• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi

2.1.1 Definisi Implementasi

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Implementasi dianggap sebagai wujud utama dan sangat menentukan dalam proses suatu kebijakan. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno, 2012). Menurut Akib (2010) yang mengutip pernyataan Edwards III (1984) menyatakan bahwa tanpa implementasi yang efektif keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan merupakan aktifitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau

outcome bagi masyarakat (Akib, 2010).

Menurut Winarno (2012) yang mengutip pendapat Ripley dan Franklin (1982) bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Implementasi menunjukan pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.

Menurut Akib (2010) yang mengutip pendapat Grindle (1980) bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti

(2)

pada tingkat program tertentu. Proses implementasi dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegaiatan telah tersusun, dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran (Akib, 2010).

Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn (1975) yang dikutip oleh Winarno (2012) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah ataupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang telah digariskan.

Dari defenisi-defenisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan diawali dari adanya tujuan atau sasaran, kemudian proses pelaksanaan untuk mencapai tujuan dan akhirnya diperoleh hasil atau dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Hal ini senada dengan pandangan Van Meter dan Van Horn (1980) yang dikutip oleh Akib (2010), bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktifitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.

Adapun defenisi implementasi yang dimaksud oleh peneliti adalah tindakan yang dilakukan setelah suatu kebijakan ditetapkan dan implementasi merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problem approach yang

(3)

diperkenalkan oleh Edwards III. Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni :

1. Faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan ? 2. Faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan ?

Dapat dirumuskan bahwa empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan (Akib, 2010).

Jika divisualisasikan akan terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan yang jelas yang diformulasikan ke dalam program pelaksanaan yang dilaksanakan berpedoman pada rencana. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran (output) program berdasarkan tujuan program. Luaran program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu, kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah adanya perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran (Akib, 2010).

Pendapat lain diutarakan oleh Grindle (1980) yang dikutip Subarsono (2010), menyatakan bahwa keberhasilan implementasi pubik dipengaruhi oleh dua variabel yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).

1. Variabel isi kebijakan (content of policy) mencakup :

(4)

b. Jenis manfaat yang diterima oleh target groups.

c. Sejauh mana perubahan yang diinginkan oleh kebijakan. d. Apakah letak sebuah program sudah tepat.

e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci.

f. Apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. 2. Variabel lingkungan implementasi (context of implementation) mencakup :

a. Seberapa besar kekuatan, kepentingan dan strategi yang dimiliki para aktor yang terlibat.

b. Karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa. c. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Mazmanian dan Sabatier (1983) juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Subarsono (2010), bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 3 variabel, yakni karakteristik dari masalah (tractability of the

problems), karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation) dan variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementations).

1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problems) meliputi : a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan b. Tingkat kemajemukan kelompok sasaran

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.

(5)

2. Karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure

implementation) meliputi :

a. Kejelasan isi kebijakan

b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis c. Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai

institusi pelaksana

e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan

g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan

3. Lingkungan kebijakan (nonstatutory variables affecting implementations) meliputi :

a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi b. Dukungan publik terhadap suatu kebijakan

c. Sikap kelompok pemilih

d. Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor

Selain faktor-faktor diatas, Korten (1980) menambahkan pendapat yang dikutip oleh Akib (2010), bahwa suatuprogram akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari 3 unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program denga apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian

(6)

antara tugas yang dipersyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program.

Berdasarkan pola piker Korten dapat dipahami bahwa jika tidak terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi kebijakan maka kinerja program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran maka jelas outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh karena itu, kesesuaian antara 3 unsur implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai rencana yang telah dibuat (Akib, 2010).

Hampir sama dengan Korten, Grindle (1980) dan Quade (1984) yang dikutip oleh Akib (2010) juga menyatakan bahwa dalam implementasi kebijakan memerlukan 3 variabel yang bekerja sinergis demi keberhasilan implementasi kebijakan tersebut. Konfigurasi ketika variabel itu disebut hubungan segitiga variabel yaitu variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan kebijakan. Melalui pemilihan kebijakan yang tepat, maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan kebijakan. Selanjutnya, ketika

(7)

sudah ditemukan kebijakan yang terpilih perlu diwadahi oleh organisasi pelaksana yang memiliki kewenangan dan sumber daya yang mendukung pelaksanaan program. Penciptaan situasi dan lingkungan kebijakan yang mendukung sangat dibutuhkan dalam pencapaian keberhasilan. Karena diasumsikan bahwa jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan maka diharapkan akan menghasilkan dukungan positif yang sangat berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negative akan dapat mengancam kesuksesan implementasi kebijakan (Akib, 2010).

2.1.2 Implementasi Model George Edwards III

Teori yang dikemukakan oleh Edwards ini disebut juga dengan Direct and

Indirect Impact on Implementation. Menurut Edwards, ada 4 (empat) faktor yang

mempengaruhi implementasi suatu kebijakan yang antara satu faktor dengan faktor lain saling memengaruhi, yaitu :

1. Faktor Komunikasi

Suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan (Akib, 2010). Semua hal tersebut dapat diperoleh melalui komunikasi yang efektif. Ada beberapa hal yang mempengaruhi komunikasi, yaitu :

a. Transmisi

Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi hambatan dalam mentransmisikan perintah-perintah implementasi.

(8)

Hambatan-hambatan tersebut dapat terjadi antara lain karena adanya pertentangan pendapat antara pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan, penyampaian informasi yang melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi dan adanya persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan suatu kebijakan (Winarno, 2012).

b. Kejelasan

Komunikasi yang diterima oleh implementor haruslah jelas, akurat dan tidak membingungkan, sehingga dapat dihindari terjadinya interpretasi yang salah. Menurut Edwards ada 6 faktor yang mendorong ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu : kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya consensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan sifat pembentukan kebijakan pengadilan (Winarno, 2012).

c. Konsistensi

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah yang diberikan harus konsistensi dan jelas karena perintah yang tidak konsistensi akan mendorong pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin cermat keputusan dan perintah pelaksanaan diteruskan kepada pelaksana, maka semakin tinggi probabilitas keputusan dan perintah kebijakan tersebut untuk dilaksanakan dengan baik (Winarno, 2012).

(9)

2. Faktor Sumber Daya

Walaupun isi kebijakan sudah di komunikasikan dengan jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif (Subarsono, 2010). Indicator untuk menilai kecukupan sumber daya adalah :

a. Staf

Sumber daya yang paling esensial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah staf. Sumber daya yang efektif tidak hanya dinilai dari sisi jumlah staf namun juga kompetensi atau kecakapan sumber daya manusianya.

b. Informasi

Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan, informasi ada dalam 2 bentuk. Pertama, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Kedua, data dalam bentuk peraturan pemerintah. Para implementor mesti mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam mengimplementasikan kebijakan melengkapi undang-undang yang diperlukan sebagai dasar legitimasi.

c. Wewenang

Kewenangan merupaka otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Kewenangan harus bersifat formal untuk menghindari gagalnya proses implementasi karena dipandang oleh publik implementor tersebut tidak terlegitimasi.

3. Faktor Disposisi

Disposisi diartikan sebagai sikap atau perpektif implementor dalam melaksanakan kebijakan. Jika para implementor bersikap baik atau mendukung

(10)

suatu kebijakan maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Namun sebaliknya, bila tingkah laku atau perspektif implementor berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses diperhatikan berkaitan denga disposisi ini adalah :

a. Pengangkatan birokrat

Dalam memilih atau mengangkat pejabat pelaksana kebijakan sebaiknya berdasarkan kemampuan atau kapabilitas bukan berdasarkan atas kepentingan-kepentingan lain. Karena personil yang tidak mendukung akan menghambat dalam pelaksanaan kebijakan.

b. Insentif

Mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancer. Salah satu teknik yang dikemukakan Edwards adalah dengan memanipulasi insentif. Dengan memberikan insentif diharapkan akan menjadi faktor pendorong yang membuat implementor melaksanakan perin tah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi (self-interest), organisasi atau kebijakan substantif.

4. Faktor Struktur Birokrasi

Pada dasarnya, para implementor mungkin mengetahui apa yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan serta mempunyai cukup sumber daya dan keinginan namun terkadang mereka masih terhambat dengan struktur birokrasi dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards III ada 2

(11)

karakteristik yang dapat meningkatkan kinerja struktur birokrasi, yaitu membuat

Standard Operating Procedures (SOP) dan Fragmentasi (Winarno, 2012).

2.2 Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) 2.2.1 Definisi BOK

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) adalah dana Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) Kementrian Kesehatan dan merupakan bantuan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang disalurkan melalui mekanisme tugas pembantuan untuk percepatan pencapaian target program kesehatan prioritas nasional khususnya MDGs bidang kesehatan tahun 2015, melalui peningkatan kinerja Puskesmas dan jaringanya, serta UKMB khususnya Poskesdes/Polindes, Posyandu, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif (Kemenkes RI, 2015).

Pemerintah menyadari bahwa sumber pembiayaan pemerintah daerah yang bersumber dari APBD dianggap tidak mencukupi untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia secara signifikan karena sebagian besar masih dibawah dari kesepakatan Bupati/Walikota seluruh Indonesia yang menetapkan anggaran kesehatan daerah sebesar 10% dari APBD. Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas maka diupayakan modal pembiayaan baru yang lebih menitikberatkan kepada pembiayaan langsung dari pusat ke pusat pelayanan kesehatan berbasis komunitas di tingkat Puskesmas.

(12)

Upaya pembiayaan ini diwujudkan melalui program Bantuan Operasional Kesehatan (Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan, 2013).

2.2.2 Tujuan Program Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)

Adapun tujuannya menurut buku Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Tahun 2015 adalah :

1. Tujuan Umum

Mendukung peningkatan upaya kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan preventif dalam mencapai target program kesehatan prioritas nasional khususnya MDGs bidang kesehatan tahun 2015.

2. Tujuan Khusus

a. Menyediakan dukungan dana operasional program bagi Puskesmas, untuk pencapaian program kesehatan prioritas nasional.

b. Menyediakan dukungan dana bagi penyelenggaraan manajemen Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dan Provinsi dalam pelaksanaan program kesehatan prioritas nasional.

c. Mengaktifkan penyelenggaraan manajemen Puskesmas mulai dari perencanaan, penggerakan/pelaksanaan lokakarya mini sampai dengan evaluasi.

2.2.3 Ruang Lingkup Kegiatan BOK

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) utamanya digunakan untuk kegiatan upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif di Puskesmas dan jaringannya termasuk Posyandu dan Poskesdes, dalam rangka membantu pencapaian target SPM bidang kesehatan di Kabupaten/kota guna mempercepat

(13)

pencapaian target MDGs. Selain itu dana BOK juga dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan manajemen BOK di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Ruang lingkup kegiatan yang boleh didanai dari BOK menurut Buku Petunjuk Teknis BOK 2015, adalah sebagai berikut :

1. Dinas Kesehatan Provinsi

Dinas Kesehatan Provinsi memperoleh dana dukungan manajemen BOK yang digunakan untuk kegiatan antara lain :

a. Penyelenggaraan pertemuan koordinasi (perencanaan, penggerakan, evaluasi) tingkat provinsi yang melibatkan Kabupaten/Kota/Puskesmas, lintas program dan lintas sektor.

b. Penyelenggaraan rapat teknis pengelolaan BOK.

c. Penyelenggaraan pembinaan, monitoring dan evaluasi kegiatan BOK lingkup administrasi dan program ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Puskesmas dan jaringannya serta UKMB.

d. Pelaksanaan konsultasi/koordinasi teknis program BOK ke pusat. 2. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota memperoleh dana dukungan manajemen BOK yang dipergunakan untuk kegiatan antara lain :

a. Penyelenggaraan pertemuan koordinasi (perencanaan, penggerakan, evaluasi) tingkat Kabupaten/Kota yang melibatkan Puskesmas, lintas program dan lintas sektor.

(14)

c. Penyelenggaraan pembinaan, monitoring dan evaluasi kegiatan BOK lingkup administrasi dan program ke Puskesmas dan jaringannya serta UKMB.

d. Pelaksanaan konsultasi/koordinasi teknis program BOK ke Provinsi. e. Pelaksanaan konsultasi/rekonsiliasi ke Kantor Pelayanan

Perbendaharaan Negara (KPPN)/Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (Kanwil DJPBN).

f. Pelaksanaan konsolidasi laporan keuangan BOK ke pusat (berdasarkan undangan)

3. Puskesmas

a. Minimal 60% dari total alokasi dana BOK Puskesmas digunakan untuk program kesehatan priorita melalui berbagai kegiatan yang berdaya ungkit tinggi untuk pencapaian tujuan MDGs bidang kesehatan.

b. Maksimal 40% dari total alokasi dana BOK Puskesmas digunakan untuk program kesehatan lainnya dan manajemen Puskesmas.

Rincian ruang lingkup program kesehatan dan manajemen Puskesmas meliputi :

1. Program Kesehatan Prioritas

Program kesehatan prioritas yang terkait pencapaian MDGs diarahkan pada pencapaian target :

a. MDG 1

(15)

b. MDG 4

Upaya menurunkan angka kematian balita. c. MDG 5

Upaya menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua.

d. MDG 6

(a) Upaya mengendalikan penyebaran dan menurunkan jumlah kasus baru HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired

Immune Deficiency Syndrome).

(b) Upaya memwujudkan akses terhadap pengobatan HIV/AIDS bagi semua yang membutuhkan.

(c) Upaya mengendalikan penyebaran dan menurunkan jumlah kasus baru malaria dan TB.

e. MDG 7

Upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber air minum dan sanitasi dasar yang layak.

Adapun kegiatan yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan adalah sebagai berikut :

a. Kesehatan Ibu Anak (KIA) dan Keluarga Berencana (KB). b. Pelayanan Gizi

c. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit. d. Pelayanan kesehatan lingkungan.

(16)

2. Program Kesehatan Lainnya

Ruang lingkup kegiatan program kesehatan lainnya meliputi :

a. UKM esensial di luar kegiatan prioritas MDGs berdaya ungkit tinggi antara lain pelaksanaan penjaringan kesehatan pada anak sekolah dan tindak lanjutnya dalam UKS, kegiatan kesehatan reproduksi bagi remaja dan calon pengantin, penyuluhan gizi bagi pekerja perempuan termasuk kelompok resiko tinggi, senam nifas, pelaksanaan senam ibu hamil, pelaksanaan pemantauan kebugaran jasmani anak sekolah, remaja dan pekerja, pelaksanaan penyuluhan pemanfaatan tanaman obat keluarga.

b. Upaya kesehatan lainnya sesuai dengan UKM pengembangan berdasarkan Permenkes Nomor 75 tahun 2014, pelacakan kasus kematian ibu dan bayi, autopsi verbal kematian ibu dan bayi.

c. Penyegaran/refreshing kader kesehatan.

d. Upaya kesehatan lainnya yang bersifat local spesifik. 3. Manajemen Puskesmas

a. Penyelenggaraan rapat lokakarya mini untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) atau Plan of Action (POA) tahunan setelah Puskesmas menerima alokasi dan BOK dari Kabupaten/Kota. b. Penyelenggaraan rapat lokakarya mini bulanan atau tribulanan untuk

membahas evaluasi kegiatan bulan sebelumnya dan menyusun rencana kegiatan bulan yang akan datang.

c. Penyelenggaraan rapat-rapat yang diperlukan ditingkat desa untuk membahas pelaksanaan program kesehatan di tingkat desa.

(17)

d. Pelaksanaan pembinaan/supervise kegiatan kelapangan oleh kepala Puskesmas dan koordinasi program/kegiatan.

e. Pelaksanaan konsultasi, pengiriman laporan, menghadiri undangan dan keperluan lainnya terkait dengan BOK ke Kabupaten/Kota.

2.2.4 Pemanfaatan Dana BOK Puskesmas 1. Dana Manajemen

a. Pembelian ATK untuk kegiatan pendukung BOK.

b. Biaya administrasi perbankan, apabila sesuai ketentuan bank setempat memerlukan biaya administrasi dalam rangka membuka dan menutup rekening bank Puskesmas.

c. Pembelian materai

d. Penggadaan/fotocopy laporan e. Pengiriman surat/laporan dan f. Pembelian konsumsi rapat 2. Dana Operasional di Puskesmas

a. Perjalanan dinas sampai dengan delapan jam

Digunakan untuk membiayai transport bagi : Petugas Kesehatan, Kader Kesehatan, PKK, Dukun, Guru, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama :

1) Pelaksanaan kegiatan promotif dan preventif ke luar gedung. 2) Pelaksanaan rapat lokakarya mini, musyawarah di desa.

3) Menghadiri pelaksanaan rapat, konsultasi/koordinasi dan kegiatan lain yang berkaitan dengan BOK di Kabupaten/Kota.

(18)

4) Kegiatan refreshing/penyegaran kader kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas.

b. Perjalanan dinas lebih dari delapan jam

Membiayai transport, uang harian dan biaya akomodasi (bila diperlukan) petugas kesehatan untuk melakukan kegiatan yang memerlukan waktu perjalanan dan penyelesaian pekerjaan terkait kegiatan BOK.

c. Pembelian barang

1) Pembelian bahan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) penyuluhan/pemulihan.

2) Pembelian konsumsi rapat, penyuluhan, refreshing.

3) Penggandaan pedoman/juklak/juknis program, media/bahan penyuluhan pada masyarakat.

2.2.5 Pengelolaan Keuangan BOK

Besaran alokasi dana untuk tiap Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kesehatan, sementara alokasi dana per Puskesmas ditetapkan berdasarkan SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan memperhatikan situasi dan kondisi antara lain :

1. Jumlah penduduk 2. Luas wilayah 3. Kondisi geografis 4. Kesulitan wilayah 5. Cakupan program

(19)

6. Jumlah tenaga kesehatan Puskesmas dan jaringannya 7. Jumlah Poskesdes dan Posyandu

8. Situasi dan kondisi yang ditentukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bersangkutan dengan mempertimbangkan kearifan lokal.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengelolaan keuangan dana BOK di Puskesmas :

1. Pembukaan rekening Puskesmas

2. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) atau POA tahunan dan rencana penarikan dana

3. Permintaan dana

4. Pencairan dana dari bank

5. Pertanggungjawaban penggunaan dana BOK 6. Pencatatan/pembukuan

2.2.6 Indikator Keberhasilan BOK

Untuk mengetahui keberhasilan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) di Puskesmas ditetapkan indikator keberhasilan yang meliputi :

1. Indikator Input, presentase Puskesmas yang menerima dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dari SKPD.

2. Indikator Proses, presentase Puskesmas yang melaksanakan Lokakarya Mini.

3. Indikator Output, presentase pencapaian target SPM bidang kesehatan, dengan indikator :

(20)

a. Cakupan kunjungan ibu hamil (K4)

b. Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani.

c. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan memiliki kompetensi kebidanan.

d. Cakupan pelayanan nifas.

e. Cakupan neonatus dengan komplikasi ditangani. f. Cakupan kunjungan bayi.

g. Cakupan desa UCI.

h. Cakupan pelayanan anak balita.

i. Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan.

j. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak 6-24 bulan dari keluarga miskin.

k. Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat. l. Cakupan peserta KB aktif.

m. Cakupan desa siaga aktif. 2.3 Puskesmas

2.3.1 Difinisi Puskesmas

Pusat Kesehatan Masyarakat adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan mayarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes Nomor 75, 2014).

(21)

2.3.2 Manajemen Puskesmas

Sesuai dengan Petunjuk Teknis BOK Model yang digunanakan dalam manajemen Puskesmas adalah Model Manajemen P1-P2-P3 (Kemenkes, 2012). Manajemen Puskemas terdiri dari P1 (Perencanaan), P2 (Penggerakan dan Pelaksanaan) dan P3 (Pengawasan, Pengendalian dan Penilaian).

1. P1 (Perencanaan) Puskesmas : Microplanning Puskesmas

Microplanning Puskesmas adalah penyusunan rencana lima tahunan

dengan tahapan tiap-tiap tahun ditingkat Puskesmas. Tujuan umum

microplanning Puskesmas adalah meningkatkan cakupan pelayanan program

prioritas yang mempunyai daya ungkit terbesar terhadap penurunan angka kematian bayi, anak balita dan fertilitas dalam wilayah kerjanya yang pada gilirannya dapat meningkatkan fungsi Puskesmas. Sedangkan tujuan khususnya adalah :

a. Mengembangkan dan membina pos-pos pelayanan terpadu KB Kesehatan di desa-desa wilayah kerja Puskesmas, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan masalah yang dihadapi sehingga dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien.

b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelayanan kesehatan. c. Meningkatkan kemampuan staf Puskesmas dalam berfikir secaran

analitik dan mendorong untuk berinisiatif untuk mengembangkan kreasi dan motivasi.

(22)

2. P2 (Penggerakan dan Pelaksanaan) Puskesmas

Tujuan penggerakan dan pelaksanaan Puskesmas adalah meningkatkan fungsi Puskesmas melalui peningkatan kemampuan tenaga Puskesmas untuk bekerja sama dalam tim dan membina kerja sama lintas program dan lintas sektor. Komponen P2 Puskesmas dilakukan melalui lokakarya mini Puskesmas yang terdiri dari empat komponen yang meliputi :

a. Penggalangan kerjasama tim yaitu lokakarya yang dilaksanakan setahun sekali di dalam rangka meningkatkan kerja sama antara petugas Puskesmas untuk meningkatkan fungsi Puskesmas, melalui suatu proses dinamika kelompok yang diikuti dengan analisis beban kerja masing-masing tenaga yang dikaitkan dengan berbagai kelemahan penampilan kerja Puskesmas menurut hasil Stratifikasi Puskesmas.

b. Penggalangan kerja sama lintas sektor yaitu dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dan dukungan sektor-sektor terkait melalui suatu pertemuan lintas sektor setahun sekali.

c. Rapat kerja atribulanan lintas sektor, sebagai tindak lanjut pertemuan penggalangan kerja sama lintas sektor untuk mengkaji hasil kegiatan kerja sama dan memecahkan masalah yang dihadapi.

d. Lokakarya mini bulanan Puskesmas yaitu pertemuan antar tenaga Puskesmas pada setiap akhir bulan untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja bulan yang lalu dan membuat rencana kegiatan di bulan yang akan datang.

(23)

Adapun tujuan lokakarya mini Puskesmas adalah :

a) Disampaikannya hasil rapat dari tingkat Kabupaten, Kecamatan dan lain sebagainya.

b) Diketahuinya hasil dan evaluasi kegiatan Puskesmas bulan yang lalu c) Diketahuinya hambatan dan masalah dalam pelaksanaan kegiatan bulan

lalu

d) Dirumuskannya cara pemecahan masalah

e) Disusunnya rencana kerja harian petugas selama satu bulan yang akan datang

f) Diberikannya hambatan pengetahuan baru bagi peserta rapat

g) Disusunnya Plan of Action (POA) baik POA tahunan maupun bulanan h) Diketahuinya masalah di Puskesmas berdasarkan hasil stratifikasi

Puskesmas

3. P3 (Pengawasan, Pengendalian dan Penilaian) Stratifikasi Puskesmas Stratifikasi Puskesmas adalah upaya untuk melakukan penilaian prestasi kerja Puskesmas dengan mengelompokkan Puskesmas dalam tiga strata Puskesmas yaitu Puskesmas dengan prestasi kerja baik (strata I), Puskesmas dengan prestasi kerja cukup (strata II), Puskesmas dengan prestasi kerja kurang (strata III).

Aspek yang dinilai dalam stratifikasi Puskemas meliputi hasil kegiatan pokok Puskesmas, proses manajemen, termasuk berbagai lingkungan wilayah kerja Puskesmas yang dapat berpengaruh terhadap penampilan kerja Puskesmas. Dalam stratifikasi Puskesmaas ada tiga area yang perlu dibina, yaitu : Puskesmas

(24)

sebagai wadah pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat, pelaksanaan program-program sektor kesehatan maupun lintas sektoral yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi tanggungjawab Puskesmas dalam pelaksanaannya maupun penunjangnya, dan peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat dan produktif (Sulaeman, 2014). 2.3.3 Perencanaan Tingkat Puskesmas

Sesuai dengan Pedoman Tingkat Puskesmas (Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI, 2006) penyusunan perencanaan tingkat Puskesmas dilakukan melalui 4 (empat) tahap sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini staf Puskesmas yang terlibat dalam proses penyusunan perencanaan tingkat Puskesmas agar memperoleh kesamaan pandangan dan pengetahuan untuk melaksanakan tahap-tahap perencanaan. Tahap ini dilakukan dengan cara :

a. Kepala Puskesmas membentuk Tim Penyusunan Perencanaan Tingkat Puskesmas yang anggotannya terdiri dari staf Puskesmas.

b. Kepala Puskesmas menjelaskan tentang pedoman Perencanaan Tingkat Puskesmas kepada tim agar dapat memahami pedoman tersebut demi keberhasilan penyusunan Perencanaan Tingkat Puskesmas.

c. Puskesmas mempelajari kebijakan dan pengarahan yang telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

(25)

2. Tahap Analisis Situasi

Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan dan permaslahan yang dihadapi Puskesmas melalui proses analisis terhadap data yang dikumpulkan. Tim yang telah disusun oleh Kepala Puskesmas melakukan pengumpulan data, yaitu data umum dan data khusus.

a. Data Umum

(a) Peta wilayah kerja serta fasilitas pelayanan. Data wilayah mencakup luas wilayah, jumlah desa.

(b) Data sumber daya (Puskesmas, termasuk Puskesmas Pembantu dan Bidan Desa) yang mencakup : ketenagaan, obat dan bahan habis pakai.

(c) peralatan, sumber pembiayaan (pusat, daerah, masyarakat dan sumber lainnya) dan sarana prasarana.

(d) Data peran serta masyarakat. Data ini mencakup jumlah posyandu, kader, dukun bayi dan tokoh masyarakat.

(e) Data penduduk dan sasaran program (f) Data sekolah

(g) Data kesehatan lingkungan

b. Data Khusus (Hasil Penilaian Kinerja Puskesmas) (a) Status kesehatan terdiri dari :

1. Data kematian 2. Kunjungan kesakitan 3. Pola penyakit

(26)

(b) Kejadian Luar Biasa (KLB)

(c) Cakupan program pelayanan kesehatan 1 (satu) tahun terakhir dari setiap desa (dapat dilihat dari laporan kinerja Puskesmas)

(d) Hasil survey (bila ada), dapat dilakukan sendiri oleh Puskesmas atau pihak lain

3. Tahap Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan (RUK)

Penyusunan rencana usulan kegiatan (RUK) dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Menyusun RUK bertujuan untuk mempertahankan kegiatan yang sudah dicapai pada periode sebelumnya dan memperbaiki program yang bermasalah.

b. Menyusun rencana kegiatan yang baru dan disesuaikan dengan kondisi kesehatan diwilayah kerja dan kemampuan Puskesmas.

Penyusunan RUK terdiri dari 2 langkah yaitu Analisa Masalah dan Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan.

a. Analisa Masalah

Analisa masalah dapat dilakukan melalui kesepakatan kelompok tim penyusun perencanaan tingkat Puskesmas dan konsil kesehatan Kecamatan/Badan penyatun Puskesmas melalui tahap :

(a) Identifikasi masalah

(b) Menetapkan urutan prioritas masalah (c) Merumuskan masalah

(27)

(e) Menetapkan pemecahan masalah

b. Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan (RUK)

Penyusunan rencana usulan kegiatan (RUK) meliputi upaya kesehatan wajib, upaya kesehatan pengembangan.

1. RUK Upaya Kesehatan Wajib

(a) Menyusun RUK upaya kesehatan wajib ke dalam matriks. (b) Mengajukan RUK upaya kesehatan wajib ke Dinas Kesehatan

Kabupaten untuk mendapat pembahasan pembiayaanya. Apabali sumber pembiayaan berasal dari nol Pemerintah maka diusulkan kepada yang bersangkutan.

