Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah Susun dengan Prevalensi
Penyakit Respirasi Kronik di Jakarta
Wanda Gautami
1, Elisna Syahruddin21. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penyakit respirasi merupakan masalah kesehatan dengan angka kejadian tinggi di Indonesia. Penyakit respirasi kronik seperti asma, pneumonia, tuberkulosis, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) juga merupakan penyebab mortalitas yang tinggi di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan rumah terhadap prevalensi penyakit respirasi kronik yaitu PPOK, batuk kronik, tuberkulosis paru, asma, pneumonia, dan infeksi fungal pada penghuni rumah susun di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan alat ukur berupa kuesioner. Penelitian dilakukan terhadap 120 keluarga yang tinggal di rumah susun menengah kebawah di Jakarta pada tahun 2012. Variabel lingkungan yang diteliti meliputi ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian, sarana sanitasi, suhu udara, dan kelembaban udara. Dari 120 keluarga, didapatkan 513 data penghuni rumah susun dengan prevalensi penyakit respirasi secara total sebesar 41,9%, secara rinci yaitu prevalensi tuberkulosis paru sebesar 7,6%, PPOK sebesar 1,8%, asma sebesar 1,0%, infeksi fungal sebesar 0,8%, pneumonia sebesar 0,2%, batuk kronik sebesar 0,6%, dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sebesar 32,9%. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara prevalensi penyakit respirasi kronik dengan ventilasi rumah susun (p=0,042) , dan dengan pencahayaan dalam rumah susun (p=0,003). Penyakit respirasi kronik memiliki hubungan dengan keadaan lingkungan yaitu ventilasi dan pencahayaan pada penghuni rumah susun di Jakarta.
Relationship between Environmental Condition of Flat and Prevalence of Chronic Respiration Disease in Jakarta
Abstract
Respiratory disease is one of the highest prevalence health problem in Indonesia. Chronic respiratory disease such as asthma, pneumonia, tuberculosis, and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) are the top leading cause of mortality in Indonesia. The objective of this study is to know the relationship between flat environmental condition and prevalence of chronic respiratory disease, which is COPD, chronic cough, tuberculosis, asthma, pneumonia, and fungal infection of flat occupiers in Jakarta. This study was an observational research using cross-sectional design. Data was obtained through questionnaire. This study was conducted on 120 families who live in lower middle flats in Jakarta on 2012 The environmental variables of this study specifically include ventilation area, natural lighting in the house, occupancy density, basic sanitation facilities, temperature, and humidity of the flats. From 120 family, 513 data of flat occupiers in Jakarta is obtained with the prevalence of respiratory disease in a total of 41.9%, specifically tuberculosis with prevalence of 7,6%, COPD with 1,8%, asthma with 1,0%, fungal infection with 0,8%, pneumonia with 0,2%, chronic cough with 0,6%, and acute respiratory infection with 32,9%. Significant relationship was obtained between prevalence of chronic respiratory disease and ventilation area (p=0,042), and also with natural lighting in the house (p=0,003). In conclusion, the ventilation area and natural lightning in the house are the environmental factors contributing for the prevalence of chronic respiratory disease of flat occupiers in Jakarta.
Keywords : Chronic respiratory disease, Environmental condition, Flat, Jakarta
Pendahuluan
Penyakit respirasi merupakan masalah kesehatan yang mendominasi di Indonesia. Salah satu penyakit respirasi yang memiliki angka prevalensi dan angka mortalitas tinggi yaitu Tuberkulosis (TB). World Health Organization (WHO) memperkirakan setidaknya delapan juta orang terserang TB dengan tiga juta diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya. Penyakit Tuberkulosis ini banyak terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia memiliki prevalensi TB sebesar 285 per 100.000 penduduk dengan angka kematian yaitu sebesar 27 kematian per 100.000 penduduk setiap tahunnya. Insidens TB pada tahun 2012 sendiri yaitu sebesar 450.000 kasus.1,2
Tidak hanya tuberkulosis paru, penyakit respirasi lainnya seperti penyakit paru obstruktif kronik, asma, dan pneumonia juga memiliki angka kejadian dan mortalitas yang tinggi di Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Indonesia pada tahun 1992 mencatat bahwa penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab kematian tertinggi ke-empat di Indonesia. Data riskesdas 2007 didapatkan bahwa prevalensi asma di Indonesia mencapai 4.0%. Perlu menjadi perhatian juga bahwa pada tahun 2010, Riskesdas mencatat sebanyak 499.259 kasus pneumonia pada anak dengan angka mortalitas mencapai 22.3%.3,4
Studi ini dilakukan di rumah susun di Jakarta, secara khusus di rumah susun kelas menengah kebawah. Hal ini didasari oleh maraknya pembangunan rumah susun di Jakarta mengingat kurangnya lahan pemukiman di kota Jakarta, dengan jumlah penduduk yang sudah melebihi 10 juta penduduk pada tahun 2011.5 Rumah susun yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah kepadatan pemukiman, ternyata menyebabkan rendahnya kualitias lingkungan rumah susun di Jakarta. Sehingga muncul suatu pertanyaan, bagaimanakah prevalensi masalah kesehatan respirasi di rumah susun, dan bagaimana hubungannya dengan kondisi lingkungan di rumah susun di Jakarta.
Masalah prevalensi penyakit respirasi kronik yang tinggi di Indonesia, dan lingkungan rumah di Jakarta yang padat dan kurang memenuhi syarat mendorong penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi penyakit respirasi kronik tersebut dan hubungannya dengan lingkungan tinggal responden, khususnya lingkungan rumah susun.
Penelitian ini dilakukan di Jakarta pada beberapa rumah susun untuk menilai kondisi lingkungan rumah susun dan hubungannya dengan prevalensi masalah kesehatan respirasi kronik tersebut.
Tinjauan Teoritis
Lingkungan didefinisikan WHO sebagai seluruh faktor fisik, kimiawi, dan biologis yang bersifat eksternal terhadap manusia. Kesehatan lingkungan meliputi faktor-faktor lingkungan yang berpotensi mempengaruhi kesehatan. Kesehatan lingkungan ditargetkan untuk mencegah penyakit dan menciptakan kesehatan lingkungan yang mendukung untuk terciptanya kesehatan. Faktor lingkungan sebagai faktor eksternal merupakan faktor yang berperan penting dalam terjadinya suatu penyakit.6
Sirkulasi udara yang adekuat merupakan komponen utama dalam rumah yang diperlukan untuk menjaga sagar udara tetap bersih. Sirkulasi udara yang adekuat dapat diperoleh melalui kondisi ventilasi rumah. Ventilasi yang memenuhi syarat penghawaan rumah, yaitu luas ventilasi rumah >10% dari luas lantai, akan menyebabkan aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan
kurangnya O2 dan tingginya kadar CO2 yang berbahaya bagi kesehatan respirasi. Ventilasi
yang baik akan mengencerkan konsentrasi mikroorganisme patogen dan alergen penyebab penyakit respirasi, sehingga menurunkan penularan penyakit saluran pernapasan. Sementara itu, ventilasi yang buruk mengakibatkan pergantian udara yang tidak adekuat, sehingga udara menjadi kotor akan mikroorganisme patogen penyebab penyakit respirasi.6,7
Selain ventilasi yang baik, pencahayaan alami juga diperlukan untuk menjaga kesehatan respirasi. Luas lubang pencahayaan alami rumah untuk masuknya sinar matahari yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai. Sinar matahari secara langsung yang masuk ke dalam ruangan mengandung sinar ultraviolet yang dapat membunuh berbagai jenis bakteri penyebab penyakit respirasi, misalnya bakteri M.tuberculosis penyebab tuberkulosis paru dan parasit tungau debu rumah yang merupakan alergen tersering asma.8-10
Menjaga suhu dan kelembaban udara rumah sesuai syarat merupakan faktor penting dalam mencegah penyakit respirasi. Suhu udara yang baik untuk pemukiman berkisar antara 180 C – 300 C, dan kelembaban udara yaitu berkisar antara 40% - 70%. Berbagai penelitian menunjukkan adanya hubungan antara suhu dan kelembaban udara dengan kejadian penyakit
respirasi yaitu tuberkulosis paru. Suhu udara yang memenuhi syarat penting untuk mencegah faktor risiko sebagai sumber penularan berbagai penyakit, khususnya penyakit yang berbasis lingkungan seperti penyakit respirasi. Disamping itu, kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko yang berperan dalam infeksi saluran pernapasan.10-13
Selain faktor-faktor tersebut, studi ini juga mengemukakan hubungan antara kepadatan hunian dan sanitasi rumah dengan prevalensi penyakit respirasi. Kebutuhan ruang per orang adalah 9 m2. Studi terhadap kondisi rumah menunjukkan hubungan antara koloni bakteri dengan kepadatan penghuni. Tingginya jumlah mikroorganisme penyebab penyakit respirasi dalam rumah dengan kepadatan hunian yang tinggi akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit. Selain itu, sanitasi rumah yang buruk dapat meningkatkan insidens penyakit tertentu.8,10,14
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian cross-sectional untuk mengetahui prevalensi masalah kesehatan respirasi dan hubungannya dengan kondisi lingungan penghuni rumah susun di Jakarta. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai Januari 2013 di berbagai rumah susun di Jakarta. Dari 73 rumah susun yang terdapat di wilayah Jakarta, didapatkan sebanyak 44 rumah susun kelas menengah kebawah. Dari rumah susun tersebut, dipilih tiga rumah susun secara random. Rumah susun yang terpilih berasal dari kotamadya yang berbeda, yakni rumah susun Tanah Tinggi di wilayah Jakarta Pusat, rumah susun Tambora di wilayah Jakarta Barat, rumah susun Tanah Pasir Penjaringan di wilayah Jakarta Utara. Pada masing-masing rumah susun pemilihan rumah responden juga dilakukan secara
simple random sampling.
Penelitian dilakukan terhadap 120 keluarga yang menempati rumah susun. Pengumpulan data dilakukan secara langsung kepada responden secara door to door. Data diperoleh dari data primer melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner yang sudah divalidasi sebelumnya. Pertanyaan pada kuesioner mencakup data umum responden, data penyakit respirasi yang pernah diderita masing-masing anggota keluarga sebagai komponen variabel dependen, dan data kondisi lingkungan sebagai komponen variabel independen pada studi ini. Sebelum melakukan wawancara pada responden, informed consent terlebih dahulu diberikan. Kuesioner dibacakan oleh peneliti, dan responden boleh bertanya jika merasa tidak jelas. Jika
subjek tidak bersedia, maka peneliti memilih rumah dengan nomor selanjutnya. Setelah wawancara selesai, pengumpulan data dilanjutkan dengan pengukuran suhu udara dan kelembaban udara rumah.
Penyakit respirasi pada penelitian ini didefinisikan sebagai Penyakit saluran pernapasan dan penyakit paru, yang mencakup penyakit respirasi obstruksi yaitu asma dan PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), batuk kronik, dan penyakit respirasi infeksi yaitu pneumonia, tuberkulosis paru, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan infeksi fungal. Penyakit respirasi yang didata hanya berdasarkan hasil diagnosis tenaga kesehatan. Penyakit repirasi yang mungkin diderita responden namun belum didiagnosis tenaga kesehatan, tidak tercakup dalam penelitian ini. Penelitian ini telah mendapatkan izin etik berupa persetujuan kajian etik penelitian oleh Modul Riset Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Data kemudian diolah menggunakan program SPSS 11.5 for Windows. Data deskriptif disajikan dalam bentuk persentase, dan data analitik berupa kategorik-kategorik yang menyatakan hubungan, diolah dengan uji Chi square. Apabila hasil analisis data kategorik-kategorik tidak memenuhi syarat uji Chi square, maka digunakan uji Fischer exact test. Data analitik kategorik numerik dengan sebaran normal akan dianalisis dengan uji T-independen, sedangkan data analitik dengan sebaran data tidak normal akan diuji dengan uji Mann-Whitney.
Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan terhadap 120 keluarga yang menempati rumah susun, dimana 120 responden memenuhi kriteria inklusi dan diwawancarai secara penuh. Dari 120 data rumah susun yang diperoleh, seluruh data memenuhi syarat untuk analisis. Dan dari 120 keluarga tersebut, diperoleh 513 data penghuni rumah susun.
Dari 513 penghuni rumah susun, didapatkan prevalensi penderita penyakit respirasi pada penghuni rumah susun di Jakarta yaitu sebesar 41,9%. Penyakit respirasi yang termasuk pada penelitian ini yaitu Penyakit respirasi obstruksi yaitu asma dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), serta penyakit respirasi infeksi yaitu pneumonia, tuberkulosis paru, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dan infeksi fungal. Sementara itu, dengan mengeksklusi prevalensi infeksi saluran pernapasan akut, maka didapat prevalensi penyakit respirasi kronik pada penghuni rumah susun di Jakarta yaitu sebesar 11,3%.
Tabel 1. Gambaran prevalensi penyakit respirasi penduduk rumah susun di Jakarta
Penyakit Respirasi Kategori
Ya (%) Tidak (%) PPOK Batuk kronik Tuberkulosis paru Asma Pneumonia Infeksi jamur
Infeksi saluran pernapasan akut
9 (1,8) 3 (0,6) 39 (7,6) 5 (1,0) 1 (0,2) 4 (0,8) 169 (32,9) 504 (98,2) 510 (99,4) 474 (92,4) 508 (99,0) 512 (99,8) 509 (99,2) 334 (67,1)
Tabel 1 menunjukkan hasil gambaran prevalensi tiap penyakit respirasi, yang meliputi prevalensi PPOK, batuk kronik, TB paru, amsa, pneumonia, infeksi fungal, dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Kejadian penyakit respirasi tersering yaitu infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dengan prevalensi 32,9% diikuti dengan prevalensi TB paru yang mencapai angka 7,6%. Prevalensi penyakit respirasi lainnya yaitu PPOK dengan 1,8%, asma dengan 1,0%, infeksi jamur dengan 0,8%, batuk kronik dengan 0,6%, dan pneumonia dengan 0,2%.
Dari 120 rumah susun, 10% dari rumah susun tidak memiliki ventilasi yang baik, dan 8,3% diantaranya juga tidak memiliki lubang asap untuk sirkulasi di dapur. Sejumlah 25% dari keseluruhan rumah susun tidak memiliki lubang pencahayaan yang baik untuk masuknya sinar matahari ke dalam rumah. Rata-rata suhu udara dalam rumah susun didapatkan sebesar 31,6°C. Sebanyak 91,7% rumah susun memiliki suhu udara diatas 30°C yang melebihi batas normal suhu udara yang baik. Sementara itu, rata-rata kelembaban udara didapatkan sebesar 64,3%. Sebanyak 97,5% rumah susun memiliki kelembapan udara dalam batas normal yaitu 40-70%.
Luas rumah susun dengan sebaran data tidak normal didapatkan median yaitu sebesar 18 m2. Kepadatan penduduk juga dengan sebaran data tidak normal pada rumah susun di Jakarta yaitu dengan median 4,5 m2 per orang, nilai kepadatan minimal sebesar 1,3 m2 per orang, dan nilai kepadatan maksimal 18 m2 per orang. Kebutuhan ruang yang baik dan memenuhi syarat adalah sebesar 9 m2 per orang. Dari klasifikasi tersebut, diperoleh 90,9% kepadatan hunian
rumah susun di Jakarta tidak memenuhi syarat. Angka tersebut menunjukkan tingginya kepadatan hunian rumah susun di Jakarta.
Seluruh rumah susun di Jakarta sudah memiliki akses terhadap sumber air minum yang baik, baik dari air kemasan maupun air ledeng. Dan seluruh rumah susun di Jakarta sudah memiliki jamban yang memenuhi kriteria jamban sehat. Dari segi jarak rumah dengan lokasi pembuangan limbah, didapatkan 32,5% rumah susun berjarak kurang dari 5 m dengan lokasi pembuangan limbah.
Tabel 2. Hubungan antara faktor lingkungan dengan penyakit respirasi kronik pada anggota keluarga
Variabel Penyakit respirasi kronik Uji Kemaknaan P
Ya Tidak
Ventilasi
• Memenuhi syarat (%) • Tidak memenuhi syarat (%) Pencahayaan
• Memenuhi syarat (%) • Tidak memenuhi syarat (%) Kepadatan
• Memenuhi syarat (%) • Tidak memenuhi syarat (%) Sarana sanitasi
• Memenuhi syarat (%) • Tidak memenuhi syarat (%)
31 (28,7) 7 (58,3) 22 (24,4) 16 (53,3) 1 (9,1) 37 (33,94) 29 (35,8) 9 (23,1) 77 (71,3) 5 (41,7) 68 (75,6) 14 (46,7) 10 (90,9) 72 (66,06) 52 (64,2) 30 (76,9)
Fisher exact test
Chi square
Fisher exact test Chi square 0,042 0,03 0,170 0,160
Tabel 2 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan berupa ventilasi dan pencahayaan rumah dengan prevalensi penyakit respirasi kronik yaitu PPOK, TB paru, batuk kronik, pneumonia, infeksi fungal, dan asma. Sementara itu, faktor kepadatan hunian dan sarana sanitasi tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan prevalensi penyakit respirasi kronik.
Tabel 3. Hubungan antara suhu udara dan kelembaban udara dengan prevalensi penyakit respirasi kronik pada anggota keluarga
Variabel Penyakit respirasi kronik Nilai rerata Uji kemaknaan P
Suhu udara Ya 31,576 °C Uji T-independen 0,550 *
Tidak 31,624 °C
Kelembaban udara Ya 64,539 % Uji T-independen 0,761 *
Tidak 64,238 %
Tabel 3 menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara suhu udara dan kelembaban udara dengan prevalensi penyakit respirasi kronik. Tidak terdapat perbedaan rata-rata suhu udara yang signifikan antara rumah dengan anggota keluarga yang pernah menderita penyakit respirasi kronik dan rumah dengan anggota keluarga yang tidak pernah menderita penyakti respirasi kronik. Juga tidak terdapat perbedaan rata-rata kelembaban udara yang signifikan antara dua kelompok rumah susun tersebut.
Pembahasan
Prevalensi penyakit respirasi yaitu tuberkulosis paru (TB paru) pada penghuni rumah susun di Jakarta didapatkan sebesar 7,6%. Angka ini merupakan angka yang tinggi dibandingkan dengan Riskesdas pada tahun 2010 dimana prevalensi TB paru pada provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 1,03%.1 Tingginya prevalensi TB paru penduduk rumah susun dibandingkan dengan di kota Jakarta pada umumnya, menunjukkan bahwa penduduk rumah susun lebih rentan terinfeksi TB paru. Selain itu, tingginya kesadaran masyarakat rumah susun akan tuberkulosis sebagai penyakit respirasi menyebabkan tingginya prevalensi tuberkulosis paru dibandingkan dengan prevalensi penyakit respirasi lainnya.
Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan prevalensi penyakit respirasi kronik masyarakat rumah susun, dengan nilai p= 0,042. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ruswanto, dkk.10 menunjukkan hubungan ventilasi rumah sebagai faktor lingkungan dengan kasus tuberkulosis, dengan nilai p= 0,014. Kedua penelitian menggunakan standar yaitu ventilasi memenuhi syarat apabila luas ventilasi ≥ 10% luas lantai dan ventilasi tidak memenuhi syarat apabila luas ventilasi rumah < 10% dari luas lantai. Kedua hasil merujuk pada suatu hubungan yang bermakna bahwa penyakit respirasi kronik,
yaitu tuberkulosis memiliki hubungan dengan keadaaan ventilasi rumah, baik itu di Jakarta secara umum, maupun secara spesifik di rumah susun di Jakarta.
Penelitian lainnya oleh Komang, dkk.15 terhadap kasus penyakit tuberkulosis paru sebagai penyakit respirasi kronik menunjukkan hasil yang serupa, dimana sebagian besar (82%) dari penderita TB paru tersebut memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat. Andani, dkk.16 melalui penelitiannya juga menyimpulkan bahwa risiko untuk menderita tuberkulosis paru sebesar lima kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat. Dari aspek penyakit respirasi kronik lainnya yaitu pneumonia, ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat juga berhubungan dengan kejadian pneumonia, seperti yang ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Yuwono, dkk.17
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan penyakit respirasi infeksi yaitu pneumonia dan tuberkulosis paru. Hal yang mendasarinya adalah luas ventilasi rumah yang memenuhi syarat akan menciptakan suatu sirkulasi udara yang baik, sehingga memungkinkan bakteri-bakteri patogen penyebab penyakit respirasi infeksi tersebut tidak terkonsentrasi tinggi dalam rumah.15-16
Polusi udara, misalnya asap rokok dalam ruangan merupakan salah satu faktor pencetus asma dan penyakit paru obstruktif lainnya. Polusi udara dalam ruangan disebabkan oleh ventilasi udara yang tidak baik, dan apabila terdapat sumber polusi dalam ruangan tersebut. Oemiyati, dkk.18 dalam penelitiannya terhadap asma menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara polusi udara dalam rumah dengan prevalensi penderita asma. Penelitian tersebut menunjukkan hasil yang sejalan dengan studi ini dimana didapatkan hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan penyakit respirasi kronik, termasuk didalamnya asma. Hal yang mendasarinya yaitu ventilasi yang baik akan menurunkan polusi udara berupa konsentrasi alergen maupun zat iritan lainnya yang dapat mencetuskan penyakit respirasi obstruktif seperti asma dan PPOK.
Luas ventilasi rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat penghawaan rumah, yaitu luas ventilasi rumah < 10 % dari luas lantai, akan mengakibatkan pergantian udara yang tidak adekuat, sehingga udara menjadi kotor akan mikroorganisme patogen penyebab penyakit respirasi. Di lain pihak, ventilasi yang baik akan mengencerkan konsentrasi mikroorganisme patogen dan alergen penyebab penyakit respirasi, sehingga menurunkan penularan penyakit saluran pernapasan.6-7
Selain ventilasi, hasil studi ini juga menunjukkan adanya hubungan antara pencahayaan dengan prevalensi penyakit respirasi kronik, dengan nilai p= 0,03. Penelitian serupa oleh Ruswanto, dkk.10 menunjukkan kesimpulan yang serupa bahwa terdapat hubungan antara kurangnya pencahayaan alami dalam rumah dengan angka kejadian sebagian besar penyakit respirasi kronik yaitu tuberkulosis paru. Penelitian lainnya oleh Andani, dkk.16 menunjukkan bahwa risiko untuk menderita tuberkulosis Paru sembilan kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang pencahayaannya tidak memenuhi syarat kesehatan. Hal yang mendasari ialah pencahayaan alamiah yakni sinar matahari yang adekuat merupakan faktor yang penting dalam menunjang kesehatan respirasi, karena cahaya matahari dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman penyebab tuberkulosis paru yaitu
Mycobacteium tuberculosis.
Dari aspek penyakit respirasi kronik lain, sinar matahari juga dapat membunuh mikroorganisme pencetus penyakit respirasi obstruktif yaitu asma, misalnya akibat alergen yang dihasilkan oleh tungau debu rumah maupun mikroorganisme lainnya. Penelitian oleh Needham, dkk.9 dan penelitian oleh Faraliana, dkk.19 menunjukkan bahwa sinar ultraviolet dapat menghentikan siklus hidup tungau debu rumah sehingga dapat menghentikan produksi alergen pencetus asma.
Studi ini juga menilai dari sudut pandang yang sama, dimana hubungan antara pencahayaan dengan penyakit repsirasi kronik berupa tuberkulosis paru, pneumonia, infeksi fungal, dan penyakit obtruktif paru pada penghuni rumah susun didasarkan pada sinar matahari langsung yang dapat membunuh berbagai mikroorganisme patogen penyebab maupun pencetus penyakit respirasi.6
Berbeda dengan faktor ventilasi rumah dan faktor pencahayaan yang didapatkan memiliki hubungan bermakna dengan penyakit respirasi kronik, faktor kepadatan hunian menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan rumah dengan prevalensi penyakit respirasi kronik masyarakat rumah susun, dengan nilai p= 0,170. Kepadatan hunian rumah susun diperoleh dari hasil luas total rumah dengan jumlah penghuni dalam rumah susun tersebut. Kepadatan rumah dikatakan memenuhi syarat apabila kepadatan memiliki nilai ≥ 9 m2 per orang.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Moha20 memberikan hasil bahwa tidak ada pengaruh antara kepadatan hunian dengan kejadian tuberkulosis paru di kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Gorontalo. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa banyak dari penghuni rumah lebih sering beraktivitas diluar rumah saat siang hari dan pulang hanya
waktu-waktu istirahat saja, sehingga tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian tuberkulosis paru pada daerah tersebut. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ruchban21 juga memberikan hasil serupa dimana disimpulkan tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian tuberkulosis paru. Disebutkan bahwa responden pada penelitian tersebut mempunyai pengetahuan yang baik dalam upaya pencegahan penyakit TB Paru, dimana pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.
Tidak didapatkannya hubungan bermakna antara variabel kepadatan hunian dengan prevalensi penyakit respirasi kronik pada penelitian ini disebabkan karena sebagian besar responden tinggal pada rumah dengan ukuran yang tidak jauh berbeda dan sebagian besar memiliki kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat. Adanya kesamaan keadaan kepadatan penghuni menyebabkan angka prevalensi penyakit respirasi kronik yang tidak dipengaruhi oleh kepadatan hunian, tetapi karena faktor lain.
Penelitian ini menilai adanya prevalensi penyakit respirasi kronik pada anggota keluarga responden, akan tetapi penelitian ini tidak menilai frekuensi penularan antara anggota keluarga dalam hunian yang sama. Kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat akan meningkatkan kemungkinan penularan antara anggota penghuni rumah, namun tidak berkaitan dengan penularan antar rumah susun yang satu dengan rumah susun yang lain. Sehingga menurut penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan penyakit respirasi kronik. Hal yang dapat dipengaruhi oleh kepadatan hunian adalah penularan antar anggota keluarga, sehingga merupakan salah satu kekurangan dari penelitian ini karena tidak meneliti tentang hal tersebut.
Selain dengan faktor kepadatan hunian, penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara ketersediaan sarana sanitasi berupa sarana air bersih, jamban keluarga, dan tempat pembuangan sampah dengan prevalensi penyakit respirasi kronik masyarakat rumah susun, dengan nilai p= 0,160. Sarana air bersih, jamban keluarga, dan tempat pembuangan sampah dapat memudahkan penularan penyakit infeksi yang memiliki vektor penularan berupa air seperti diare dan penyakit kulit, tetapi kurang menunjukkan hubungan dengan penularan penyakit respirasi infeksi yang memiliki vektor penularan berupa udara.
Sarana sanitasi berupa ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban sehat, dan lokasi tempat pembuangan sampah yang jauh dari rumah merupakan hal yang penting untuk tercapainya rumah yang sehat. Akan tetapi menurut penelitian ini, sarana sanitasi tidak berhubungan
dengan prevalensi penyakit respitasi kronik seperti penyakit respirasi infeksi berupa pneumonia, tuberkulosis, dan penyakit paru obstruktif seperti asma dan PPOK, dikarenakan keseragaman keadaan sarana sanitasi rumah susun di Jakarta. Seluruh rumah susun di Jakarta sudah memiliki jamban keluarga yang sehat dan sudah memiliki sarana air bersih yang baik. Rumah susun di Jakarta memiliki tempat pembuangan sampah sementara di dekat bangunan rumah susun tersebut, sehingga jarak antara masing-masing rumah susun dengan tempat pembuangan sampah sementara tersebut tidak jauh berbeda.
Selanjutnya terhadap faktor suhu udara, pada penelitian ini didapatkan nilai rerata suhu udara pada kelompok rumah dengan anggota keluarga menderita penyakit respirasi kronik tidak jauh berbeda dengan rerata kelompok rumah dengan anggota keluarga yang tidak menderita penyakit respirasi kronik, dengan nilai p=0,550. Sehingga pada penelitian ini didapat bahwa suhu udara dalam rumah tidak berhubungan dengan prevalensi penyakit respirasi kronik. Sebaran data suhu udara dalam rumah susun di Jakarta diperoleh normal, dengan rata-rata 31,6°C dan dengan standar deviasi 1,0°C.
Hubungan antara suhu udara dengan prevalensi penyakit respirasi kronik pada penelitian ini tidak bermakna disebabkan karena adanya keseragaman suhu udara dalam rumah susun di Jakarta. Secara umum, sebagian besar kondisi rumah susun di Jakarta memiliki suhu udara yang tidak memenuhi syarat, yaitu 97,1 % dengan suhu udara dalam rumah >30°C. Kondisi suhu udara yang tinggi tersebut dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingginya prevalensi tuberkulosis paru di rumah susun Jakarta dibandingkan dengan prevalensi tuberkulosis paru di Jakarta secara umum. Demikian sehingga kekurangan dari penelitian ini adalah tidak membandingkan prevalensi tuberkulosis paru antara daerah dengan suhu lebih rendah di Jakarta dengan prevalensi tuberkulosis paru pada daerah dengan suhu yang lebih tinggi, misalnya di rumah susun.
Disamping itu, pada penelitian ini juga didapatkan bahwa didapatkan nilai rerata kelembaban udara pada kelompok rumah dengan anggota keluarga menderita penyakit respirasi kronik tidak jauh berbeda dengan rerata kelembaban udara kelompok rumah dengan anggota keluarga yang tidak menderita penyakit respirasi kronik, dengan nilai p= 0,761. Sehingga, dapat disimpulkan pada penelitian ini bahwa kelembaban udara dalam rumah tidak berhubungan dengan prevalensi penyakit respirasi kronik. Kelembaban udara rumah susun pada penelitian ini memiliki sebaran normal dengan rata-rata 64,3%, dan dengan standar deviasi 3,2%.
Hasil penelitian mengenai hubungan antara kelembaban udara dengan prevalensi respirasi kronik tidak bermakna disebabkan karena keseragaman data kelembaban udara, dimana kelembaban udara pada rumah susun di Jakarta diperoleh sebanyak 97,5% memenuhi syarat, yaitu berkisar antara 40%-70%. Adanya kesamaan kelembaban udara dalam rumah susun di Jakarta menyebabkan prevalensi penyakit respirasi kronik yang tidak berhubungan dengan kelembaban udara, tetapi dapat berhubungan dengan faktor lainnya.
Kesimpulan
Prevalensi penyakit respirasi di rumah susun di Jakarta yaitu tuberkulosis paru 7,6%, PPOK 1,8%, asma 1,0%, infeksi fungal 0,8%, batuk kronik 0,6%, pneumonia 0,2%, dan infeksi saluran pernapasan akut 32,9%. Lingkungan rumah susun di Jakarta sebagian besar telah memenuhi syarat, sedangkan untuk pencahayaan, suhu udara, dan kepadatan hunian belum memenuhi syarat. Faktor lingkungan rumah susun yang menunjukkan adanya hubungan dengan prevalensi penyakit respirasi kronik yaitu ventilasi dan pencahayaan dalam rumah susun.
Saran
Prevalensi penyakit respirasi kronik dipengaruhi oleh faktor risiko lingkungan yaitu ventilasi dan pencahayaan dalam rumah. Untuk mengatasi hal ini, maka saran yang dapat disampaikan yaitu agar masyarakat rumah susun dianjurkan berperan aktif dalam menjaga kondisi lingkungan rumah, terutama ventilasi dan pencahayaan, yaitu dengan membuka jendela rumah untuk ventilasi secara periodik atau dengan menggunakan alat elektronik yang dapat menjaga ventilasi rumah, dan dengan membuka lubang pencahayaan untuk masuknya cahaya matahari secara rutin.
Diharapkan juga agar pemerintah dapat memberi perhatian terhadap kondisi lingkungan rumah susun, yaitu dengan memperhatikan aspek lingkungan dalam pembangunan rumah susun selanjutnya, juga dengan mengadakan penyuluhan terkait masalah kesehatan dan bagaimana mejaga kondisi lingkungan rumah yang baik untuk kesehatan.
Daftar Referensi
1. Sedyaningsih, E.R. (2010). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
2. World Health Organisation. (2012). Global Health Observatory Data Repository:
Tuberculosis. Accessed on November 24, 2012 from: http://apps.who.int/gho/data/.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Konsensus ASMA: Pedoman diagnosis &
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Penulis.
4. Soendoro, T. (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007: Laporan Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 5. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2011).
Jumlah penduduk provinsi DKI Jakarta. Accessed on November 24, 2012 from:
http://dki.kependudukancapil.go.id/.
6. Prüss-Üstün, A., Corvalán, C. (2006). Preventing Disease Through Healthy
Environment: Towards an Estimate of the Environmental Burden of Disease. World
Health Organization.
7. Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. 8. Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No.403/KPTS/M/2002 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat.
9. Needham, G., Begg, C., Buchanan, S. (2006). Ultraviolet C exposure is fatal to american house dust mite eggs. The Journal of Allergy and Clinical Immunology, 117(2), S28.
10. Ruswanto, B., Nurjazuli, Raharjo. M. (2012). Analisis spasial sebaran kasus tuberkulosis paru ditinjau dari faktor lingkungan dalam dan luar rumah di Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11(1).
11. Keman, S.(2003). Kesehatan perumahan dan lingkungan perumahan. Jurnal kesehatan
lingkungan, 2(1), 29-42.
12. Keputusan Menteri Kesehatan No.829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
13. Rylander, R., Megevand, Y. (2000). Environmental risk factors for respiratory infections. Archives of Environmental Health, 55(5), 300.
14. Chandra, B. (2006). Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
15. Komang, Ishak, H., Daud, A. (2010). Analisis spasial sebaran kasus tuberkulosis
ditinjau dari faktor lingkungan dalam rumah di kabupaten Luwu utara. Tesis, Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
16. Andani, H., Mahastuti, A. (2006). Hubungan kondisi rumah dengan penyakit TBC paru di wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gubungkidul tahun 2003-2006.
Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta.
17. Yuwono, T.A. (2008). Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan
kejadian pneumonia pada anak balita di wilayah kerja puskesmas kawunganten kabupaten Cilacap. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
18. Hapsari, D., Sari, P., Supraptini. (2008). Hubungan perilaku merokok, aktivitas fisik dan polusi udara indoor dengan penyakit asma pada usia ≥15 tahun (analisis data susenas 2004 & SKRT 2004). Media Litbang Kesehatan, 18(1), 16-24.
19. Faraliana, E., Azreen, N., Ming, H.T. (2012). Effect of germicidal UV-C light on eggs and adult house dustmites Dermatophagoides pteronyssinus and Dermatophagoides farinae. Asia Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 2(9), 679-683.
20. Moha, S.R. (2012). Pengaruh kondisi fisik rumah terhadap kejadian penyakit TB paru
di Desa pinolosian, kabupaten Bolaang Mongondow Selatan tahun 2012. Tesis,
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo.
21. Ruchban, N. (2012). Hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Kabila Bone. Public Health Journal. 1(1).