• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN KETENAGA KERJAAN PROPINSI BALI. Ir. SINAR INDRA Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN KETENAGA KERJAAN PROPINSI BALI. Ir. SINAR INDRA Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN KETENAGA KERJAAN PROPINSI BALI

Ir. SINAR INDRA Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

SDM (Human Resources) mengandung pengertian: SDM adalah usaha kerja untuk jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi dalam hal ini, SDM merefleksikan adanya kualitas usaha yang diberikan oleh SDM, baik secara individu maupun kelompok pada waktu dan tempat tertentu dalam menghasilkan barang dan jasa. Pengertian waktu dapat dibedakan oleh shift sedangkan pengertian tempat dapat dibedakan atas jenis lapangan kerja. Waktu kerja untuk shift kerja memberikan konsekuensi-konsekuensi yang dapat berbeda-beda sesuai dengan sifat daripada waktu tertentu, maka berkaitan dengan tempat, lapangan kerja, jenis maupun lokasi sangat menentukan sistem pengupahan, tuntutan kualifikasi SDM dan biaya yang lain sebagai konsekuensi dari pada tempat dan jenis lapangan kerja.

Contoh, sektor pertanian, perkebunan akan memberikan sistem pengupahan yang berbeda dengan sektor pertanian di lahan sawah irigasi. Kita harus dapat mengusahakan agar pemanfaatan SDM sehingga ekonomi optimal dalam proses menghasilkan barang dan jasa. Pendayagunan SDM dalam proses (menghasilkan barang) dipengaruhi oleh faktor:

1. Jumlah dan kualitas

2. Faktor dan kondisi yang berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian yang secara otomatis berpengaruh kepada proses pembangunan SDM tersebut.

Dengan demikian dari pendekatan ilmu ekonomi secara umum, ekonomi SDM membicarakan:

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan dan ketersediaan tenaga kerja.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan yang kuat.

3. Dasar kerja yang mempertemukan peluang kerja dan pencari kerja 4. Masalah yang timbul dari faktor 1,2,3 di atas.

5. Alternatif kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.

6. Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan UU, PP, dan lain-lain.

(2)

Pengertian TK untuk man power di Indonesia menggunakan pendekatan TK penduduk yang sudah untuk sedang bekerja. Yang sedang mencari kerja, melakukan kegiatan di sekolah dan mengurus RT. Pencari kerja sedang bersekolah dan mengurus RT walaupun sedang tidak bekerja diasumsikan fisik maupun dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja.

Pengertian TK dan pendekatan umum berbeda-beda dari suatu negara ke negara lain dengan batas 14-60 tahun diluar itu bukan TK. A.S menggunakan batas umur 14 tahun tanpa batas umur max, tahun 1967 batas umur diubah menjadi 16 tahun. Indonesia memilih 10 tahun tanpa batas umur max, berarti persentase bukan TK di Indonesia secara proporsional lebih kecil dibandingkan dengan India dan A.S. Pemilihan batas umur agar pendefinisian diberikan terhadap kelompok TK sedang bukan TK jelas akurat untuk Indonesia, pemilihan 10 tahun sebagai batas umur misalnya karena berdasarkan empiris di daerah pedesaan. Sudah banyak penduduk muda ikut bekerja dan mencari pekerjaan.

(3)

GAMBARAN KETENAGAKERJAAN NASIONAL

Berdasarkan hasil pencacahan penduduk tahun 1990, penduduk Indonesia pada tahun tersebut mencapai 179.321.641 orang. Jumlah ini termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal secara tetap seperti tunawisma, awak kapal, penghuni rumah perahu, dan masyarakat terpencil yang jumlahnya diperkirakan sebanyak 127.418 orang.

Dengan demikian maka jumlah penduduk yang bertempat tinggal secara tetap yang dirinci menurut daerah tingkat I (propinsi) seperti di bawah ini adalah sejumlah 179.194.223 orang. Dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk tahun 1980, dimana penduduk Indonesia berjumlah 147.331.823 orang (tidak termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap), maka dalam kurun waktu sepuluh tahun tersebut terdapat pertambahan penduduk sebanyak 31.862.400 orang, rata-rata sejumlah 3.186.240 orang per tahun. Ini berarti bahwa laju pertumbuhan rata-rata dalam periode 1980-1990 adalah sebesar 1,89 persen per tahun.

Persentase ini lebih rendah 0,34 persen bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan pada dekade sebelumnya (1971-1980) sebesar 2,32 persen per tahun. Pendataan Sensus Penduduk 1990 memperlihatkan pula, bahwa jumlah dan pertumbuhan penduduk di masing-masing daerah tingkat I cukup bervariasi mulai dari yang baru 747.557 orang sampai berpenduduk 35.378.483 orang dan dengan pertumbuhan penduduk dari 0,58 persen sampai 4,4 persen per tahun.

Dari 27 daerah tingkat I di Indonesia terdapat tiga daerah yang mencatat pertumbuhan cukup tinggi yaitu 4 persen per tahun yakni Propinsi Kalimantan Timur sebesar 4,44 persen, Propinsi Bengkulu sebesar 4,38 persen dan Propinsi Riau 4,25 persen. Sementara itu terdapat pula beberapa daerah-daerah yang laju pertumbuhan penduduknya lebih rendah dari rata-rata nasional seperti Propinsi Sumatera Barat 1,62 persen, Propinsi Jawa Tengah 1,18 persen, Propinsi Jawa Timur 1,08 persen, Propinsi Bali 1,08 persen, Propinsi Nusa Tenggara Timur 1,08 persen, Propinsi Sulawesi Utara 1,60 persen, Propinsi Sulawesi Selatan 1,43 persen dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 0,58 persen. (tabel 1)

PERSEBARAN PENDUDUK

Gambaran kependudukan Indonesia tahun 1990 memperlihatkan persebaran penduduk Indonesia sangat tidak merata. Terdapat sejumlah daerah yang penduduknya sangat padat dan ada pula sejumlah daerah yang berpenduduk jarang. Hal ini menyebabkan terdapatnya daerah-daerah yang menghadapi masalah kelebihan penduduk sementara sejumlah daerah lainnya kekurangan penduduk. Kendati demikian secara rata-rata nasional kepadatan penduduk Indonesia pada tahun 1990 masih cukup rendah yaitu 90 orang per kilometer persegi. Angka memang meningkat sebanyak 15 orang diimbangkan dengan kepadatan penduduk tahun 1980 yang baru mencapai 77 orang per kilometer persegi tetapi seperti dikemukakan di atas, persebaran penduduk

(4)

yang tidak merata menyebabkan sejumlah daerah kepadatannya jauh diatas rata-rata rasional dan jumlah besar lainnya berada di bawah angka tersebut. Sebagai gambaran perbandingan dapat diambil tingkat kepadatan penduduk pada lima pulau besar Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya memperlihatkan perbedaan yang sangat mencolok antara satu pulau dengan pulau lainnya. Pulau Jawa misalnya termasuk pula sekitarnya yang secara administratip termasuk dalam wilayah propinsi-propinsi di pulau Jawa, pada tahun 1990 mempunyai penduduk 107.517.963 orang atau 59,99 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Pada hal luas daerah ini hanyalah 130.398 kilometer persegi atau sekitar 6,69 persen dari luas daratan Indonesia. Ini berarti bahwa kepadatan penduduk di Pulau Jawa mencapai sekitar 825 orang per kilometer persegi.

Pulau Sumatera yang luasnya 481.780 kilometer (termasuk pulau-pulaunya) atau kurang lebih 24,73 persen dari luas Indonesia berpenduduk 36.420.486 orang atau 20 persen dari penduduk Indonesia. Tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini di bawah rata-rata nasional yaitu 76 orang per kilometer persegi. Kalimantan dengan luas 548.992 kilometer persegi atau 28 persen dari luas Indonesia pada tahun 1990 baru berpenduduk 9.102.906 orang atau 5 persen dari jumlah seluruh penduduk dengan luas wilayahnya memperlihatkan bahwa kepadatan di pulau ini hanya 16 orang per kilometer persegi.

Kepadatan penduduk di bawah rata-rata nasional juga tercatat bahwa rata-rata nasional juga tercatat di Pulau Sulawesi yang luasnya 194.411 kilometer persegi atau sekitar 10 persen dari luas Indonesia. Tahun 1990 Sulawesi baru dihuni oleh sekitar 12.511.163 orang atau 7 persen dari jumlah penduduk Indonesia, sehingga tingkat kepadatannya 64 jiwa per kilometer persegi. Dari kelima pulau tersebut yang paling rendah tingkat kepadatannya adalah Irian Jaya. Luas daerah ini 419.660 kilometer persegi atau sekitar 21,5 persen dari luas Indonesia. Pada hal penduduk yang bertempat tinggal di sana pada tahun 1990 baru sejumlah 1.629.087 orang atau 1 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dengan demikian pembagian rata-rata per kilometer persegi hanya 4 orang.

Secara rinci perbandingan luas daerah dengan jumlah penduduk memperlihatkan bahwa ada 15 daerah tingkat I yang kepadatan penduduknya masih berada di bawah rata-rata nasional. Daerah-daerah itu adalah Propinsi Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Timor Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya.

Gambaran untuk 27 daerah tingkat I menunjukkan bahwa selain DKI Jakarta yang tingkat kepadatannya mencapai 12.534 orang per kilometer persegi, daerah tingkat I yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi DI Yogyakarta 927 orang perkilometer persegi. Jawa Barat 801 orang perkilometer persegi, Jawa Timur 678 orang per kilometer persegi, dan Bali 493 orang per kilometer persegi. Sementara masih sangat kekurangan penduduk atau tingkat kepadatannya rendah selain Irian Jaya 4 orang per kilometer persegi adalah Kalimantan Tengah 9 orang per kilometer persegi Kalimantan Timur 9 per kilometer persegi Kalimantan Barat 22 orang per kilometer persegi, dan Maluku 22 orang per kilometer persegi. (tabel 2).

(5)

Persebaran penduduk menurut daerah tempat tinggal tahun 1990 menunjukkan bahwa dari 179.321.641 orang penduduk Indonesia, yang bertempat tinggal di daerah kota adalah sebanyak 55.460.466 orang atau sekitar 30,93 persen dan sejumlah 123.861.175 orang atau 69,07 persen di daerah pedesaan.

Gambaran bahwa jumlah penduduk pedesaan jauh lebih tinggi dari penduduk pedesaan jauh lebih tinggi dari penduduk kota memang sudah terjadi sejak pencacahan penduduk dilakukan pada tahun 1920. Keadaan tahun 1990 dibandingkan dengan tahun 1980 menunjukkan bahwa perbandingan pertumbuhan penduduk dari dua daerah tempat tinggal tersebut cukup besar. Pada tahun 1980 dari jumlah penduduk 147.331.823 orang, yang bermukim di daerah kota tercatat 32.845.829 orang atau 22,29 persen dan di daerah pedesaan 114.485.994 orang atau 77,71 persen. Periode 1980-1990 memperlihatkan bahwa pertumbuhan penduduk di daerah kota mencapai sebesar 5,36 persen yaitu dari 31.845.829 orang menjadi 55.389.171 orang. Sementara itu pertumbuhan di daerah pedesaan relatif rendah yakni 0,79 persen yaitu dari 114.485.994 orang menjadi 123.805.052 orang. Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun tersebut jumlah penduduk yang bertempat tinggal di daerah kota meningkat sebanyak 22.614.637 orang, rata-rata sebanyak 2.261.463,7 orang per tahun. Di satu pihak kenaikan penduduk daerah kota mencerminkan bertumbuhnya wilayah-wilayah tersebut sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang menarik migran masuk. Di lain pihak kenaikan memang dapat juga terjadi karena adanya perubahan status dari status daerah pedesaan menjadi daerah kota. Walaupun demikian secara umum berlaku bahwa kenaikan angka persentase penduduk kota memberi arti semakin tahun kian banyak penduduk yang dapat menikmati fasilitas-fasilitas perkotaan seperti jalan, aspal, rumah sakit, penerangan listrik, sarana hiburan dan sebagainya.

Propinsi-propinsi yang termasuk tinggi persentase penduduk perkotaannya dan diatas rata-rata nasional yang sebesar 30,93 persen, selain DKI Jakarta adalah Kalimantan Timur 48,82 persen, DI Yogyakarta 44,44 persen, Sumatera Utara 35,49 persen, Jawa Barat 34,51 persen, dan Riau 31,74 persen. Persentase pertumbuhan penduduk kota untuk periode 1980-1990, Lampung 12,47-12,45 persen, DKI Jakarta 93,69-100 persen, Jawa Barat 21,02-34,51 persen, Jawa Tengah 18,75-26,99 persen, DI Yogyakarta 22,08-44,44 persen, Jawa Timur 19,61-27,48 persen, Bali 14,71-26,44 persen, Nusa Tenggara Barat 14,08-17,28 persen, Nusa Tenggara Timur 7,51-11,40 persen, Timor Timur 8-7,81 persen, Kalimantan Barat 16,78-19,96 persen, Kalimantan Tengah 10,30-17,57 persen, Kalimantan Selatan 21,37-27,09 persen, Kalimantan Timur 39,95-48,82 persen, Sulawesi Utara 16,77-22,81 persen, Sulawesi Tengah 8,99-16,44 persen, Sulawesi Selatan 18,09-24,15 persen, Sulawesi Tenggara 9,35-17,02 persen, Maluku 10,86-19,04 persen, dan Irian Jaya 21,43-24,15 persen.

Komposisi penduduk menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa dari 179.194.223 orang penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap sejumlah 89.362.103 orang atau 55,12 persen penduduk perempuan. Perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan atau yang dikenal dengan rasio jenis kelamin menunjukkan angka 99,4 penduduk laki-laki terdapat 100 penduduk perempuan. Dengan perkataan lain penduduk Indonesia sedikit lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Komposisi

(6)

penduduk menurut jenis kelamin bervariasi antara satu danlain daerah tingkat I. Terdapat 16 propinsi yang menunjukkan angka di atas 100 atau lebih banyak penduduk laki-laki yakni Propinsi Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Timor Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku dan Irian Jaya. Pada umumnya daerah-daerah yang penduduknya lebih banyak laki-laki adalah daerah yang menjadi tujuan migrasi. Sebelas propinsi lainnya mempunyai rasio jenis kelamin dibawah angka 100 yang artinya penduduk perempuan lebih banyak daripada penduduk laki-laki.

Sementara itu komposisi atau struktur penduduk Indonesia dilihat dari segi umur menunjukkan bentuk piramida yakni bagian terbesar berada pada umur-umur muda yang kemudian mengecil sejalan dengan bertambahnya umur. Keadaan ini memang mencerminkan keadaan sebagaimana umumnya di negara-negara berkembang. Struktur umur seperti itu sebenarnya menunjukkan struktur umur ekspansir dalam arti jumlah penduduk di masa mendatang akan terus bertambah secara cepat.

Pendataan proyeksi penduduk 1990 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk usia muda yang belum produktif yaitu berumur kurang dari 13 tahun pada tahun 1990 diperkirakan sekira 66,5 juta atau sekitar 36,4 persen dari jumlah penduduk. Kemudian jumlah penduduk usia produktif yaitu antara 15 sampai 64 tahun adalah 109,2 juta atau 59,7 persen dan penduduk usia lanjut yang tidak produktif yaitu di atas 65 tahun sebanyak 7,1 juta atau 3,9 persen. Komposisi penduduk yang sebagian besarnya berada pada umur muda tersebut memberi indikasi bahwa pada masa mendatang anggaran untuk pembangunan sarana pelayanan sosial (social overhead cost) seperti pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan bagi penduduk yang belum produktif masih akan sangat besar. Selain itu angka beban tanggungan juga cukup tinggi, walaupun terlihat kecenderungan menurut yaitu dari 73 pada tahun 1990. Angka-angka memberi arti bahwa setiap 100 orang penduduk produktif (umur 15-64 tahun) harus menanggung 61 orang anak (umur 0-14 tahun). Angka-angka ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk dari kelahiran cenderung terus menurun. Berbeda dengan ketergantungan anak, angka ketergantungan orang tua cenderung terus naik dari 6 orang pada tahun 1980 menjadi 7 tahun 1990. Ini juga menggambarkan bahwa pelayanan terhadap penduduk lanjut usia baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat akan terus meningkat. (tabel 4).

KOMPONEN PERTUMBUHAN PENDUDUK

Penduduk di suatu negara atau wilayah pada umumnya jumlahnya terus berubah. Hal ini karena terjadinya peristiwa kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk. Ketiga faktor tersebut di atas disebut komponen pertumbuhan penduduk. Kelahiran, ukuran angka kelahiran yang paling populer dan sederhana adalah angka kelahiran kasa (CBR) yang menunjukkan besarnya angka kelahiran per 1.000 penduduk. Ukuran ini sebenarnya masih sangat kasar, yang antara lain karena dua hal yakni yang pertama tidak semua penduduk, tetapi hanya wanita-wanita yang melhairkan dan kedua wanita yang bisa melahirkan adalah mereka yang berada pada usia subur,

(7)

yaitu berumur sekitar 15-49 tahun. Dengan perkataan lain, pembagi dari angka kelahiran seharusnya tidak seluruh penduduk seperti yang tercermin dari angka kelahiran kasar tersebut. Karena itulah untuk mengamati tingkat kelahiran lebih sering dipakai ukuran yang lebih halus yaitu Angka Kelahiran Total (TFR). Angka kelahiran toral merupakan indeks yang menunjukkan rata-rata banyaknya bayi yang dilahirkan oleh wanita selama usia suburnya.

Untuk Indonesia angka kelahiran total memperlihatkan tendensi menurun dari waktu ke waktu. Data Survei Antar Sensus-SUPAS f1985 mencacat bahwa dalam kurun waktu 1984-1987, angka kelahiran total (TFR) adalah 3.300. Ini berarti bahwa setiap 1.000 wanita diperkirakan melahirkan 3.300 jika mereka hidup terus selama masa reproduksinya. Dibandingkan dengan periode sebelumnya (1981-1984) angka ini menunjukkan penurunan yang cukup berarti. Tahun 1981-1984 angka kelahiran total menunjukkan 3.535.

Menurunnya angka kelahiran ini memang disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi yang dianggap dominan adalah kesertaan pasangan usia subur (PUS) dalam Program Keluarga Berencana dan umur perkawinan wanita. Untuk Indonesia Prevalensi KB dalam tahun 1991 mencapai 49,7 persen dan umur perkawinan wanitanya yang tercermin dari median umur perkawinan cukup tinggi yaitu 21 tahun. (tabel 5).

Kematian: Ukuran tingkat kematian yang paling populer dipergunakan adalah angka kematian kasar (CDR) yang menunjukkan perbandingan banyaknya penduduk yang meninggal dengan jumlah penduduk dalam periode tertentu misalnya satu tahun. Tetapi ukuran ini sebenarnya tidak menunjukkan angka kematian berbeda menurut umur dan jenis kelamin. Selain itu masih besar kemungkinan bahwa tidak semua kematian dicatat atau didata. Karena itu indikator yang dipergunakan adalah angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Data-data menunjukkan bahwa angka kematian bayi per 1.000 kelahiran pada tahun 1985 adalah 78 untuk bayi laki-laki dan 64 untuk bayi perempuan. Angka ini menurun dibandingkan dengan dengan tahun 1980, dimana angkanya 117 u ntuk laki-laki dan 88 untuk perempuan, dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa meskipun angka kematian bayi masih cukup tinggi tetapi selisihnya dengan angka kelahiran masih cukup besar. Sementara itu angka harapan hidup di Indonesia terus meningkat yakni dari 5 24 pada tahun 1980 menjadi 59,7 pada tahun 1985. Angka-angka ini menunjukkan bahwa harapan hidup bagi seorang bayi dapat hidup 52,4 tahun maka pada tahun 1985 meningkat menjadi 59,7 tahun. Kenaikan angka harapan hidup berlaku untuk laki-laki dan perempuan, dan ini berarti bahwa tingkat kesejahteraan dan pelayanan kesehatan semakin baik.

Migrasi: Migrasi merupakan komponen penambahan penduduk yang paling sulit diukur tingkatnya. Kendati demikian dapat dipastikan bahwa pengaruh komponen ini tidaklah sebesar pengaruh kedua komponen lainnya yaitu tingkat kelahiran dan tingkat kematian. Indikator migrasi kasar menggambarkan secara kasar mobilitas penduduk yang merupakan perbandingan antara penduduk yang migran yaitu penduduk yang lahir atau tinggal di Indonesia selama lima tahun yang lalu dengan penduduk nonmigran atau penduduk yang tidak pernah pindah. Menggunakan ukuran itu, maka akan terlihat bahwa angka migrasi masuk ke Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 1985 misalnya, dari 1.000 penduduk Indonesia sebanyak 78 orang bukan kelahiran Indonesia (migran semasa hidup) 17 orang bertempat tinggal di luar Indonesia lima tahun sebelumnya (migran

(8)

baru). Meskipun angka-angka ini masih cukup tinggi, namun tidak menjadikan sebagai komponen utama pertumbuhan penduduk, karena komponen utamanya adalah komponen alamiah yakni selisih antara angka kelahiran dengan angka kematian.

RATA-RATA JUMLAH ANGGOTA RUMAH TANGGA

Sensus penduduk 1990 memperlihatkan bahwa 179.194.223 orang penduduk Indonesia, terhimpun dalam 39.689.427 rumah tangga atau secara rata-rata setiap setiap rumah tanggal mempunyai 4,5 orang anggota. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan sensus penduduk 1980 dimana pada waktu itu dari 147.331.823 orang penduduk terhimpun dalam 30.372.463 rumah tangga atau rata-rata setiap rumah tangga beranggotakan 4,9 orang. Rata-rata anggota rumah tangga di daerah kota dan desa cukup berbeda yakni 4,7 orang untuk penduduk daerah kota dan 4,4 untuk penduduk di pedesaan. Jumlah penduduk di daerah kota sebanyak 55.189.171 orang terhimpun dalam 11.684.399 rumah tangga sedangkan jumlah penduduk pedesaan 123.805.052 orang terhimpun dalam 28.005.028 rumah tangga.

Pendataan menunjukkan bahwa hanya 5 daerah tingkat I saja yang anggotanya per rumah tangga di bawah rata-rata nasional yakni di bawah rata-rata nasional yakni dibawah 4,5 orang. Ketujuh propinsi itu adalah Propinsi Jawa Barat 4,3 orang, Jawa Tengah 4,4 orang, DI Yogyakarta 4,0 orang, Jawa Timur 4,2 orang, Nusa Tenggara Barat 4,4 orang, dan Kalimantan Selatan 4,3 orang. Dua puluh satu propinsi lainnya jumlah anggota untuk setiap rumah tangga 4,5 orang ke atas yaitu Propinsi Aceh 4,9 orang, Sumatera Utara 5,1 orang, Sumatera Barat, 4,6 orang, Sumatera Selatan 5,0 orang, Bengkulu 4,7 orang, Kalimantan Barat 5,0 orang, Kalimantan Tengah 4,6 orang, Kalimantan Timur 4,7 orang, Sulawesi Utara 4,5 orang, Sulawesi Tengah 4,9 orang, Sulawesi Selatan 5,0 orang, Sulawesi Tenggara 5,1 orang, Bali 4,6 orang, Nusa Tenggara Timur 5,3 orang, Timor Timur 5,0 orang, Maluku 5,4 orang, dan Irian Jaya 4,9 orang.

ANGKATAN KERJA

Menggunakan pendekatan angkatan kerja (labor force approach), penduduk usia kerja yacitu penduduk yang berumur 10 tahun ke atas, dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu: angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Yang termasuk golongan angkatan kerja adalah mereka yang bekerja atau mencari pekerjaan dan yang termasuk golongan bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang tidak termasuk ke dalam golongan sebelumnya, seperti mereka yang kegiatan sehari-harinya bersekolah, mengurus rumah tangga, cacat, jompo dan lainnya. Persentase penduduk usia kerja yang tergolong ke dalam angkatan kerja dikenal dengan istilah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Untuk Indonesia angka TPAK pada tahun 1989 adalah 57,8 persen. Angka ini sebenarnya tergolong rendah mengingat

(9)

"kurang mantapnya" definisi yang digunakan. Menurut definisi itu seseorang yang melakukan kegiatan dengan mendapat upah hanya dalam satu jam seminggu, sudah dianggap bekerja.

BAB III

GAMBARAN KETENAGAKERJAAN PROPINSI BALI

Penduduk Daerah Tingkat I Bali pada tahun 1990 berjumlah sekitar 2,8 juta jiwa yang tersebar secara tidak merata di delapan daerah tingkat II. Populasinya bervariasi dari hanya sekitar 151 untuk Kabupaten Klungkung

(10)

sampai 663 ribu untuk Kabupaten Bandung. Demikian pula laju pertumbuhan penduduk di semua daerah tingkat II itu bervariasi dalam dua dekade terakhir ini.

Dalam kurun 1980-1990, Kabupaten Bandung mencatat pertumbuhan yang peling cepat, yaitu 2,78 persen per tahunnya, sementara Kabupaten Klungkung paling lambat pertumbuhannya, yaitu 0,12 persen. Secara keseluruhan pertumbuhan penduduk Propinsi Bali dalam kurun 1980-1990 hanya 1,18 persen. Kenyataan ini tidak terlepas dari keberhasilan Program Keluarga Berencana (KB) di propinsi itu.

Sebagian besar penduduk Bali tinggal di daerah pedesaan, Persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan pada tahun 1980 baru sekitar 15 persen, tetapi 10 tahun kemudian yaitu pada tahun 1990, angka ini meningkat hampir dua kali lipat, yaitu menjadi 26 persen. (Persentase tahun 1971 tidak dapat dibandingkan karenanya adanya perbedaan konsep kota yang dipakai.). Persentase penduduk kota di setiap daerah tingkat II bervariasi dari yang hanya sekitar delapan persen untuk Kabupaten Karang Asem sampai 59 persen untuk Kabupaten Bandung, tidaklah mengherankan mengingat daerah tingkat II itu merupakan pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan, dan pariwisata Propinsi Bali. Yang menarik adalah pesatnya perkembangan kota untuk daerah-daerah tingkat II lainnya terutama untuk Tabanan, Gianyar, dan Klungkung. Peningkatan persentase penduduk kota-kota ini lebih dari dua kali lipat dalam dekade terakhir. Keadaan ini telah menuntut perhatian sepantasnya dari pemerintah daerah setempat. (tabel 1).

Penduduk Bali masih tergolong penduduk muda walaupun dalam skala nasional tergolong tua. Struktur umur penduduknya masih tercerminkan struktur umur penduduk negara-negara berkembang yaitu berbentuk piramid: besar pada kelompok umur muda terus mengecil pada kelompok-kelompok umur yang lebih tua. (tabel 2).

Tabel I

Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Daerah Tingkat II

Daerah Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Tingat II 1980 1990 Penduduk (%) Jembrana 204.915 217.599 0,60 Tabanan 342.816 349.534 0,19 Bandung 504.300 663.084 2,78 Gianyar 306.129 336.738 0,96 Klungkung 148.746 150.493 0,12 Bangli 161.542 176.396 0,88 Karang Asem 314.314 343.413 0,89 Buleleng 486.962 540.099 1,04 Jumlah 2.469.724 2.777.365 1,18 Sumber: 1990, Penduduk Indonesia, BPS.

(11)

Tabel 2

Struktur Umur Penduduk 1971, 1980 & 1990 Umur 1977 (000) (000) 1980 (000) 1990 0-4 361 311 272 5-9 329 355 278 10-14 222 294 320 15-19 198 259 334 20-24 151 207 296 25-29 160 186 232 30-34 136 148 196 35-39 130 152 181 40-44 102 126 157 45-49 77 94 139 50-54 74 88 104 55-59 43 58 84 60-64 59 72 78 65-69 29 38 67 70-74 27 39 41 75+ 23 41 32 Jumlah 2.120.1 2.469.7 2.811.5

Persentase penduduk anak-anak, dewasa dan orang

tua (5) 0-14 15-64 65+ 43 53 4 39 56 5 31 64 5 Angka ketergantungan anak (%) 81 69 48 Angka ketergantungan orang tua (%) 7 8 8

Sumber: 1971, Sensus Penduduk Seri E 1980, Sensus Penduduk Seri S

1990, Proyeksi Penduduk, Seri Nupas No. 34.

Pada tahun 1990, persentase penduduk yang tergolong anak-anak, berumur kurang dari 15 tahun, masih sekitar 31 persen. Di lain pihak penduduk lanjut usia persentasenya masih sangat rendah yaitu sekitar lima persen. Dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, persentase penduduk anak-anak sudah jauh lebih kecil. Pada tahun 1971 misalnya, angkanya masih di atas 40 persen. Kecenderungan ini antara lain disebabkan oleh turunnya angka kelahiran penduduk di propinsi itu.