(c) Waktu penyusunan RUK dilaksanakan dengan memperhatikan siklus perencanaan Kabupaten. RUK harus sudah selesai atau sudah diterima Dinas Kesehatan sebelu dilakukan pembahasan anggaran dengan Tim Anggaran Kabupaten.

2. RUK Upaya Kesehatan Pengembangan

(a) Identifikasi upaya kesehatan pengembangan.

(b) Menyusun RUK upaya kesehatan pengembangan dalam bentuk matriks.

(c) Mengajukan RUK upaya kesehatan pengembangan. 4. Tahap Penyusunan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)

Tahap penyusunan RPK baik upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan, upaya kesehatan penunjang maupun upaya inovasi dilaksanakan secara bersama-sama, terpadu dan terintegrasi. Hal ini sesuai dengan azas

(28)

penyelenggaraan Puskesmas yaitu keterpaduan. Langkah-langkah penyusunan RPK adalah :

a. Mempelajari alokasi kegiatan dan biaya yang telah disetujui.

b. Membandingkan alokasi kegiatan yang disetujui dengan RUK yang diusulkan dan situasi pada saat penyusunan RPK.

c. Menyusun rancangan awal, rincian dan volume kegiatan yang dilaksanakan serta sumber daya pendukung menurut bulan dan lokasi pelaksanaan.

d. Mengadakan Lokakarya Mini Tahunan untuk membahas kesepakatan RPK. Penyusunan RPK tahunan dilaksanakan pada awal bulan pertama tahun berjalan.

e. Membuat RPK yang telah disusun dalam bentuk matriks. 2.3.4 Sumber Pendanaan Puskesmas

Pendanaan di Puskesmas bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pengelolaan dana di Puskesmas tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, memperlihatkan bahwa sebagian besar urusan Pemerintahan telah diserahkan kepada Daerah termasuk Bidang Kesehatan. Konsekuensi logis dari penyerahan ini adalah segala sesuatu yang menyangkut

(29)

perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Adisaswito, 2014).

2.3.5 Pengertian Standar Pelayanan Minamal (SPM) Bidang Kesehatan SPM bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bentuk-bentuk pelayanan kesehatan yang selama ini telah dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Yang dimaksud dengan standar pelayanan minimal (SPM) adalah suatu standar dengan batas-batas tertentu untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat yang mencakup jenis pelayanan, indikator dan nilai. Puskesmas sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia sehingga mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan SPM bidang kesehatan (Sulaeman, 2014).

2.4 Kerangka Berpikir

Gambar 2.4 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian INPUT 1. SDM Puskesmas 2. Dana BOK 3. Sarana/Prasarana Penunjang di Puskesmas PROSES 1. Perencanaan Tingkat Puskesmas (P1) 2. Penggerakan Pelaksanaan (P2) 3. Pengawasan Pengendalian Penilaian (P3) OUTPUT 1. Alokasi Dana 2. Mekanisme Penyaluran Dana 3. Peruntukkan Dana

Gambar

Gambar 2.4 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian INPUT 1.  SDM Puskesmas 2.  Dana BOK 3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

4.11 Model hubungan antara variabel persepsi guru geografi terhadap eksistensi MGMP (X1) dan partisipasi guru geografi dalam kegiatan MGMP (X2) dengan kompetensi

Dalam hal ini masalah yang diteliti adalah untuk mengetahui penyesuaian diri orang tua yang mempunyai anak indigo dan bagaimana pola asuh yang diterapkan oleh orangtua

Self-destructive behavior can easily manifest itself in the markets, particularly among day traders. When the price is dancing around in front of your eyes, it can take a grip of

Pada proses perencanaan Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Pembangunan Fisik di Desa Sukomulyo Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara yaitu kepala desa sukomulyo

serta saran kepada peneliti yang berguna selama penyusunan skripsi ini,. hingga skripsi

Pasal 197 ayat (1) KUHAP oleh Hakim Pengadilan Negeri Martapura yang dijadikan sebagai alasan kasasi Penuntut Umum dan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan Mahkamah

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan