A. Latar Belakang
Semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, tentu membuat modus
kejahatan dan pelarian dalam dunia kejahatan semakin beragam. Bentuk-bentuk
kejahatan mengalami berbagai perkembangan, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Banyak jenis kejahatan yang semula sukar untuk dilakukan, dengan
kemajuan teknologi informasi menjadi hal yang mudah dilakukan oleh siapa saja.
Pada saat ini para pelaku kejahatan dapat melakukan kejahatan dan pelarian dari
suatu negara menuju ke negara lainnya dengan sangat mudah.
Kondisi yang mengkhawatirkan sebagai dampak dari perkembangan
teknologi infomasi adalah lingkup kejahatan tidak hanya terbatas pada lingkup lokal
atau nasional saja, tetapi telah menjangkau lingkup internasional. Kejahatan yang
menjangkau lingkup internasional inilah yang disebut dengan kejahatan
transnasional. Dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional pada
dasarnya amat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan dalam proses penegakan hukum
terhadap kejahatan transnasional memerlukan kerjasama antar negara yang terlibat
dalam kasus kejahatan transnasional yang bersangkutan.
Kerjasama antar negara tersebut dapat berupa perjanjian. Kerjasama antar
negara dalam bentuk perjanjian disebut perjanjian internasional. Dalam hal ini
kejahatan transnasional antara lain adalah perjanjian ekstradisi. Perjanjian ekstradisi
merupakan dasar dari permintaan dan penyerahan seorang tersangka kejahatan
transnasional oleh negara yang mengajukan permohonan ekstradisi. Ekstradisi sendiri
adalah penyerahan seorang tertuduh atau seorang terhukum oleh suatu negara di
wilayah mana ia suatu waktu berada kepada negara tempat ia disangka melakukan
atau telah dihukum karena berbuat kejahatan.1
Selain itu ekstradisi bertujuan untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat
tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan dan pemidanaan karena seringkali
suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat
tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan
oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas
penjahat tersebut. Penjahat harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau
diserahkan kepada negara yang dapat dan mau memidananya (aut punier aut dedere). Kecuali dari itu negara yang wilayahnya merupakan tempat dilakukannya kejahatan
adalah yang termampu mengadili penjahat karena di tempat tersebut bukti-bukti
dapat diperoleh dengan lebih bebas, dan negara tersebut mempunyai kepentingan
terbesar dalam memidana penjahat tersebut serta mempunyai fasilitas terbesar untuk
mencapai kebenaran.
2
1 Fika Habbina, Urgensi Pembentukan Konvensi Ekstradisi ASEAN Sebagai Upaya Preventif dan Represif Kejahatan Transnasional di Asia Tenggara, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012, Hal. 4.
2 J. G. Starke, An Introduction to International Law, (London,Butterwordhs & Co (Publisher), 4th Edition)) 1958, Hal. 261.
Pada umumnya, ekstradisi sebagai tujuan politik dan
dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana
negara pemohon ekstradisi tersebut dapat diterapkan terhadap para penjahat yang
melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang
penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan.3
Secara umum terdapat dua alasan bagi suatu negara untuk melakukan
ekstradisi, pertama goodwill dan keprihatinan internasional. Suatu perjanjian ekstradisi yang terjadi antara negara yang tidak mempunyai perjanjian hanya terjadi
karena komitmen internasional, kedua, komitmen dimungkinkan karena adanya
perjanjian antar negara.4 Dalam ekstradisi, penyerahan seorang tersangka kejahatan
transnasional hanya dapat terjadi apabila telah ada pengajuan permohonan untuk
menyerahkan oleh negara pemohon kepada negara yang dimohonkan. Penyerahan
dan permohonan itu haruslah berdasarkan pada perjanjian ekstradisi antara
masing-masing pihak, karena menurut hukum internasional jika tidak ada perjanjian,maka
negara tidak mempunyai kewajiban untuk mengekstradisi pelaku kejahatan5
3 Rakmad Saddam, Lembaga Ekstradisi sebagai Suatu Sarana dalam Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Korupsi Ditinjau dari Hukum internasional, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012, Hal. 9.
4 Shaufy Rahmi, Tinjauan Yuridis terhadap Persetujuan antara Republik Indonesia dan Hongkong Special Administrative Region di Bidang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana ,Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010, Hal. 22.
5 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Pidana Internasional (Ekstradisi), PT TataNusa, Jakarta, 2010, Hal. 4.
.
Penyerahan ini merupakan intervensi yang cukup besar terhadap kebebasan dari
kepentingan umum setiap negara dalam memerangi kejahatan dan menghapuskan
perlindungan terhadap buronan.6
“Sifat dari ekstradisi merupakan proses hukum yang dilakukan oleh dan antara dua atau lebih negara berdasarkan hukum internasional, dan hukum nasional dari setiap negara yang terlibat. Hal tersebut hanya merupakan bagian dari proses politik antar pemerintah. Implikasi dari konsepsi itu adalah bahwa individu hanya merupakan objek dan bukan subjek dari proses hukum. Sebagai konsekuensi dari konsepsi ini, individu yang menjadi subjek dari proses tersebut tidak akan memiliki hak untuk mengklaim terhadap negara masing-masing (negara-peminta dan negara yang diminta) kecuali masing-masing negara yang bersangkutan akan mengakui pandangan modern, bagaimanapun juga, bahwa individu adalah subjek hukum yang berhak untuk mengklaim dan menegaskan hak-hak yang diberlakukan untuk keuntungan mereka dari hukum internasional, perjanjian yang berlaku, termasuk perjanjian ekstradisi, dan huku m nasional termasuk hak konstitusional.
Selain itu, Menurut Cherif Bassiouni,
7
Oleh karena itu dapat diakui bahwa ekstradisi adalah merupakan suatu
lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas suatu tindak kejahatan.
Hal ini hanya dapat diwujudkan jika adanya hubungan yang baik antara
negara-negara di dunia, sehingga dapat lebih memudahkan di dalam pelaksanaan kerjasama
antar negara dan dapat mempercepat penyerahan penjahat pelarian dari suatu negara
ke negara lain. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya,
dimana antara negara si pelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri
saling bermusuhan, sehingga akan sangat sulit untuk melakukan suatu perjanjian dan
penyerahan penjahat yang melarikan diri ke negara tersebut.8
6 Robert Cryer, An Introduction to International Criminal Law and Procedure, Cambridge University Press, New York, 2007. Hal. 79.
7 M.Cherif Bassiouni, International Criminal Law, Volume II: Procedure, Transnational Publisher, New York, 1986. Hal 406.
8 Rakhmad Saddam, Op. Cit. Hal. 8.
Perjanjian ekstradisi sendiri tidak hanya dikenal dalam bentuk hubungan
bilateral antara dua negara saja. Ada juga perjanjian ekstradisi yang bersifat regional
meliputi suatu kawasan yang terdiri dari beberapa negara atau sering juga disebut
multi-regional. Beberapa negara di dunia sudah menerapkan konvensi ekstradisi
untuk kawasannya. European Union telah menerapkan European Convention on Extradition, 1957. Amerika juga menerapkan melalui Inter-American Convention on Extradition, 1981.9
Mutual Legal Assistance atau Perjanjian Saling Bantuan Hukum adalah perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi
dalam upaya menegakkan hukum pidana. Bantuan ini dapat berlangsung berupa
memeriksa dan mengidentifikasi orang, tempat dan sesuatu, transfer custody, dan memberikan bantuan dengan immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal. Bantuan mungkin ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan perjanjian rincian) untuk
politik atau alasan keamanan, atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak Namun apabila penyerahan pelaku kejahatan transnasional yang bersangkutan
tidak dapat dilakukan oleh karena tidak adanya perjanjian ekstradisi yang dapat
dijadikan dasar dalam pelaksanaan proses penyerahan tersebut maka proses
penyerahan tersebut dapat didasarkan pada asas timbal balik yang telah disepakati.
Asas timbal balik yang telah disepakati tersebut disebut Mutual Legal Assistance.
dihukum sama di kedua negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan
dengan bantuan hukum bagi warga negara di negara-negara lain.10
Mutual Legal Assistance pada dasarnya merupakan suatu bentuk perjanjian timbal balik dalam masalah pidana. Pembentukan Mutual Legal Assistance
dilatarbelakangi adanya kondisi faktual bahwa sebagai akibat adanya perbedaan
sistem hukum pidana diantara beberapa negara mengakibatkan timbulnya
kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Seringkali masing-masing negara
menginginkan penggunaan sistem hukumnya sendiri secara mutlak dalam
penanganan kejahatan, hal yang sama terjadi pula pada negara lain sehingga
penahanan kejahatan menjadi lambat dan berbelit-belit.
11
Objek Mutual Legal Assistance antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi
keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan
penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil aset hasil kejahatan, serta
mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau
membantu penyidikan di negara-peminta Mutual Legal Assistance. Terdapat tiga alasan bagi suatu negara untuk melaksanakan Mutual Legal Assistance yaitu dua diantaranya sama dengan ekstradisi, dan yang ketiga adalah adanya persetujuan
10 Mekar Sinurat, “Perbandingan Ekstradisi dan MLA”, http://mekar-sinurat.blogspot.com /2009/10/perbandingan-ekstradisi-dan-mla.html , diakses pada 18 April 2014
internasional dengan interpol yang dilakukan oleh pihak kepolisian suatu negara.12
Dalam prakteknya, pelaksanaan Mutual Legal Assistance di antara negara-negara didasari pada beberapa prinsip penting, antara lain: prinsip kerjasama, prinsip
reciprocity (timbal balik) atas dasar hubungan baik, instrumen hukum Mutual Legal Assistance.13
Mutual Legal Assistance muncul sebagai salah satu upaya dalam mengatasi dan memberantas berbagai kejahatan yang sifatnya lintas batas (transnasional). Hal
ini sangat wajar terjadi, mengingat terhadap kejahatan yang dimensinya nasional,
dalam pengertian dampak dari kejahatan tersebut sifatnya nasional, dan pelaku
kejahatan hanya warga negara setempat, cukup ditangani secara nasional tanpa perlu
melibatkan negara lain.14 Mutual Legal Assistance ini sangat dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional dan konvensi PBB misalnya, dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerjasama internasional antara lain dalam bentuk Mutual Legal Assistance
guna memberantas korupsi.15
Mutual Legal Assistance pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral, Mutual Legal Assistance bilateral ini didasarkan pada perjanjian Mutual
12 Mekar Sinurat, Loc. Cit.
13 Nathania Dea Myrilla, “Penggunaan Mutual Legal Assistance dalam Upaya Ekstradisi”, sebagaimana dimuat dalam
14 Shaufy Rahmi, Op. Cit. Hal. 23.
Legal Assistance atau dasar hubungan timbal balik dua negara.16 Frasa timbal balik mengindikasikan bahwa bantuan hukum tersebut diberikan dengan harapan bahwa
akan adanya timbal balik bantuan dalam suatu kondisi tertentu meskipun tidak selalu
timbal balik tersebut menjadi prasyarat untuk pemberian bantuan. Supaya bantuan
hukum timbal balik itu berjalan efektif dalam hal pelacakan, pembekuan, penyitaan,
konfiskasi dan pengembalian aset seyogyanya hal tersebut didasarkan konvensi atau
perjanjian internasional yang memungkinkan terjadinya bantuan hukum timbal balik.
Untuk maksud ini, dorongan pada negara agar mengikatkan diri pada suatu perjanjian
dan/atau melakukan perjanjian regional atau bilateral.17
“ States Parties shall afford one another the widest measure of Mutual Legal Assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences covered by this Convention. Mutual Legal Assistance shall be afforded to the fullest extent possible under relevant laws, treaties, agreements and arrangements of the requested State Party with respect to
Instrumen hukum terkait dengan bantuan timbal balik yang akan dielaborasi
lebih lanjut adalah sebagai berikut :
1. United Nation Convention Against Transnational Organized crime (TOC) 2. United Nation Convention Against Corruption 2003
3. Article 46
16 Yunus Husein, Loc. Cit.
investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences for which a legal person maybe held liable in accordance with article 26 of this Convention in therequesting State Party.”
4. Treaty on Mutual Legal Assistance
5. International Convention for The Suppression of The Financing of The Terrorism.
Mutual Legal Assistance merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibentuk di antara negara-negara dalam upaya mengatasi maraknya kejahatan
transnasional terorganisasi, seperti kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan
pencucian uang (money laundering), dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap kejahatan memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance, hanya kejahatan yang berdimensi internasional serta kejahatan yang memenuhi asas
kejahatan ganda18 (double criminality) saja yang memerlukan penanganan melalui
Mutual Legal Assistance. Mutual Legal Assistance memiliki cakupan/ruang lingkup yang sangat luasmulai dari proses pencarian bukti-bukti atau keterangan-keterangan
berkaitan dengan kejahatan yang sedang diperiksa hingga pelaksanaan
putusan,sehingga hal ini akan memudahkan dalam pengungkapan berbagai bentuk
kejahatan.19
18 Asas kejahatan ganda (double criminality) adalah kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan (ekstradisi) adalah merupakan kejahatan atau peristiwa pidana menurut sistem hukum kedua pihak (negara yang meminta dan negara yang diminta), sebagaimana dimuat dalam I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, Hal. 29.
Dalam pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai
otoritas sentral (central authority) dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa penggeledahan, pemblokiran,
penyitaan, pemeriksaan surat, dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri
Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari negara lain dalam
hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau
berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama,
ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama MLA
dapat dilakukan, baik melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur Central Authority. Ada juga negara yang melakukan kerja sama MLA hanya melalui jalur diplomatik, seperti Malaysia.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang ekstradisi?
2. Bagaimana pelaksanaan ekstradisi menurut hukum internasional?
3. Bagaimana penyelesaian ekstradisi Alberto Fujimori menurut hukum
internasional?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
2. Untuk mengetahui pelaksanaan ekstradisi menurut hukum internasional.
3. Untuk mengetahui penyelesaian ekstradisi Alberto Fujimori menurut hukum
internasional.
Manfaat penulisan skripsi ini adalah :
a. Manfaat teoritis
1. Untuk memberikan informasi mengenai aspek hukum internasional dalam
penyelesaian kasus ekstradisi Alberto Fujimori.
2. Untuk menambah bahan pustaka bagi penelitian di bidang yang sama yakni
pengaturan hukum internasional tentang pelaksanaan ekstradisi, khususnya
dalam masalah penyelesaian kasus ekstradisi Alberto Fujimori.
b. Manfaat praktis
Untuk menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam memahami upaya
penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional serta menjadi upaya preventif
bagi masyarakat untuk tidak meniru Alberto Fujimori sebagai pelaku kejahatan
transnasional
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “Aspek-Aspek Hukum Internasional Tentang
Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru)”.
Penulisan skripsi tentang ekstradisi telah beberapa kali dilakukan oleh
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul yang
Ekstradisi Augusto Pinochet (Mantan Presiden Chili). Persamaan dengan penulisan
ini adalah bahwa objek penulisan sama-sama mengenai aspek-aspek hukum
internasionnal tentang seseorang. Perbedaannya adalah pada orang yang dijadikan
subjek penulisan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penulisan ini
berbeda dengan penulisan sebelumnya.
E. Tinjauan Kepustakaan
Kejahatan Transnasional (Transnational Crime) adalah tindakan yang memiliki dampak lebih dari satu negara, melibatkan atau memberikan dampak
terhadap warga negara lebih dari satu negara,sarana dan prasarana serta metode yang
digunakan melampaui batas territorial suatu negara. Jenis kejahatan yang bersifat
lintas batas negara berkembang mulai dari kejahatan internasional (international crimes), kejahatan transnasional (transnational crimes), sampai kejahatan lintas batas yang terorganisir (transnational organized crimes).
Kejahatan Internasional adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam
konvensi-konvensi multilateral dan diakui oleh sejumlah negara-negara peserta,
sekalipun didalamnya terkandung salah satu.
Transnational Organized Crimes adalah kejahatan terorganisir yang dilakukan lintas batas negara dimana kejahatan tersebut dilakukan lebih dari satu
negara; dilakukan di satu negara namun bagian penting seperti persiapan,
dari negara lain di lebih dari satu negara atau dilaksanakan di satu negara tetapi
berdampak pada negara lain.
Oleh karena setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada
dalam batas negaranya berdasarkan prinsip sovereignty, maka dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional diperlukan kerja sama antar
negara untuk menanggulanginya. Kerja sama ini diperlukan karena setiap negara
tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan tersangka pelaku kejahatan kepada
negara asing. Kerjasama antar negara ini disebut perjanjian internasional.
Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu,
yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan
hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Salah satu jenis perjanjian internasional yang dapat dipergunakan untuk
menanggulangi kejahatan transnasional adalah perjanjian mengenai ekstradisi. .
Menurut I Wayan Parthiana SH:
”Ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik atas, atas seseorang yang tertuduh (terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang telah dilakukannya (terhukum,terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut,dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumnya.”20
Sedangkan menurut L.Oppenheim :
“Ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan.”21
“Mutual Legal Assistance adalah Perjanjian yang bertumpu pada pada permintaan bantuan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan lain-lain, dari negara-diminta dengan negara-peminta.”
Secara sederhana, ekstradisi merupakan bentuk kerja sama antar negara
berkaitan dengan pemberantasan kejahatan lintas batas negara (transnasional) dengan
cara pengembalian tersangka, terdakwa, terpidana kepada negara yang memiliki
yurisdiksi terhadap tersangka, terdakwa maupun terpidana tersebut. Hal ini
merupakan bentuk dari aspek formal prosedural dari hukum internasional. Tujuan
utama dari lembaga ekstradisi adalah mempelajari perilaku masyarakat internasional,
yaitu perilaku para aktor (negara maupun non-negara) di dalam area transaksi
internasional.
Selain ekstradisi, Mutual Legal Assistance juga dapat dipergunakan untuk menanggulangi kejahatan transnasional. Mutual Legal Assistance merupakan perjanjian saling bantuan hukum antar negara dalam masalah pidana dimana
negara-negara dapat bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana.
Menurut Siswanto Sunarso:
22
Dalam Chapter VIII International Legal Cooperation-United Nations of Drugs and Crime (UNODC) Toolkit, Mutual Legal Assistance diartikan sebagai proses kerjasama internasional dimana negara-negara meminta dan menyediakan
bantuan dalam mengumpulkan bukti yang akan digunakan dalam penyelidikan dan
pengadilan kasus pidana, dan dalam melacak, membekukan, menyita dan akhirnya
menyita kekayaan yang berasal dari perbuatan pidana.
Dalam prakteknya pelaksanaan Mutual Legal Assistance diantara negara-negara didasari beberapa prinsip penting antara lain prinsip kerjasama dan prinsip
reciprocity (timbal balik) atas dasar hubungan baik. Prinsip kerjasama atau kerjasama internasional dalam kasus-kasus khusus merujuk pada kerjasama hukum atau
kerjasama peradilan. Prinsip kerjasama biasanya diatur oleh perjanjian atau instrumen
hukum legal diantara beberapa negara, atau pengaturan khusus diantara dua negara.
Kerjasama yang diatur dalam perjanjian berbeda-beda, terkadang hanya menetapkan
hal-hal umum, namun juga berkemungkinan untuk mengatur masalah pidana khusus
seperti narkotika, korupsi sesuai kesepakatan negara-negara.
Prinsip reciprocity (timbal balik) atas dasar hubungan baik pada umumnya didasarkan pada hukum acara pidana, perjanjian yang dibuat antar negara, konvensi
serta kebiasaan internasional. Namun, kesepakatan serta kerjasama negara-negara
dalam memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana tidak selalu dituang
dalam sebuah perjanjian formal, hubungan baik antara negara-negara sering kali
dijadikan dasar diberikannnya bantuan timbal balik, walaupun sebelumnya belum ada
Dalam melaksanakan bantuan timbal balik dalam masalah pidana, terdapat
aspek-aspek penting yang mendasari dilakukan kerjasama negara-negara, yakni:
sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang mendukung proses penegakan
hukum, sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang lahir dari hubungan antar
negara yang menekankan pada prinsip kerjasama, hubungan antara kewenangan
penegak hukum yang lebih sistematik dan upaya untuk menerapkan sistem bantuan
timbal balik sebagai upaya pemberantasan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sistem bantuan timbal balik yang menekankan pelaksanaannya pada perjanjian dan
resiprositas sebagai perwujudan good governance.23
F. Metode Penelitian
Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan suatu metode
yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami
objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah
pedoman-pedoman, cara seseorang mempelajari dan memahami
lingkungan-lingkungan yang dihadapi sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk
mendapatkan data yang valid dan relevan dengan judul dan tujuan penulisan skripsi
ini, maka penulis berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan data-data yang valid
dan relevan sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam
penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
melalui metode penelitian hukum yuridis normatif atau disebut juga dengan studi
kepustakaan (library research) yang berhubungan dengan penulisan ini. Penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian hukum dengan hanya mengolah dan
menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan ekstradisi Alberto Fujimori.
Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir
dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang
sudah dibuktikan kebenarannya dan kesimpulan itu ditujukkan untuk sesuatu yang
sifatnya khusus). Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang
bersifat deskriptif, yaitu peneltian untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang suatu gejala atau fenomena, dalam hal ini adalah kasus ekstradisi Alberto
Fujimori.
2. Sumber Data
Data yang diperlukan adalah data sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu
bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti
hasil-hasil penelitian dan tulisan para ahli hukum, buku-buku, pendapat para sarjana
yang berhubungan dengan skripsi ini. Materi skripsi ini diambil dari data-data
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan dasar, dan
yurisprudensi tentang ekstradisi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti buku-buku tentang ekstradisi dan peraturannya, jurnal-jurnal,
majalah dan surat kabar serta media internet yang memuat artikel tentang ekstradisi
Alberto Fujimori.
c. Bahan Huku m Tertier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. Analisis Data
Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data secara
kualitatif, yakni data yang ada adalah data yang digambarkan dalam kalimat, tidak
ada unsur angka tetapi tidak mengurangi validitas data tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan atau gambaran isi yang dimaksud adalah
mengemukakan garis-garis besar dari uraian skripsi. Pembahasan skripsi ini, secara
garis besar akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan masalah-masalah
bab dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan
kebutuhan penulisan skripsi ini. Maka akan mempermudah pemahaman pembaca
untuk mengetahui inti pembahasan secara keseluruhan. Sistematika penulisan skripsi
ini, yakni:
BAB I : Bab pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang
pemilihan judul skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Menguraikan tentang sejarah ekstradisi, asas-asas ekstradisi, dan
pengaturan hukum internasional tentang ekstradisi.
BAB III : Menjelaskan mengenai jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisi,
syarat-syarat pelaksanaan ekstradisi, dan pelaksanaan ekstradisi
menurut hukum internasional.
BAB IV : Membahas tentang latar belakang kasus Alberto Fujimori, penolakan
ekstradisi Alberto Fujimori oleh Jepang ditinjau dari hukum
internasional, dan penyelesaian kasus ekstradisi Alberto Fujimori
ditinjau dari hukum internasional.
Bab V : Berisi kesimpulan dari uraian jawaban rumusan masalah yang
dibahas dalam skripsi ini dan berisi saran dari penulis terhadap