Struktur umum penduduk secara sederhana tercermin dari angka beban tanggung yang harus dipikul oleh penduduk usia produktif. Pada tahun 1990, angka ketergantungan anak masih mendekati 48, sementara angka ketergantungan lanjut usia yaitu delapan. Angka-angka itu menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk, pada usia produktif harus menanggung beban sebanyak 48 orang anak-anak dan delapan orang lanjut usia. Kenyataan

(12)

ini secara keseluruhan menunjukkan masih besarnya beban sosial yang harus dipikul oleh daerah itu.

Komponen pertumbuhan penduduk: Penduduk suatu negara atau wilayah biasanya berubah jumlahnya setiap kurun waktu karena terjadinya peristiwa kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk (migrasi). Jika perpindahan penduduk tidak besar jumlahnya maka pertumbuhan penduduk semata-mata terjadi karena selisih angka kelahiran dan kematian. Jika selisih itu positif maka jumlah penduduk akan bertambah, suatu keadaan yang ditemukan oleh negara-negara berkembang Sebaliknya jika selisih itu negatif, maka jumlah penduduk akan berkurantg seperti yang ditemukan di beberapa negara maju di Eropa.

Bagi Propinsi bali, seperti halnya semua propinsi di Indonesia, komponen pertumbuhan penduduk yang paling penting adalah kelahiran dan kematian. Pertambahan jumlah penduduk terjadi karena angka kelahiran di propinsi itu masih lebih tinggi dari angka kematian. Walaupun demikian, angka kelahiran dan kematian propinsi itu sudah tergolong rendah dibandingkan dengan propinsi-propinsi lainnya di Indonesia.

Kelahiran: Seberapa rendah angka kelahiran di Bali terlihat dari kelahiran totalnya (TFR) yang dalam kurun 1984-87 hanya 2,5 per wanita dibandingkan dengan angka untuk nasional yang masih sekitar 3,3. Angka ini menunjukkan bahwa dalam kurun 1984-87 wanita Bali secara rata-rata hanya melahirkan 2,5 anak selama masa reproduksinya (15-49). Suatu angka yang tergolong rendah dan bahkan demikian dalam standard internasional.

Sebagai gambaran, penduduk tanpa pertumbuhan (zero population growth) di suatu wilayah akan tercapai jika angka kelahiran total sekitar 2,0. Artinya setiap wanita di wanita di daerah itu hanya melahirkan seorang bayi wanita di (yang nantinya akan menggantikan fungsi ayah)

Melihat kenyataan angka kelahiran total untuk Bali mendekati angka 2,0 besar harapan dalam waktu yang tidak terlalu lama penduduk tanpa pertumbuhan di propinsi ini akan tercapai.

Relatif rendahnya angka kelahiran di Bali berkaitan erat terutama dengan keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di propinsi itu. Angka sementara Survei Demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan bahwa sekitar 72 persen wanita yang berstatus kawin melaporkan memakai salah satu alat kontrasepsi dibandingkan dengan angka nasional yang sekitar 50 persen. Selain itu rendahnya angka kelahiran berkaitan pula dengan relatif tingginya umur perkawinan wanita di propinsi itu. Media umur perkawinannya pada tahun 1985 untuk wanita pada kelompok umur 25-49 tahun adalah 22,3 tahun dibandingkan dengan angka rata-rata nasional tahun 21,1 tahun pada periode yang sama.

Kematian: Indikator yang disajikan untuk melihat tingkat kematian penduduk adalah tingkat kematian bayi dan angka harapan hidup. Kedua indikator itu lebih baik dibandingkan dengan angka kematian kasar (CDR) dalam hal mencerminkan tingkat kematian penduduk.

Tingkat kematian bayi menunjukkan nilai kemungkinan atau probabilitas meninggal seorang bayi yang dilahirkan sebelum mencapai umur satu tahun. Indikator ini biasa dipakai bukan saya untuk melihat taraf kesehatan penduduk tetapi juga untuk melihat keberhasilan pembangunan secara keseluruhan dan dampaknya. Dengan perkataan lain angka kematian bayi dianggap sebagai resularate dari seluruh upaya pembangunan di seluruh sektor. Secara sempit angka kematian bayi mencerminkan taraf kesehatan ketersediaan air bersih dan kesehatan di dalam rumah. Sementara angka harapan hidup adalah suatu ukuran yang menunjukkan probabilitas berapa lama (tahun) bayi yang baru

(13)

dilahirkan akan tetap hidup. Hal ini secara sempit dapat dianggap sebagai pencerminan dari kesehatan lingkungan di luar rumah.

Menggunakan kedua indikator itu, tingkat kematian penduduk Bali, jauh lebih baik dari angka rata-rata nasional angka kematian bayinya lebih rendah dan angka harapan hidupnya lebih tinggi. (Lampiran tabel 3).

Migrasi: Bagi Propinsi Bali, migrasi penduduk boleh dikatakan merupakan komponen pertumbuhan penduduk yang tidak begitu penting peranannya, dibandingkan dengan peran kedua komponen lainnya yaitu tingkat kelahiran dan tingkat kematian.

Mobilitas penduduknya tidak begitu tinggi, walaupun propinsi itu tergolong padat, jauh lebih padat dari rata-rata nasional. Pada tahun 1985 secara rata-rata, 970 dari 1.000 penduduk melaporkan belum pernah pindah dari Propinsi Bali. Sementara itu pada tahun yang sama tercatat hanya 9 dari 1.000 penduduk yang merupakan migran dari luar Bali.

ANGKATAN KERJA

Menurut pendekatan angkatan kerja (labor force approach), penduduk usia kerja atau berumur di atas 10 tahun, dibagi dua golongan yakni golongan angkatan kerja dan golongan bukan angkatan kerja. Yang termasuk dalam angkatan kerja adalah mereka yang bekerja atau sedang mencari pekerjaan, sedangkan yang termasuk golongan bukan angkatan kerja adalah mereka yang kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya seperti pensiunan, jompo, cacat.

Propinsi penduduk usia kerja yang tergolong angkatan kerja inilah yang dikenal dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Untuk Bali secara keseluruhan pada tahun 1990 tercatat penduduk usia kerja (10=64 tahun) adalah 2.243.634 orang. Dari jumlah itu yang termasuk angkatan kerja sebanyak 1.535.269 orang dan bukan angkatan kerja 705.536 orang. Angkatan kerja yang bekerja 1.510.394 orang dan yang mencari pekerjaan 24.575 orang. Data-data ini menggambarkan bahwa persentase bekerja terhadap angkatan kerja 98,35 persen dan persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja 68,48 persen.

Angka 68,43 tersebut sebenarnya relatif rendah, mengingat sangat longgarnya defenisi kerja yang dipakai seseorang yang bekerja atau membantu bekerja satu jam saja dalam seminggu sudah dikategorikan sebagai bekerja. Selain itu mereka yang kegiatan utamanya sekolah atau mengurus rumah tangga tetap juga bekerja, dimasukkan sebagai pekerja dan bukan sekolah atau mengurus rumah tangga.

Perbandingan antara daerah tempat tinggl menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja di daerah pedesaan lebih tinggi daripada di kota. Dalam tahun 1990, TPAK untuk daerah pedesaan mencapai 64,47 persen sedangkan di daerah perkotaan 55,38 persen. Hal ini tidak mengherankan karena di daerah kota penduduk belasan tahun (jadi termasuk usia kerja) lebih banyak yang kegiatan utamanya hanya sekolah dari pada di pedesaan.

Bantuan juga diberikan kepada para pengusaha kecil, perajin dan petani di pedesaan dengan pembentukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) mulai

(14)

tahun 1984 yang merupakan unit operasional dari desa adat. LPD didirikan terutama untuk mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui program tabungan masyarakat dan penyertaan modal pemerintah secara efektif. Lembaga ini memperoleh bantuan modal pokok dan peralatan rata-rata senilai dua juta rupiah per unit yang berasal dari sumber dana APBN dan APBD Tingkat I.

Lembaga keuangan nonformal itu tumbuh pesat dari delapan unit pada tahun 1984 menjadi 264 unit pada 1988. Jumlah kredit yang disalurkan lembaga keuangan nonformal pedesaan ini meningkat pesat dari hanya Rp. 58,730 juta menjadi Rp. 2,519 milyar pada periode yang sama. Demikian pula, dari hasil pengerahan dana masyarakat melalui program tabungan, dapat dihimpun dana sebesar Rp. 1,297 milyar sampai akhir Pelita IV.

Pada masa-masa mendatang, LPD akan ditumbuhkembangkan secara meluas di seluruh pedesaan di Propinsi Bali. Lembaga ini semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pedesaan terutama pada perajin dan pengusaha industri rumah tangga yang membutuhkan modal dengan prosedur pengurusan lebih cepat. Karena lokasi kantornya mudah dijangkau dan sebagian asetnya dimiliki oleh masyarakat setempat, kehadiran LPD segera memperoleh sambutan masyarakat desa.

TENAGA KERJA

Kondisi Ketenagakerjaan: Laju pertumbuhan penduduk di Propinsi Bali

antara 1971-1980 tercatat rata-rata 1,69 persen per tahun dan kemudian menurun menjadi 1,18 persen per tahun selama periode 1980-1990. Tingkat pertumbuhan penduduk itu relatif lebih rendah dibanding dengan angka rata-rata nasional yang sebesar 2,92 persen dan 1,97 persen dan selama periode tersebut.

Sampai tahun 1990, jumlah penduduk usia kerja sebanyak 2.243.634 orang dan 1.525.269 orang diantaranya termasuk dalam angkatan kerja. Dari jumlah angkatan kerja tersebut, sebesar 98,83 persen (1.510.394 orang) sudah bekerja dan sisanya 24.875 orang dikategorikan aktif mencari pekerjaan. (tabel lampiran 38).

Dari data-data tersebut diketahi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada tahun 1990 adalah 68,43 persen dan angka beban tanggungan dependency ratio tenaga kerja adalah 56 persen. Dibanding keadaan tahun 1980, TPAK meningkat hampir 13 persen dan angka beban tangungan menurun 11,6 persen. Dengan kata lain, struktur ketenagakerjaan di Propinsi Bali ditandai kecenderungan positif yaitu menurunnya jumlah penduduk usia tidak produktif dan diikuti pula oleh pertambahan kesempatan kerja setiap tahun. Pertumbuhan angkatan kerja selama 1980-1985 rata-rata 5,48 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan kesempatan kerja pada periode yang sama mencapai 4,46 persen per tahun.

Peningkatan kesempatan kerja relatif mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja, selain dapat menekan jumlah pengangguran terbuka (pencari kerja aktif) agar tetap pada tingkat yang rendah, juga mendorong kenaikan

(15)

elastisitas kesempatan kerja. Dengan jumlah pencari kerja baru yang masuk ke pasar kerja rata-rata sebanyak 25 ribu orang atau kurang dari dua persen dari total angkatan kerja, persoalan ketenagakerjaan di daerah ini tidak telampau berat.

Namun demikian, dari jumlah pencari kerja dan penempatan kerja selama 1985-1990 terdapat petunjuk bahwa kelompok pengangguran terbuka banyak diisi oleh mereka yang berpendidikan SLTA dan perguruan tinggi. Kondisi ini menunjukkan adanya kecenderungan baru bahwa di masa-masa mendatang jumlah penganggur terdidik di daerah ini semakin tinggi.

Di sisi lain, serupa dengan daerah lainnya di Indonesia, struktur ketenagakerjaan di daerah ini sebagian besar diwarnai oleh tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan amat rendah. Sebanyak hampir 700 ribu angkatan kerja pada tahun 1990, tidak pernah sekolah, tidak tamat atau belum tamat Sekolah Dasar (SD) dan lebih dari 500 ribu angkatan kerja hanya berpendidikan SD. Ini berarti hampir 80 daerah ini mempunyai kualifikasi rendah dan tentunya juga menyulitkan usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas kerja dan usahanya.

Esensi persolana ketenagakerjaan di Propinsi Bali dengan demikian secara sederhana dapat disimpulkan, yaitu merupakan gabungan antara semakin besarnya jumlah penganggur terdidik dan mayoritas tenaga kerja yang terserap justru berpendidikan rendah.

Penyebaran dan pendayagunaan tenaga kerja: Ditinjau dari segi penyebaran tenaga kerja, struktur ketenagakerjaan di Bali masih timpang atau terlalu besar tergantung pada sektor pertanian. Pada tahun 1990, jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebanyak 224.061 orang (14,83 persen), sektor industri 201.266 orang (13,33 persen), sektor jasa-jasa 147.811 orang (9,78 persen), sektor konstruksi 64,182 orang (4,25 persen) sektor transportasi 32,623 orang (2,16 persen). Sedangkan sektor-sektor ekonomi gram umum dalam kaitan ini adalah pembentukan pusat informasi pasar kerja, pendidikan dan latihan guna memberi bekal bagi calon tenaga kerja yang hendak mencari pekerjaan atau berwiraswasta, pendayagunaan tenaga kerja melalui pola Antar kerja Antar Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAN).

Jumlah tenaga kerja yang dididik dan dilatih melalui Balai Latihan Kerja (BLK) dan Kursus Latihan Kerja (KLK), instansi pemerintah atau swasta selama Pelita IV mencapai hampir 16 ribu orang, meningkat cukup besar dibandingkan hanya 9.500 orang tenaga kerja pada Pelita III. Kemudian melalui mekanisme AKAD, rata-rata dikirimkan sebanyak 600 orang setiap tahun selama Pelita IV dan ditempatkan di daerah-daerah lain seperti di Pulau Seram, Irian Jaya, Timor Timur, Pulau Batam, dan Riau.

Sedangkan melalui mekanisme AKAN, selama Pelita IV telah dikirimkan sebanyak 835 orang dan sebagian diantaranya dalam rangka misi kesenian untuk mempromosikan Bali ke negara-negara pengirim wisatawan potensial. Di masa mendatang, kegiatan seperti ini akan dikembangkan lebih besar dan lebih terarah lagi.

Khusus untuk pencari kerja berpendidikan tinggi, sebagian disalurkan melalui program pengerahan Tenaga Kerja Sukarela Terdidik (TKST). Setelah

(16)

dibekali dengan keterampilan dan pengetahuan, mereka diterjunkan sebagai tenaga penggerak pembangunan pedesaan dengan menjadi pengurus KUD, LKMD, penyuluh pertanian, motivator KB, dan sebagainya.

Di daerah-daerah tertentu mempunyai jumlah penduduk setengah penganggur (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) cukup tinggi, diterapkan program Padat Karya Gaya Baru (PKGB) untuk menciptakan lapangan kerja tambahan. Sasaran program ini adalah tenaga kerja di daerah-daerah minus yang tidak mempunyai cukup banyakj peluang untuk menyediakan lapangan kerja guna memberikan tambahan penghasilan bagi penduduknya.

Walaupun sifatnya hanya temporer, tetapi PKGB cukup efektif sebagai cash program karena mampu memberikan pekerjaan sampingan bagi penduduk di daerah minus. Dari program ini, selama Pelita IV telah berhasil diserap kurang ebih 25 ribu orang atau rata-rata 5.000 per tahun. Proyek PKGB akan terus dilanjutkan pada pelita-pelita berikutnya karena diperkirakan jumlah tenaga kerja setengah penganggur di daerah ini masih cukup besar.

Dewasa ini, melalui Perencanaan Tenaga Kerja Daerah (PTKD) sedang disusun pedoman dan acuan tentang peta ketenagakerjaan berikut perkiraan pergeserannya di masa mendatang. Penelitian dan pendataan terus dilakukan dengan melibatkan seluruh instansi terkait. Tujuan pokoknya adalah menyediakan suatu konsep dan operasionalisasi yang cukup memadai untuk mengatasi persoalan ketenagakerjaan yang akan muncul di kemudian hari. Kesejahteraan dan Perlindungan Tenaga Kerja: Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja di daerah ini, secara kontinu dilakukan pengawasan ketat atas pelaksanaan ketentuan pengupahan sesuai standrd upah minimum regional dan jaminan sosial lainnya. Setiap tahun standard upah tersebut diperbaharui sesuai dengan perubahan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) pekerja

Secara umum, sampai akhir Pelita IV (tahun 1988), pelaksanaan atas ketentuan upah itu masih rendah yaitu rata-rata hanya mencapai separuh nilai KFM seorang pekerja dengan dua orang anak yang besarnya Rp. 141.600 per bulan. Upah pokok minimum dari berbagai jenis pekerjaan pada tahun itu berkisar antara Rp. 1.200 sampai Rp. 2.000 orang per hari.

Pelaksanaan ketentuan upah minimum dipadukan dengan program jaminan sosial tenaga kerja. Melaui kepesertaan dalam program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek), perusahaan dan pekerja di daerah ini didorong untuk menghormati dan

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andre (2009), hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio likuiditas yang diukur dengan current ratio tidak berpengaruh

Tabel 2: Berat ovarium, jumlah korpus luteum, resorbsi, dan jumlah fetus mencit setelah dicekok dengan daun tapak dara sesuai dengan dosis yang telah ditentukan.. Berdasarkan i

Dari hasil penelitian yang didapat, tingkat pengetahuan ibu rumah tangga tentang penggunaan air bersih yang masuk kategori baik (85,11%) , responden mencuci tangan dengan

PERAN SOSIAL GURU BERSERTIFIKAT PENDIDIK (Studi Situs di SMA Muhammadiyah I Klaten). Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011. Tujuan penelitian ini adalah

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan Karya Tulis

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan dari perilaku hidup bersih dan sehat siswa kelas IV antara yang melaksanakan dengan yang tidak melaksanakan

Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk