sosial-ekonomi.
3. Ketiga, fungsi stabilisasi. Penerimaan dan pengeluaran negara tentu akan
mempengaruhi agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Anggaran menjadi
instrumen untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
ekonomi yaitu penciptaan lapangan pekerjaan.31
G. Metodologi Penelitian
G.1 Metode Penelitian
Dalam memahami permasalahan penelitian ini digunakan metodologis yang
deskriptif (menggambarkan atau melukiskan). Penelitian deskriptif adalah cara dalam
memelihat dan memecahkan masalah dengan melihat data dan fakta dari fenomena dimasa
kekinian. Kemudian data dan fakta dianalisa dengan mendeskripsikan, menggambarkan atau
melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fenomena yang terjadi.
G.2 Lokasi Peneltian
Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Desa Martoba, Kecamatan Simanindo,
Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.
31
G.3 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dimana peneliti berupaya
menggambarkan data yang diperoleh berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang diamati. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, dimana
pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan dan syarat tertentu yang ditetapkan
berdasarkan tujuan dan masalah penelelitian. Oleh karen itu dibutuhkan informan kunci
(key informan) yakni Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Masyarakat, dengan wawancara
dimana pertanyaan-pertanyaan wawancara yang telah disusun.
G.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan data
primer dan data sekunder.
a. Data Primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan. Dilakukan
dengan metode wawancara mendalam yang di pandu dengan pedoman wawancara
berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan masalah penelitian
Kepala Desa : Bapak Nasib Silalahi
Mantan Kepala Desa : Bapak Jaoloan Silalahi
b. Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh baik yang belum di olah maupun
yang telah di olah baik dalam bentuk angka maupun uraian. Data diperoleh dari
literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel,
G. 5 Teknik Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penyusunan data penelitian ini adalah teknik
analisa kualitatif, dimana hasil analisa berdasarkan data yang diperoleh dari data primer dan
data sekunder. Analisa yang dilakukan berdasarkan data deskriptif dari lapangan dimana
data diperoleh kejelasan dan permasalahan telah dirumuskan sebelumnya, kemudian
dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.
H. Sistematikan Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang pemilihan
judul dan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, metodologi penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Pada bab ini akan menguraikan gambaran lokasi penelitian sebagai sumber
penelitian studi analisis yaitu Desa Tolping, Kecamatan Simanindo,
Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.
BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
Pada bab ini akan memuat data dan analisa data yang di dapat dari hasil
penelitian yang dilakukan terkait permasalahan yang menjadi masalah