• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAYU SEBAGAI BAHAN KONTRUKSI BANGUNAN D4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAYU SEBAGAI BAHAN KONTRUKSI BANGUNAN D4"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KAYU SEBAGAI BAHAN KONTRUKSI BANGUNAN

DOSEN PEMBIMBING : Heny Kusumayanti ST,MT

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 10 :

1. Indah Yuniarti

(40040117640023)

2. M. Ravi Bachtiar S

(40040117640029)

3. Sekhar Bella F

(40040117640044)

D4-TEKNOLOGI REKAYASA KIMIA INDUSTRI

SEKOLAH VOKASI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

TAHUN 2017

(2)

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang kayu bahan kontruksi bangunan.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang kayu bahan kontruksi bangunan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Semarang, 5 Desember 2017

(3)

BAB I

PENDAHULUAN………..…...4

1.1 Latar Belakang..……….………...4

1.2 Rumusan Masalah………..…….………...6

1.3 Tujuan Penulisan………..………….………..…....6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……...….……….………...………....7

2.1 Pengertian Kayu………..……….………….……….7

2.2 Struktur Anatomi Kayu………....………….………….………..………..7

2.3 Sifat Sifat Kayu…….………...………..………..…………..7

2.4 Pengolahan Kayu ……….……..………..………...11

BAB III PENUTUP……….…………...16

3.1 Kesimpulan.………...………...……….16

DAFTAR PUSTAKA………..………..………...17

(4)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumber daya hutan memegang peranan penting dalam menopang dan menyediakan kebutuhan substansial bagi masyarakat luas (Labetubun et al. 2005). Pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari dengan tujuan pemanfaatan yang tepat menuntut pola manajemen yang komprehensif dan berimbang. Apalagi bila mempertimbangkan trend

peningkatan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat (Crossette et al. 2010).

Menurut FAO 2011, kebijakan sektor pembangunan berkelanjutan dan upaya peningkatan taraf kualitas hidup masyarakat dunia saat ini terus mengalami eskalasi baik pada tingkat lokal, regional, nasional bahkan inter-kontinental. Oleh karena itu ketersediaan sumberdaya alam yang ada termasuk hutan menjadi salah satu modal utama yang perlu dimanfaatkan secara bijaksana dan dikelola secara proporsional sebagai kunci penting untuk mengoptimalkan tingkat pemenuhan kebutuhan yang berimbang.

(5)

Namun, secara eksplisit kayu juga memiliki tingkat variasi yang cukup tinggi baik pada level spesies, antar spesies hingga antar genus dalam satu divisi tumbuhan, dan bahkan dalam satu batang pohon, yang seringkali dianggap sebagai kelemahannya (Zobel dan Buijtenen 1989). Variasi-variasi tersebut tidak hanya dari segi taksonomis dimana dikenal dua kelompok kayu yaitu kayu daun lebar (hardwood) dan kayu daun jarum (softwood) yang secara morfologis berbeda, namun juga secara fisiologis dan anatomis. Bahkan perbedaan secara anatomis merupakan perbedaan yang krusial (Barnett dan Jeronimidis 2003). Selain pengaruh taksonomis, variasi perbedaan kondisi altitude, ketinggian tempat, iklim dan serta lingkungan tempat tumbuh juga turut memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap terbentuknya variasi sifat, struktur serta komponen penyusun material berkayu (Bosoi et al. 2010). Itulah mengapa penggunaan dan juga pengolahan kayu harus disesuaikan dengan sifat-sifat yang dimilikinya.

Di tanah air pengembangan industri perkayuan terus dilakukan oleh pemerintah mengingat kontribusinya yang cukup besar dalam perekonomian negara meski paradigma kehutanan mulai bergeser dari kayu ke hasil hutan bukan kayu. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini laju perkembangan industri tersebut terasa agak terhambat atau bahkan stagnan terkait dengan berbagai masalah yang dihadapi. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah masalah kelangkaan kayu sebagai bahan baku. Tercatat bahwa kekurangan bahan baku kayu berkualitas mencapai 70% untuk jati (Sidabutar 2007) dan hampir 90% untuk jenis lainnya (Laban 2005). Diperkirakan masalah ini masih akan dihadapi untuk beberapa tahun ke depan.

(6)

perlakuan khusus. Teknologi peningkatan mutu terhadap kayu-kayu yang demikian perlu dikembangkan tidak hanya dalam rangka menjamin kualitas produk yang akan dihasilkan, namun juga bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan teknologi di bidang teknologi pengolahan kayu serta pertumbuhan ekonomi bangsa dan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah pengertian kayu? 1.2.2 Bagaimana struktur dari kayu? 1.2.3 Bagaimana sifat kayu?

1.2.4 Bagaimana keawetan pada kayu? 1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengulas hubungan antara struktur anatomi kayu dengan sifat kayu. 1.3.2 Mengetahui pengertian kayu.

1.3.3 Mengetahui kegunaan dan pengolaha kayu secara tepat dan proporsional. 1.3.4 Mengetahui cara mengawetkan kayu.

1.3.5 Mengetahui sifat kayu.

BAB II

(7)

2.1 Pengertian Kayu

Menurut Ryan Ginanjar, kayu merupakan bahan produk alam,hutan. Kayu merupakan bahan bangunan yang banyak disukai orang atas pertimbangan tampilan maupun kekuatan. Dari aspek kekuatan, kayu cukup kuat dan kaku walaupun bahan kayu tidak sepadat bahan baja atau beton. Kayu mudah dikerjakan – disambung dengan alat relatif sederhana. Bahan kayu merupakan bahan yang dapat didaur ulang. Karena dari bahan alami, kayu merupakan bahan bangunan ramah lingkungan.

Kayu termasuk produk organisme hidup, oleh karena itu kayu mempunyai sifat-sifat alami yang sangat unik dan setiap jenis kayu mempunyai penampilan yang karakteristik. Sifat-sifat kayu yang unik itu inherent dalam struktur anatomi sel-sel penyusunnya (Bodig dan Jayne 1982; Haygreen dan Bowyer 1986). Dalam ilmu kayu, kayu tersusun atas beberapa bagian utama yaitu selulosa dan lignin.

2.2 Struktur Anatomi Kayu dan Hubungannya dengan Sifat Kayu

Struktur anatomi kayu meliputi bentuk, ukuran, sifat, fungsi, proporsi dan susunan dari sel-sel penyusun kayu, sedangkan sifat kayu tak lain adalah ukuran kualitas atau gambaran dari kayu itu sendiri secara keseluruhan. Oleh karena itu sifat kayu sangat ditentukan dan bergantung pada struktur anatominya. Dengan kata lain, sifat kayu itu melekat (inherent) di dalam struktur sel-sel penyusun kayu.

Berdasarkan cara pengamatannya Sarajar (1982); Bowyer et al. (2003) membedakan struktur anatomi kayu atas: a) struktur makroskopis (macrostructure) yaitu struktur yang dapat diamati dengan mata telanjang atau dengan kaca pembesar (10-15X), b) struktur mikroskopis (microstructure) yaitu struktur kayu yang baru dapat diamati dengan jelas menggunakan mikroskop cahaya (100-500X) dan c) struktur submikroskopis ( ultra-structure), yaitu struktur kayu yang diamati dengan mikroskop elektron (1000-10.000X).

(8)

kayu-kayu dari pohon anggota subdivisi gymnospermae-ordo koniferales. Itulah sebabnya kayu daun jarum sering disebut juga kayu konifer.

Macam dan bentuk sel-sel penyusun kayu daun lebar lebih beragam dibandingkan dengan kayu konifer, sehingga struktur kayu daun lebar sering disebut lebih kompleks (heterogen) dibandingkan struktur kayu konifer yang sangat sederhana (Gambar 2). Struktur kayu konifer hanya disusun oleh sel trakeida (90-95%) dan sel-sel parenkim termasuk jari-jari kayu (5-10%), sedangkan struktur kayu daun lebar terdiri dari jari-jaringan pembuluh (20-40%), sel serabut (20-60%), sel parenkim aksial (0-15%), sel jari-jari (5-25%) dan sel-sel trakeida (0-10%) (Bowyer et al. 2003).

