• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mahoni

Mahoni merupakan famili Meliaceae yang meliputi dua jenis yaitu Swietenia macrophylla King (mahoni daun besar) dan Swietenia mahagoni Jacq (mahoni daun kecil). Daerah penyebarannya di seluruh Jawa (Martawijaya et al. 1989). Jenis ini tergolong pohon yang mampu mengadakan pemangkasan alami dan dapat mencapai ketinggian 35 m. Tajuknya rapat dan lebat, daunnya berwarna hijau tua. Mahoni tumbuh menyebar luas secara alami atau dibudidayakan. Jenis ini merupakan jenis asli dari Meksiko, bagian tengah dan selatan Amerika yaitu sekitar wilayah Amazon. Penanaman dan pembudidayaannya secara luas dilakukan di daerah Asia Bagian Selatan dan Pasifik (Departemen Kehutanan RI 2001).

Menurut Samingan (1982) mahoni banyak digunakan sebagai bahan baku pelapis kategori mewah. Serat kayunya cukup indah memberikan lukisan-lukisan garis yang khas pada sayatan kayu, dengan berat jenis rata-ratanya 0,61 dan termasuk dalam katagori kelas awet III dan kelas kuat II – III, dengan kayu teras berwarna coklat kemerahan. Selain sebagai bahan baku kayu lapis mahoni juga banyak digunakan sebagai bahan bangunan, meubel, lantai dan rangka pintu.

2.2. Mindi

Pohon mindi atau geringging (Melia azedarach L.) anggota suku Meliaceae, merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan selalu hijau di daerah tropis. Tinggi pohon dapat mencapai 40 m dengan tinggi bebas cabang 20 m dan diameter sampai 185 cm (Martawijaya et al. 1989). Daerah penyebaran alaminya di India dan Burma, tetapi sudah banyak ditanam di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia banyak ditanam di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Martawijaya et al. 1989). Mindi tumbuh pada dataran rendah hingga dataran tinggi (0-1200 m di atas permukaan laut).

(2)

Kayu teras berwarna merah coklat muda keunguan, gubal berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Serat lurus atau agak berpadu, berat jenis rata-rata 0,53 (Martawijaya et al. 1989). Penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial). Kayu mindi tergolong kelas kuat III-II, setara dengan mahoni, sungkai, meranti merah, dan kelas awet IV-V. Pengeringan alami, pada papan tebal 2,5 cm dari kadar air 37% sampai 15% memerlukan waktu 47 hari, dengan kecenderungan pecah ujung dan melengkung. Pengeringan dalam kilang yang dianjurkan adalah pada suhu 60-80oC.

Kayu mindi sudah terbukti baik sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan domestik karena kayunya bercorak indah, mudah dikerjakan dan dapat mengering tanpa cacat (Martawijaya et al. 1989).

2.3. Karet

Kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) memiliki ciri umum yaitu kayu teras berwarna putih kekuning-kuningan pucat, terkadang warna merah jambu jika masih segar, lambat laun berubah menjadi kuning jerami atau coklat pucat, tidak tegas batasnya dengan gubal. Kayu karet juga memiliki corak kayu yang polos dengan tekstur yang agak kasar tetapi rata (Prosea 1997).

Menurut Pandit & Kurniawan (2008), kayu karet biasanya dibuat perabot rumah tangga, panel dinding, bingkai gambar atau lukisan, lantai parket, inti papan blok, palet, peti wadah, peti jenazah, vinir, kayu lamina untuk rumah tangga, kerangka pintu dan jendela.

Kayu karet memiliki berat jenis 0,61 (0,55-0,70), kelas awet V, kelas kuat II-III dan termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Nama lain dari kayu karet adalah balam perak (Palembang), para rubber (Belanda).

2.4. Rayap Tanah

Menurut Borror dan De Long (1945) dalam Nandika (1986), rayap yang temasuk dalam ordo Isopter adalah serangga yang berukuran kecil sampai sedang,

(3)

hidup dalam kelompok-kelompok sosial dengan sistem kasta yang telah berkembang. Kondisi iklim dan tanah, serta banyaknya ragam jenis tumbuhan di Indonesia membuat terdapat 200 jenis rayap di Indonesia (Nandika et al. 2003).

Dalam setiap koloni rayap, pada umumnya terdapat tiga kasta yang dinamai menurut fungsinya masing-masing yaitu kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif yang terdiri dari kasta primer (raja dan ratu). Dalam hal ini bentuk (morfologi) dari setiap kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing (Kofoid 1946) dalam Nandika (1986).

Menurut Nandika (1986), kasta pekerja merupakan anggota terbesar dalam koloni, berbentuk seperti nimfa dan berkepala pucat dengan kepala hipognat tanpa mata faset, mandiblenya relatif kecil bila dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya mencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang. Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepala yang besar dengan penebalan kulit yang nyata, mempunyai rahang yang besar dan kuat. Sedangkan fungsi dari kasta prajurit melindungi koloni terhadap gangguan dari luar. Kasta reproduktif sendiri terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu).

Sampai saat ini telah tercatat kira-kira 2000 jenis rayap tersebar di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia telah ditemukan kurang lebih 200 jenis rayap (Tarumingkeng 2001). Dari sekian banyak jenis rayap, diketahuai bahwa kerusakan kayu lebih banyak ditimbulkan oleh golongan rayap subteran. Rayap subteran adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah dan yang membangun liang-liang kembara yang berfungsi untuk menghubungkan sarang dengan benda yang diserang.

Golongan rayap subteran selalu menghindari cahaya dan membutuhkan kelembaban yang tinggi dalam kehidupannya. Karena sifatnya yang cryptobiotic dan membutuhkan air untuk melembabkan kayu, liang kembara biasanya tertutup dengan bahan-bahan tanah. Jenis rayap yang termasuk dalam golongan rayap subteran adalah anggota-anggota famili Rhinotermitidae (Coptotermes dan Schedorhinotermes) serta sebagian anggota famili Termitidae (Macrotermes dan Odontermes). Rayap Coptotermes currta sebagian anggota famili Termitidae (Macrotermes dan Odontermes). Rayap Coptotermes curvignathus lebih sering

(4)

dikenal dengan sebutan rayap tanah. Coptotermes curvignathus merupakan rayap tanah yang berukuran besar dan memiliki serangan yang paling luas di Indonesia. Coptotermes curvignathus Holmgren dapat bersarang di dalam kayu yang mati atau yang masih hidup serta di dalam tanah. Sistematika jenis rayap ini adalah :

Kelas : Insekta

Ordo : Blatodea

Famili : Rhinotermitidae subfamili : Coptotermitinae

Genus : Coptotermes

Spesies : Coptotermes curvignathus Holmgren

2.5. Keawetan Alami Kayu

Menurut Martawijaya (2000) dalam Barly (2007) keawetan merupakan salah satu sifat dasar kayu yang penting. Nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh keawetannya, karena bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya akan kurang berarti jika keawetannya rendah. Selain bergantung kepada jenis kayunya, keawetan kayu bergantung kepada jenis organisme perusak kayu yang menyerangnya. Sesuatu yang mempunyai daya tahan tinggi terhadap suatu organisme, belum tentu tahan terhadap organisme lain. Di samping itu, sebagian besar kayu tidak tahan terhadap suhu udara yang berubah-ubah, kelembaban, dan air.

Keawetan alami kayu sangat dipengaruhi oleh kadar ekstraktifnya. Meskipun tidak semua ekstraktif beracun bagi organisme perusak kayu pada umumnya namun, terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar ekstraktif keawetan alami kayu cenderung meningkat pula (Wistara et al. 2002). Di hutan Indonesia ada sekitar 4.000 jenis kayu, namun dari jumlah tersebut hanya sebagian kecil saja yang telah diketahui sifat dan kegunaannya dan baru 120 jenis yang sudah diperdagangkan. Hasil pengamatan menunjukan bahwa dari jumlah 3233 yang dikumpulkan oleh Balai Penelitian Hasil Hutan, 80 – 85% termasuk kelas awet III, IV, dan V (Martawijaya 1981 dalam Barly dan Martawijaya 2000). Keawetan alami dapat diperbaiki dengan pengawetan sehingga umurnya dapat

(5)

meningkat beberapa kali lipat. Untuk kayu perumahan minimal dapat mencapai 20 tahun (Abdurrohim 2007).

Pada tiap tahap pengolahan sampai pemakaian, kayu dihadapkan pada beragam jenis organisme perusak kayu yang siap mengancam, seperti bakteri, jamur, rayap kayu kering, rayap tanah, bubuk kayu kering, dan binatang penggerek kayu (Wilkinson 2005 dalam Barly 2007). Dalam keadaan basah kayu dapat diserang jamur, serangga bubuk kayu basah, dan rayap tanah jika disimpan terlalu lama. Dalam keadaan kering, kayu dapat diserang rayap kayu kering, rayap tanah, dan bubuk kayu kering. Kayu yang dipasang di laut dapat diserang binatang laut penggerek kayu (marine borer). Perubahan yang terjadi tidak hanya menurunkan kualitas tetapi kuantitas juga karena ada yang benar-benar memakan habis kayu (Tarumingkeng 2001 dalam Barly 2007).

Keterawetan kayu adalah kemampuan kayu untuk ditembus oleh bahan pengawet sampai mencapai retensi dan penetrasi tertentu yang secara ekonomis menguntungkan dan efektif untuk mencegah faktor perusak kayu. Sifat keterawetan jenis kayu tertentu diteliti dengan proses pengawetan, bahan pengawet, dan kadar air kayu tertentu. Ini akibat keterawetan dipengaruhi oleh jenis kayu, kadar air kayu yang diawetkan, proses pengawetan, dan bahan pengawet yang digunakan (Abdurrohim dan Martawijaya 1996 dalam Abdurrohim 2007).

2. 6. Pengawetan Kayu

Pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia beracun atau bahan pengawet ke dalam kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu. Pemberian bahan pengawet ke dalam kayu tidak awet diharapkan dapat memperpanjang usia pakai kayu, minimal sama dengan usia pakai kayu kelas awet I yang tidak diawetkan (Batubara 2006).

Menurut Dumanau (2001) bahan pengawet kayu adalah bahan-bahan kimia yang sangat beracun terhadap makhluk perusak kayu, antara lain arsen (As), tembaga (Cu), flour (F), krom (Cr), seng (Zn) dan lain-lain. Tidak semua bahan pengawet baik digunakan dalam pengawetan kayu. Dalam penggunaannya harus

(6)

diperhatikan sifat-sifat bahan pengawet agar sesuai dengan tujuan pemakaian. Adapun syarat bahan pengawet yang baik adalah :

1. Bersifat racun terhadap makhluk perusak kayu. 2. Mudah masuk dan tinggal di dalam kayu.

3. Bersifat permanen, tidak mudah luntur dan menguap.

4. Bersifat toleran terhadap bahan-bahan lain misalnya logam, perekat, dan cat. 5. Tidak mempengaruhi kembang susut kayu.

6. Tidak merusak sifat-sifat kayu seperti sifat fisik, mekanik, dan kimia. 7. Tidak mudah terbakar atau mempertinggi bahaya kebakaran.

8. Tidak berbahaya bagi manusia dan hewan peliharaan. 9. Mudah dikerjakan, diangkut, mudah didapat, dan murah.

Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah senyawa boron (asam borat 45% dan boraks pentahedrat 54%). Penggunaan bahan pengawet ini dikarenakan setelah beberapa negara melakukan pembatasan dan pelarangan bahan pengawet kayu dengan bahan aktif arsen terutama bagi kayu bangunan perumahan (Ahn et al. 2007; Anonim 2009) , senyawa boron termasuk asam borat dan boraks merupakan bahan kimia yang banyak dipilih karena mempunyai toksisistas yang rendah (Yamauchi et al. 2007; Mampe 2010). Menurut Carr (1962) dalam Barly (2007), boron diketahui dapat menghambat aktivitas protozoa dalam perut rayap sehingga dapat menyebabkan rayap mati kelaparan. Sodium tetraborat dekahidrat, atau yang lebih dikenal dengan nama boraks, merupakan salah satu senyawa sumber unsur boron. Boron tersebar luas di lingkungan, hadir dalam lebih dari 80 jenis mineral, dan menyusun 0,001% kerak bumi. Penggunaannya yang umum adalah sebagai herbisida, fungisida, pengawet kayu, dan penolak serangga. Bagi tanaman, boron merupakan elemen nutrisi yang esensial, sehingga dimanfaatkan dalam pupuk. Sementara bagi manusia dan hewan, boron juga diperlukan dalam banyak fungsi kehidupan seperti embriogenesis, pertumbuhan dan pemeliharaan tulang, fungsi imun, kemampuan psikomotor, dan fungsi kognitif.

Berbagai penelitian tentang formulasi boron sebagai bahan pengawet kayu telah dilakukan. Barly (2007) membuat formulasi campuran tembaga sulfat,

(7)

natrium dikhromat dan asam borat dan mengujinya terhadap rayap tanah, rayap kayu kering, dan jamur pelapuk kayu.

Secara tunggal kelarutan boraks dan asam borat dalam air pada suhu kamar relatif rendah, yaitu masing-masing 1,3% dan 2, 6% (Lange 1967) sehingga dalam praktek pengawetan kayu lazim dipakai larutan campuran boraks dan asam borat (1,00 : 1,52), larutan tersebut dinyatakan setara dengan asam borat (boric acid equivalent = BAE) yang dipakai sebagai dasar perhitungan retensi (Anonim 1962). Penambahan boraks dalam jumlah banyak dapat meningkatkan pH larutan karena boraks bersifat basa dan pencampurannya dengan fungisida lain mempunyai harapan besar (Richardson 1978).

Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam kayu. Ada beberapa cara untuk memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu, salah satunya dengan :

1. Metode Rendaman Dingin

Menurut Dumanau (2001), keuntungan dan kerugian metode rendaman dingin dalam pengawetan adalah :

• Keuntungan :

a. Retensi dan penetrasi bahan pengawet lebih banyak dibanding metode pelaburan, penyemprotan, dan pencelupan.

b. Kayu dalam jumlah banyak dapat diawetkan bersama.

c. Larutan dapat digunakan berulang kali (dengan menambah konsentrasi bila berkurang).

• Kerugian :

a. Waktu lebih lama dibanding rendaman dingin. b. Peralatan mudah terkena karat.

c. Pada proses panas, apabila tidak hati-hati kayu dapat terbakar. d. Kayu basah agak sulit diawetkan.

2. Metode Pengukusan

Menurut Ishikawa et al. (2004) metode pengukusan memiliki kelebihan, seperti:

(8)

a. Mengeluarkan kandungan air dari dalam kayu. b. Mengeluarkan resin dari dalam kayu

c. Meningkatkan permeabilitas kayu. d. Pemakaian bahan pengawet lebih efisien.

Selain mempunyai keuntungan, metode ini juga mempunyai kelemahan, seperti metode pengukusan yang terlalu lama dapat menurunkan kekuatan kayu.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa masalah yang perlu untuk dikaji dan diteliti, tetapi karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan maka penelitian akan dibatasi

Kantung udara (saccus pneumaticus) terdiri dari air sac/saccus: abdominalis (aa/terdapat diantara lipatan intestinum), thoracalis anterior  (ata/terletak pada dinding sisi

Berdasarkan hasil penelitian bahwa jenis tumbuhan yang memiliki nilai-nilai kesakralan/ ulayat bagi masyarakat Suku Dayak Kota Palangka Raya adalah Pinang Merah

Finansial secara simultan terhadap Perilaku Kerja Karyawan mempunyai tingkat pengaruh dan determinasi yang lebih signifikan dibandingkan dengan pengaruh variabel

Menghitung Tingkat Produkvitas Masing-Masing Sektor (Lapangan Usaha) yaitu dengan cara membagi PDRB masing-masing lapangan usaha dengan distribusi tenaga kerja yang bekerja

Inti pemikiran Gadamer yang bertumpu pada “pemahaman” merujuk pada bahwa dalam memahami sesuatu yang sifatnya telah lampau pun, pemahaman ini bisa digunakan untuk

Adapun judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Efektivitas Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) serta Kontribusinya

Dari hasil penelitian di SMKN 4 Bondowoso yang menunjukkan sebagian besar remaja berpengetahuan cukup dan baik karena disamping tempatnya sudah berada dekat kota