• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS RESPONS PRODUKSI, PERMINTAAN DOMESTIK DAN PENAWARAN EKSPOR KOPI ROBUSTA INDONESIA OLEH MEIKHAL SAPUTRA H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS RESPONS PRODUKSI, PERMINTAAN DOMESTIK DAN PENAWARAN EKSPOR KOPI ROBUSTA INDONESIA OLEH MEIKHAL SAPUTRA H"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RESPONS PRODUKSI, PERMINTAAN DOMESTIK

DAN PENAWARAN EKSPOR KOPI ROBUSTA INDONESIA

OLEH

MEIKHAL SAPUTRA H14050518

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

ANALISIS RESPONS PRODUKSI, PERMINTAAN DOMESTIK DAN

PENAWARAN EKSPOR KOPI ROBUSTA INDONESIA

OLEH

MEIKHAL SAPUTRA H14050518

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(3)

RINGKASAN

MEIKHAL SAPUTRA. Analisis Respon Produksi, Permintaan Domestik dan Penawaran Ekspor Kopi Robusta Indonesia (dibimbing oleh SRI HARTOYO).

Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena pengusahaannya dimulai dari kebun sampai dengan penanganan industri hilir. Kopi memiliki sejarah yang panjang dan memiliki peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Komoditas kopi merupakan salah satu komoditas pertanian (subsektor perkebunan) yang telah terbukti dapat dijadikan sebagai andalan devisa bagi negara melalui kegitan ekspor kopi. Sekitar sepertiga produksi kopi dunia ialah kopi Robusta, kopi ini lebih mudah perawatannya dibandingkan jenis lainnya sehingga biaya produksinya juga murah dan karena kopi arabika dikenal dengan kualitas yang lebih baik, kopi Robusta biasanya dibuat kopi instant, espresso dengan tingkat caffeine hampir 2 kali lipat dibandingkan Arabika. Sumbangan Indonesia terhadap total produksi kopi jenis Robusta ini adalah sekitar 90 persen.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis respon produksi kopi Robusta Indonesia terhadap harga, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan domestik kopi Robusta Indonesia, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor kopi Robusta Indonesia. Sedangkan, Data yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data deret waktu (time series). Data deret waktu meliputi data tahunan selama 17 tahun (1988-2005). Data yang digunakan meliputi data harga pupuk, luas lahan, volume eskpor tahun sebelumnya, harga domestik, harga substitusi, populasi, harga ekspor, dummy krisis. Semua data yang dikumpulkan berasal dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perkebunan Departemen Pertanian, Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta literatur dari lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini.

Produksi harga dari tahun ke tahun meningkat sebesar 3.14 per tahun. Peningkatan produksi ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan luas areal tanpa oleh produktivitas. Keadaan ini juga terlihat dari pengaruh yang nyata luas areal terhadap produksi. Selain itu perubahan produksi juga dipengaruhi oleh peubah harga domestik dan kondisi perekonomian Indonesia. Konsumsi kopi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi disebabkan jumlah penduduk yang meningkat dan juga disebabkan oleh peningkatan harga kakao. Ekspor kopi berfluktuasi dengan kecenderungan yang meningkat dengan rata-rata 0.67 persen. Harga ekspor kopi dipengaruhi oleh kondisi perekonomian Indonesia dan volume ekspor lag satu tahun sebelumnya. Sementara harga ekspor dan harga domestik tidak menyebabkan peningkatan pada ekspor kopi.

(4)

Judul skripsi : ANALISIS RESPONS PRODUKSI, PERMINTAAN DOMESTIK DAN PENAWARAN EKSPOR KOPI ROBUSTA INDONESIA

Nama : Meikhal Saputra NIM : H14050518

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S NIP. 19500209 198203 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003

Tanggal Kelulusan:

(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Bogor, Februari 2010

Meikhal Saputra H14050518

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Meikhal Saputra lahir pada tanggal 02 Mei 1987 di Padang yang berada di Provinsi Sumatera Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Mardanus (alm) dan Ernani.

Penulis memulai pendidikan formalnya di SD 05 Bandar Buat pada tahun 1993 dan diselesaikan pada tahun 1999. Pada tahun 2002, penulis menamatkan pendidikan menengah pertamanya di SLTP negeri 11 Padang. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Semen Padang dan lulus pada tahun 2005.

Pada tahun 2005, penulis meninggalkan daerah asal tersebut untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor dan diterima di program studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2006. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kepanitiaan seperti Hipotex-R dan beberapa organisasi mahasiswa lainnya seperti Paduan Suara Mahasiswa IPB Agria Swara.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Penelitian dengan judul Analisis Respons Produksi, Permintaan Domestik dan Penawaraan Ekspor Kopi Robusta Indonesia merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S dan keluarga, selaku dosen pembimbing yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis. Bukan hanya meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengetahuan baik secara teknis, teoritis, maupun moril, tapi juga memberikan kritik dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Wiwiek Rindayanti selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran, semangat pantang menyerah dan nasihat dalam penulisan skripsi.

3. Fifi Diana Thamrin, M. Si selaku penguji dari komisi akademik, yang telah memberikan kritik, saran, dan nasihat dalam penulisan skripsi.

4. Seluruh dosen pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen yang telah memberikan ilmu bermanfaat bagi penulis serta semua staf Tata Usaha yang telah memberikan kelancaran berbagai urusan administrasi

5. Mama dan almarhum papa, terima kasih atas doa, harapan, kepercayaan, cinta, kebahagiaan, kasih sayang yang tiada tara, nasihat dan motivasi, semangat dan cahaya kehidupan, serta dukungan moriil dan materiil yang telah diberikan sepanjang hidup penulis. “mom and dad...I realize that i’m not the best,but i

always try to be the best..”

6. Kakak-kakakku tercinta Yola Victoria dan Veronica, dan adikku tersayang Renando Meiko Putra. Terima kasih atas doa dan semangat serta motivasi yang diberikan selama ini.

7. Sahabat-sahabat Potter Vani, Rini, Agi, Nadia. Terima kasih buat semua dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis.

(8)

8. Sahabat-sahabat di masa perkuliahan yaitu memes (jupee), dynce, njay, dithee yang telah memberikan dukungan, nasehat semangat, serta doa kepada penulis. 9. Temen-temen di Agria Swara Putri (dad), greth (mom), githa (jadul), merry

(luna), yuli (kukang), nova (inang). Terima kasih untuk canda tawa, kebahagian, kesabaran, doa, dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.

10. Temen satu bimbingan skripsi penulis yaitu Nazrul Anwar, Maryam Ardanila, Elby, untuk kebersamaannya dalam mencari dan mengolah data, sharing pengetahuan, serta dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis.

11. Temen-temen kosan syakir, bangkit, eris, debora, reni, oni. Terima kasih atas doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

12. Temen-temen IE’42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

13. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan. Terima kasih

Bogor, Februari 2010

Meikhal Saputra H14050518

(9)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... xi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 5 1.3. Tujuan Penelitian ... 9 1.4. Kegunaan Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Teori Perdagangan Internasional ... 10

2.2. Teori Penawaran ... 12

2.3. Teori Permintaan Domestik ... 12

2.4. Elastisitas Penawaran ... 13

2.5. Penelitian Terdahulu ... 13

III. KERANGKA TEORITIS ... 16

3.1 Konsep Pemikiran Teoritis ... 16

3.2 Teori kuota ... 17

3.3 Fungsi Ekspor ... 18

3.4 Model Respon Produksi, Permintaan Domestik, dan Penawaran Ekspor Kopi . 18 IV. METODE PENELITIAN ... 22

4.1 Jenis dan Sumber Data ... 22

4.2 Model Ekonemetrika ... 22

4.2.1 Model Respon Produksi ... 22

4.2.2 Model Permintaan Domestik ... 22

4.2.3 Model Penawaran Ekspor ... 23

4.2.4 Persamaan Identitas ... 23

4.3 Identifikasi Model ... 23

V. GAMBARAN UMUM ... 26

5.1. Luas Areal Perkebunan KopiRobusta Indonesia ... 26

5.2. Produksi Perkebunan Kopi Robusta Indonesia ... 27

5.3. Produktifitas Perkebunan Kopi Robusta Indonesia ... 27

5.4 Potensi Kopi Robusta Indonesia ... 28 viii

(10)

5.5 Produksi Kopi Robusta Dunia ... 30

5.6 Tingkat Harga Kopi Robusta di Indonesia ... 31

5.7 Perkembangan Ekspor Kopi Robusta Indonesia ... 32

5.8 Bentuk Kopi yang Diekspor ... 33

5.9 Negara Tujuan Ekspor Kopi Robusta Indonesia ... 33

5.10 Pasar Kakao Olahan Dunia dan Kakao Olahan Indonesia ... 35

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

6.1 Model Fungsi Respon Produksi Kopi Robusta ... 36

6.2 Model Fungsi Permintaan Domestik Kopi ... 37

6.3 Model Fungsi Penawaran Ekspor Kopi Robusta ... 39

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

7.1 Kesimpulan ... 42

7.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN ... 46

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan pada

Tahun 2000 - 2009 ... 2

1.2 Perkembangan Produksi dan Ekspor Kopi di Dunia Tahun 2002 ... 3

4.3 Identifikasi Model dengan Order Condition ... 25

5.1 Persentase Luas TM Kopi Robusta Nasional Terhadap Luas Lahan Kopi Robusta Nasional dan Luas Lahan Kopi Nasional Pada Tahun 1994 - 2006 (Ha) ... 26

5.3 Pertumbuhan Luas Areal (TM), Produksi, dan Produktifitas Perkebunan Kopi Robusta Seluruh Indonesia tahu 1994 - 2006 ... 28

5.4 Syarat Tumbuh Kopi Robusta ... 29

5.5 Jumlah Produksi negara-Negara Produsen Utama Kopi Robusta di Dunia Pada Tahun 1999 - 2004 (000 Bags) ... 31

5.7 Perkembangan Ekpor Kopi Robusta Indonesia Periode 2000/2001 - 2005/2006 ... 32

5.9 Perkembangan Volume Ekspor Kopi Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 2001- 2005 ... 34

6.1 Hasil Penduga Fungsi Persamaan Respon Produksi Kopi Robusta ... 36

6.2 Hasil Penduga Fungsi Persamaan Permintaan Domestik Kopi Robusta ... 38

6.3 Hasil Penduga Fungsi Persamaan Penawaran Ekspor Kopi Robusta ... 39

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena pengusahaannya dimulai dari kebun sampai dengan penanganan industri hilir. Kopi memiliki sejarah yang panjang dan memiliki peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Indonesia dengan letak geografisnya yaitu 6oLU – 11oLS dan 95oBT – 141oBT, sangat menguntungkan bagi tanaman kopi. Letak Indonesia sangat ideal bagi iklim mikro untuk pertumbuhan dan produksi kopi. Dari 40 jenis varietas kopi yang ada di dunia, terdapat dua jenis kopi utama yang paling banyak diperdagangkan yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Komoditas kopi merupakan salah satu komoditas pertanian (subsektor perkebunan) yang telah terbukti dapat dijadikan sebagai andalan devisa bagi negara melalui kegitan ekspor kopi. Pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, komoditas kopi mampu menunjukkan kemampuannya sebagai salah satu katup penyelamat perekonomian nasional. Komoditas kopi bersama komoditas pertanian lainnnya tetap mampu menjadi sumber devisa bagi negara yang sangat dibutuhkan untuk membiayai pembangunan dan membayar cicilan hutang luar negeri (ICO, 2000).

Kemampuan ini bersumber dari struktur biaya sektor pertanian, terutama subsektor perkebunan yang didominasi oleh komponen biaya yang berasal dari sumberdaya domestik sehingga tidak bergantung pada nilai mata uang asing. Dari sisi teknologi, sebagian besar industri pengolahan kopi Indonesia merupakan industri rumah tangga yang masih menggunakan teknologi konvensional

(14)

sehinggga praktis tidak tergantung pada impor. Sekalipun industri swasta umumnya sudah menggunakan teknologi pengolahan modern yang diimpor, seperti mesin pengering dan mesin penggilingan, namun pengaruh krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia relatif kecil. Jadi perusahaan tidak akan gulung tikar disebabkan karena mesin-mesin tersebut merupakan barang investasi yang bersifat jangka panjang (International Contact Business System dalam Sunarni (2002)).

Pengusahaan perkebunan kopi di Indonesia dilakukan oleh tiga kelompok pengusaha perkebunan yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta.(Tabel1.1).

Tabel 1.1 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan Pada Tahun 2000-2009.

Tahun Luas Areal (Ha)

PR/Smallholders PBN/Government PBS/Private Jumlah

2000 1.192.322 40.654 27.720 1.260.687 2001 1.258.628 26.954 27.801 1.313.383 2002 1.318.020 26.954 27.210 1.372.184 2003 1.240.222 26.597 25.0991 1.291.910 2004 1.251.326 26.597 26.020 1.303.943 2005 1.202.392 26.641 26.239 1.255.272 2006*) 1.210.445 26.776 26.405 1.263.203 2007**) 1.255.793 27.116 26.385 1.263.220 2008*) 1.241.141 27.455 26.716 1.295.237 2009**) 1.256.489 27.795 27.046 1.311.254

Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006. Keterangan: (*) Angka Sementara

Pengusahaan kopi pada perkebunan rakyat umumnya masih menggunakan teknologi sederhana dan produksi mengacu pada harga kopi yang berlaku. Pada saat harga kopi jatuh maka sejumlah petani kopi tidak akan menjual kopinya. Petani dapat meninggalkan begitu saja lahannya dan mereka dapat beralih usaha pada tanaman perkebunan lainnya yang lebih menguntungkan. Masalah lain yang

(15)

masih terjadi sampai saaat ini di dalam perkebunan rakyat, yaitu mengenai kualitas kopi yang dihasilkan yang sebagian besar bermutu rendah. Hal ini berkaitan dengan masalah produksi, yaitu petani seringkali melakukan panen sebelum masak atau dikenal dengan istilah petik hijau, yang seharusnya biji kopi dipetik setelah biji berwarna merah (Meryana,2007).

Sekitar sepertiga produksi kopi dunia ialah kopi robusta, kopi ini lebih mudah perawatannya dibandingkan jenis lainnya sehingga biaya produksinya juga murah dan karena kopi arabika dikenal dengan kualitas yang lebih baik, kopi robusta biasanya dibuat kopi instant, espresso dengan tingkat caffeine hampir 2 kali lipat dibandingkan Arabika. Posisi Indonesia juga cukup strategis dalam perdagangan kopi dunia, karena Indonesia menempati posisi keempat sebagai negara produsen dan pengekspor kopi terbesar dunia (Tabel1.2).

Tabel 1.2 Perkembangan Produksi dan Ekspor Kopi di dunia, Tahun 2002 No Negara Produksi (Ribu Ton) Ekspor (Ribu Ton)

1 Brazil 48480 23809 2 Colombia 11889 10625 3 Vietnam 11555 11966 4 Indonesia 6785 5173 5 India 44683 3441 6 Guatemala 4070 3330 7 Mexico 4000 2893 8 Ethiopia 3693 1939 9 Uganda 2900 3153 10 Peru 2900 2638 Sumber: AEKI,2005 3

(16)

Ekspor kopi mencapai jumlah sekitar 70 persen dari total produksi nasional dan sisanya digunakan untuk konsumsi dan stok nasional. Masalah mutu kopi yang rendah dan kuantitas produksi yang tidak konsisten tentunya mempengaruhi perkembangan ekspor kopi robusta Indonesia pada masa mendatang. Hal ini merupakan masalah yang cukup mempengaruhi perkembangan industri kopi robusta Indonesia. Masalah ini perlu dengan segera dibenahi sehingga industri ini dapat bertahan dan berkembang di pasar domestik maupun internasional.

Pembenahan produksi kopi perlu segera ditindaklanjuti guna mencapai kualitas dan kuantitas produksi yang maksimal. Hal ini disebabkan sebagian besar produksi kopi robusta Indonesia dijual ke luar negeri sehingga kontinuitas dan kualitas biji kopi merupakan syarat mutlak jika ingin tetap berada di puncak persaingan pasar kopi robusta. Adanya kecenderungan akan meningkatnya tingkat konsumsi kopi dunia tentu merupakan peluang tambahan bagi perindustrian kopi robusta Indonesia untuk meningkatkan dan menjamin adanya kontinuitas jumlah produksi.

Dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, komoditas kopi robusta Indonesia diharapkan mampu untuk terus memberikan devisa bagi negara. Selain bagi devisa negara, komoditas kopi robusta juga diharapkan mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat di sentra-sentra produksi kopi. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, yang peduli terhadap pembangunan perkopian Indonesia untuk selalu mengkaji setiap permasalahan perkopian Indonesia.

(17)

1.2 Perumusan Masalah

Tantangan yang dihadapi saat ini dan saat mendatang adalah bagaimana meningkatkan pangsa pasar kopi Indonesia sehingga kecendrungan masalah surplus produksi dapat dikurangi. Konsumsi per kapita kopi di Indonesia relatif masih rendah dan berfluktuasi. Tahun 1994 hanya sebesar 0.695 Kg, bahkan pada tahun 1994 hanya 0.129 Kg. Di Brazil angka tersebut mencapai 2.39 Kg, dan Columbia 4.00 Kg. Oleh sebab itu, mengapa di tengah-tengah relatif berhasilnya peningkatan produksi kopi, tapi tidak diikuti dengan kenaikan konsumsi dalam negeri atau pada pasar domestik (Ditjenbun, 1994). Mutu bibit yang digunakan pada perkebunan rakyat kebanyakan merupakan bibit dengan mutu klon yang rendah (Absenia). Selain itu perkembangan harga kopi robusta di Indonesia dapat dikatakan tergantung dari tingkat harga kopi dunia. Hal ini karena kopi robusta merupakan komoditas ekspor dan sebagian besar kopi robusta Indonesia dijual ke luar negeri sehingga harga jual maupun harga beli mengikuti harga yang terbentuk dalam pasar kopi internasional.

Harga kopi robusta pun berbeda dengan harga kopi arabika. Harga kopi arabika cenderung lebih tinggi daripada harga kopi robusta. Adapun hal-hal yang yang tidak dapat dikendalikan dalam mengontrol harga kopi adalah jumlah produksi dari negara-negara eksportir kopi utama seperti Vietnam dan Brazil. Pada saat Brazil mengalami frost atau Vietnam mengalami kekeringan sehingga produksi dunia berkurang dapat menyebabkan harga kopi menguat. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama, karena ketika kondisi alam kedua negara tersebut telah kembali normal atau mereka dapat mengatasinya (ICO,2000), menyebabkan harga mengalami penurunan kembali. Permintaan kopi dunia dari tahun ke tahun

(18)

mengalami peningkatan. Kondisi tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan ekspor kopinya. Dalam perkembangannya, ekspor kopi Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga menyebabkan fluktuasi seperti kebijakan ekspor dan harga kopi dunia yang terus berubah.

Dalam menjaga kestabilan dari harga kopi, sejumlah program telah dijalankan, seperti adanya pembatasan kuota dan retensi kopi oleh ICO dan ACPC. Namun, kebijakan-kebijakan tersebut ternyata tidak dapat menjaga keseimbangan dari harga kopi. Produksi yang menurun tentunya juga berimbas pada volume ekspor kopi nasional. Kondisi tersebut sangat membahayakan posisi Indonesia sebagai negara eksportir pada perdagangan kopi dunia, karena posisinya dapat tergeser oleh negara-negara pesaing dan permintaan konsumen dunia dapat pula berpindah karena ketidakmampuan kopi Indonesia untuk memenuhinya. Terkait dengan persaingan lahan, selain untuk pengembangan biofuel lahan kopi bersaing dengan komoditi lain seperti; kakao, kelapa yang merupakan komoditi kompetitif.

Program pengendalian ekspor (retensi) kopi yang dimulai sejak bulan mei 2000 tidak membuahkan hasil karena menghadapi kendala financial dan sejumlah negara yang awalnya menyatakan setuju untuk melakukan retensi kopi ternyata tidak melaksanakan sesuai dengan yang dilaporkan. Harga kopi pun semakin memburuk sehingga program retensi dibubarkan pada akhir bulan September 2001. Kegagalan ACPC untuk memulihkan harga kopi membuat organisasi ini diyakini oleh para anggotanya tidak layak lagi untuk dipertahankan sehingga ACPC resmi dibekukan pada akhir Januari 2002 (Herman, 2003).

(19)

Komoditas kopi robusta cukup mempunyai sumberdaya yang mendukung perkembangannya. Produk kopi robusta Indonesia pun masih tetap diperhitungkan di pasar kopi internasional. Penulis mencoba untuk menggambarkan secara detail yang menjadi menghambat perkembangan kopi robusta nasional dalam merumuskan permasalahan yang terjadi.

1) Luas lahan kopi yang meningkat.

Industri pengolahan kopi robusta mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai pemasukan yang besar bagi devisa negara. Lahan perkebunan kopi diramalkan akan semakin bertambah hingga tahun 2009 sampai dengan seluas 1.256.489 hektar. Dengan lahan yang semakin luas tentunya dapat menghasilkan produksi kopi yang lebih besar.

2) Konsumsi kopi yang cenderung meningkat.

Pasar kopi masih terbuka lebar sebagai minuman favorit bagi masyarakat Indonesia maupun dunia. Saat ini kopi pun tidak hanya diminati sebagai minuman saja, tetapi juga sebagai bahan tambahan (penyedap) untuk industri makanan. Oleh karena itu, dapat dikatakan banyak industri pendukung yang turut berperan dalam peningkatan konsumsi kopi. Hal ini merupakan potensi yang dapat mendukung perkembangan industri kopi Robusta nasional.

3) Produksi yang meningkat dihadapkan pada permintaan dunia yang kecil. Jumlah produksi kopi robusta saat ini cukup besar yaitu sebesar 90 persen dari produksi kopi nasional. Permintaan kopi robusta didunia relatif kecil dibandingkan dengan kopi arabika, yaitu hanya sekitar 30 persen. Keadaan produksi dalam negeri yang meningkat sementara permintaan dunia yang

(20)

masih kecil merupakan suatu kesenjangan yang perlu diperhatikan agar dapat bersaing di pasar kopi dunia.

4) Industri hilir kopi kurang berkembang.

Pemasaran kopi di negara kita dapat dikatakan lebih berorientasi pada pasar ekspor dan umumnya sebagian ekspor yang dilakukan dalam bentuk biji kopi. Ekspor kopi dalam bentuk olahan masih dalam persentase yang sangat kecil. Keadaan seperti ini telah lama terjadi dan sepertinya masih sulit untuk berubah.

Dalam pasar ekspor, masalah yang dihadapi Indonesia bukan hanya kebijakan perdagangan, tetapi juga mutu, khususnya kopi robusta yang sering dianggap sebagai kopi bermutu rendah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk peningkatan mutu antara lain kebijakan standarisasi dan pengawasan mutu kopi. Standarisasi mutu tersebut terus ditingkatkan , dan hasilnya adalah bahwa pangsa pasar kopi untuk mutu tinggi menjadi 11.65 persen, mutu sedang 70,8 persen dan mutu rendah turun menjadi 17,5 persen. Permasalahannya adalah sejauh mana mutu tersebut dapat meningkatkan ekspor dan tambahan benefit yang diperoleh eksportir yang dapat ditransmisikan kepada petani. Secara ringkas permasalahan kopi di Indonesia adalah jumlah produksi yang terus meningkat yang dihadapkan dengan kemungkinan penetrasi pasar yang harus bersaing dengan negara produsen lainnya pada pasar internasional (Hasyim A.L, 1994).

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis respon produksi, permintaan domestik dan penawaran ekspor kopi robusta Indonesia yang secara spesifik dapat dijabarkan menjadi :

1. Menganalisis respon produksi kopi robusta Indonesia terhadap harga.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan domestik kopi robusta Indonesia.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor kopi robusta Indonesia.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaaan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengembangkan dan mengimplementasikan ilmu yang sudah dipelajari agar lebih bermanfaat lagi. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan bisa memberikan rekomendasi

kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan ekspor kopi Indonesia

3. Bagi akademisi, penelitian ini berguna sebagai sumber informasi atau rujukan untuk menganalis masalah yang sama.

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Sedangkan, menurut Lindert dan Kindleberger (1995), perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran yang bersaing. Pada prinsipnya, perdagangan antara dua negara timbul akibat adanya perbedaan permintaan dan penawaran.

Perbedaan permintaan disebabkan oleh selera dan tingkat pendapatan, sedangkan perbedaan penawaran disebabkan oleh jumlah dan kualitas faktor produksi serta tingkat teknologi. Selain itu, perdagangan dua negara juga timbul karena adanya keinginan untuk memperluas pasar komoditas untuk menambah devisa negara. Karenanya, di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan pendapatan nasional.

Perdagangan merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi di setiap negara karena perdagangan akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara dan akan meningkatkan output dunia. Perdagangan juga cenderung meningkatkan pemerataan atas distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam lingkup domestik ataupun internasional. Perdagangan dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunan mereka melalui

(23)

promosi serta pengutamaan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komperatif. Jika perdagangan dunia yang bebas benar-benar tercipta, maka harga dan biaya-biaya produksi internasional akan mampu berfungsi sebagai suatu determinan pokok mengenai seberapa negara harus berdagang dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan nasionalnya (Todaro, 2003).

Perkembangan teori perdagangan internasional dimulai dari teori merkantilisme yang menyatakan bahwa sebuah negara hanya akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan mengorbankan negara lainnya, sebagai akibatnya, mereka menganjurkan agar dilakukan pembatasan yang ketat terhadap impor, memberikan insentif terhadap ekspor serta memberlakukan aturan pemerintah yang ketat terhadap ekonomi (Salvatore, 1997).

Selanjutnya, Adam Smith menyatakan bahwa perdagangan didasarkan pada keunggulan absolut dan akan menguntungkan kedua belah pihak. Jika sebuah negara lebih efisien daripada negara lain (memiliki keunggulan absolut) dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien (memiliki kerugian absolut) dibanding negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut akan sama-sama memperoleh keuntungan jika masing-masing negara melakukan spesialisasi untuk memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkan sebagiannya dengan komoditi yang memiliki kerugian absolut.

Sementara, David Ricardo memperkenalkan hukum keunggulan komperatif (Salvatore, 1997). Menurutnya, walaupun salah satu negara kurang efisien dari negara lainnya dalam memproduksi kedua komoditi, masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan. Caranya,

(24)

negara yang kurang efisien tersebut harus melakukan spesialisasi untuk memproduksi komiditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (yaitu komoditi yang memilki keunggulan komparatif).

2.2 Teori Penawaran

Penawaran (supply) didefinisikan sebagai hubungan fungsional yang menunjukkan berapa banyak suatu komoditas akan ditawarkan (untuk dijual) pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga, faktor lain tidak berubah (Tomek and Robinson, 1981). Sementara, menurut Lipsey (1995), penawaran merupakan sejumlah barang dan jasa yang disediakan untuk dijual pada berbagai tingkat harga, pada waktu dan tempat tertentu. Penawaran menunjukkan apa yang ingin dijual oleh perusahaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran suatu komoditas secara umum adalah harga komoditas, harga komoditas alternatif, tujuan perusahaan, harga faktor produksi dan tingkat teknologi.

Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut (Lantican, 1990). Kurva penawaran tersebut menggunakan asumsi bahwa produsen bertindak rasional yang selalu berusaha untuk memaksimumkan keuntungan.

2.3 Teori Permintaan Domestik

Permintaan adalah keinginan konsumen untuk membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu (Rahardja dan Manurung,

(25)

2001). Sementara, Kotler dan Armstrong (1992) menyatakan bahwa konsumen akan memilih produk yang menghasilkan kepuasan yang tertinggi dan keinginan konsumen tersebut akan menjadi permintaan jika didukung oleh daya beli .

Menurut Rahardja dan Manurung (2001), kurva permintaan merupakan tempat titik yang masing-masing menggambarkan tingkat maksimum pembelian dengan harga tertentu cateris paribus. Kurva permintaan memiliki slope negatif dari kiri atas ke kanan bawah, dimana jika terjadi penurunan harga akan menambah jumlah komoditi yang diminta (Nicholson, 2001).

2.4 Elastisitas Penawaran

Elastitas penawaran adalah suatu nilai untuk mengetahui ukuran ketanggapan komoditas yang ditawarkan terhadap perubahan harga komoditas tersebut (Samuelson dan Nordhaus, 2003). Penawaran suatu barang dikatakan elastis jika perubahan harga menyebabkan perubahan yang cukup besar pada jumlah yang ditawarkan. Sebaliknya penawaran dikatakan inelastis jjika perubahan jumlah yang ditawarkan hanya sedikit ketika terjadi perubahan harga. Faktor utama yang dapat mempengaruhi elastisitas penawaran adalah kemudahan-kemudahan yang menyebabkan produksi dalam industri dapat ditingkatkan. Faktor penting lainnya yang mempengaruhi elastisitas penawaran adalah rentang waktu yang ada.

2.5 Penelitian Terdahulu

Suryono (1991) dalam tesisnya membahas tentang Analisis Perdagangan Kopi Indonesia di Pasar Dalam Negeri dan Internasional secara umum membahas

(26)

struktur kopi Indonesia serta penawaran dan permintaan kopi di dalam negeri. Alat analisis yang digunakannya berupa dua macam Model Ekonometrika yaitu Model Sistem Persamaan Simultan dan Model Regresi Linear Berganda. Perubahan nilai tukar mata uang asing dan kebijakan devaluasi diduga berpengaruh terhadap ekspor kopi Indonesia maupun penawaran kopi di dalam negeri. Faktor-faktor tertentu dari sisi produksi seperti produktivitas lahan pertanaman kopi, gangguan keadaan alam, dan stok kopi pada tahun sebelumnya, ternyata mempengaruhi ekspor kopi Indonesia namun tidak berpengaruh terhadap penawaran kopi domestik. Disamping itu dari sisi permintaan, faktor jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat Indonesia juga tidak mempengaruhi ekspor kopi Indonesia. Dari ketiga hal tersebut dapat dikatakan bahwa kopi yang di produksi oleh Indonesia lebih ditujukan untuk kegiatan ekspor. Akan tetapi, Indonesia dalam mengekspor kopi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor non-ekonomi, seperti keamanan, kondisi politik dan pemogokan, dibandingkan dengan faktor-faktor ekonomi.

Corry (2002), dalam skripsinya membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor dan aliran perdagangan kopi Indonesia. Pada penelitiannya digunakan analisi model ekonometrika untuk menganalisis peubah-peubah yang berpengaruh terhadap ekspor kopi di dalam penelitian ini meliputi produksi kopi domestik, harga riil kopi domestik, harga riil ekspor kopi, nilai tukar rupiah terhadap dollar (US$) serta lag volume ekspor kopi tahun sebelumnya. Kesimpulan hasil penelitiannya menyatakan bahwa hampir semua peubah yang terdapat dalam model memiliki pengaruh positif terhadap jumlah penawaran ekspor, hanya peubah harga riil domestik yang memiliki nilai negatif.

(27)

Penelitian ini juga membahas mengenai aliran perdagangan kopi Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor dengan menggunakan model gravity dimana produk impor berdasarkan faktor-faktor ekonomi dapat dijadikan pertimbangan dalam penentuan negara tujuan ekspor kopi Indonesia.

Penelitian mengenai perdagangan kopi Indonesia di pasar dalam negeri dan internasional dilakukan oleh Darmansyah (1986) dengan menggunakan model regresi. Dalam penelitiannya mengkaji daya saing kopi Indonesia di pasar internasional dan integrasi pasar kopi Indonesia di pasar internasional, baik horizontal maupun vertikal. Diperoleh hasil bahwa Indonesia mempunyai daya saing dari segi produksi kopi jenis Robusta dibanding negara-negara produsen dan eksportir kopi lainnya dan integrasi pasar horizontal antara Indonesia dengan negara-negara produsen kopi lainnya kurang baik, terdapat kecenderungan bahwa naiknya harga kopi negara lain diikuti dengan turunnya harga kopi Indonesia.

(28)

III. KERANGKA TEORITIS

3.1 Konsep Pemikiran Teoritis

Pada pasar kopi (negara kecil), keinginan untuk memperdagangkannya adalah perbedaan antara permintaan dan penawaran di suatu negara. Perbedaan antara permintaan dan penawaran kopi robusta di Indonesia, yang berada pada sisi kanan, digambarkan pada diagram tengah sebagai permintaan Indonesia terhadap kopi impor (kurva ED). Perbedaaan antara permintaan dan penawaran terhadap kopi di luar negeri, di sisi kiri, digambarkan pada diagram tengah sebagai penawaran luar negeri yang berupa ekspor kopi. Interaksi dari permintaan dan penawaran dari kedua negara akan menetnukan harga kopi dan kuantitas yang dihasilkan, diperdagangkan, dan dikonsumsikan. Selama ini, kekhawatiran terhadap produksi kopi yang melimpah lebih mengarah pada jenis kopi robusta. Dimana sekitar 30 persen permintaan dunia adalah kopi robusta.

Gambar 3.1 memperlihatkan sebelum terjadinya perdagangan internasional harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari PB.

(29)

Perdagangan internasional tidak akan terjadi apabila harga internasional sama dengan PA tau PB. Apabila harga internasional lebih besar dari PA maka terjadi excess supply pada negara A dan apabila harga internasional lebih rendah dari PB maka terjadi excess demand pada negara B. Sehingga dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED di pasar internasional, dimana perpotongan antara kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P* (Salvatore,1997).

3.2 Teori Kuota

Kuota yang dalam pengertiannya “jatah” atau pembakuan kuantitas merupakan bentuk hambatan perdagangan non tarif yang sering digunakan negara-negara dalam melakukan perdagangan internasional. Menurut Salvatore (1997), kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor. Latar belakang penggunaan kuota sebagai hambatan non tarif antara lain untuk menjaga stabilitas harga dunia, untuk melindungi industri dalam negeri atau untuk melindungi sektor pertanian suatu negara. Kuota bisa berupa pembatasan kuota pasokan, misalnya sekian ton atau sekian unit per tahun, atau bisa juga berupa pembatasan nilai, misalnya ekspor produk ke suatu negara tidak boleh melebihi sekian juta dollar per tahun.

Kuota ekspor merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang diekspor. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan mmeberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan domestik untuk mengekspor suatu produk atau komoditi yang jumlahnya langsung dibatasi itu. Kuota impor merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang diimpor.

(30)

3.3 Fungsi Ekspor

Ekspor merupakan kelebihan penawaran domestik atau produksi barang atau jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen negara yang bersangkutan dan tidak disimpan dalam bentuk stok (Kindleberger dan Lindert, 1982), sehingga bisa dirumuskan:

QXt = Qt - Ct – St-1 (3.1)

Dimana:

QXt = jumlah yang diekspor Ct = jumlah konsumsi St-1 = stok pada tahun t

Jumlah stok diasumsikan tetap dari tahun ke tahun,maka :

QXt = Qt - QDt (3.2)

Dimana:

QXt = jumlah yang diekspor Qt = jumlah produksi

QDt = jumlah penawaran domestik

3.4 Model Respons Produksi, Permintaan Domestik, dan Penawaran Ekspor Kopi Robusta

Produksi domestik suatu komoditi akan dipengaruhi oleh luas lahan, harga domestik tahun sebelumnya, harga input, jumlah tenaga kerja dan faktor produksi lainnya. Dalam penelitian ini, peubah yang dianalisis dan diduga mempengaruhi respon produksi kopi adalah luas lahan, harga domestik, dummy krisis dan harga pupuk, sehingga secara matematis dapat dituliskan menjadi:

PDt = f (LLt, HD, HPt, D) (3.3)

(31)

Dimana :

PDt = produksi domestik tahun ke-t (ton) LLt = luas lahan tahun ke-t (hektar) HD = harga domestik (Rp)

HPt = harga pupuk (Rp)

D = peubah dummy berupa krisis ekonomi Indonesia

Fungsi permintaan adalah permintaan yang dinyatakan secara matematis dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Persamaan matematis yang dapat menjelaskan permintaan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dapat dituliskan sebagai berikut (Rahardja dan Manurung, 2001):

QDt = f (HDt, HSt, YPt, Tt, Idt, Popt, Ppt, Advt) (3.4) QDt = volume permintaan domestik tahun ke-t

HDt = harga domestik tahun ke-t

HSt = harga barang substitusi tahun ke-t YPt = pendapatan perkapita tahun ke-t Idt = jumlah pendapatan rata-rata tahun ke-t Tt = selera tahun ke-t

Popt = jumlah penduduk tahun ke-t

Ppt = perkiraan harga barang x periode mendatang tahun ke-t Advt = upaya produsen meningkatkan penjualan tahun ke-t

Dari peubah fungsi permintaan domestik pada persamaan di atas, dalam penelitian ini peubah yang dianalisis hanyalah harga domestik kopi, harga barang substitusi, dan jumlah penduduk, dan Tren. Sehingga fungsi permintaan domestik bisa dituliskan menjadi:

QDt = f ( HDt, HSt, Popt ) (3.5)

Dimana :

QDt = volume permintaan domestik tahun ke-t (ton) HDt = harga domestik tahun ke-t (Rp/kg)

HSt = harga barang substitusi/kakao tahun ke-t (Rp/Kg) Popt = jumlah penduduk tahun ke-t

(32)

Penawaran ekspor sebuah negara akan dipengaruhi oleh faktor permintaan penduduk domestik terhadap komoditi ekspor, yaitu harga domestik tahun ini (HDt), produksi tahun ini (PDt) dan harga domestik tahun sebelumnya (HDt-1). Sebagai penawaran, ekspor komoditi akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan negara pengimpornya terhadap komoditi yang bersangkutan, yaitu harga domestik negara tujuan ekspor (HDIt), harga impor dari negara tujuan ekspor (HIIt), pendapatan perkapita penduduk negara tujuan ekspor (YPIt), dan selera penduduk negara tujuan ekspor (SIt).

Faktor dari pasar internasional yang turut mempengaruhi penawaran ekspor suatu komoditi adalah harga internasional (HXt) dan nilai tukar uang efektif (KUt). Untuk mengetahui pengaruh jangka panjang dalam kegiatan ekspor, dalam model dimasukkan ramalan volume ekspor tahun sebelumnya (Xt-1). Di fungsi itu juga dimasukkan ramalan kondisi perekonomian sebagai peubah dummy (Dt). Secara keseluruhan fungsi penawaran ekspor suatu komoditi secara matematis dapat dituliskan menjadi:

Xt = f (HDt, HDt-1, PDt, HDIt, HIIt, YPIt, SIt, HXt, NTt, Xt-1, D) (3.6) Dimana :

Xt = volume ekspor tahun ke-t (ton) HDt = harga domestik tahun ke-t (Rp/kg)

HDt-1 = harga domestik tahun sebelumnya (Rp/kg) PDt = produksi domestik tahun ke-t

HDIt = harga domestik dari negara tujuan ekspor tahuin ke-t HIIt = harga impor dari negara tujuan impor

YPIt = pendapatan perkapita negara tujuan ekspor SIt = selera negara tujuan ekspor

HXt = harga ekspor tahun ke-t

KUt = nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun ke-t (Rp/US$) Xt-1 = volume ekspor tahun sebelumnya

D = peubah dummy kondisi perekonomian negara

(33)

Dari peubah fungsi penawaran ekspor pada persamaan di atas, dalam penelitian ini peubah yang dianalisis hanyalah nilai tikar rupiah terhadap dollar Amerika tahun ke-t, harga ekspor tahun ke-t, harga domestik tahun ke-t, sehingga secara matematis, fungsi penawaran ekspor kopi bisa dituliskan menjadi :

Xt = f (Xt-1, HIt, HDt, D) (3.7)

Dimana :

Xt = volume ekspor tahun ke-t (ton) HDt = harga domestik tahun ke-t (Rp/kg) HXt = harga ekspor tahun ke-t (US$/ton) Xt-1 = volume ekspor tahun sebelumnya (ton)

D = peubah dummy berupa krisis ekonomi Indonesia

(34)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data deret waktu (time series). Data deret waktu meliputi data tahunan selama 18 tahun (1988-2005). Semua data yang dikumpulkan berasal dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perkebunan Departemen Pertanian, Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta literatur dari lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini.

4.2 Model Ekonometrika 4.2.1 Model Respons Produksi

PDt = α0 + α1HDt + α2HPt+ α3LLt + α4D + εt (4.1)

Dimana :

α0 = konstanta persamaan respon produksi kopi

α1 = koefisien regresi persamaan respon produksi kopi (i = 1, 2, 3, 4) PDt = volume jumlah produksi kopi domestik (ton)

HDt = harga domestik (Rp/kg) HPt = harga pupuk (Rp) LLt = luas lahan kopi (hektar)

D = peubah dummy, sebelum krisis = 0, setelah krisis = 1 εt = kesalahan pengganggu persamaan respon produksi kopi t = periode ke-t

4.2.2 Model Permintaan Domestik

QDt = β0 + β1HDt + β2HSt + β3Popt + εt (4.2)

Dimana :

β0 = konstanta persamaan permintaan domestik kopi

β = koefisien regresi persamaan permintaan domestik kopi (i = 1, 2, 3, 4)

(35)

QDt = volume jumlah permintaan domestik kopi (ton) HDt = harga domestik kopi (Rp/Kg)

HSt = harga barang substitusi/kakao (Rp/Kg) Popt = jumlah penduduk tahun ke-t

εt = kesalahan pengganggu persamaan permintaan domestik kopi t = periode ke-t

4.2.3 Model Penawaran Ekspor

Xt = γ0 + γ1 Xt-1 + γ2HDt+ γ3 HXt + γ4D + εt (4.3)

Dimana :

γ0 = konstanta persamaan penawaran ekspor kopi

γ = koefisien regresi persamaan penawaran ekspor kopi (i = 1, 2, 3, 4) Xt = volume jumlah penawaran ekspor kopi (ton)

HXt = harga ekspor kopi (US$/ton) HDt = harga domestik kopi (Rp/Kg)

Xt-1 = volume ekspor tahun sebelumnya (ton)

D = peubah dummy, sebelum krisis = 0, setelah krisis = 1 εt = kesalahan pengganggu persamaan penawaran ekspor kopi t = periode ke-t

4.2.4 Persamaan Identitas

PDt = QDt + Xt (4.4)

Dimana :

PDt = respon produksi domestik kopi(ton) QDt = permintaan domestik kopi (ton) Xt = penawaran ekspor kopi (ton)

4.3 Identifikasi Model

Identifikasi model dilakukan untuk mengetahui apakah suatu model dapat diduga atau tidak. Model yang digunakan dalam penelitian ini berupa model persamaan secara simultan. Sebelum menentukan metode regresi persamaan simultan, identifikasi harus diketahui terlebih dahulu. Salah satu cara identifikasi

(36)

model persamaan simultan adalah dengan menggunakan order condition, sebagai berikut:

(K-k) ≥ (m-1) (4.5)

Dimana :

K = jumlah peubah eksogen di dalam model simultan

k = jumlah peubah eksogen di dalam persamaan persamaan tertentu m = jumlah peubah endogen di dalam persamaan persamaan tertentu

Jika (K-k) < (m-1), maka persamaan dalam model tidak teridentifikasi (under identified), jika Jika (K-k) = (m-1), persamaan dalm model tepat teridentifikasi (exactly identified), dan Jika (K-k) > (m-1), maka persamaan dalam model terlalu teridentifikasi (over identified).

Model simultan dalam penelitian ini terdiri dari tiga persamaan struktural, yaitu model fungsi respons produksi domestik, model fungsi permintaan domestik dan model penawaran ekspor. Sedangkan jumlah peubah eksogen dalam model (K) adalah 8, jumlah peubah eksogen paling banyak dalam suatu persamaan adalah 4, (k maksimum 4), jumlah peubah endogen yang paling banyak dalam suatu persamaan adalah 2, (m maksimum 2). Mengikuti rumus identifikasi model dengan kriteria order condition, maka setiap persamaan pada model persamaan simultan dalam penelitian ini adalah over identified. Teknik ekonometrika yang dapat digunakan untuk mengestimasi persamaan simultan yang over identified adalah metode Two Stage Least Square (2SLS).

(37)

Tabel 4.3 Identifikasi Model dengan Order Condition

Persaamaan K-k m-1 Kesimpulan

Respon Produksi 4 1 over identified

Permintaan Domestik 5 1 over identified

Penawaran Ekspor 4 1 over identified

Sumber: Pengolahan Data

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa setiap persamaan pada model persamaan simultan dalam penelitian ini adalah over identified. Teknik ekonometrika yang dapat digunakan untuk mengestimasi persamaan simultan yang over identified adalah metode Two Stage Least Square (2SLS).

Dimana yang menjadi peubah eksogen yaitu luas lahan, harga pupuk, volume ekspor lag satu tahun sebelumnya, harga substitusi, populasi, harga ekspor, dummy. Sedangkan yang menjadi peubah endogen yaitu produksi, konsumsi, ekspor, harga domestik.

(38)

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia

Luas lahan robusta sampai tahun 2006 (data sementara) sekitar 1.161.739 hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.874 hektar (Tabel 5.1). Keseluruhan data pada tabel menunjukkan bahwa luas areal TM kopi robusta memiliki persentase yang cukup besar terhadap luas lahan kopi robusta nasional dengan angka rata-rata 67,45 persen. Luas lahan kopi robusta nasional memiliki persentase 92,09 persen terhadap luas lahan kopi nasional.

Tabel 5.1 Persentase Luas TM Kopi Robusta Nasional Terhadap Luas Lahan Kopi Robusta Nasional dan Luas Lahan Kopi Nasional Pada Tahun 1994-2006 (Ha) Tahun Luas TM Kopi Robusta Nasional (A) Luas Lahan Kopi Robusta Nasional (B) Luas Lahan Kopi Nasional (C) Persentase A terhadap B (%) Persentase A terhadap C (%) Persentase B terhadap C (%) 1994 756.740 1.073.019 1.140.385 70,52 66,36 94,09 1995 790.600 1.089.171 1.167.511 72,59 67,72 93,29 1996 782.900 1.077.467 1.159.079 72,66 67,55 92,96 1997 779.274 1.079.148 1.170.028 72,21 66,60 92,23 1998 761.127 1.035.346 1.153.369 73,51 65,99 89,77 1999 756.556 1.020.714 1.134.121 74,12 66,71 90,00 2000 815.806 1.153.222 1.260.687 70,74 64,71 91,48 2001 889.549 1.230.576 1.313.383 72,29 67,73 93,70 2002 929.720 1.280.891 1.372.184 72,58 67,75 93,35 2003 873.104 1.195.495 1.294.888 73,03 67,43 92,32 2004 897.691 1.176.744 1.287.160 76,29 69,74 91,42 2005 872.899 1.153.959 1.264.445 75,64 69,03 91,26 2006* 878.784 1.161.739 1.263.203 75,64 69,57 91,97 Rata-rata 829.528 1.132.291 1.229.265 73,00 67,45 92,09

Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006. Keterangan: (*) Angka Sementara

(39)

5.2 Produksi Perkebunan Kopi Robusta Indonesia

Tingkat pertumbuhan produksi cukup kecil dengan rata-rata 3,14 persen (Tabel 5.3). Pertumbuhan yang cukup kecil ini sebagian besar dikarenakan masih rendahnya kualitas pengolahan kopi robusta khususnya mulai dari masa pra panen. Petani umumnya masih menggunakan teknologi yang sederhana atau tingkat perlakuan pada lahan masih minim. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya insentif harga yang dapat memacu petani untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas mulai dari lahan hingga hasilnya.

Produksi kopi robusta di Indonesia dari tahun 1994 hingga tahun 2006 mengalami peningkatan jumlah walaupun ada di antara tahun-tahun tertentu mangalami penurunan dengan jumlah yang tidak signifikan. Jika dilihat dari angka pertumbuhannya, maka penurunan terjadi pada tahun 1995, 1997, 2003, 2004, dan 2005. Sedangkan peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 1998, 2000, dan 2002.

5.3 Produktivitas Perkebunan Kopi Robusta Indonesia

Produktivitas lahan kopi robusta dari tahun 1994 hingga 2006 juga menunjukkan adanya peningkatan dengan persentase rata-rata angka pertumbuhan sebesar 1,67 persen (Tabel 5.3). Namun, tingkat produktivitas lahan kopi Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara eksportir kopi utama. Hal ini dikarenakan terbatasnya penggunaan bahan tanam unggul, terlambatnya peremajaan, penanganan panen (petik merah), dan pasca panen yang belum memadai.

(40)

Tabel 5.3 Pertumbuhan Luas Areal (TM), Produksi dan Produktivitas Perkebunan Kopi Robusta Seluruh Indonesia Tahun 1994-2006.

Tahun

Luas Areal Produksi Produktivitas

Total (Ha) Pertumbuhan (%) Total (Ton) Pertumbuhan (%) Total (Ton/Ha) Pertumbuhan (%) 1994 756.740 - 421.387 - 0,56 - 1995 790.600 4,47 417.972 -0,81 0,53 -5,06 1996 782.900 -0,97 421.751 0,90 0,54 1,90 1997 779.274 -0,46 384.042 -8,94 0,49 -9,26 1998 761.127 -2,22 448.485 12,21 0,59 14,76 1999 756.556 -0,60 458.923 2,33 0,61 2,95 2000 815.806 7,83 511.586 11,48 0,63 3,38 2001 889.549 9,04 546.163 6,76 0,61 -2,09 2002 929.720 4,52 656.963 20,29 0,71 15,09 2003 873.104 -6,09 628.273 -4,37 0,72 1,83 2004 897.691 2,82 598.263 -4,78 0,67 -7,38 2005 872.899 -2,76 580.110 -3,03 0,66 -0,28 2006* 878.784 0,67 591.417 1,95 0,67 1,27 Rata-rata 829.528 1,24 513.920 3,14 0,62 1,67

Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006. Keterangan: (*) Angka Sementara

5.4 Potensi Kopi Robusta Indonesia

Kopi robusta hingga saat ini merupakan jenis kopi yang paling banyak ditanam di Indonesia. Diplihnya kopi robusta sebagai jenis kopi yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia selain karena ketahanannya terhadap penyakit karat daun yaitu mudah dalam pembudidayaannya dibandingkan arabika. Kopi robusta umumnya ditanam di dataran rendah dengan ketinggian tempat 400 sampai dengan 800 meter dpl (di atas permukaan laut).

Syarat ketinggian lahan produksi ini menuntut suhu udara yang sesuai seperti kopi robusta dapat ditanam di daerah dengan suhu udara yang agak panas. Lahan kopi robusta tidak membutuhkan banyak kadar bahan organic yaitu cukup dengan persentase sebesar 3,5-10,0 persen. Tekstur tanah yang disyaratkan untuk kopi robusta ini pun sederhana yaitu tanah yang gembur.

(41)

Tabel 5.4 Syarat Tumbuh Kopi Robusta

Kriteria Syarat Tumbuh

Garis Lintang 00 – 100 LS sampai 00 – 50 LU

Tinggi Tempat 400 – 800 m dpl

Suhu Udara Rata-rata 300 – 330 C

Curah Hujan 2000 – 3000 mm/th

Jumlah Bulan Kering (curah hujan <60 mm/bulan

1 – 3 bln/th

PH 5,5 – 6,5

Bahan Organik Min 2 %

Kedalaman Tanah Efektif >100 cm

Kemiringan tanah <25 %

Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.

Kopi robusta ini telah ditanam oleh para petani hampir di seluruh provinsi dengan daerah penanaman utama meliputi provinsi Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Areal perkebunan robusta mempunyai persentase luas lahan yang lebih besar dibandingkan dengan arabika. Berdasarkan status kepemilikan areal perkebunan kopi robusta di Indonesia terdiri dari perkebunan rakyat, perkebunan besar negara serta perkebunan swasta. Perkebunan rakyat memiliki porsi terbesar dari total luas areal kopi robusta yang ada di Indonesia. Dengan demikian produksi kopi robusta dalam negeri didominasi oleh hasil perkebunan rakyat.

Hampir seluruh produksi kopi robusta di seluruh dunia dihasilkan secara kering dan dituntut tidak mengandung rasa asam dari terjadinya fermentasi, untuk mendapatkan rasa lugas (neutral taste). Kopi robusta memiliki kelebihan, seperti kekentalan yang lebih dan warna yang kuat. Oleh karena itu, kopi robusta banyak diperlukan untuk bahan campuran (blends) untuk merek-merek tertentu. Kopi ini banyak digunakan oleh industri sebagai bahan baku untuk kopi serbuk, sehingga hasilnya didapatkan kopi yang memiliki kekentalan dengan warna yang kuat. Negara utama yang merupakan penghasil kopi ini yaitu Indonesia, Pantai Gading,

(42)

Uganda, Kamerun, Madagaskar, Vietnam dan beberapa Negara lainnya. Namun berdasarkan data AEKI (2006), Kamerun dan Madagaskar saat ini tidak lagi diperhitungkan sebagai negara utama penghasil kopi robusta. Produksi kedua negara ini hanya dapat menghasilkan kopi robusta dalam jumlah yang kecil yaitu sebesar 55 juta kg dan 3 juta kg kopi Robusta.

5.5 Produksi Kopi Robusta Dunia

Pada waktu sekitar tahun 1997, kopi robusta di produksi lebih dari 36 negara terutama di benua Afrika dengan produksi yang relatif tetap yaitu sekitar 29 hingga 30 juta karung (1 karung = 60 kilogram). Bagian wilayah Asia memberikan andil terbesar sebagai produsen kopi robusta dunia yang juga ditandai dengan adanya kenaikan jumlah produksi dari 40 persen menjadi 50 persen. Kenaikan ini juga diikuti produksi kopi robusta dari wilayah Amerika. Indonesia pernah merasakan menjadi penghasil kopi robusta pertama di dunia dengan rentang waktu sekitar tahun 1980-an hingga 1998.

Pada masa itu, Indonesia menunjukkan produksi yang stabil. Kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan Vietnam yang mengalami kenaikan yang cukup tajam selama 17 tahun (1990-2006) terakhir ini. Sejak tahun 1999, Vietnam berhasil menggeser Indonesia sebagai negara produsen kopi robusta terbesar di dunia (Herman,2003). Selain bersaing dengan Vietnam, Indonesia juga bersaing dengan Brazil dan Pantai Gading. Pada tahun 1994, Pantai Gading melakukan konversi kakao menjadi kopi robusta sebanyak 300.000 hektar sehingga hal tersebut akan semakin meningkatkan jumlah produksinya (Warta Puslit Kopi dan Kakao,1997).

(43)

Produksi kopi robusta saat ini menempati posisi ketiga dunia, di bawah Vietnam dan Brazil (Tabel 5.5). Keadaan jumlah produksi dari Vietnam dan Brazil cukup mempengaruhi kestabilan produksi maupun harga kopi robusta di pasar internasional. Bahkan saat ini sudah berkembang beberapa negara yang semakin memantapkan produksi kopi robusta-nya baik dari segi kualitas maupun kuantitas seperti Negara Pantai Gading yang semakin meningkatkan jumlah produksinya.

Tabel 5.5 Jumlah Produksi Negara-Negara Produsen Utama Kopi Robusta di Dunia Pada Tahun 1999-2004 (000 Bags)

Negara

produsen 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata Vietnam 11.631 14.775 13.133 11.555 15.320 12.500 13.152 Brazil 4.536 4.654 5.837 9.676 6.778 7.557 6.506 Indonesia 5.072 6.142 5.900 5.849 5.511 6.467 5.824 Pantai Gading 6.321 4.846 3.595 3.145 2.689 1.950 3.758 India 3.178 2.525 2.511 2.467 2.528 3.007 2.703 Uganda 2.742 2.883 2.858 2.575 2.175 2.200 2.572 Sumber: AEKI, 2006

5.6 Tingkat Harga Kopi Robusta di Indonesia

Perkembangan harga kopi robusta di Indonesia dapat dikatakan tergantung dari tingkat harga kopi dunia. Hal ini karena kopi robusta merupakan komoditas ekspor dan hampir sebagian besar kopi robusta Indonesia dijual ke luar negeri sehingga harga jual maupun harga beli mengikuti harga yang terbentuk dalam pasar kopi internasional. Harga kopi robusta pun berbeda dengan arabika. Harga kopi arabika cenderung lebih tinggi daripada robusta. Hal ini terjadi karena sebagian besar konsumen lebih menyukai kopi arabika. Perbedaan harga antara 31

(44)

kopi robusta dengan kopi arabika umumnya sebesar 10 hingga 30 persen ( Warta Puslit Kopi dan Kakao, 1997)

Perkembangan harga kopi robusta di pasar domestik cukup berfluktuatif dimana fluktuasi harga di pasar domestik tidak selalu sama dengan di pasar internasional.

5.7 Perkembangan Ekspor Kopi Robusta Indonesia

Sebagai komoditas perdagangan, pencapaian ekspor sangat tergantung dari harga kopi internasional yang umumnya berfluktuasi sesuai dengan perkembangan permintaan dan produksi dunia, sehingga peningkatan volume ekspor tidak selalu diikuti dengan nilai ekspornya. Namun, hal ini tidak terjadi pada periode 2004/2005, dimana nilai ekspor dapat melebihi volumenya sehingga dapat dikatakan ekspor kopi Indonesia pada saat itu sedang bernilai tinggi.

Tabel 5.7 Pengembangan Ekspor Kopi Robusta Indonesia Periode 2000/2001-2005/2006

Periode Robusta

Volume (Ton) Nilai (USD)

2000/2001 269.424 134.289 2001/2002 205.049 169.230 2002/2003 166.557 115.112 2003/2004 262.198 178.255 2004/2005 343.764 350.422 2005/2006* 118.691 114.476 Sumber: Dit. Ekspor, Depag RI dalam AEKI 2006

Keterangan: (*) Angka Sementara

Dengan kata lain fluktuasi nilai ekspor lebih dipengaruhi oleh perubahan harga kopi dibandingkan dengan perubahan volume ekspor. Nilai ekspor kopi

(45)

robusta Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan volume ekspornya. Namun, hal ini tidak terjadi pada periode 2004/2005, dimana nilai ekspor dapat melebihi volumenya sehingga dapat dikatakan ekspor kopi Indonesia pada saat itu sedang bernilai tinggi.

5.8 Bentuk Kopi yang Diekspor

Ekspor kopi robusta ataupun secara keseluruhan dalam ekspor komoditas kopi, masih dalam bentuk biji (green coffee) dengan jumlah yang cukup besar yaitu dengan persentase sekitar 98 persen, sedangkan bentuk olahan hanya sekitar dua persen. Bentuk ekspor ini belum banyak berubah sampai saat ini dan tidak hanya dilakukan oleh Indonesia tetapi mencakup negara-negara produsen kopi secara keseluruhan. Dengan kata lain, pangsa pasar produk kopi olahan cenderung dikuasai oleh negara-negara konsumen,yaitu negara-negara konsumen mampu mendominasi sebagai penentu harga dan nilai tambah produk akhir terbesar bagi kopi robusta. Ekspor kopi dalam bentuk olahan masih terkendala oleh masalah selera dari negara-negara konsumen yang berbeda satu dengan yang lain.

5.9 Negara Tujuan Ekspor Kopi Robusta Indonesia

Negara tujuan ekspor kopi robusta lebih banyak dibandingkan dengan kopi arabika. Berdasarkan data AEKI (2006), kopi robusta di ekspor ke 89 negara sedangkan kopi arabika di ekspor ke 54 negara. Adapun Negara-negara yang paling banyak dalam mengimpor kopi robusta Indonesia diurut dari yang paling banyak jumlahnya yaitu Jerman, Jepang, USA, Polandia, Italia dan Republik Korea.

(46)

Tujuan ekspor kopi utama Indonesia antara lain adalah ke Negara-negara anggota MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa), negara kawasan Amerika khususnya negara Amerika Serikat serta negara di kawasan Asia seperti Jepang, Singapura, Korea, dan Malaysia (AEKI,2005). Perkembangan ekspor kopi Indonesia menurut negara tujuan periode 2001-2005 dapat dilihat Tabel 5.9.

Tabel 5.9 Perkembangan Volume Ekspor Kopi Indonesia Menurut Negara Tujuan, Tahun 2001-2005

(ribu ton)

No Negara Tujuan Tahun

2001 2002 2003 2004 2005 1 Jepang 50.8 47.5 44.9 55.6 64.3 2 Singapura 16.9 10.8 8.8 6.7 8.2 3 USA 36.8 43.0 48.1 72.5 136.6 4 Belgia 3.4 4.5 8.4 6.2 13.6 5 Inggris 3.9 5.3 7.6 6.8 15.4 6 Perancis 0.1 1.7 4.2 1.6 3.5 7 Belanda 2.8 2.9 8.7 2.5 3.6 8 Italia 7.6 9.0 17.8 15.3 27.7 9 Denmark 1.2 1.1 1.0 1.2 0.9 10 Jerman 18.5 28.8 37.5 37.5 78.2 11 Maroko 2.6 3.4 3.9 4.5 4.4 12 Aljazair 1.0 1.5 3.0 8.4 17.4 13 Lainnya 58.6 54.0 62.3 54.7 111.9

Sumber: Badan Pusat Statistika, 2005

Jika kita mengamati perkembangan ekspor kopi Indonesia dari Tabel 5.9, Negara-negara di kawasan Asia, Amerika, dan Eropa merupakan negara-negara yang sangat potensial untuk ekspor kopi Indonesia. Berdasarkan data dari Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia hampir 90 persen pasar ekspor kopi Indonesia berada di tiga kawasan tersebut. Hal ini merupakan prospek yang cukup cerah bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan devisa negara dari ekspor kopi pada tiga kawasan tersebut.

(47)

5.10 Pasar Kakao Olahan Dunia dan Kakao Olahan Indonesia

Kakao olahan merupakan salah satu komoditas yang banyak digunakan sebagi bahan baku penunjang berbagai industri seperti industri es krim, industri biskuit, industri susu, dan lain sebagainya. Selain itu hasil akhir kakao olahan berupa cokelat batang memiliki permintaan yang cukup tinggi baik di Indonesia maupun di dunia. Eropa merupakan konsumen kakao olahan terbesar dengan total konsumsi tahun 2004 sebesar 1.405.000 ton atau setara dengan 42 persen konsumsi kakao olahan dunia. Di urutan kedua dan ketiga ditempati oleh Amerika dan Asia dengan konsumsi sebesar 852.000 ton dan 573.000 ton (Rahmanu,2009).

Permintaan dunia terhadap kakao olahan akan membuka pasar yang luas bagi hasil olahan kakao Indonesia, ditambah dengan pertumbuhan produktivitas yang baik serta didukung mutu dan kualitas hasil kakao olahan akan meningkatkan daya saing kakao olahan Indonesia. Akan tetapi realita justru sebaliknya pertumbuhan industri pengolahan kakao Indonesia berjalan lambat. Hal ini tentu akan membuat industri pengolahan kakao Indonesia sulit untuk meningkatkan daya saing kakao olahan Indonesia di tingkat internasional. Pasar kakao olahan Indonesia berada di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa seperti Belanda, Perancis, dan Belgia. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat dan Eropa sebagai sentra industri cokelat membutuhkan kakao olahan sebagai bahan input industri makanan dan minuman.

(48)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta

Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil yang tercantum pada Tabel 6.1. Koefisien determinan (R2) sebesar 0.827, menunjukkan bahwa keragaman produksi sebesar 82.7 persen dapat dijelaskan oleh berapa luas areal, harga domestik, harga pupuk dan kondisi perekonomian Indonesia.

Tabel 6.1 Hasil Penduga Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta

Variable Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Esr Intercept 66582.15 224138.6 0.30 0.387 Luas Lahan 0.454324 0.229949 1.98 0.036 0.99 Harga Domestik 73.6408 28.06228 2.62 0.011 0.33 Harga Pupuk -3.32577 437.3229 -0.01 0.497 _ Dummy 200855.7 43214.76 4.65 0.0002 _ R-Square 0.82703 F Value 14.34

Dari empat peubah yang dimasukkan dalam model fungsi respons produksi, tiga peubah mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi pada taraf 5 persen, yaitu luas lahan, harga domestik dan kondisi perekonomian Indonesia. Elastisitas luas lahan terhadap produksi sebesar 0.99 berarti dengan anggapan faktor-faktor lain tetap, maka jika luas lahan meningkat 10 persen maka produksi akan meningkat sebesar 9.9 persen. Hal ini menyebabkan bahwa faktor

(49)

lahan masih merupakan faktor produksi yang dominan dalam peningkatan produksi kopi robusta. Dari Tabel 6.1 juga terlihat bahwa elastisitas harga kopi domsetik adalah inelastis, yaitu sebesar 0.33. Nilai elastisitas ini menunjukkan jika faktor-faktor lain tetap maka peningkatan harga kopi domestik sebesar 10 persen dan menyebabkan produksi meningkat sebesar 3.3 persen.

Sementara itu harga pupuk tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap produksi kopi robusta. Harga pupuk yang masuk dalam model adalah harga kopi pada tahun bersangkutan. Perubahan harga pupuk mempunyai pengaruh terhadap jumlah pupuk yang digunakan, tetapi perubahan jumlah pupuk yang digunakan ternyata tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi pada tahun bersangkutan. Pengaruh pemupukan terhadap produksi kemungkinan baru terjadi pada tahun berikutnya atau bahkan 2 tahun berikutnya.

Nilai koefisien kondisi perekonomian Indonesia sebesar 200855 ton berarti bahwa pada saat terjadi krisis ekspor kopi lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Pada saat krisis, nilai rupiah terdepresiasi. Walaupun harga kopi dalam mata uang US$ relatif tetap, tetapi dalam mata uang rupiah harga kopi setelah krisis jadi lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Hal ini menyebabkan harga kopi relatif lebih murah di negara-negara pengimpor. Akhirnya permintaan dari negara-negara pengimpor pun meningkat. Ini mendorong adanya produksi kopi bertambah untuk mengimbanginya.

6.2 Model Fungsi Permintaan Domestik Kopi Robusta

Pendugaan fungsi permintaan domestik dengan metode 2SLS diperoleh hasil yang tercantum pada Tabel 6.2. Koefisien determinan (R2) sebesar 0.380,

(50)

menunjukkan bahwa keragaman permintaan domestik sebesar 38 persen dapat dijelaskan oleh berapa harga domestik, harga kakao dan jumlah populasi.

Tabel 6.2 Hasil Penduga Fungsi Permintaan Domestik Kopi

Variable Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Esr Intercept -561513 323310.1 -1.74 0.053 Harga Domestik -39.6018 48.77988 -0.81 0.216 _ Harga kakao 113.1465 67.83314 1.67 0.059 1.34 POP 3.015882 1.787683 1.69 0.057 3.52 R-Square 0.38053 F Value 2.66

Dari tiga peubah yang dimasukkan dalam model fungsi permintaan domestik, dua peubah mempunyai pengaruh yang nyata terhadap permintaan domestik kopi pada taraf 5 persen yaitu harga kakao dan jumlah populasi. Elastisitas harga kakao terhadap permintaan domestik kopi sebesar 1.34. Nilai elastistas ini menunjukkan jika faktor-faktor lain tetap maka akan menyebabkan permintaan terhadap kopi meningkat sebesar 1.34 persen. Dari Tabel 6.2 juga terlihat bahwa elastisitas jumlah penduduk sebesar 3.52. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk masih merupakan faktor permintaan domestik kopi yang dominan.

Sementara itu harga domestik tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap permintaan domestik kopi robusta. Semakin mahalnya harga kopi tidak akan mempengaruhi konsumen untuk tetap mengkonsumsi kopi tersebut. Dipilihnya kopi robusta karena memiliki kelebihan, seperti kekentalan yang lebih

(51)

dan warna yang kuat. Oleh karena itu, kopi robusta banyak diperlukan untuk bahan campuran (blends) untuk merek-merek tertentu.

6.3 Model Fungsi Penawaran Ekspor Kopi Robusta

Pendugaan fungsi penawaran ekspor kopi dengan metode 2SLS diperoleh hasil yang tercantum pada Tabel 6.3. Koefisien determinan (R2) sebesar 0.278, menunjukkan bahwa keragaman penawaran ekspor sebesar 27.8 persen dapat dijelaskan oleh berapa harga domestik, harga ekspor, volume ekspor lag satu tahun sebelumnya dan kondisi perekonomian Indonesia.

Tabel 6.3 Hasil Penduga Fungsi Penawaran Ekspor Kopi Robusta

Variable Parameter Estimate Standard Error t Value Pr > |t| Esr Elr Intercept 130317.3 128523.3 1.01 0.165 Volume ekpor lag satu tahun sebelumnya 0.433142 0.306156 1.41 0.091 0.41 0.72 Harga ekpor 38651.41 61493.54 0.63 0.270 0.15 _ Harga Domestik -12.7091 68.80136 -0.18 0.428 _ _ Dummy 87972.89 103182.2 0.85 0.025 _ _ R-Square 0.27810 F Value 1.16

Dari empat peubah yang dimasukkan ke dalam model fungsi penawaran ekspor kopi, dua peubah mempunyai pengaruh yang nyata terhadap penawaran ekspor pada taraf 5 persen yaitu volume ekspor lag satu tahun sebelumnya dan kondisi perekonomian Indonesia. Elastisitas volume ekspor lag satu tahun

(52)

sebelumnya terhadap penawaran ekspor sebesar 0.41 berarti dengan anggapan faktor-faktor lain tetap, jika volume ekpor lag satu tahun sebelumnya meningkat 10 persen maka penawaran ekspor akan meningkat sebesar 4.1 persen, sedangkan dalam jangka panjang mengakibatkan perubahan sebesar 7.2 persen. Dari Tabel 6.3 juga terlihat bahwa elastisitas harga ekspor adalah inelastis, yaitu sebesar 0.15.

Semantara itu harga ekspor dan harga domestik tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penawaran ekspor kopi robusta. Pada harga ekspor, hal ini disebabkan adanya aturan kebijakan perdagangan internasional yang mengharuskan berupa kebijakan non tarif yang mewajibkan kopi impor dari negara lain memiliki kualifikasi rendah. Ada beberapa kriteria yang ditetapkan oleh negara-negar importir kopi, tetapi yang menjadi perhatian utama dalam kurun waktu belakangan ini adalah mengenai kandungan obat bahan kimia,pestisida, dan toksin dalam kopi. Masing- masing negara memiliki kriteria tertentu, dan apabila tidak memenuhi kriteria tersebut maka mereka tidak segan untuk mengembalikan kopi yang diimpor ke negara asalnya. Sedangkan pada harga domestik, hal ini disebabkan eksportir sudah terikat kontrak dengan negara tujuan ekspor untuk memenuhi kebutuhan. Kalau eksportir ingkar janji, mereka akan dimasukkan daftar hitam. Ini akan menyulitkan usaha ke depan dan akan mempengaruhi hubungan dagang dengan negara tujuan ekspor.

Kondisi perekonomian memiliki pengaruh positif. Jika terjadi krisis, penawaran ekspor kopi Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.025 persen. Hal tersebut dikarenakan terjadi shock nilai tukar sehingga menurunkan hampir semua ekspor komoditas Indonesia. rupiah akan melemah sedangkan ekspor dibayar dengan dollar Amerika, implikasinya dengan jumlah volume ekspor yang sama,

(53)

nilainya jauh lebih tinggi karena krisis ekonomi. Hal ini mengakibatkan ekportir mendapatkan laba yang lebih besar, sehingga mendorong ekspornya keluar negeri.

Gambar

Tabel 1.1 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut  Pengusahaan Pada Tahun 2000-2009
Tabel 1.2 Perkembangan Produksi dan Ekspor Kopi di dunia, Tahun 2002  No  Negara  Produksi (Ribu Ton)  Ekspor (Ribu Ton)
Gambar 3.1 memperlihatkan sebelum terjadinya perdagangan internasional  harga di negara A sebesar P A , sedangkan di negara B sebesar P B
Tabel 4.3  Identifikasi Model dengan Order Condition
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait