• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Beras Struktur Beras Penggilingan Padi menjadi Beras

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Beras Struktur Beras Penggilingan Padi menjadi Beras"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Beras

Beras merupakan hasil proses pasca panen dari tanaman padi yaitu setelah tangkai dan kulit malainya dilepaskan dan digiling. Berdasarkan kelompok spesies padi yang telah dibudidayakan terdapat dua kelompok utama yaitu Oryza sativa yang berasal dari Asia dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat. Kini di dunia lebih banyak dikenal dua kelompok varietas padi Oryza

sativa yaitu : Japonica dan Indica (Winarno 1984).

Padi Japonica banyak ditanam di daerah Jepang, Korea, dan negara-negara subtropis, sedangkan padi Indica banyak ditanam di daerah tropis (khususnya Asia Tenggara). Perbedaan antara kedua padi tersebut salah satunya yaitu karakteristik pemasakan. Japonica bersifat lebih cepat lembek setelah pemasakan, sebaliknya Indica lebih tahan terhadap pemasakan (Grist 1975). Hal ini berkaitan dengan sifat nasi yang dihasilkan. Nasi dari beras

Japonica memiliki tekstur yang lebih lengket dan lembek dibandingkan nasi dari

beras Indica.

Struktur Beras

Gabah adalah bulir padi yang telah rontok dari malainya, terdiri dari satu bagian yang dapat dimakan disebut “caryopsis” dan satu bagian lagi yang merupakan struktur kulit yang disebut sekam. Bagian sekam mencapai 18 hingga 28 persen dari bobot gabah. Gabah yang dikupas akan menghasilkan beras pecah kulit (brown rice). Apabila beras pecah kulit tersebut disosoh maka akan diperoleh beras gilling (milled rice). Beras merupakan satu-satunya jenis biji-bijian yang sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk biji utuh (Winarno 1984). Bagian butir beras (brown rice) terdiri dari lapisan pericarp, testa atau tegmen, lapisan aleuron, endosperm, dan embrio (Juliano 1972). Struktur gabah dapat dilihat pada Gambar 1.

Penggilingan Padi menjadi Beras

Penggilingan (milling) menunjukkan keseluruhan proses pengolahan gabah hingga menjadi beras yaitu meliputi proses pembersihan, penghilangan sekam, kulit ari dan proses pemisahan beras yang dihasilkan berdasarkan ukurannya (Luh 1991). Pengolahan padi menjadi beras di Indonesia dapat dibedakan atas tiga cara, yaitu secara tradisional yang ditumbuk dengan tangan,

(2)

dengan mesin penggilingan secara kecil-kecilan serta dengan mesin penggilingan pada perusahaan padi komersil (Winarno 1984).

Gambar 1. Struktur biji beras (Grist 1975)

Pengupasan kulit gabah (hulling) bertujuan untuk menghilangkan sekam dengan kerusakan pada lapisan dedak yang minimum, bila memungkinkan tanpa adanya kepatahan pada beras pecah kulit yang dihasilkan (Araullo et al. 1976). Beras yang telah kehilangan sekam ini masih mengandung lapisan dedak (pericarp) yang menyelaputi endosperm. Bila lapisan dedak dan aleuron telah dihilangkan maka beras ini disebut beras sosoh.

Pada proses penyosohan terjadi pengupasan kulit yang berwarna perak dan lapisan dedak atau sebagian besar lapisan-lapisan beras pecah kulit yang digiling (Grist 1975). Derajat sosoh dinyatakan dalam persen dan menyatakan tingkat kehilangan dari lembaga dan lapisan kulit ari luar maupun dalam. Pada sistem grading beras yang tetapkan oleh USDA, beras giling dibagi empat grade yaitu beras giling sempurna (well milled), beras giling cukup sempurna (reasonably well milled), beras giling ringan (lightly milled) dan beras kurang tergiling (under milled) (Luh 1991).

(3)

Jenis-Jenis Beras

Jenis-jenis beras sangat beragam. Menurut Winarno (2004) beberapa cara penggolongan beras yang banyak diterapkan dan dipraktekkan yaitu: (1) berdasarkan varietas padi, sehingga dikenal adanya beras Bengawan Solo, Celebes, Sintanur, dan lain-lain, (2) berdasarkan asal daerah, sehingga dikenal adanya beras Cianjur, beras Garut, dan beras Banyuwangi, (3) berdasarkan cara pengolahan, sehingga dikenal adanya beras tumbuk dan beras giling, (4) berdasarkan tingkat penyosohan, sehingga dikenal beras kualitas I atau beras kualitas II, (5) berdasarkan gabungan antara sifat varietas padi dengan tingkat penyosohan.

Berdasarkan ukuran dan bentuk beras, dalam standarisasi mutu beras di pasaran internasional dikenal empat tipe ukuran panjang beras, yaitu biji sangat panjang (>7 mm), biji panjang (6.0-6.9 mm), biji sedang (5.0-5.9 mm), dan biji pendek (<5 mm). Berdasarkan bentuknya yang ditetapkan berdasarkan nisbah panjang/lebar, beras dibagi atas empat tipe, yaitu lonjong (slender), sedang (medium), agak bulat (bold), dan bulat (round) (Darmadjati dan Purwani 1991).

Berdasarkan kandungan amilosa, beras (nasi) dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu: (1) beras dengan kadar amilosa tinggi (25-33%); (2) beras dengan kadar amilosa menengah (20-25%); (3) beras dengan kadar amilosa rendah (9-20%); beras dengan kadar amilosa sangat rendah (<9%). Beras ketan praktis tidak ada amilosanya (1-2%), sedangkan beras yang mengandung amilosa lebih dari 2% disebut beras biasa atau beras bukan ketan. Beras dengan kadar amilosa rendah mempunyai sifat nasi yang pulen, tidak terlalu basah maupun kering, sedangkan beras dengan kadar amilosa tinggi mempunyai sifat nasi yang keras, kering, dan pera (Khush & Cruz 2000).

Sifat Fisik Beras

Sifat-sifat yang termasuk kedalam sifat fisik beras antara lain suhu gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan, kelengketan, kelunakan, dan kilap nasi (Damardjati dan Purwani 1991). Menurut Winarno (1997), suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu gelatinisasi, yaitu: suhu rendah (55-69oC), sedang (70-74oC), dan tinggi (>740C) (Khush & Cruz 2000).

(4)

Menurut Winarno (2008), bila suspensi pati dalam air dipanaskan, suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu. Terjadi translusi larutan pati diikuti pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antarmolekul pati didalam granula, air dapat masuk kedalam butir-butir pati.

Penyerapan akan semakin intensif seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan sehingga menyebabkan granula membesar hingga pada suatu titik pembesaran granula pati bersifat irreversible (tidak dapat kembali kebentuk semula) (Winarno 2008). Semakin meningkat suhu pemanasan, semakin meningkat pengembangan granula. Pembesaran granula pati menyebabkan peningkatan viskositas larutan pati secara bertahap. Setelah pembesaran pati mencapai maksimal, granula pati akan pecah sehingga pemanasan lebih lanjut akan menurunkan viskositas larutan pati dan kurva amilografi membentuk sebuah puncak viskositas (Parker 2003).

Adanya fraksi amilosa dalam granula pati akan membatasi perkembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa pati, semakin kuat ikatannya, viskositas puncak merupakan ukuran dari kekuatan pengentalan pati, maka sifat pengental pada pati lebih dominan ditentukan oleh kandungan amilopektinnya (Greenwood 1979).

Pati memiliki gugus hidroksil yang jumlahnya sangat banyak. Hal ini yang menyebabkan kemampuan menyerap airnya sangat besar, sehingga menyebabkan granula pati membengkak. Peningkatan viskositas terjadi karena air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan kini berada di dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno 1997). Menurut Swinkel (1985), peningkatan viskositas terjadi akibat friksi yang lebih besar dengan semakin membengkaknya granula dan keluarnya eksudat granula kedalam larutan.

Bila pati telah mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin membentuk jaring-jaring mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi ini disebut retrogradasi.

Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: karakteristik granula, terdapatnya komponen protein, lemak, dan juga gula pada tepung.

(5)

Menurut Juliano (1972), hubungan suhu gelatinisasi dengan waktu pemasakan beras menunjukkan bahwa peningkatan suhu gelatinisasi akan memperlama waktu pemasakan beras menjadi nasi. Dengan kata lain, suhu gelatinisasi berkorelasi positif dengan waktu yang dibutuhkan untuk menanak nasi. Beras yang memiliki suhu gelatinisasi rendah akan menyerap air dan mengembang pada suhu yang lebih rendah dibandingkan beras yang memiliki suhu gelatinisasi tinggi.

Kadar amilosa sebanding dengan suhu gelatinisasi, dimana adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar amilosa maka semakin tinggi suhu gelatinisasi. Pati beramilosa tinggi mempunyai struktur yang lebih rapat (tighly

bound structure) sehingga sukar mengembang (Greenwood 1979). Keadaan ini

menyebabkan diperlukan suhu gelatinisasi yang lebih tinggi agar terjadi pengembangan granula. Amilopektin mempunyai struktur bercabang yang sangat efektif untuk mencegah pecahnya granula akibat proses gelatinisasi. Oleh karena itu, granula menjadi lebih mudah pecah yang mengakibatkan turunnya suhu gelatinisasi.

Suhu awal gelatinisasi yang tergolong tinggi sementara kadar amilosa yang rendah dapat disebabkan adanya lemak yang mempengaruhi pengembangan granula pati. Degradasi lemak dengan karbohidrat akan membentuk glikolipid yang mengikat granula, sehingga diperlukan suhu pemanasan yang lebih tinggi untuk memecah granula pati tersebut. Selain itu, lamanya penyimpanan juga dapat mempengaruhi peningkatan gula reduksi sehingga granula pati akan terhalangi untuk mengalami pengembangan. Hal ini menyebabkan waktu yang diperlukan untuk mendegradasi pati menjadi lebih lama (Agrasasmita 2008).

Menurut Winarno (2008), adanya gula berpengaruh terhadap kekentalan gel yang terbentuk, gula akan menurunkan kekentalan. Hal ini disebabkan gula akan mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir pati terjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi lebih tinggi. Adanya gula akan menyebabkan gel lebih tahan terhadap kerusakan mekanik.

Perubahan komposisi kimia selama penyimpanan disebabkan oleh kegiatan enzim dalam biji yang masih aktif setelah padi dipanen. Umumnya, selama penyimpanan gabah atau beras terjadi peningkatan gula reduksi dan terjadi penurunan gula nonreduksi. Perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu, sedangkan pengaruh kandungan airnya kecil. Pada suhu 5oC kandungan

(6)

gula relatif tidak berubah, sedangkan pada suhu 25oC penurunan kadar gula berlangsung dengan cepat (Barber 1972).

Viskositas balik mencerminkan tingkat kemampuan asosiasi atau retrogradasi molekul pati (amilosa beras) pada proses pendinginan. Sifat ini penting untuk mengetahui apakah nasi/produk pada suhu kamar atau setelah dingin akan mengembang (mekar) atau menyusut volumenya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan ini antara lain kadar amilosa, panjang rantai polimer, dan tingkat dispersi molekul pati. Viskositas balik pasta pati diukur berdasarkan selisih antara viskositas dingin (pada 500C) dengan viskositas puncak pasta.

Menurut Luh & Liu (1980), varietas beras dengan kadar amilosa tinggi (diatas 22%) umumnya mempunyai viskositas balik yang tinggi (viskositas puncak yang rendah) dan beras yang mengandung pati dengan kadar amilosa rendah umumnya mempunyai viskositas balik rendah (viskositas puncak relatif tinggi).

Little & Dawson (1990) mengatakan bahwa selama pemasakan beras akan terjadi pengembangan graula pati. Pengembangan ini menyebabkan permukaan butir beras menjadi retak. Tertahannya pengembangan pati beras disebabkan oleh adanya pembatas dari komponen bukan pati karena kandungan lemak, protein, mineral, dan dinding sel yang berpengaruh terhadap kualitas pemasakan nasi.

Sifat Fisikokimia Beras Amilosa pada Beras

Amilosa adalah polisakarida yang terdiri dari glukosa yang membentuk rantai linier dan memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen atau untuk mengalami retrogradasi. Struktur yang lurus ini membuat amilosa dapat dihidrolisis sempurna oleh satu enzim saja yakni α-amilase, sedangkan amilopektin merupakan polimer gula sederhana yang memiliki cabang serta mempunyai ukuran molekul yang lebih besar dibandingkan amilosa. Oleh karena itu untuk menghidrolisis amilopektin diperlukan dua enzim yaitu α-amilase dan α(1-6) glukosidase. Rantai lurus dan sifat hidrofilik amilosa menyebabkan molekul ini cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain melalui ikatan hidrogen. Hal ini menyebabkan affinitas amilosa terhadap air menurun.

Kadar amilosa merupakan salah satu kriteria penting dalam sistem klasifikasi beras. Beras berkadar amilosa sedang mempunyai sifat nasi pulen,

(7)

tidak terlalu basah maupun kering, sedangkan beras berkadar amilosa tinggi mempunyai sifat nasi yang keras, kering, dan pera. Penggolongan ini didasarkan pada kemampuan amilosa untuk berasosiasi kembali dengan sesamanya membentuk struktur yang kaku (Winarno 1997).

Sampel beras yang memiliki kandungan amilosa rendah biasanya memiliki nisbah penyerapan air (NPA) yang lebih rendah dibandingkan dengan yang memiliki kandungan amilosa tinggi. Hal ini disebabkan perbedaan gugus aktifnya. Amilosa mempunyai gugus hiroksil yang bersifat polar (hidrofilik) dan mempunyai afinitas yang cukup besar terhadap air. Hal ini menyebabkan kemampuan daya serap air meningkat (Juliano 1979). Oleh karena itu, nasi yang pera akan lebih banyak menyerap air untuk mengembang.

Pada proses pemasakan beras menjadi nasi, amilosa mempunyai kemampuan lebih mudah menyerap air, tetapi lebih mudah pula melepaskannya. Sebalikanya, amilopektin merupakan polimer glukosa yang mempunyai rantai cabang dan sulit menyerap air, tetapi lebih sukar melepaskanya. Kandungan amilosa, varietas beras, dan waktu pemasakan mempunyai korelasi positif terhadap penyerapan air (Darmadjati dan Purwani 1991).

Menurut Bergman et al. (2004), granula pati dapat mengembang jika menyerap air. Air membentuk hidrat melalui ikatan hidrogen. Kemampuan penyerapan air dan pengembangan volume terbatas karena molekul-molekul pati sendiri saling berikatan melalui ikatan hidrogen. Apabila dipanaskan, energi panas dapat memecah ikatan hidrogen sehingga kemampuan pati dalam mengikat air semakin meningkat dan mengakibatkan pati dapat mengembang lebih besar.

Sifat Kimia dan Kandungan Gizi Beras

Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin, dan air dengan distribusi tidak merata. Lapisan terluar beras kaya akan komponen non pati seperti protein, lemak, serat, abu, pentosan, dan lignin sedangkan bagian endosperm kaya akan pati (Juliano 1972).

Karbohidrat utama dalam beras adalah pati dan hanya sebagian kecil merupakan pentosan, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Pati beras berkisar antara 85-90% dari berat kering beras. Kandungan pentosan berkisar antara 2.0-2.5%, dan gula 0.6-1.4% dari beras pecah kulit.

(8)

Protein sebagai penyusun terbesar kedua setelah pati, mempunyai ukuran granula 0.5-5 µm terdiri dari 5% fraksi albumin (larut dalam air), 10% gobulin (larut dalam garam), 5% prolamin (larut dalam alkohol), dan 80% glutelin (larut dalam basa). Fraksi protein yang paling dominan adalah glutelin, yang bersifat tidak larut dalam air, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan volume pengembangan butir pati selama pemanasan (Juliano 1972).

Menurut Juliano (1972), seperti pada serealia lain, kandungan lemak tertinggi beras terdapat dalam lembaga dan lapisan aleuron yang terkumpul dalam butiran lemak. Kadar lemak dari beras pecah kulit berkisar antara 2.4-3.9%, sedangkan pada beras giling berkisar 0.3-0.6%. Lemak tersebut ada dalam bentuk trigliserida (lipid netral) dan dalam asam lemak bebas (lipid) polar. Asam-asam lemak utama dalam beras adalah asam palmitat, oleat, dan linoleat. Fraksi utama lemak beras adalah asam oleat dan palmitat.

Vitamin yang terdapat pada beras dalam bentuk tiamin, riboflavin, piridoksin, masing-masing berturut-turut 4 ug/g, 0.6 ug/g, dan 50 ug/g. Kandungan vitamin ini biasanya lebih tinggi pada beras pecah kulit daripada sosoh, kadar riboflavin dalam beras rendah dan vitamin C tidak ada.

Tabel 1 Komposisi beras dari berbagai cara pengolahan

Komposisi Beras Pecah Kulit Beras Giling Beras Pratanak

Kadar air (%) 12.0 12.0 10.3 Kalori/100g (kkal) 360 363 369 Protein (%) 7.5 6.7 7.4 Lemak (%) 1.9 0.4 0.3 Ekstrak N-Bebas (%) 77.4 80.4 81.3 Serat (%) 0.9 0.3 0.2 Abu (%) 1.2 0.5 0.7 Thiamin (mg/100g) 0.34 0.07 0.44 Riboflavin (mg/100) 0.05 0.03 - Niacin (mg/100g) 4.7 1.6 3.5

(Sumber : Adair et al. 1973)

Beras sebelum dikonsumsi harus diolah terlebih dahulu melalui proses penanakan untuk menjadi nasi yang dapat dilakukan dengan penanakan dan pengukusan. Nasi menyumbangkan 60-80% kalori dan 45-55% protein pada menu masyarakat Indonesia (Purwani et al. 2007). Komposisi beras dari berbagai cara pengolahan dapat dilihat pada Tabel 1 dan kandungan zat gizi nasi dari beras giling per 100 gram dapat dilihat pada Tabel 2.

Mutu tanak merupakan mutu atau kualitas nasi akibat adanya perubahan fisikokimia dari beras menjadi nasi. Sifat umum yang dapat digolongkan dalam pengertian mutu tanak adalah pengembangan volume, nisbah penyerapan air,

(9)

stabilitas pratanak, waktu tanak, dan sifat viskositas tepung. Akan tetapi, dalam penerapan kriteria mutu tanak dan pengolahan digunakan sifat-sifat fisik dan kimia yang dapat diukur secara objektif. Sifat beras yang digunakan sebagai kriteria mutu tanak dan pengolahan beras adalah kadar amilosa, uji alkali untuk menduga suhu gelatinisasi, kapasitas penyerapan air pada suhu 700C, dan sifat amilografi (Damardjati dan Purwani 1991).

Tabel 2. Kandungan Zat Gizi Nasi dari Beras Giling per 100 gram

Zat Gizi Jumlah (dalam 100 gram nasi)

Air (g %) 57.00 Energi (Kalori) 178.00 Protein (g %) 2.10 Lemak (g %) 0.10 Karbohidrat (g %) 40.60 Kalsium (Ca) (mg %) 5.00 Pospor (P) (mg %) 22.00 Besi (Fe) (mg %) 0.50 Vitamin B1 (mg %) 0.02

(Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI 1995).

Mutu tanak di Indonesia belum merupakan kriteria yang berlaku dalam penetapan mutu beras, tetapi di pasaran internasional khususnya di Amerika Serikat, mutu tanak merupakan salah satu persyaratan mutu beras, terutama hubungannya dengan industri pengolahan beras. Mutu tanak dan sensori lebih ditentukan oleh sifat-sifat genetis varietas dan kondisi-kondisi pertanaman seperti pemupukan, jenis tanah, dan iklim, sehingga sifat ini dimasukkan dalam kriteria dari deskripsi varietas yang akan dilepas.

Faktor yang mempengaruhi karakteristik mutu beras secara umum dipengaruhi oleh 4 faktor utama, yaitu : sifat genetik, lingkungan dan kegiatan prapanen, perlakuan panen, dan perlakuan pasca panen. Masing-masing faktor tersebut mempengaruhi beras secara dominan, misalnya mutu tanak dan sensori nasi terutama ditentukan oleh faktor genetik dan sedikit dipengaruhi oleh faktor penyimpanan (Damardjati 1995).

Uji Deskripsi Sensori

Uji deskripsi sensori adalah metode analisis sensori dimana atribut sensori suatu produk atau bahan pangan diidentifikasi, dideskripsikan dengan menggunakan panelis yang dilatih khusus untuk tujuan ini. Menurut metode Von & Akesson (1986), data yang dihasilkan dari analisis ini diperoleh dengan asumsi yang menjadi dasar dalam analisis sensori parametrik yaitu atribut sensori yang dievaluasi dianggap kontinyu sebagai intensitas dan dapat dirata-ratakan.

(10)

Quantitative Descriptive Analysis (QDA)

Quantitative Descriptive Analysis (QDA) merupakan salah satu analisis

sensori deskriptif yang digunakan untuk menggambarkan karakteristik suatu produk (komoditas) secara matematis (Zook & Pearse 1988). Metode ini menggunakan panelis yang telah melalui serangkaian prosedur seleksi dan pelatihan. Data QDA harus dapat ditampilkan dalam bentuk yang mudah dimengerti, berupa grafik majemuk jaring laba-laba (spider web) atau menggunakan Multivariate Analysis dengan aplikasi teknik Principal Component

Gambar

Gambar 1. Struktur biji beras (Grist 1975)

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun emosi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia dan boleh menentukan kualiti kehidupan, emosi dalam konteks religiositi dan spiritualiti seperti haji masih

Musim cumi-cumi di wilayah perairan luar daerah penambangan timah laut Kabupaten Bangka Selatan, yaitu pada Musim Peralihan II (September, Oktober, dan November) dan puncak

Lihat HB Sumardi, Berbagai Permasalahan Pembelajaran Membaca Permulaan pada Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Bantul, PGSD, (t.t, t.p., t.th), 4.. Peran

Dari grafik dapat dilihat bahwa mekanik pagi 1 memiliki jam kerja lebih banyak karena untuk meminimalkan jumlah pekerja disini memanfaatkan pekerja yang masuk dengan

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan demikian Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pembatalan Keputusan Komisi Pemilihan

Reaksi antara Benzil Klorida dan larutan Natrium Karbonat dijalankan dalam Reaktor tangki berpengaduk, dengan waktu reaksi 0,39 jam, suhu reaktor 110 o C, dan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa model BBL berpengaruh nyata terhadap hasil belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri Colomadu baik pada

Perancangan Pusat Kesenian di Surabaya dengan memberikan fasilitas yang dapat mewadahi untuk pertunjukan berbagai macam cabang kesenian, serta rekreasi seni dan budaya di