Sejarah surat utang negara
Pada awalnya, Pemerintah Orde Lama menerbitkan empat jenis obligasi negara ritel tahun 1946, 1950 dan 1959. Ketika keadaan politik dan situasi keamanan ibu kota Jakarta genting akibat serangan sekutu akhir 1945, pemerintah memutuskan memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta. Di kota kesultanan inilah, dirancang penerbitan obligasi nasional Republik Indonesia berjangka waktu 40 tahun. Dalam sebuah buku yang diterbitkan Bank Indonesia dipaparkan obligasi RI pertama itu diterbitkan bulan Mei 1946. Tujuannya, mengumpulkan dana masyarakat untuk perjuangan. Masyarakat kala itu antusias sekali membeli obligasi negara karena idealisme kemerdekaan yang masih tinggi. Dana hasil penerbitan obligasi nasional 1946 digunakan untuk membiayai sektor pertanian dan kerajinan rakyat. Konon, upaya tersebut sukses pula meredam inflasi.
Ketika terjadi defisit hebat di tahun 1950, pemerintah mengambil kebijakan pengguntingan uang. Separuh mata uang dipakai sebagai alat pembayaran, dan separuh lainnya ditukar dengan obligasi pemerintah yang kemudian dinamakan Obligasi RI 1950. Sembilan tahun kemudian, pemerintahan Presiden Soekarno kembali menerbitkan obligasi. Ada dua obligasi yang didistribusikan ke rakyat di tahun 1959, yaitu Obligasi Konsolidasi 1959, dan Obligasi Berhadiah 1959 senilai Rp 2 juta. Penerbitan Obligasi Konsolidasi dilakukan untuk menggantikan uang rakyat yang dibekukan di bank-bank pemerintah. Sementara Obligasi Berhadiah lebih bersifat sukarela sebagai dana pembangunan. Obligasi Berhadiah berjangka waktu 30 tahun ini yang kemudian banyak dibeli pemodal individu dalam negeri. Pada tahun-tahun pertama, Obligasi Berhadiah lancar memberikan kupon tiap tahun-tahun kepada pemiliknya.
Namun lama kelamaan, karena bentuknya masih fisik dan sudah berpindah-pindah tangan, keberadaan obligasi-obligasi ini tidak jelas lagi. Salah seorang cucu pemilik Obligasi Berhadiah 1950 menyebutkan, lama kelamaan obligasi negara ini tak bisa diuangkan. Ia mewarisi beberapa lembar obligasi dari sang Ayah yang juga mewarisinya dari sang kakek. Hingga Obligasi tahun 1950 jatuh tempo tahun 1980-an, tidak ditemukan data akurat siapa saja pemiliknya. Dana pengembaliannya pun saat jatuh tempo tak tersosialisasi dengan baik. Banyak yang akhirnya memvonis obligasi-obligasi negara Orde Lama itu default alias gagal menebus kembali utangnya kepada rakyat.