Berdasarkan hubungannya dengan kekuatan kayu, sifat kayu dapat dibedakan atas sifat kasar, yaitu sifat yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan kekuatan kayu, dan sifat struktural (yang tak lain adalah struktur kayu itu sendiri) yang secara langsung akan menentukan kekuatan dan sifat-sifat kayu lainnya. Sifat kasar bersifat subjektif, sedangkan sifat struktural bersifat objektif. Sifat kasar harus diamati pada ketiga bidang pengamatan, yaitu lintang (tegak lurus sumbu batang), tangensial (memotong tegak lurus salah satu jari-jari kayu dan sejajar sumbu batang) dan radial (sejajar dengan jari-jari kayu dan sejajar pula dengan sumbu batang) (Sarajar 1982).

Beberapa sifat kasar yang utama adalah warna, bau dan rasa, tekstur, arah serat, corak, kesan raba dan kilap kayu. Warna kayu disebabkan oleh adanya pigmen tertentu, sedangkan bau dan rasa kayu terkait dengan kandungan zat-zat ekstraktif yang mudah menguap. Untuk beberapa jenis, keduanya bernilai tinggi untuk kegiatan identifikasi. Tekstur kayu menyatakan halus-kasarnya permukaan kayu, yang ditentukan oleh besar-kecilnya diameter sel-sel penyusun kayu (sel pembuluh untuk hardwood, sel trakeida untuk konifer). Bila sel tersebut berukuran kecil, kayu dikatakan bertekstur halus; dan bila sel-sel penyusun berukuran besar, katu dikatakan berserat kasar.

(9)

Arah serat berhubungan dengan orientasi longitudinal sel-sel dominan penyusun kayu terhadap sumbu batang. Bila orientasi sel-sel tersebut sejajar terhadap sumbu batang, kayu dikatakan berserat lurus; sebaliknya apabila orientasi sel-sel tersebut membentuk sudut terhadap sumbu batang, maka kayu dikatakan berserat miring. Serat miring dapat dibedakan atas serat berpadu, serat terpilin, serat berombak dan serat diagonal. Pada umumnya kayu berserat lurus lebih diminati, meski untuk keperluan artistik kayu dengan arah berpadu lebih banyak diminati (Tsoumis 1991).

Corak kayu terkait dengan kesan dekoratif yang ditampilkannya. Kayu yang bercorak cocok untuk mebel, furniture, barang kerajinan dan produk lain yang lebih mementingkan penampilan (appearance). Corak kayu ditentukan oleh keberadaan lingkaran tumbuh dan jaringan parenkim marjinal, susunan pori, ripple mark pada sel jari-jari, perbedaan warna antara kayu gubal dan teras, serta perbedaan kayu awal dan kayu akhir. Kayu-kayu dengan lingkaran tumbuh yang jelas, atau berpori tata lingkar, atau memiliki perbedaan warna yang tegas antara bagian gubal dan terasnya, atau kayu-kayu dengan struktur kayu awal-kayu akhir yang nyata berpotensi untuk menghasilkan corak yang unik dan khas. Corak kayu juga bergantung pada pola penggergajian yang diterapkan (Sarajar 1982; Tsoumis 1991; Bowyer et al. 2003).

Kesan raba juga terkait dengan zat ekstraktif kayu. Kayu yang berlilin seperti jati menghasilkan kesan raba yang licin dan tidak lengket (Sarajar 1982), sedangkan kayu yang berminyak menghasilkan kesan basah dan lengket (sticky). Kayu dengan nilai berat jenis (BJ) tinggi memberikan kesan “dingin”, sedangkan kayu dengan BJ rendah “hangat”.

Kilap kayu merupakan kesan yang menunjukkan kemampuan permukaan kayu untuk memantulkan cahaya. Secara umum, ada kayu yang berkilap dan ada juga yang “buram”. Sebagaimana kesan raba, kilap kayu juga dipengaruhi oleh zat ekstraktif. Umumnya kilap kayu di bidang radial lebih menarik dibandingkan di bidang tangensial.

(10)

(sifat pemesinan)-nya. Sifat dasar kayu dipengaruhi oleh faktor genetis, faktor lingkungan (kondisi tempat tumbuh, iklim, kesuburan tanah dan perlakuan silvikultur) serta faktor tingkat kedewasaan sel (Bowyer et al. 2003). Proses pengolahan kayu yang sudah biasa dilakukan meliputi pengeringan, pengawetan dan peningkatan mutu kayu.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, sifat anatomis kayu tak lain adalah sifat yang berhubungan dengan sel-sel penyusun kayu; sedangkan sifat fisis berhubungan dengan respon kayu terhadap perubahan kelembaban udara (relative humidity/RH) dan suhu lingkungan di sekitar kayu yang mempengaruhi wujud dan penampilan kayu. Sifat mekanis kayu adalah sifat yang berhubungan dengan kekuatan kayu dan merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya, sedangkan sifat kimia adalah sifat kayu yang dihubungkan dengan kandungan dan komposisi relatif senyawa kimia penyusun dinding sel kayu terutama selulosa, hemiselulosa, lignin, zat ekstraktif dan bahan anorganik lainnya (Bowyer et al. 2003).

Beberapa sifat yang tergolong sifat fisis penting adalah kadar air (KA), kerapatan (ρ), BJ, kembang susut dan permeabilitas kayu, sedangkan sifat mekanis meliputi keteguhan lentur statis (static bending strength), keteguhan tarik (tensile strength),

keteguhan tekan (compressive strength), keteguhan geser (shearing strength), kekakuan

(stiffness), keuletan (toughness), kekerasan (hardness) dan ketahanan belah (cleavage resistance). Secara umum diketahui bahwa antara BJ kayu dengan sifat mekanis terutama kekuatan kayu memiliki hubungan korelasi positif. Semakin tinggi BJ kayu, maka kayu akan semakin kuat (Bowyer et al. 2003). Kayu ber-BJ tinggi cocok untuk tujuan memikul beban (struktural).

(11)

kandungan kimiawi dinding sel. Kayu yang lebih tinggi kadar ligninnya akan lebih kaku sehingga lebih sulit untuk dibengkokan, sedangkan kayu yang lebih banyak zat ekstraktifnya akan lebih kuat, umumnya lebih awet dan lebih stabil (kembang-susutnya rendah).

Keempat sifat dasar kayu sebagaimana di atas juga berhubungan erat dengan sifat pengolahan dan pengerjaannya. Kayu-kayu yang kurang permeabel pada umumnya sulit untuk dikeringkan ataupun diawetkan. Kayu-kayu berBJ tinggi meski lebih sulit dalam pengerjaannya menghasilkan permukaan yang lebih halus. Sebagaimana telah dijelaskan, kayu dengan kadar ekstraktif tinggi pada umumnya lebih awet tetapi sulit untuk dikeringkan.

2.3 Hubungan Struktur Anatomi Kayu dengan Pengolahannya

Kayu harus diolah sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. Diantara ke-empat sifat dasar kayu, sifat anatomi merupakan sifat yang sangat penting untuk diperhatikan karena struktur anatomi sel-sel penyusun kayu sangat menentukan keberhasilan suatu proses pengolahan yang diterapkan. Sehingga mendiskusikan proses pengolahan kayu tak lepas dari mendiskusikan reaksi (behaviour) sel-sel penyusun kayu saat kayu tersebut diolah (diistilahkan sifat pengolahan kayu).

Yang dimaksudkan dengan sifat pengolahan kayu dalam makalah ini adalah

(12)

Pengeringan kayu adalah suatu proses menurunkan kadar air kayu hingga ke kadar air pemakaian melalui teknik penumpukan yang benar, dengan atau tanpa pengaturan faktor-faktor pengeringan untuk meningkatkan kestabilan dimensi kayu. Pengeringan yang tanpa mengatur suhu, RH dan kecepatan angin dikenal sebagai pengeringan alami (pengeringan udara), sedangkan pengeringan yang mengatur faktor pengeringan tersebut dan biasanya menggunakan jadwal pengeringan disebut pengeringan dengan kilang. Untuk mengurangi biaya adalah lumrah bila kayu-kayu yang akan dikeringkan dalam kilang sudah terlebih dahulu dikeringudarakan. Parameter keberhasilan suatu proses pengeringan adalah waktu dan cacat pengeringan. Proses pengeringan kayu dikatakan berhasil apabila waktu yang dibutuhkan tergolong singkat dengan cacat pengeringan yang minimal (Bowyer et al.

2003).

Pengawetan kayu merupakan proses memasukkan bahan pengawet (bahan kimia yang bersifat racun terhadap faktor perusak kayu biologis) ke dalam kayu dengan dan tanpa tekanan (dan vakum) agar kayu menjadi lebih tahan terhadap serangan berbagai faktor perusak kayu (biologis dan non biologis) sehingga meningkatkan umur pakai kayu. Keberhasilan proses pengawetan ditentukan oleh retensi (jumlah bahan pengawet yang tertinggal di dalam kayu) dan penetrasi (dalamnya bahan pengawet masuk ke dalam kayu). Semakin tinggi retensinya dan semakin dalam penetrasinya maka kayu akan semakin awet, dan begitu pula sebaliknya. Pengawetan juga dikatakan berhasil apabila kekuatan kayu setelah diawetkan tidak berkurang secara nyata (Bowyer et al. 2003).

Peningkatan mutu kayu adalah suatu perlakuan yang biasa diaplikasikan pada kayu untuk memperbaiki sifat-sifat kayu sehingga mutu kayu secara keseluruhan menjadi lebih baik. Teknik atau metode yang umum dilakukan terdiri dari: a) pemadatan/densification

(13)

Sebagaimana diketahui bahwa kelas keawetan kayu adalah tingkat ketahanan (keawetan) dari suatu jenis kayu terhadap organisme perusak kayu seperti jamur, serangga daan binatang penggerek dilaut. Suatu jenis kayu yang awet terhadap serangan jamur belum tentu akan tahan terhadap serangan rayap atau penggerek kayu di laut, begitupun sebaliknya. Dan ada anggapan mengatakan bahwa semakin besar berat jenis yang dipunyai suatu jenis kayu tersebut, maka mempunyai ketahanan alami akan tinggi juga Da Costa, Rudman dan Gay, 1985; Backer, 1975). Tetapi dari beberapa hasil penelitian yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa faktor utama yang menentukan ketahanan alami kayu yaitu adanya zat ekstraktif yang bersifat sebagai fungisida dalam kayu, insektisida atau zat lain yang sifatnya racun. Zat ekstraktif yang sifatnya racun terhadap salah satu organisme perusak belum tentu bersifat racun terhadap organisme perusak lainnya. Maka ketahan alami kayu cenderung bersifat relatif, tergantung kepada organisme yang menyerangnya, biasanya tergantung dimana kayu tersebut akan dipergunakan.

Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakain. Kayu dikatakan awet apabila mempunyai umur pakai lama dan manpu menahan berbagai faktor perusak kayu. Dengan kata lain keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap faktor-faktor perusak dari luar kayu itu (Dumanauw, 1990). Nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh keawetannya, karena bagaimana pun kuatnya suatu jenis kayu tersebut, penggunaan sebagai bahan bangunan tidak akan berarti jika keawetannya rendah.

(14)

Dalam hal mengawetkan kayu, kayu-kayu yang kurang permeabel atau kayu-kayu yang ber-BJ tinggi atau banyak mengandung tilosis dan/atau endapan tergolong kayu-kayu yang sukar untuk diawetkan karena bahan-bahan tersebut akan menghalangi pergerakan masuknya bahan pengawet ke dalam kayu. Bagian kayu gubal pada umumnya lebih mudah diawetkan dibandingkan dengan bagian kayu teras karena lebih permeabel akibat tidak memiliki zat ekstraktif. Secara umum kayu konifer juga lebih mudah diawetkan dibandingkan dengan kayu daun lebar pada BJ yang sama.

Jalannya air dari dan ke dalam kayu baik saat kayu dikeringkan maupun diawetkan dipengaruhi oleh kondisi rongga sel yang dilewatinya baik ke arah longitudinal maupun ke arah lateral, dan juga kondisi mulut noktah di dinding sel. Aliran arah longitudinal terjadi melalui sel pembuluh (untuk kayu daun lebar) atau sel trakeida (untuk konifer), sedangkan aliran arah lateral melewati sel jari-jari (untuk kayu daun lebar dan konifer). Dengan demikian keberadaan tilosis dan endapan berwarna serta tipe bidang perforasi (pada sel pembuluh) atau keberadaan deposit dan kondisi mulut noktah (dalam sel trakeida) akan sangat menentukan laju pergerakan air arah longitudinal, sedangkan laju pergerakan ke arah lateral baik pada kayu daun lebar mau pun kayu konifer ditentukan oleh keberadaan kristal mineral, ukuran dan kondisi mulut noktah di dinding sel jari-jari kayu. Tingginya kandungan tilosis, endapan berwarna, kristal mineral dan deposit lainnya akan mengakibatkan laju pergerakan air menjadi terhambat sehingga kayu menjadi sulit untuk dikeringkan atau diawetkan. Pengeringan dan pengawetan akan semakin sulit apabila dalam waktu yang bersamaan noktah yang ada di dinding sel berada dalam keadaan teraspirasi (aspirated pitting). Oleh karena itu terhadap kayu dengan kadar tilosis atau kadar endapan dalam rongga sel tinggi, perlu dilakukan tindakan yang bertujuan untuk mengurangi kadar bahan-bahan penghalang tersebut sebelum dikeringkan atau diawetkan. Semakin bersih kondisi rongga sel, maka semakin lancar pula pergerakan air baik keluar (saat dikeringkan) maupun masuk (saat diawetkan). Bidang perforasi tipe jala atau tapisan juga berkontribusi pada sukarnya kayu dikeringkan maupun diawetkan.

(15)

yang digunakan. Kayu-kayu berkerapatan/ber-BJ rendah, yang lebih porous atau yang berdinding tipis, akan lebih mudah dipadatkan, diimpregnasi atau dikompregnasi. Selain sulit, kayu-kayu dengan kadar ekstraktif tinggi acap kali menyulitkan proses peningkatan mutu dan cenderung mengakibatkan terjadinya discoloration pada permukan kayu. Khusus untuk pemadatan dan kompregnasi, kadar lignin yang tinggi akan mempersulit proses peningkatan mutu karena kedua teknik tersebut mensyaratkan terjadinya pelunakan lignin. Pelunakan lignin yang terhambat dapat mengakibatkan mutu kayu yang diberi perlakuan menjadi lebih rendah dari mutu awalnya karena meng-arang-nya permukaan kayu akibat pemanasan yang berlebihan.

Secara umum, kayu konifer lebih mudah ditingkatkan mutunya dibandingkan kayu daun lebar karena terkait dengan struktur anatomi kayu.

(16)

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas tidak perlu diragukan lagi bahwa hubungan antara struktur anatomi kayu dengan sifat, kegunaan dan pengolahan kayu dalam rangka pemanfaatan kayu secara optimal dan tepat adalah sangat erat. Sifat kayu sangat bergantung pada struktur anatominya dan melekat (inherent) di dalam struktur sel-sel penyusun kayu. Keseluruhan sifat kayu secara bersama-sama akan menentukan kegunaan dan proses pengolahan yang akan diaplikasikan harus disesuaikan dengan struktur anatomis kayunya.

Pada dasarnya terdapat 2 (dua) sifat utama kayu yang dapat dipergunakan untuk mengenal kayu, yaitu sifat fisik (disebut juga sifat kasar atau sifat makroskopis) dan sifat struktur (disebut juga sifat mikroskopis). Secara obyektif, sifat struktur atau mikroskopis lebih dapat diandalkan dari pada sifat fisik atau makroskopis dalam mengenal atau menentukan suatu jenis kayu. Namun untuk mendapatkan hasil yang lebih dapat dipercaya, akan lebih baik bila kedua sifat ini dapat dipergunakan secara bersama-sama, karena sifat fisik akan mendukung sifat struktur dalam menentukan jenis.

(17)

Barnett J and G Jeronimidis. 2003. Wood Quality and Its Biological Basis. Blackwell Publishing Ltd. 226 p.

Bosoi FP, M Soffiatti and RT Boeger. 2010. Ecological Wood Anatomy of Miconia sellowiana (Melastomataceae) in Three Vegetation Types of Paraná State, Brazil. IAWA Journal, Vol. 31 (2): 179-190.

Bowyer JL, R Shmulsky and JG Haygreen. 2003. Forest Products and Wood Science: An Introduction. Fourth Edition. Amer, Iowa, USA. Iowa State Press a Blackwell Publishing Company.

Crossette B and R Kollodge. 2010. State of World Population. From conflict and crisis to renewal: Generation to change. United Nations Population Fund.

Food and Agriculture Organization. 2011. State of the World’s Forests. Viale delle Terme di Caracalla, 00153, Rome, Italy. 179 p.

Forest Product Laboratory. 2010. Wood Handbook: Wood as an engineering material.

Centennial Edition. United States Department of Agriculture Forest Service.

Madison, Wisconsin. 508 p.

Hill CAS. 2006. Wood Modification: Chemical, thermal and other processes. School of Agricultural and Forest Sciences, University of Wales, Bangor. John Wiley & Sons, Ltd.

Hoadley BR. 1990. Identifying Wood: Accurate results with simple tools. The Taunton Press, Inc. 223 p.

Laban BY. 2005. Prospek Produk Industri Hasil Hutan Indonesia. Paper dalam Seminar Kesiapan Indonesia dalam Implementasi ISPM #15: Solid Wood Packaging

(18)

Labetubun MS, E Suhendang dan D Darusman. 2005. Pengembalian Ekonomi dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi: Suatu pendekatan dinamika sistem. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XI No. 2: 42-54.

Sarajar C. 1982. Identifikasi Kayu Secara Makroskopis. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.

Sidabutar JH. 2007. Perancangan arsitektur strategik di perusahaan furniture panel wood PT. Cahaya Sakti Furintraco [Tesis]. Program Magister Bisnis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Diterbitkan.

Skaar C. 1972. Water in Wood. Syracuce Wood Science Series. University Press New york.

Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, properties, utilization.

Van Nostrand Reinhold. New York.

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris pengaruh biaya lingkungan dan biaya kemitraan terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa tata kelola dapat mempengaruhi kinerja keuangan perbankan syariah yang diproksikan dengan Return On Assets (ROA). Objek penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan algoritme RUSBoost dan UnderBagging untuk penanganan masalah kelas tidak seimbang pada data mahasiswa SPs IPB program

Semakin restoran franchise fast food mengetahui kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan, maka akan semakin besar pula kemungkinan restoran tersebut akan

Obat herbal Indonesia termasuk Jamu perlu terus dikembangkan dengan penelitian yang memiliki basis ilmiah yang kuat sehingga dapat diintegrasikan secara tepat dalam

Penelitian yang dilakukan terdiri atas karakterisasi onggok tapioka, melakukan fermentasi medium untuk menentukan pengaruh suhu dan pH terhadap pertumbuhan Bacillus

Kerapatan populasi larva Anopheles maculatus sebelum dan sesudah aplikasi dengan metode pengocoran berisi Teknar 1500 S di lokasi aliran sungai Kali Jambon, Dusun Gunung

Dalam kasus anak penderita autisme, komunikasi antarpribadi digunakan sebagai alat untuk membantu agar anak-anak dengan gangguan spektrum autisme secara perlahan-lahan