1.1 Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat setiap tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS 2012) pada tahun 2010 jumlahnya mencapai 237.641.326 jiwa. Seluruhnya diprediksi oleh Bappenas (2013) jumlahnya pada 2020 menjadi 271.066.400 jiwa. Badan Pusat Statistik (2018) mencatat bahwa bawang merah merupakan komoditi tanaman yang rata-rata konsumsi per kapita pada tahun 2017 mencapai 52,9 g per minggu, kedua terbesar setelah konsumsi beras dalam kategori komoditi pertanian dengan produksi nasional mencapai 1.470.155 ton. Permintaan akan bawang merah diproyeksikan juga mengalami peningkatan hingga tahun 2021 sebanyak 4,92 % per tahun (Susanti dan Waryanto 2017).
Konsumsi bawang merah yang meningkat untungnya masih dapat diimbangi dengan peningkatan produksi bawang merah selama 5 tahun terakhir. Produksi bawang merah tahun 2013 sebesar 1.010.773 ton mampu ditingkatkan menjadi 1.500.000 ton pada tahun 2018 (BPS 2019), namun peningkatan kuantitas bawang merah juga harus diikuti dengan perbaikan kualitas bawang merah. Pola konsumsi masyarakat pada masa yang akan datang mengedepankan keamanan, nilai gizi, dan cita rasa dari suatu produk pertanian. Proses produksi dituntut untuk bebas dari segala macam bahan yang dapat meracuni tanaman, petani, lingkungan, dan konsumen. Penggunaan input luar seperti pupuk anorganik dan pestisida menjadi salah satu akibat dari penurunan kualitas dan mutu bawang merah tersebut.
Penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan juga menyebabkan tingginya kandungan nitrit pada bahan pangan sehingga dapat bersifat racun dan menyebabkan kanker pada manusia (Mawaddah 2016). Pupuk anorganik yang digunakan berlebihan pada tanah juga dapat merusak struktur tanah, menurunkan pH, dan membunuh mikrooganisme penting dalam tanah. Ketergantungan petani pada pupuk anorganik pun tidak hanya telah merusak lingkungan, biaya usahatani juga menjadi lebih tinggi mengakibatkan keuntungan petani berkurang. Salah satu alternatif untuk mengurangi pupuk anorganik tersebut adalah dengan penggunaan pupuk organik kotoran kambing (POKK).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik mampu meningkatkan kualitas kandungan metabolit tanaman. Produksi metabolit seperti antosianin yang berperan memberikan warna merah dan ungu pada bawang merah dapat ditingkatkan dengan penambahan pupuk kandang. Ekawati et al. (2017) menunjukkan, aplikasi 12,3 ton ha-1 pupuk kandang sapi + 1,5 ton ha-1
batuan fosfat + 5,5 ton ha-1 sekam padi menghasilkan produksi metabolit daun
jintan Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng (total fenolik 12,06%, antosianin 41,73%) lebih tinggi dibandingkan tanpa pemupukan.
Aplikasi pupuk kompos kotoran kambing dapat diharapkan mengurangi serangan hama utama bawang merah seperti Spodoptera exigua dengan
meningkatnya saponin pada bawang merah. Sunday (2016) menyatakan, produksi saponin pada tanaman Hibiscus sabdariffa yang diberi pupuk kandang lebih tinggi dibandingkan kontrol (tanpa pemupukan), aplikasi 120 g pupuk kandang per pot menghasilkan kandungan saponin tertinggi (1,27 %) dan terendah pada kontrol (0,83 %). Penelitian ini diharapkan dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik, meminimalkan serangan hama penyakit, dan meningkatkan kualitas bawang merah. Penggunaan pupuk kandang dalam konsep pertanian berkelanjutan mampu mencegah serangan hama penyakit dengan meningkatnya kandungan saponin dalam umbi bawang merah. Oleh karena itu diperlukan kajian tentang kombinasi pupuk organik kotoran kambing dan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan, produksi, kualitas umbi, serta ketahanan terhadap hama pada tanaman bawang merah.
1.2 Rumusan Masalah
Penggunaan pupuk anorganik yang tinggi pada pemupukan bawang merah disertai biaya pemupukan anorganik yang besar menjadi masalah utama dalam budidaya bawang merah kemudian penggunaan pupuk anorganik jangka panjang akan mengakibatkan penurunan kualitas bawang merah oleh sebab itu masalah dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Berapa dosis pupuk anorganik yang dapat dikurangi dengan penggunaan pupuk organik kotoran kambing ?
b. Bagaimana kombinasi pupuk organik kotoran kambing dan pupuk anorganik untuk meningkatkan kualitas bawang merah ?
c. Bagaimana respon hama bawang merah terhadap penggunaan pupuk organik kotoran kambing ?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui dosis pupuk anorganik yang dapat dikurangi dengan penggunaan POKK.
b. Mengetahui kombinasi POKK dan pupuk anorganik yang dapat meningkatkan kualitas bawang merah.
c. Mengetahui penggunaan POKK dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap serangan hama bawang merah.
1.4 Hipotesis
a. Pupuk organik dapat mengurangi aplikasi pupuk anorganik.
b. Terdapat kombinasi POKK dan pupuk anorganik memberikan pengaruh terhadap peningkatan hasil dan kualitas bawang merah.
c. Penggunaan POKK dan kombinasinya dengan pupuk anorganik memberikan pengaruh dalam mengurangi serangan hama bawang merah.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengaruh Aplikasi Pupuk Anorganik terhadap Kualitas Bawang Merah Aplikasi pupuk anorganik dapat mengurangi kualitas kandungan bawang merah, salah satu contohnya adalah kandungan ally propyl. Kandungan dapat berkurang akibat penggunaan pupuk anorganik. Dhaker et al. (2017) menyatakan bahwa, kandungan ally propyl yang paling rendah terdapat pada bawang merah yang mendapatkan aplikasi 100% dosis pupuk rekomendasi (80 kg N ha-1, 100 kg
P2O5 ha-1, 100 kg K ha-1). Pemberian dosis pupuk anorganik akan berpengaruh
terhadap konsentrasi flavonoid, phenol, dan steroid tanaman. Osuagwu dan Edeoga (2012) menyatakan, aplikasi pupuk anorganik memengaruhi konsentrasi flavonoid, phenols dan steroid pada daun Ocimum gratissimum dan Gongronema latifolium, selain itu aplikasi pupuk anorganik (NPK 15:15:15) sebanyak 500 kg ha-1
menghasilkan kandungan flavonoid dan steroid tertinggi pada O. gratissimum dan G. latifolium, sedangkan aplikasi 400 kg ha-1 dan 100 kg ha-1 menghasilkan kandungan flavonoid terendah, dan 300 kg ha-1 menghasilkan kandungan phenol
terendah pada daun. Ibrahim et al. (2013) menyatakan produksi total fenolik, flavonoid, asam askorbat, dan saponin lebih tinggi pada pemupukan nitrogen (pupuk anorganik) yang rendah yaitu 90 kg N ha-1.
Pemberian pupuk anorganik dan stres telah terbukti berpengaruh terhadap kandungan flavonoid serta metabolit sekunder tanaman. Hipotesis pertama yang dikemukakan oleh Winter dan Davis (2006) dibuktikan oleh Grevsen et al. (2008) bahwa, pemberian pupuk N yang tinggi sebesar 400 kg N ha-1 dapat menurunkan
konsentrasi flavonoid total pada jelatang (Urtica dioca L.) secara signifikan dari rata-rata 10 mg g-1 bobot kering menjadi 5 mg g-1. Manach et al. (2004) juga
menyatakan, kandungan polipenol pada sayuran yang diproduksi secara organik dan sistem berkelanjutan lebih tinggi dibandingkan sayuran yang tumbuh tanpa stress seperti budidaya yang dilakukan secara konvensional.
2.2 Pengaruh Pupuk Kandang terhadap Bawang Merah
Elisabeth et al (2013) menyatakan, bahwa peran bahan organik dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek tanah dan tanaman. Dari aspek tanah, pelapukan bahan organik dapat membantu memberikan unsur hara N,P,K dalam tanah yang dibutuhkan tanaman, memperbaiki struktur tanah aerasi tanah dan memperbaiki sifat fisik tanah. Selanjutnya dari aspek tanaman, hasil pelapukan bahan organik mengandung asam organik yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara tanaman dan dapat diserap langsung oleh tanaman. El-shatanofy (2011) melaporkan, aplikasi pupuk kandang akan menghasilkan berat basah dan kering yang tinggi pada tanaman bawang bombai. Tekstur tanah yang gembur akibat
perlakuan pupuk kandang menyebabkan penetrasi, pertumbuhan, dan pemanjangan akar lebih mudah. Akar yang panjang pada bawang merah akan meningkatkan serapan hara.
Bobot basah, bobot kering, diameter umbi, dan produksi umbi bawang merah lebih tinggi pada plot yang diberi perlakuan pupuk kandang. Pertumbuhan vegetatif bawang merah yang tinggi pada perlakuan pupuk kandang menyebabkan intersepsi radiasi fotosintesis aktif lebih optimal, yang kemudian akumulasi asimilatnya yang tinggi akan disimpan di umbi. Pupuk organik mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan produksi bawang. Oleh karena itu kelompok tani harus didorong agar menggunakan pupuk organik dalam budidaya bawang merah untuk menggantikan pupuk anorganik yang mahal dan juga mempunyai efek negatif (Bua et al. 2017).
Produksi dan aktifitas antioksidan tanaman adas sowa tertinggi didapat pada perlakuan pupuk kandang. Kandungan alfa-phellandrene, p-cymene, dan carvone tertinggi juga terjadi pada perlakuan pupuk kandang (Rostaei 2018). Tanaman mint jepang sangat responsif pertumbuhan dan produksinya pada perlakuan kombinasi pupuk kandang unggas, vermikompos, dan pupuk kandang ternak (Bajeli et al. 2016).
Tanah yang diberi perlakuan pupuk kandang saja maupun dikombinasikan dengan kapur, lignite dan biochar sangat efektif dalam mengoptimalkan pertumbuhan tanaman, fotosintesis, dan mengurangi penyerapan Cd oleh tanaman gandum dan padi (Rehman et al. 2018). Aplikasi kombinasi pupuk kandang unggas dan ternak akan memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produksi bawang putih (Acharya dan Kumar 2018).
2.3 Kombinasi Pupuk Kandang dan Pupuk Anorganik
Sharma dan Verma (2011) mengindikasikan bahwa kombinasi antara pupuk kandang, pupuk anorganik sesuai rekomendasi, dan Rhizobium dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Produktivitas dan profitabilitas tanaman rajmash di daerah kering dapat ditingkatkan dengan cara aplikasi pupuk kandang (5 ton ha-1) dan pupuk NPK sebesar 40 kg ha-1 N, 60 kg ha-1 P dan 30 kg
ha-1 K. serta inokulasi Rhizobium. Aplikasi kombinasi antara pupuk kandang dan
anorganik memberikan pengaruh yang paling baik pada semua parameter percobaan (pertumbuhan, produksi, tanah).
Dosis pemupukan urea yang tepat dan dikombinasikan dengan pupuk kandang dapat meningkatkan produksi tanaman yang disebabkan oleh pertumbuhan vegetatif yang optimal. Yohannes et al. (2013) menyatakan, perlakuan kombinasi pupuk kandang dan urea (46 % N) berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, jumlah daun, bobot umbi, dan total produksi bawang bombai. Aplikasi 30 ton ha-1 pupuk
kandang dan 150 kg ha-1 N merupakan dosis optimum dalam meningkatkan
aplikasi kombinasi pupuk kandang dan anorganik pada kunyit dapat menghasilkan produksi tinggi sebesar 2260 kg dibandingkan hanya aplikasi tunggal pupuk kandang atau pupuk anorganik saja.
Kombinasi pupuk kandang (pupuk kandang ayam dan pupuk kandang sapi) dengan pupuk KCl berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun, lilit umbi, bobot umbi segar, bobot umbi layak simpan. Pemberian pupuk kandang ayam dan pupuk KCl 200 kg ha-1 merupakan dosis terbaik dalam
meningkatkan bobot umbi segar dan bobot umbi layak simpan tanaman bawang merah (Sitompul et al. 2017). Kombinasi pupuk anorganik dengan dosis 162:32:148 kg NPK ha-1 dan organik 30 ton ha-1 (pupuk kandang), 3 ton ha-1 (pupuk
unggas), 6 ton ha-1 (vermikompos) mempunyai produksi umbi tertinggi. Hal
tersebut ditunjukkan dengan parameter tinggi tanaman, jumlah daun, indeks luas daun dan bobot umbi (Bagali et al. 2012). Pemberian kompos dapat meningkatkan jumlah umbi per tanaman, setengah dosis pupuk rekomendasi dan kompos sebanyak 4 ton ha-1 dapat meningkatkan hasil dan kombinasinya dapat mengurangi
ongkos produksi dalam budidaya bawang merah (Seran et al. 2010). Eldardiry et al. (2015) menambahkan bahwa, aplikasi pupuk kandang dengan 50 % dosis pupuk rekomendasi mempunyai pengaruh nyata terhadap seluruh parameter percobaan. Produksi potensial pada bawang bombai dapat dicapai dengan memberikan pupuk kandang dengan 50 % pupuk anorganik pada awal musim tanam.
2.4 Hama dan Penyakit Utama pada Bawang Merah
Setiawati et al. (2011) melaporkan bahwa organisme pengganggu tanaman (OPT) penting pada tanaman bawang merah ialah ulat bawang merah (Spodoptera exigua), antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides), bercak ungu (Alternaria porri), dan layu fusarium (Fusarium sp.). Kehilangan hasil yang diakibatkannya dapat mencapai 20 sampai 100%. Putrasamedja (2012) melaporkan OPT yang menyerang tanaman bawang merah selama percobaan berlangsung antara lain ulat bawang (Spodoptera exigua), penyakit trotol (A. porri), dan penyakit antraknos (C. gloeosporioides). S. exigua dan A. porri ditemukan menyerang tanaman bawang merah di Brebes, sedangkan S. exigua dan Collectotrichum sp. menyerang tanaman bawang merah di Tegal.
S. exigua mulai menyerang tanaman bawang merah sejak umur 3 sampai 7 minggu setelah tanam (MST). Serangan S. exigua pada pengamatan minggu ketiga sampai minggu keenam relative rendah atau berada di bawah ambang kendali yaitu sebesar 10%. Serangan S. exigua meningkat sejalan dengan bertambahnya umur tanaman, serangan tertinggi terjadi pada umur 7 MST. Intensitas serangan S. exigua di Brebes pada umur 7 MST berkisar antara 5 sampai 14% (Putrasamedja 2012).
Moekasan (2012) melaporkan, ngengat S. exigua meletakkan telurnya dalam kelompok pada daun bawang merah. Petani di daerah Brebes, Jawa Tengah mempunyai kebiasaan memetik daun bawang merah yang ditempeli kelompok telur
S. exigua dan daun-daun yang terserang oleh ulat S. exigua dengan maksud untuk mengurangi populasi hama tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan secara rutin mulai tanaman bawang merah berumur 7 HST dengan interval 2 hari.
Liriomyza chinensis beberapa tahun terakhir menjadi hama penting pada Allium spp. di beberapa negara Asia Tenggara. Nonci dan Muis (2011) melaporkan, seekor imago betina L. chinensis meletakkan telur 50 sampai 300 butir. Stadium telur berlangsung 2 sampai 4 hari. Larva terdiri atas tiga instar, dengan stadium larva 6 sampai 12 hari. Stadium pupa berlangsung 11 sampai 12 hari. Pupa umumnya ditemukan di dalam tanah atau menempel pada permukaan bagian dalam rongga daun tanaman bawang. Imago betina hidup selama 6 sampai 14 hari, sedangkan imago jantan 3 sampai 9 hari. Siklus hidup L. chinensis berlangsung sekitar tiga minggu. Tanaman inang utama L. chinensis adalah bawang merah, bawang putih, dan bawang daun. Kerugian hasil akibat serangan L. chinensis pada bawang merah berkisar antara 20 sampai 80%, bergantung pada umur tanaman saat terserang dan populasi L. chinensis di lapangan.
Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides adalah penyebab utama kekhawatiran di kalangan petani tidak hanya di India tetapi di seluruh dunia karena menyebabkan kehilangan panen sayuran dan buah pada saat sebelum dan sesudah panen. Antraknosa sangat menyukai kondisi basah, lembab, hangat dan biasanya jamur ini disebarkan oleh benih yang terinfeksi, percikan hujan dan angin lembab. Siklus hidup patogen ini dimulai dengan perkecambahan spora di permukaan tanaman untuk membentuk struktur infeksi melanin yang disebut appressoria diikuti dengan penetrasi jaringan inang. Pada titik ini hipa infeksi tebal diproduksi di sel yang terinfeksi primer, tahap ini disebut sebagai tahap infeksi biotropik. Jamur akan beralih ke fase nekrotrofik yang ditandai dengan pembentukan hifa tipis sekunder, yang berasal dari hifa primer. Hifa sekunder tersebut akan mulai menjajah sel di dekatnya, dan akhirnya mengarah pada pengembangan lesi yang terlihat pada tempat infeksi. Akhirnya spora terbentuk di permukaan jaringan yang terinfeksi dan kemudian tersebar oleh serangga, aliran udara dan percikan air untuk memulai siklus infeksi lain (Sharma dan Kulshrestha 2015).
Tanaman bawang yang terserang fusarium sp. menunjukkan gejalanya di atas dan di bawah tanah. Tanaman yang terkena dicirikan oleh layu umum, pertumbuhan kerdil dengan kekuningan yang mendalam, diikuti dengan pencoklatan daun kemudian daun-daun tersebut akan kering. Gejala di atas tanah terdiri dari pembusukan akar dan perubahan warna piring basal. Jaringan yang terinfeksi menjadi berwarna coklat dan berair. Umbi menjadi lunak, menunjukkan peluruhan semi berair yang dimulai dari lempeng basal dan bergerak ke atas. Jamur menghasilkan koloni putih berbulu pada permukaan medium. Mikrokonidia melimpah, kebanyakan non-septate, ellipsoidal atau silindris, lurus atau melengkung. Makrokonidia berbentuk fusiform, sedikit melengkung, menunjuk ujungnya, kebanyakan tiga septate (Behrani et al. 2015).
2.5 Respon Hama dan Penyakit Tanaman terhadap Pemberian Pupuk Organik
Keragaman spesies nematoda berkurang secara signifikan pada pemberian input tinggi pupuk N anorganik tetapi meningkat dengan pemberian pupuk organik kaya C. Pupuk organik lebih disukai daripada pupuk anorganik sehingga dapat menciptakan lebih banyak keragaman dalam komunitas nematoda. Pupuk organik kaya C dapat mendukung struktur komunitas nematoda dan mempertahankan ketahanan ekologis sedangkan pupuk kandang kaya N efektif dalam melindungi tanaman terhadap nematoda pengganggu tanaman. Pupuk kandang sangat potensial untuk dijadikan pengendali alami terhadap serangan nematoda yang dapat mengurangi produksi tanaman (Liu et al. 2016).
Penggunaan pupuk kandang meningkatkan hara tanah dan pertumbuhan vegetatif tanaman serta mengurangi serangan hama pada okra (Baidoo dan Mochiah 2011). Atijegbe et al. (2014) menunjukkan bahwa, aplikasi pupuk kandang unggas sebagai amandemen dapat mengurangi serangan hama pada okra. Serangan hama yang menurun pada aplikasi pupuk kandang unggas disebabkan oleh lambatnya pelepasan nitrogen sehingga tanaman tahan terhadap hama.
Pertanian organik dapat meningkatkan kepadatan mikroba dan jamur yang dapat mengendalikan nematoda pada tanah (Coll et al. 2012). Aplikasi pupuk nitrogen dan pupuk kandang dapat mengurangi penyakit gosong bengkak pada jagung dengan meningkatkan ketahanannya terhadap penyakit tersebut (Aydogdu dan Boyraz 2011). Penambahan pupuk dapat menurunkan serangan penyakit pada tanaman karena hara pada pupuk terlibat dalam mekanisme toleransi atau resistensi tanaman inang.
2.6 Standar Kualitas Bawang Merah
Bawang merah pada kadar air 80% dengan penyimpanan pada suhu 5°C memberikan kualitas yang terbaik di antara perlakuan lainnya setelah dilakukan penyimpanan selama 8 minggu menghasilkan susut bobot 7,06%, kadar air 79,48%, kerusakan 0,37%, kekerasan 4,18 N, dan VRS 26,53 µEq/g (Mutia et al. 2014). Kualitas bawang merah yang memiliki mutu baik dapat dilihat dari kualitas visual setelah dipanen dan sesuai dengan standar nasional atau standar pasar tradisional. Berdasarkan standar nasional bawang merah (SNI 01–3159-1992), persyaratan mutu bawang merah digolongkan ke dalam dua jenis mutu yaitu mutu I dan mutu II (Tabel 1), sedangkan berdasarkan segmen pasar tradisional juga menetapkan standar mutu untuk bawang merah menjadi beberapa kelas (Tabel 2).
Tabel 2.1 Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI 01-3159-1992
Karakteristik Mutu I Syarat Mutu II
Varietas Seragam Seragam
Ketuaan Tua Cukup tua
Kekerasan Keras Cukup keras
Diameter Min. 1,7 cm Min 1,3 cm
Kerusakan (b/b) Maks. 5 % Maks 2 %
Busuk (b/b) Maks. 1 % Maks. 2 %
Kotoran (b/b) Tidak ada Tidak ada
Sumber : SNI 01–3159-1992
Tabel 2.2 Syarat mutu bawang merah sesuai dengan permintaan segmen pasar
Karakteristik Mutu I Syarat Mutu II
Diameter umbi Besar (>2,5 cm) Kecil (1,5-2,5 cm)
Warna umbi Merah ungu sampai putih Merah ungu sampai putih
Kesegaran Segar Cukup keras
Kadar air (%) 80-85 % 75-80 %
Kotoran Bebas, tidak berakar Maks 0,1 % tidak berakar
Kekeringan/layu (%) 3 % 3 sampai 5 %
Hama/penyakit Bebas serangga Bebas serangga
3 METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Desa Sukorejo, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Lahan yang digunakan merupakan bekas pertanaman bawang merah dengan pola tanam padi-kedelai-bawang merah. Percobaan dilakukan pada bulan September hingga Desember 2019. Analisis hara tanah dan tanaman dilaksanakan di Laboratorium Kimia Terpadu, IPB.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah bibit bawang merah varietas Super Philip, pupuk anorganik (Urea, NPK PHONSKA 15:15:15, dan KCl), pupuk kandang kotoran kambing dan bahan-bahan untuk analisis kimia. Alat-alat yang digunakan adalah Alat-alat budi daya tanaman, timbangan analitik, cool box, mikro pipet, labu ukur, Shimadzu UV-1700 spectrophotometer, magnetic stirrer, meteran, jangka sorong, hand counter, oven, penetrometer, dan alat tulis.
3.3 Rancangan Percobaan
Percobaan ini menggunakan metode rancangan petak tersarang (Nested design) dengan dua faktor, yaitu faktor pertama: pupuk kandang yang terdiri dari dua taraf dan faktor kedua pupuk anorganik terdiri dari lima taraf, sehingga terdapat sepuluh kombinasi perlakuan, setiap kombinasi perlakuan di ulang empat kali, sehingga total terdapat 40 satuan percobaan. Ukuran tiap petak percobaan yang digunakan yaitu 2 x 4 m dengan jarak tanam 11 cm x 11 cm.
a. Dosis pupuk kandang
P0 = perlakuan tanpa POKK
P1 = perlakuan dengan 10 ton ha-1 POKK
b. Dosis pupuk anorganik
A0 = tanpa pemberian pupuk anorganik
A1 = pemupukan 25% dosis acuan (18,78 kg N dari Urea+ 6,26 kg N dari
pupuk NPK, 25,05 kg K2O + 6,26 kg K2O dari pupuk NPK dan 6,26 kg
P2O5) ha-1
A2 = pemupukan 50% dosis acuan (37,57 kg N dari Urea + 12,52 kg N dari
pupuk NPK, 50 kg K2O + 12,52 kg K2O dari pupuk NPK dan 12,52 kg
P2O5) ha-1
A3 = pemupukan 75% dosis acuan (56,36 kg N dari Urea + 18,78 kg N dari
pupuk NPK, 75,15 kg K2O + 18,78 kg K2O dari pupuk NPK dan 18,78
A4 = pemupukan 100% dosis acuan (75,15 kg N dari Urea + 25,05 kg N dari
pupuk NPK, 100,2 kg K2O + 25,05 kg K2O dari pupuk NPK dan 25,05
kg P2O5) ha-1
Model linier aditif dari rancangan petak tersarang (Nested design) tersebut adalah: Yijk = μ + αi + δk(i) + βj + αβij + €ijk
Keterangan :
i : Faktor pupuk kandang ke 1, 2
j : Faktor pupuk anorganik ke 1, 2, 3, 4, 5 k : Faktor ulangan ke 1, 2, 3 dan 4
Yijk : Nilai pengamatan,
µ : Rataan umum,
αi : Pengaruh pupuk kandang ke-i, δk(i) : Pengaruh kelompok ke –k, βj : Pengaruh pupuk anorganik ke-j,
αβij : Pengaruh interaksi pupuk kandang ke-i dan pupuk anorganik ke-j
€ijk : Pengaruh galat pada kelompok ke-k yang memperoleh taraf ke-i faktor pupuk kandang dan taraf ke-j faktor pupuk anorganik.
Data pengamatan yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (uji F). Apabila uji F nyata maka dilanjutkan uji lanjut ortogonal polynomial menentukan bentuk respon peubah terhadap dosis pupuk anorganik.
3.4 Pelaksanaan Percobaan
3.4.1 Pengambilan sampel tanah sebelum dan sesudah penelitian
Sampel yang diambil sebelum penelitian adalah tanah yang berasal dari lahan pertanian bawang merah di daerah Desa Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Kandungan hara dapat diketahui dengan cara pengujian kedua sampel tersebut. Sampel tanah sebelum penelitian diambil sebelum lahan diolah sedangkan sampel tanah sesudah penelitian diambil setelah bawang merah panen pada umur 60 hari setelah tanam. Sampel tanah diambil sebanyak 2 kg dari beberapa titik secara diagonal pada lahan dengan kedalaman 0 sampai 20 cm, kemudian dikompositkan dan dimasukkan kedalam kantung plastik. Sampel yang sudah diperoleh dianalisis di laboratorium kimia tanah IPB.
3.4.2 Persiapan lahan
Pengolahan tanah dilakukan 1 minggu sebelum tanam agar tanah menjadi gembur, menghilangkan gulma dan memperbaiki sirkulasi udara di dalam tanah. Tanah diolah sedalam 50 cm. Petak bawang merah dibuat dengan ukuran 2 m x 4 m dan tinggi bedengan 60 cm. Tinggi air irigasi yaitu 30 cm dengan saluran irigasi yang mengelilingi setiap petakan berukuran lebar 50 cm. Petak yang dibuat sebanyak 40 petak, sehingga luas lahan yang dipakai seluas
± 320 m2. Petak percobaan yang sudah terbentuk, digemburkan lagi bersamaan
dengan pemberian pupuk kandang kambing sesuai dengan perlakuan. Tahapan persiapan lahan seperti Gambar 1.
Gambar 3.1. Penyiapan lahan (1). Pengolahan tanah menggunakan handtraktor, (2). Menaikan tanah untuk perbaikan saluran irigasi, (3). Tanah yang telah hancur setelah di handtraktor, (4). Pemberian pupuk kandang kambing, (5). Meratakan tanah dan pupuk kandang menggunakan cangkul garpu)
3.4.3 Penanaman
Bibit bawang merah dipilih sesuai dengan kriteria yang baik yaitu cukup umur tanam (lebih dari 65 hari), cukup umur simpan (30 sampai 60 hari), padat atau kompak dan kulit umbinya tidak luka serta warnanya berkilau. Pemotongan ujung umbi bibit seperlima bagian atau ± 0,5 cm dua hari sebelum tanam dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan tunas. Setiap lubang tanam ditanami satu umbi bibit, selanjutnya dilakukan penyulaman pada umur 7 hari setelah tanam (HST) jika ada tanaman yang mati. Jarak tanam yang digunakan yaitu 11 cm x 11 cm sehingga terdapat 683 tanaman bawang merah dalam satu petak percobaan. Gambar 2 memperlihatkan tahapan penanaman bawang merah.
1 2 3
Gambar 3.2. Penanaman bawang merah (1). Penyisiran tanah sebelum ditanam bawang merah, (2). Penyiraman sebelum tanam, (3). Penanaman bawang merah
3.4.4 Pengairan
Petak percobaan yang telah dibuat masing-masingnya dibuat pintu masuk dan keluar air. Pintu masuk air tersebut dihubungkan langsung dengan saluran pengairan atau saluran drainase. Tujuannya untuk mengatur ketinggian dan kebutuhan air tanaman bawang merah agar selalu tercukupi. Pengairan diberikan setiap hari dua kali yaitu pagi dan sore hari selama 5 hari agar bibit segera bertunas secara seragam. Pengairan pada umur 6 sampai 25 HST dilakukan 1 kali penyiraman/hari pada pagi hari, umur 26 sampai 50 HST dilakukan 2 kali penyiraman/hari pada pagi dan sore, kemudian umur 51 sampai 60 HST dilakukan 1 kali penyiraman/hari pada siang hari.
3.4.5 Pemupukan
Aplikasi pupuk kadang kambing dilakukan dengan cara dibenamkan ke dalam tanah petak percobaan sesuai dengan perlakuan. Dosis yang digunakan adalah 10 ton/ha pupuk kandang kambing. Pupuk anorganik yang diaplikasikan yaitu NPK PHONSKA (15:15:15), Urea, dan KCl. Dosis yang digunakan pada semua jenis pupuk yaitu 167 kg/ha. Dosis tersebut diambil dari rekomendasi pemupukan yang sering dilakukan oleh petani Gapoktan Luru Luhur Nganjuk. Aplikasi pupuk anorganik dilakukan dengan cara ditaburkan ke permukaan tanah kemudian dilakukan penyiraman. Pemupukan anorganik dilakukan pada umur 15, 22, dan 31 HST.
1 2
Gambar 3.3. Pemupukan bawang merah (1). Penimbangan dosis pupuk anorganik, (2). Pemberian pupuk anorganik, (3). Pemberian pupuk anorganik
3.4.6 Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman meliputi pembumbunan, penyiangan dan pengendalian hama, penyakit, dan gulma. Pembumbunan dilakukan terhadap bedengan bawang merah dengan mengambil tanah dari parit di sekeliling bedengan agar tetap tinggi dan parit tetap dalam sehingga drainase baik. Akar yang keluar di permukaan tanah dapat ditutup kembali dengan cara pembumbunan sehingga tanaman berdiri kuat. Gulma pada bedengan bawang merah disiangi secara manual setiap satu minggu sekali untuk menghindari kelembaban tanah tinggi, gangguan zat alelopati dan persaingan hara. Pengendalian hama dan penyakit disesuaikan dengan jenis hama penyakit yang menyerang dan dilakukan secara mekanis atau manual tanpa penggunaan pestisida.
3.4.7 Pemanenan
Panen bawang merah dilaksanakan pada umur 60 HST. Kriteria bawang merah yang siap panen adalah 60% tanaman sudah rebah dan sebagian daun menguning, umbi lapis sudah terlihat padat berisi dan tersembul sebagian di atas tanah, serta warna kulit telah mengkilap atau memerah.
3.5 Peubah Pengamatan
Peubah pengamatan tanaman yang diamati pada penelitian ini terdiri dari pengamatan pertumbuhan, produksi, kualitas umbi bawang merah, analisis hara tanah dan daun, intensitas serangan hama penyakit, dan integrasi bawang merah kambing.
3.5.1 Pertumbuhan Bawang Merah:
a) Tinggi tanaman (cm), diamati pada 2, 3, 4, 5, 6 minggu setelah tanam (MST), diukur dari pangkal batang sampai ke ujung daun tertinggi yang dilakukan terhadap 10 sampel tanaman untuk setiap petak percobaan.
b) Jumlah daun per rumpun adalah seluruh daun yang ada pada setiap rumpun termasuk daun termuda (apabila sudah 3 cm) sampai daun tertua yang masih berwarna hijau, diamati pada 2, 3, 4, 5, 6 MST terhadap 10 sampel tanaman untuk setiap petak percobaan.
c) Jumlah anakan per rumpun, yaitu jumlah tunas yang muncul dan telah membentuk batang semu, diamati pada 2, 3, 4, 5, 6 MST dihitung semua anakan yang daunnya telah terbuka penuh pada 10 sampel tanaman untuk setiap petak percobaan.
3.5.2 Produksi Bawang Merah :
a) Jumlah umbi per rumpun, adalah jumlah semua umbi yang terdapat pada tanaman dihitung setelah panen pada 60 HST yang dilakukan pada 10 sampel tanaman untuk setiap petak percobaan.
b) Bobot umbi per 100 rumpun (kg), yaitu jumlah umbi diambil per 100 rumpun dari total 330 rumpun per petak percobaan kemudian bobot total umbi lapis dalam 100 rumpun ditimbang tanpa akar dan daun setelah panen pada umur 60 HST dan sudah dikeringudarakan selama satu minggu.
c) Bobot umbi kering per rumpun (kg), yaitu bobot total umbi lapis dalam satu rumpun tanpa akar dan daun setelah panen pada umur 60 HST dan sudah dikeringudarakan selama satu minggu
d) Produktivitas ton ha-1 yaitu dihitung dari bobot umbi per 100 rumpun.
Hasil umbi (ton ha-1) diperoleh dari : jumlah rumpun per hektar/100
rumpun x bobot umbi 100 rumpun x faktor koreksi 0.6. Faktor koreksi adalah luas lahan efektif setelah dikurangi untuk saluran antar bedengan dan persentase tanaman yang mati.
3.5.3 Kualitas Umbi Bawang Merah :
a. Tingkat kekerasan umbi (kg/cm2), diukur menggunakan alat
penetrometer setelah umbi dipanen pada 60 HST yang dilakukan pada 3 sampel tanaman untuk setiap petak percobaan. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada masing-masing sampel dan kemudian dirata-ratakan nilainya.
b. Persentase bobot umbi per tanaman, yaitu klasifikasi bobot umbi setiap tanaman berdasarkan kriteria sebagai berikut: besar (>5 g), sedang (2,5-5 g), dan kecil (<2,(2,5-5 g) (Deptan 2006).
c. Persentase diameter umbi per rumpun adalah klasifikasi diameter atau garis tengah umbi secara melintang berdasarkan kriteria sebagai berikut: besar (>2,5 cm), sedang (1,5 sampai 2,5 cm), dan kecil (<1,5 cm) (Deptan 2006).
d. Karakter bentuk umbi, yaitu bentuk umbi yang sudah dipanen pada umur 60 HST dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Karakter yang diamati berdasarkan pedoman Descriptors for Allium spp oleh the International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI), Gambar 4 pengamatan dilakukan pada 3 sampel rumpun bawang merah setiap petak percobaannya.
Gambar 3.4. Bentuk umbi bawang merah (1. Flat, 2. Flat Globe, 3.Rhomboid, 4.Broad oval,
5.Globe, 6. Broad elliptic, 7. Ovate (elongated oval), 8. Spindle, 9. High top)
e. Susut bobot (%), yaitu penurunan bobot umbi bawang merah selama penyimpanan selama 2 bulan. Susut bobot pada penelitian ini dinyatakan dalam persen dan diperoleh dengan cara menimbang bobot awal (W awal) dan bobot akhir (W akhir), kemudian dimasukkan dalam persamaan berikut :
Susut bobot = 𝑊𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑊𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
𝑊 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑥 100%
f. Persentase Kerusakan, kerusakan umbi bawang merah pada penelitian ini adalah umbi busuk/jamur, umbi hampa dan umbi tunas setelah disimpan selama 2 bulan. Persentase kerusakan pada penelitian ini dinyatakan dalam persen yang diperoleh dengan menghitung banyaknya bawang yang mengalami kerusakan dan banyak bawang yang disimpan, kemudian dimasukkan dalam persamaan:
Kerusakan = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑤𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑤𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛 𝑥 100%
3.6 Analisis hara tanah dan daun :
Tanah yang dianalisis diambil dari lahan bawang merah di Desa Sukorejo, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Analisis tanah awal dilakukan sebelum dilakukan pemupukan sedangkan analisis tanah akhir dilakukan setelah panen pada 60 HST. Komponen utama yang dianalisis yaitu N, P, K, pH, dan C-organik dengan metode analisis mengikuti Laboratorium Kimia Terpadu IPB. Analisis hara daun
diawali dengan membersihkan daun dan dikeringkan dengan oven pada suhu 70o C
selama 24 jam. Daun yang diambil berumur 6 minggu setelah tanam. Selanjutnya daun diblender dan diayak dengan ayakan 0,5 mm, kemudian dianalisis konsentrasi haranya. Penentuan konsentrasi hara daun diukur dengan spectrophotometer UV-VIS.
3.7 Tingkat serangan hama dan penyakit utama :
Pengamatan hama dan penyakit dilakukan satu minggu sekali pada 10 sampel tanaman untuk setiap petak percobaan dengan mengidentifikasi jenis hama penyakit dan menghitung tingkat kejadian serta kerusakan tanaman berdasarkan gejala serangan. Hama yang diamati yaitu Spodoptera exigua. Intensitas serangan hama penyakit dihitung menggunakan acuan rumus (Pustika et al. 2012):
IS= ∑ 𝑛𝑖 𝑥 𝑣𝑖
𝑁 𝑥 𝑣 𝑥 100%
Keterangan :
IS = intensitas serangan hama penyakit (%)
ni = jumlah tanaman yang terserang dengan kategori tertentu vi = nilai skala tiap kategori serangan
N = jumlah tanaman yang diamati V = nilai skala serangan tertinggi
Nilai skala serangan (vi) ditentukan mengacu pada nilai skala dari Febrianasari et al. 2014 yang telah dimodifikasi sebagai berikut :
0 : bila tidak ada gejala serangan 1 : bila gejala serangan 1 sampai 20% 2 : bila gejala serangan 21 sampai 40% 3 : bila gejala serangan 41 sampai 60% 4 : bila gejala serangan 61 sampai 80% 5 : bila gejala serangan 81 sampai 100%
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian
Penelitian dilakukan saat musim kemarau yaitu pada bulan September sampai November 2019 sehingga pengairan untuk tanaman bawang merah sangat mengandalkan sumur bor. Sumur bor tersebut terletak di tengah lahan penelitian dengan kedalaman mencapai 10 meter. Suhu rata-rata harian di daerah penelitian sebesar 25,4 oC dengan kelembapan rata-rata 65,5 %. Cuaca yang panas
menyebabkan tanah cepat kering sehingga selama 7 HST tanaman disiram setiap pagi dan sore agar cepat bertunas. Bibit yang sudah muncul tunas yaitu pada 8 HST hanya disiram 1 hari sekali pada pagi atau sore hari. Pertumbuhan tanaman sangat baik meskipun pada bulan kemarau karena kebutuhan air tercukupi dari sumur bor. Tingkat kesuburan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 4.3 Sifat kimia tanah sebelum perlakuan pada kedalaman 0-30 cm di lahan penelitian Desa Sukorejo, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk
*Kriteria penelitian sifat kimia tanah (LPT, 1983)
4.2 Pertumbuhan Bawang Merah
Hasil sidik ragam pada Tabel 4. menunjukkan perlakuan dosis pupuk anorganik (Urea, NPK 15:15:15, KCl) berpengaruh pada pertumbuhan tinggi tanaman 3 MST, 4 MST, 5 MST dan 6 MST, tetapi tidak berpengaruh nyata pada jumlah daun dan jumlah anakan. Perlakuan pupuk organik kandang kambing
Sifat Kimia Lahan belum pernah aplikasi pupuk organic Lahan dengan aplikasi Pupuk organik >3 tahun
Metode ekstraksi Kategori*
Nilai Nilai
N total (%) 0,15 0,13 Kjeldahl Rendah
P total (mg P2O5/100g)
135,93 105,37 Spectrofotometer UV-VIS
& AAS Tinggi
K total (mg K2O/100g)
112,96 108,07 Spectrofotometer UV-VIS Tinggi
C-Organik (%) 1,17 0,98 Walkey and Black Tinggi
pH H2O 6,16 6,25 Netral
P tersedia (ppm) 262,89 245,42 Olsen Tinggi
Ca-dd
(cmol(+)/kg) 10,26 11,88 NH4Oac 1M pH 7.00 Rendah
Mg-dd
(cmol(+)/kg) 6,53 10,34 NH4Oac 1M pH 7.00 Rendah
K-dd
(POKK) memberikan pengaruh yang nyata pada seluruh peubah pertumbuhan bawang merah. Tidak diperoleh pengaruh interaksi yang nyata antara dosis pupuk anorganik dan pemberian pupuk kandang kambing (POKK) terhadap semua peubah pertumbuhan. Dalam penelitian lanjutan ini, salah satu tujuan penelitian belum tercapai yaitu mengetahui dosis pupuk anorganik yang dapat dikurangi dengan penggunaan pupuk organik kandang kambing (POKK).
Tabel 4.4 Rekapitulasi sidik ragam pada peubah pertumbuhan bawang merah
Parameter Umur MST A P AxP KK (%) Tinggi Tanaman 2 tn tn tn 3,74 3 * * tn 2,80 4 * * tn 2,65 5 * * tn 2,79 6 * * tn 3,51 Jumlah Daun 2 tn * tn 8,51 3 tn * tn 8,71 4 tn * tn 7,77 5 tn * tn 7,73 6 tn * tn 9,43 Jumlah anakan 2 tn * tn 6,70 3 tn tn tn 8,82 4 tn * tn 7,38 5 tn tn tn 7,43 6 tn * tn 8,52
Keterangan : A= pemupukan anorganik (NPK, Urea, KCl), P= penambahan 10 ton ha-1 Pupuk Organik
Kandang Kambing, AxP= Interaksi perlakuan pemupukan anorganik dan POKK, KK= koefisien keragaman, tn= tidak nyata, *= menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5%
4.3 Tinggi Tanaman
Interaksi dosis pupuk anorganik dan POKK tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan dan jumlah daun. Secara tunggal pupuk anorganik (Urea,KCl, NPK) berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Penggunaan pupuk organik kandang kambing (POKK) menunjukkan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 3 MST, 4 MST, 5 MST dan 6 MST. Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik POKK secara nyata menekan tinggi tanaman diduga hal ini terjadi karena kandungan N-total tanah pada semua perlakuan termasuk pada kategori rendah berkisar 0,10-0,14% (Tabel 11) sehingga tidak memberikan pengaruh yang nyata pada pertumbuhan. Messele (2016) menyatakan, kekurangan N membatasi pembelahan dan ekspansi sel, perkembangan kloroplas, konsentrasi klorofil, dan aktivitas enzim. Kebutuhan bawang merah terhadap N cukup tinggi yaitu 64,26 kg N ha-1 (Sumarni et al. 2017), namun kandungan hara N pada tanah rendah sehingga
Tabel 4.5 Pengaruh perlakuan POKK terhadap tinggi tanaman
Keterangan : P0= 0 ton ha-1, P1 = 10 ton ha-1
Tabel 4.6 Pengaruh dosis pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman
Keterangan : P0= 0 ton ha-1, P1 = 10 ton ha-1, A0= 0 % anorganik, A1 = 25 % anorganik, A2 = 50% anorganik,
A3 = 75% anorganik, A4 = 100% anorganik.
Tabel 4.7. Respon tinggi tanaman terhadap dosis pupuk anorganik pada lahan dengan dan tanpa pupuk organik
Keterangan : Uji orthogonal polynomial: *:pengaruh nyata; **: pengaruh sangat nyata; L: linear; K: kuadratik.
Pembahasan dilakukan terhadap hasil penelitian tidak menunjukkan peningkatan tinggi tanaman dengan dosis yang lebih banyak tetapi justeru menurunkan tinggi tanaman, menurut Abdissa et al (2011) hara N terlibat langsung dalam pembentukan asam amino, protein, asam nukleat, enzim, nukleoprotein dan alkaloid yang sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan tanaman, terutama perkembangan daun, serta pembentukan anakan. Selain hara N mempengaruhi pertumbuhan tanaman, hara P dan K juga termasuk berperan dalam pertumbuhan, hasil analisis laboratorium pada tanah setelah penelitian juga menunjukkan kandungan hara K total, dan P tersedia termasuk dalam kategori tinggi dengan rata-rata yaitu 88,38 mg K2O 100g-1, dan 112,33 P2O5 ppm (Tabel 11), hal ini
menunjukan unsur N, P dan K mempengaruhi peningkatan tinggi tanaman dan bobot tanaman. Sumarni et al (2012) juga menyatakan, pemupukan N, P dan K meningkatkan tinggi tanaman dan bobot tanaman. Walaupun demikian, dengan atau tanpa POKK (Tabel 7 dan Gambar 5) tinggi tanaman menunjukkan penurunan secara linear terhadap peningkatan dosis pupuk anorganik (NPK 15:15:15, Urea,
Rata-rata tinggi tanaman (cm)
3 MST 4 MST 5 MST 6 MST
Perlakuan
P0 31,39a 36,52a 38,43a 39,03a
P1 28,85b 34,65b 37,65b 36,88b
Rata-rata tinggi tanaman (cm)
3 MST 4 MST 5 MST 6 MST Perlakuan A0 30,88 36,58 39,30 39,40 A1 30,08 35,16 38,33 38,11 A2 29,85 34,95 37,47 37,65 A3 29,43 35,19 37,08 37,12 A4 30,37 36,04 38,03 37,49
Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman 6 MST
Dosis Pupuk Anorganik Rata-Rata
P0+P1 0% 39,40 25% 38,11 50% 37,65 75% 37,13 100% 37,49 Uji polynomial 0,02*L
KCl) dengan persamaan (y = -0,0192x + 38,916 (R² = 0,7427), hal ini ditunjukan pada analisis tanah setelah panen rata-rata N total 0,12% hampir sama pada tiap perlakuan sedangkan P tersedia dan K total termasuk kategori tinggi yaitu 112,33 P2O5 ppm dan 88,38 mg K2O 100g-1.
Gambar 4.5 Pengaruh pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman 6 MST
Tabel 4.8 Total Kandungan hara N, P, dan K pada daun bawang merah
Keterangan : r= rendah, s= sedang, t= tinggi, penilaian hara daun mengacu pada penelitian Boyhan et al. (2007)
Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan hara N oleh tanaman bawang merah masih rendah sehingga kandungan N-total pada daun bawang merah termasuk pada kategori rendah. Hal ini terjadi karena adanya faktor pembatas berupa nitrogen yang rendah pada semua perlakuan yang diuji sehingga penambahan berbagai dosis pupuk P dan K tidak meningkat pada daun bawang merah. Nitrogen yang rendah pada tanah (0,12%) mengakibatkan kandungan hara yang rendah oleh tanaman yaitu rata-rata 1,62 %. Kandungan nitrogen pada tanah yang rendah juga diduga karena proses penguapan yang tinggi, hal tersebut dikarenakan kebiasaan petani di daerah Nganjuk yang tidak menutup pupuk yang sudah diberikan dengan tanah. Penguapan yang cepat tersebut dapat mengurangi efisiensi penggunaan N pada tanaman, sehingga tanaman bawang merah tidak
Dosis pupuk N Total
(%) K Total (%) P Total (%) kg N ha -1 kg Pha2-1O5 kg Kha-12O (ton haPOKK -1) 0 0 0 0 1,71 4,30 0,12 25,04 6,26 31,31 0 1,90 3,46 0,15 50,09 12,52 62,52 0 1,80 2,58 0,16 75,14 18,78 93,93 0 1,81 3,15 0,14 100,2 25,05 125,25 0 2,00 3,48 0,17 Rata-rata 1,84(r) 3,39(t) 0,15(r) 0 0 0 10 1,68 3,32 0,11 25,04 6,26 31,31 10 1,85 3,62 0,14 50,09 12,52 62,52 10 1,24 3,24 0,05 75,14 18,78 93,93 10 1,07 1,90 0,04 100,2 25,05 125,25 10 1,14 1,83 0,04 Rata-rata 1,40(r) 2,78(s) 0,08(r) y = -0.0192x + 38.916 R² = 0.7427 36,5 37,0 37,5 38,0 38,5 39,0 39,5 40,0 0 25 50 75 100 Ti n g g i Ta n a m a n (c m )
maksimal pertumbuhannya sesuai dengan standar yang ditentukan pada SK Mentan No 66/Kpts/TP.240/2/2000.
4.4 Jumlah Daun
Tabel 9 menunjukan penambahan 10 ton ha-1 POKK nyata meningkatkan
jumlah daun dari 2 MST hingga 6 MST. Bertambahnya jumlah daun hingga 5 MST yaitu 35 helai/rumpun. Hal ini diduga aplikasi pupuk organik dapat meningkatkan kadar hara, terutama N sehingga jumlah daun lebih banyak dengan pemupukan organik. Pembentukan daun membutuhkan unsur hara nitrogen yang optimal yang berperan dalam laju fotosintat dan sintesis protein sehingga meningkatkan laju pertumbuhan. Napitupulu dan Winarto (2010) menyatakan, nitrogen berperan dalam meningkatkan sintesis protein dan pembentukan klorofil sehingga daun tampak lebih hijau.
Tabel 4.9 Pengaruh perlakuan POKK terhadap jumlah daun
Perlakuan Rata-Rata Jumlah Daun
2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST
Organik
P0 13,53b 25,87b 29,93b 30,36b 28,14b
P1 18,25a 28,28a 33,11a 35,00a 33,42a
Keterangan : P0= 0 ton ha-1, P1 = 10 ton ha-1.
4.5 Jumlah Anakan
Jumlah anakan atau umbi per rumpun lebih disebabkan oleh pertumbuhan tanaman dan interaksinya dengan kondisi lingkungan (Tabel 10) perlakuan pupuk 10 ton ha POKK nyata pada 2 MST, 4 MST dan 6 MST meningkatkan jumlah anakan per rumpun mencapai berturut-turut sejumlah rata-ratanya 4,27, 5,12 dan 7,57. Tanaman bawang merah setiap minggunya semakin tinggi dan bertambah jumlah daun serta anakannya, namun perlakuan pupuk anorganik (NPK 15:15:15, Urea, KCl) dan kombinasinya tidak berpengaruh nyata dibandingkan pemberian POKK. Dari ketiga peubah menunjukkan bahwa POKK nyata menekan tinggi tanaman tetapi nyata berhasil meningkatkan jumlah daun dan jumlah anakan diduga pemberian pupuk anorganik tidak mampu diserap oleh bawang merah secara optimal terutama unsur hara nitrogen namun dengan POKK ternyata cukup mampu mencapai standar kualitas bawang merah super philip yang ditentukan pada SK Mentan No 66/Kpts/TP.240/2/2000 yaitu tinggi tanaman 36-45 cm dan jumlah daun 22-29 helai/rumpun.
Tabel 4.10 Pengaruh perlakuan POKK terhadap jumlah anakan
Perlakuan Rata-Rata Jumlah Anakan
2 MST 4 MST 6 MST
Organik
P0 3,87b 4,77b 7,09b
P1 4,27a 5,12a 7,57a
4.6 Kandungan Hara Tanah
Hasil analisis laboratorium pada tanah setelah penelitian menunjukkan kandungan hara K total, dan P tersedia termasuk dalam kategori tinggi pada pemberian pupuk anorganik tanpa POKK dengan rata-rata 108,3 K2O 100g-1 dan
175,21 P2O5 ppm sedangkan pemberian pupuk anorganik dengan POKK rata-rata
88,38 mg K2O 100g-1, dan 112,33 P2O5 ppm (Tabel 11) Ketersediaan hara Mg
dalam tanah juga termasuk kategori tinggi dengan rata-rata 10.05 cmol(+) kg-1.
Penambahan 10 ton ha-1 POKK tidak meningkatkan kandungan C-organik tanah
rata-ratanya 0.67% dari kandungan sebelumnya 0.98% sehingga terjadi penurunan sekitar 0.32% C-Organik. sedangkan hasil analisis laboratorium pada pupuk organik kotoran kambing kandungan C-organik sudah sesuai standar keputusan Menteri pertanian nomor 261/KPTS/SR.310/M/4/2019 yaitu 20.09% (Tabel 12). Napitupulu dan Winarto (2010) menyatakan, nitrogen berperan dalam meningkatkan sintesis protein, pembuatan klorofil daun dan meningkatkan rasio pucuk akar. Kandungan N-total tanah pada lahan anorganik kategori 0.10-0.13% sedangkan lahan organik berkisar pada termasuk pada kategori 0.10-0.14% sehingga memberikan pengaruh pada pertumbuhan. Hal ini diduga aplikasi pupuk organik dapat meningkatkan serapan hara, terutama N, dengan mengurangi pencucian hara. Canqui et al. (2013) menambahkan, akumulasi C-organik pada tanah dapat meningkatkan kemampuan tanah untuk menahan air selama periode kering dan menyerap air selama periode basah, selain itu penyimpanan C-organik pada tanah juga dapat mengurangi polusi air dengan meningkatkan penyaringan dan penyerapan polutan.
Tabel 4.11 Sifat kimia tanah setelah perlakuan pada kedalaman 0-30 cm di lahan penelitian Desa Sukorejo, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk.
Dosis pupuk Ca dd (cmol(+)/kg) HpH 2O N Total (%) C Organik (%) K Total (mg K2O/100g) P Tersedia (P2O5 ppm) kg N ha-1 kg P2O5 ha-1 kg K2O ha-1 POKK (ton ha-1) 0 0 0 0 13,38 7,75 0,10 0,82 70,94 164,88 25,04 6,26 31,31 0 13,12 7,29 0,11 0,76 87,21 150,76 50,09 12,52 62,52 0 12,96 6,88 0,13 0,73 115,60 182,96 75,14 18,78 93,93 0 13,21 6,71 0,12 0,71 141,76 177,88 100,2 25,05 125,25 0 13,30 6,74 0,12 0,75 124,64 199,57 Rata-rata 13,19 7,07 0,12 0,75 108,03 175,21 0 0 0 10 12,48 7,66 0,10 0,61 54,50 107,66 25,04 6,26 31,31 10 14,11 7,32 0,14 0,68 83,18 96,76 50,09 12,52 62,52 10 14,16 7,25 0,12 0,67 79,62 108,76 75,14 18,78 93,93 10 14,51 7,18 0,11 0,72 114,00 118,26 100,2 25,05 125,25 10 14,08 7,15 0,13 0,69 110,58 130,21 Rata-rata 13,87 7,31 0,12 0,67 88,38 112,33
Tabel 4.12 Hasil pengujian kandungan hara pada pupuk organik kotoran kambing
Parameter Nilai Metode Standar Kategori*
Kadar air (%) 8,67 Gravimetri 10-25% Belum sesuai standar
pH H2O 5,99 pH meter 4-9 Sesuai standar
C-organik (%) 20,09 Gravimetri min 15 Sesuai standar
N-total (%) 1,67 Kjeldahl min 4% Belum sesuai standar
P (% P2O5) 4,00 Spektrofotometer UV-VIS min 4% Sesuai standar
K (% K2O) 2,45 AAS min 4% Belum sesuai standar
Keterangan : *Kategori ditentukan berdasarkan persyaratan teknis minimal pupuk organik padat pada Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 261/KPTS/SR.310/M/4/2019.
4.7 Produksi Bawang Merah
Hasil Rekapitulasi Sidik Ragam pada Tabel 13. menunjukkan perlakuan pupuk organik memberikan pengaruh nyata pada bobot umbi per 100 rumpun dan tidak berpengaruh nyata pada jumlah umbi per rumpun sedangkan interaksi dengan pupuk organik dan perlakuan pupuk anorganik (Urea, NPK 15:15:15, KCl) tidak memberikan pengaruh nyata pada kedua peubah produksi bawang merah tersebut. Pemupukan anorganik (Urea, NPK 15:15:15, KCl) memberikan pengaruh pada kekerasan umbi dan persentase diameter umbi besar dan pemupukan organik memberikan pengaruh nyata pada peubah kekerasan umbi dan persentase kerusakan umbi di 6 MSP. Interaksi pupuk anorganik (Urea, NPK 15:15:15, KCl) dan pupuk organik POKK memberikan pengaruh nyata pada persentase persentase umbi belah ketupat.
Tabel 4.13 Rekapitulasi sidik ragam pada peubah produksi dan kualitas bawang merah
Keterangan: A= pemupukan anorganik (NPK, Urea, KCl), P= penambahan 10 ton ha-1 Pupuk Organik Kandang
Kambing, A*P= Interaksi perlakuan pemupukan anorganik dan 10 ton/ha POKK, KK= koefisien keragaman, tn= tidak nyata, *= menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5%, t= data yang ditransformasi
Parameter Umur A P AxP KK (%)
Bobot Umbi per 100 Rumpun tn * tn 8,44
Bobot Umbi per rumpun tn * tn 9,43
Jumlah Umbi per rumpun tn tn tn 8,53
Persentase Kerusakan Umbi 2 MSP tn tn tn 21,14t
4 MSP tn tn tn 17,82t
6 MSP tn * tn 18,52t
8 MSP tn tn tn 19,68t
Kekerasan Umbi * * tn 13,43
Persentase Umbi Belah Ketupat tn tn * 15,44t
Persentase Umbi Bulat tn tn tn 26,68t
Persentase Umbi Elips Melintang tn tn tn 24,47t
Persentase Umbi Oval Sedang tn tn tn 14,79t
Persentase Bobot Umbi Kecil tn tn tn 22,44t
Persentase Bobot Umbi Sedang tn tn tn 24,40
Persentase Bobot Umbi Besar tn tn tn 18,95t
Persentase Diameter Umbi Kecil tn tn tn 19,82t
Persentase Diameter Umbi Sedang tn tn tn 19,36t
Aplikasi pupuk organik kandang kambing (POKK) salah satu komponen hasil rata-rata yang nyata lebih tinggi dibandingkan tanpa pemberian POKK. Rata-rata bobot umbi per 100 rumpun yang tidak menggunakan POKK yaitu 5,67 kg. Sementara dengan 10 ton ha-1 POKK menghasilkan rata-rata bobot 6,20 kg umbi
per 100 rumpun (Tabel 14). Ramli et al. (2016) menyatakan, Bobot isi tanah (Bulk density) dipengaruhi kandungan bahan organik dan tingkat kepadatan tanah, bahan organik yang semakin tinggi maka bobot isi tanah akan semakin rendah yang berarti struktur tanah menjadi lebih gembur. Hal tersebut sesuai dengan penelitian nilai rata-rata lebih tinggi pada pemberian pupuk kandang kotoran kambing, diduga disebabkan tekstur tanah yang gembur sehingga penetrasi, pertumbuhan dan pemanjangan akar lebih mudah. Akar yang panjang pada bawang merah akan meningkatkan serapan hara sehingga akan meningkatkan produktivitas bawang merah.
Tabel 4.14 Rata-rata Bobot umbi per 100 Rumpun produksi bawang merah dengan perlakuan POKK.
Perlakuan Rata-Rata Bobot umbi
per 100 rumpun (kg)
Rata-Rata produktivitas berdasarkan umbi per
100 rumpun (ton ha-1)
Organik
P0 5,67b 22,21b
P1 6,20a 24,59a
Keterangan : P0= 0 ton ha-1, P1 = 10 ton ha-1.
Pemberian pupuk organik kandang kambing 10 ton ha-1 berhasil nyata
meningkatkan besaran produksi, (sebanyak 32,79%) dari bobot umbi per 100 rumpun dari 5,67 kg menjadi 6,20 kg umbi per 100 rumpun atau 24,59 ton ha-1.
Produksi tersebut sudah melebihi standar yang ditetapkan pada Varietas Super Philip Keputusan Menteri Pertanian Nomor 66/KPTS/TP.240/2 tahun 2000 yaitu 17,60 ton ha-1. Produksi bawang merah yang sesuai standar bahkan melebihi
ditunjang oleh ketersediaan K pada level sedang sampai tinggi (Tabel 8) untuk dapat diserap oleh tanaman bawang merah. Kalium berperan penting untuk tanaman dalam proses fotosintesis, penyimpanan energi, sintesis protein, translokasi hasil fotosintesis dan meningkatkan bobot umbi bawang bombai (Kumara et al. 2018).
4.8 Kualitas Umbi Bawang Merah
Pemberian pupuk organik 10 ton ha-1 tidak mempengaruhi secara nyata pada
diameter umbi besar bawang merah. Diameter umbi besar bawang merah menunjukkan respon kuadratik dengan persamaan (y = 0,0039x2 – 0,3539x +
61,748 R2 = 0,6682) (Tabel 15 dan Gambar 7). Hal ini apabila dikaitkan pada Gambar 5 kurva pertumbuhan bawang merah pada 6 MST menunjukkan bahwa penggunaan pupuk anorganik 0% lebih efisien dari pemupukan pupuk anorganik 100% sehingga apabila tidak diberi pupuk tanaman bawang merah dapat berkualitas dengan baik. Diduga penggunaan pupuk anorganik tidak berhasil meningkatkan produksi, sebaliknya menurunkan kualitas produksi, penggunaan pupuk anorganik
menurunkan kualitas bawang merah seperti pada persentase diameter umbi besar (Gambar 7) dan kekerasan umbi (Gambar 8).
Tabel 4.15 Respon persentase diameter umbi besar terhadap dosis pupuk anorganik pada lahan dengan dan tanpa pupuk organik
Keterangan : P0= 0 ton ha-1, P1 = 10 ton ha-1 ; Uji orthogonal polynomial: *:pengaruh nyata; **: pengaruh
sangat nyata; L: linear; K: kuadratik.
Gambar 4.6 Bentuk umbi diameter besar bawang merah Super Philip
Gambar 4.7 Pengaruh pupuk anorganik terhadap diameter umbi besar
Tabel 16 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa jika tanpa pupuk organik, pemberian pupuk anorganik tidak berpengaruh nyata tetapi jika dengan pemberian POKK 10 ton ha-1, peningkatan dosis pupuk anorganik, menurunkan mutu dengan
nyata persentase umbi belah ketupat secara linear dengan persamaan (y= -0,032x+11,8 (R² = 0,3133)).
Diameter Umbi Besar (%) Dosis pupuk anorganik Tanpa Pupuk
organik Pupuk Organik Rata-rata
(0 ton/ha) (10 ton/ha) P0+P1 0% 64,60 55,51 60,06 25% 48,96 71,36 60,16 50% 49,42 49,59 49,50 75% 66,39 49,81 58,10 100% 67,85 63,47 65,66
Rata-rata (Uji polynomial) 59,44 57,94 58,69 (0,03*K)
y = 0.0039x2 - 0.3539x + 61.748 R² = 0.6682 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 0 25 50 75 100 P ers en ta se D ia m eter U m bi Bes a r (% )
Gambar 4.8 Respon umbi belah ketupat terhadap taraf pupuk anorganik pada pemberian 10 ton/ha
Gambar 4.9 Karakter berbagai bentuk umbi varietas Super Philip
Tabel 4.16 Pengaruh pupuk anorganik dan pupuk organik terhadap persentase bentuk umbi belah ketupat bawang merah
Keterangan : P0= 0 ton ha-1, P1 = 10 ton ha-1 ; Uji orthogonal polynomial: *:pengaruh nyata; **: pengaruh
sangat nyata; L: linear; K: kuadratik.
Tabel 17 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa tingkat kekerasan umbi varietas super philip menurun secara linear terhadap peningkatan dosis dengan persamaan (y = -0,0274x+14,029 (R² = 0,7743)) Pemberian pupuk anorganik yang semakin meningkat justru secara linier nyata mengurangi tingkat kekerasan umbi. Bawang merah termasuk produk hortikultura jenis non klimaterik sehingga produksi etilennya sangat rendah. Produksi etilen dapat meningkatkan laju respirasi sehingga terjadi proses pelunakan pada jaringan umbi bawang merah, diduga pemupukan anorganik lebih rendah memiliki etilen lebih tinggi dari perlakuan lain sehingga jaringan umbi bawang merah lebih lunak. Downes et al. (2010) menyebutkan bahwa produksi etilen berpengaruh terhadap laju respirasi dan perkecambahan pada bawang merah.
Interaksi dua perlakuan terhadap persentase Umbi Belah Ketupat (%) Dosis pupuk anorganik Tanpa Pupuk organik Pupuk organik
(0 ton/ha) (10 ton/ha) 0% 6,50 11,50 25% 10,25 11,00 50% 12,25 9,25 75% 7,00 12,50 100% 11,50 6,75
Rata-rata (Uji polynomial) 9,5 (0,68tn) 10,20 (0,006**L)
y = -0.032x + 11.8 R² = 0.3133 0,0 5,0 10,0 15,0 0 25 50 75 100 pers en ta se U m bi Bel a h Ke tu pa t (% )
Tabel 4.17 Pengaruh pupuk anorganik dan pupuk organik terhadap kekerasan umbi bawang merah
Keterangan : P0= 0 ton ha-1, P1 = 10 ton ha-1Uji orthogonal polynomial: *:pengaruh nyata; **: pengaruh
sangat nyata; L: linear; K: kuadratik.
Gambar 4.10 pengaruh pupuk anorganik terhadap kekerasan umbi
Tabel 4.18 Pengaruh perlakuan POKK terhadap persentase kerusakan umbi bawang merah pada 6 MSP
Perlakuan Rata-Rata Kerusakan Umbi Bawang
Merah pada 6 MSP (%) Organik
P0 0,90b
P1 1,40a
Keterangan : P0= 0 ton ha-1, P1 = 10 ton ha-1.
Tabel 18. Penambahan 10 ton ha-1 POKK umur penyimpanan 6 MSP
mempunyai persentase kerusakan bawang merah 1,40 % yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan 0 ton ha-1 POKK hal tersebut diduga kerusakan umbi bawang
merah dipengaruhi oleh kadar air yang tinggi di dalam umbi bawang merah sehingga respirasi meningkat sampai puncaknya hingga mencapai tahap pembusukan. Bawang merah yang dinyatakan rusak adalah bawang merah yang mengalami pertunasan, kebusukan, dan kerusakan akibat serangan hama gudang. Kerusakan bawang merah disebabkan proses kimiawi dan enzimatis yang dipicu oleh penurunan kadar air dalam bawang merah. Mutia et al. (2015) menyatakan,
Perlakuan terhadap kekerasan Umbi (mm/g/detik) Dosis pupuk anorganik Tanpa Pupuk
Organik Pupuk Organik Rata-rata
(0 ton/ha) (10 ton/ha) P0+P1 0% 14,47 12,36 13,41 25% 14,39 14,11 14,25 50% 13,33 12,14 12,73 75% 13,36 9,78 11,57 100% 12,22 10,45 11,33
Rata-rata (Uji polynomial) 13,55a 11,77b 12,65 (0,0004**L)
y = -0.0274x + 14.029 R² = 0.7743 0,0 7,0 14,0 21,0 0 25 50 75 100 Kek era sa n U m bi (m m /g /deti k )
penurunan kadar air dalam bawang merah akan memicu proses mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis sehingga akan mempengaruhi laju kerusakan selama penyimpanan. Perlakuan POKK terhadap kerusakan berbeda nyata namun persentase kerusakan tidak lebih 5% sehingga hal tersebut sudah sesuai syarat mutu bawang merah SNI 01-3159-1992 yaitu kerusakan maksimal 5%. Pengaruh pemberian POKK pada peningkatan kerusakan karena diduga berkaitan dengan pengaruh pada penurunan tingkat kekerasan umbi bawang merah.
4.9 Intensitas Keparahan dan Luas Serangan Spodoptera exigua
Hasil rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 19. menunjukkan perlakuan pupuk organik 10 ton ha-1 POKK berpengaruh nyata pada peubah luas kejadian
hama Spodoptera. exigua pada 3 MST dan intensitas keparahan S. exigua pada 3 MST. Sementara pemupukan tunggal anorganik dan kombinasi tidak berpengaruh pada peubah luas kejadian serta intensitas keparahan hama S. exigua.
Tabel 4.19 Rekapitulasi sidik ragam pada peubah kejadian dan serangan hama bawang merah
Parameter Umur A P AxP KK (%)
Kejadian Hama S. exigua 2 MST tn tn tn 8,61t
3 MST tn * tn 17,73t
4 MST tn tn tn 21,87t
5 MST tn tn tn 12,18t
6 MST tn tn tn 7,75t
Intensitas Serangan S. exigua 2 MST tn tn tn 25,13t
3 MST tn * tn 16,15t
4 MST tn tn tn 18,86t
5 MST tn tn tn 11,89t
6 MST tn tn tn 7,75t
Keterangan : A= pemupukan anorganik (NPK, Urea, KCl), P= penambahan 10 ton ha-1 Pupuk Organik
Kandang Kambing, AxP= Interaksi perlakuan pemupukan anorganik dan 10 ton/ha POKK, KK= koefisien keragaman, tn= tidak nyata, *= menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5%, t= data yang ditransformasi
Perlakuan POKK memberikan pengaruh nyata pada luas serangan hama Spodoptera exigua ketika umur tanaman 3 MST namun tidak berpengaruh ketika umur tanaman 2 MST, 4 MST 5 MST, dan 6 MST. Perlakuan 10 ton ha-1 POKK
meningkatkan luas serangan dan intensitas keparahan S. exigua (Tabel 20). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya dimana perlakuan dosis acuan
1 2 3
Gambar 4.11 Kriteria kerusakan pada umbi bawang merah 1) hampa; 2) bertunas; 3) busuk
pupuk anorganik (50,09 kg N; 12,52 kg P2O5; 62,52 kg K2O ha-1) dan pemberian
10 ton ha-1 POKK dapat menurunkan luas serangan dan intensitas keparahan S.
exigua pada 3 MST hingga 0% (Romdoni et al 2019). Hal ini berkorelasi dengan pengaruh pupuk kandang yang nyata meningkatkan jumlah anakan dan jumlah daun (Tabel 9 dan 10), serta daun bawang merah menjadi lebih hijau sehingga menjadi daya tarik bagi hama dan sangat rentan terhadap serangan hama, kondisi suhu rendah, kelembaban tinggi menyebabkan tingkat serangan hama tinggi. Surya et al. (2019) menyatakan kelembaban tanah dan udara merupakan faktor utama yang mempengaruhi serangan dan penyebaran hama pada bawang merah. Aplikasi pupuk anorganik yang terlalu tinggi disertai pemupukan pupuk organik diduga juga meningkatkan serangan hama di awal pertumbuhan, namun serangan hama ini masih dapat dikompensasi oleh jumlah daun yang lebih banyak pada perlakuan dengan pemberian pupuk organik kotoran kambing sehingga tidak sampai merusak umbi. Selain itu, kandungan saponin pada bawang merah diduga tidak menunjukan pencegahan dari tingkat serangan S. Exigua. Abreu et al. (2012) menyatakan campuran kimia yang terlibat melawan hama adalah saponin. Saponin tersebut memiliki konfigurasi kimia khas yang biasanya mengandung inti triterpenoid dan steroid dengan kualitas struktur glikolisasi yang berbeda. Pemupukan yang
berimbang dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga dapat tumbuh optimal dan mudah membentuk daun baru.
Tabel 4.20 Pengaruh POKK terhadap luas serangan dan intensitas keparahan S. Exigua pada 3 MST
Perlakuan Rata-rata Kejadian Hama S. Exigua
pada 3 MST (%) Organik
P0 8,50b
P1 37a
Perlakuan Rata-rata Intensitas Serangan S.
Exigua pada 3 MST (%) Organik
P0 7,43b
P1 27,38a
5 SIMPULAN
Pupuk organik kotoran kambing dan pupuk anorganik, masing-masing nyata menurunkan tinggi tanaman, sebaliknya hanya pupuk organik kotoran kambing saja yang meningkatkan jumlah daun dan jumlah anakan. Pemberian pupuk organik kotoran kambing lebih banyak berpengaruh pada peubah produksi secara kuantitas seperti bobot umbi per rumpun dan per 100 rumpun. Pupuk organik kotoran kambing belum menunjukkan peranannya mengurangi atau meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik. Arah pengaruh kedua jenis pupuk tersebut berbeda. Pemberian pupuk organik kotoran kambing sebanyak 10 ton ha-1 berhasil
nyata meningkatkan besaran produksi, (sebanyak 32,79%).Pupuk anorganik tidak berhasil meningkatkan produksi, tetapi menurunkan kualitas produksi, yakni persentase umbi besar dan kekerasan umbi. Penambahan pupuk organik kotoran kambing mengurangi peranan pupuk anorganik pada persentase umbi belah ketupat. Penambahan pupuk organik kotoran kambing pada umbi 6 minggu setelah simpan (MSS) menyebabkan persentase kerusakan bawang merah 1,40% tetapi masih di bawah 5% sesuai syarat mutu SNI 01-3159-1992 bawang merah.
DAFTAR PUSTAKA
Abreu AC, McBain AJ, Simoes M. 2012. Plants as sources of new antimicrobials and resistance-modifying agents. Nat. Prod. Rep. 2012(29): 1007-1021. Acharya S, Kumar H. 2018. Effect of some organic manure on growth and yield of
garlic in greenhouse condition at cold desert high altitude ladakh region. Def Life Sci J. 3(2): 100-104.
Abdissa Y, Tekalign T, Pant LM. 2011.Growth bulb yield and quality of onion (Allium cepa L.) as influenced by nitrogen and phosphorus fertilization on vertisol I growth attributes biomass production and bulb yield. Afr J Agric Res, 6 (14) : 3253-58.
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International. Ed ke-8. Maryland (US): AOAC International.
Atijegbe SR, Nuga BO, Lale NES, Osayi RN. 2014. Effect of organic and inorganic fertilizers on okra (Abelmoschus esculentus L. Moench) production and incidence of insect pests in the humid tropics. J. Agric. and Vet. Sci. 7(4): 25-30.
Aydogdu M, Boyraz N. 2011. Effects of nitrogen and organic fertilization on corn Smut (Ustilago maydis (DC) Corda.). Afr J Agric Res. 6(19): 4539-4543. Bagali AN, Patil HB, Chimmad VP, Patiland PL, Patil RV. 2012. Effect of
inorganics and organics on growth and yield of onion (Allium cepa L.). Karnataka J Agric Sci. 25(1): 112-115.
Baidoo PK, Mochiah MB. 2011. The influence of nutrient application on the pests and natural enemies of pests of okra Abelmoschus esculentus (L.)(Moench.). J Appl Biosci. 41: 2765-2771.
Bajeli J, Tripathi S, Kumar A, Tripathi A, Upadhyay RK. 2016. Organic manures a convincing source for quality production of Japanese mint (Mentha arvensis L.). Industrial Crops and Products. 83: 603-606.
Bappenas. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia.
Behrani GQ, Syed RN, Abro MA, Jiskani MM, Khanzada MA. 2015. Pathogenicity and chemical control of basal rot of onion caused by Fusarium oxysporum f. sp. cepae. Agril Engg. 31(1): 60-70.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Jumlah penduduk Indonesia dan produksi padi
menurut provinsi (ton) tahun 1993-2015.
https://www.bps.go.id/statictable/2009/02/20/1267/penduduk-indonesia-menurut-provinsi-1971-1980-1990-1995-2000-dan-2010.html. [22 Juli 2018].
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Produksi Bawang Merah 2017. https://www.bps.go.id/site/resultTab. [22 Juli 2018].
Bua B, Owiny R, Akasairi O. 2017. Response of onion to different organic amendments in central Uganda. Journal of Agricultural Science and Technology. 7: 79-85.
Canqui HB, Charles A. Shapiro, Charles S. Wortmann, Rhae A. Drijber, Martha Mamo, Tim M. Shaver, and Richard B. Ferguson. 2015.Soil organic carbon: The value to soil properties. Journal of Soil and Water Conservation
Coll P, Cadre EL, Villenave C. 2012. How are nematode communities affected during a conversion from conventional to organic farming in southern French vineyards. Nematology. 14(6): 665-676.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Pembakuan standar mutu produk beberapa segmen pasar. Jakarta (ID): Deptan
Dhaker B, Sharma RK, Chhipa BG, Rathore RS. 2017. Effect of different organic manures on yield and quality of onion (Allium cepa L.). Int J Curr Microbial App Sci. 6(11): 3412-3417.
Downes K, Gemma A. Chope, Leon A. Terry. 2010. Postharvest application of ethylene and 1-methylcyclopropene either before or after curing affects onion (Allium cepa L.) bulb quality during long term cold storage. Postharvest Biology and Technology 55: 36–44
Ekawati R, Aziz SA, Andarwulan N. 2017. Shoot, total phenolic, and anthocyanin production of plectranthus amboinicus with organic fertilizing. Bul. Littro. 24(2): 93-100.
Eldardiry EI, El-Hady A, Aboellil AAA. 2015. Effect of organic manure sources and NPK fertilizer on yield and water productivity of onion (Allium cepa L.). Glo Adv Res J Agric Sci. 4(1): 803-808.
El-shatanofy, ME. 2011. Influence of Organic Manure and Inorganic Fertilizers on Growth, Yield and Chemical Contents of Onion (Allium cepa L) [thesis]. Alexandria University.
Elisabeth DW, Santosa M, Herlina N. 2013. Pengaruh pemberian berbagai komposisi bahan organik pada pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L). Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Jurnal Produksi Tanaman.1(3):21-29.
Grevsen K, Frette XC, Christensen LP. 2008. Concentration and composition of avonol glycosides and phenolic acids in aerial parts of stinging nettle (Urtica dioica L.) are affected by nitrogen fertilization and by harvest time. European Journal of Horticulture Science. 73(1): 20-27.
Ibrahim MH, Jaafar HZE, Karimi E, Ghasemzadeh A. 2013. Impact of organic and inorganic fertilizers application on the phytochemical and antioxidant activity of kacip fatimah (Labisia pumila Benth). Molecules. 18: 10973-10988. Kulpapangkorn, Mai-leang S. 2012. Effect of plant nutrition on turmeric
production. Procedia Engineering. 32: 166-171.
Kumara, B. R., C. P. Mansur, Girish Chander, S. P. Wani, T. B. Allolli, S. L. Jagadeesh, R. K. Mesta, D. Satish, Shankar Meti, and Sanjeevraddi G. Reddy.