PENYUSUNAN ALAT UKUR KECERDASAN SPIRITUAL PADA REMAJA
Amarilys Andaritidya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun alat ukur kecerdasan spiritual pada remaja. Kecerdasan spiritual diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi secara efektif, sehingga remaja dapat menilai tindakan atau jalan hidupnya secara lebih bermakna. Untuk menyusun alat ukur kecerdasan spiritual pada remaja ini, peneliti melakukan pengambilan data pada sampel penelitian yaitu remaja di Jakarta Barat berjumlah 123 orang. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling. Setelah dilakukan analisis diskriminasi aitem, dari 40 aitem yang disusun, aitem yang baik berjumlah 23 aitem dengan reliabilitas 0,867.
A. Latar Belakang Masakah
Turner dan Helms dalam Nisfiannoor dan Valentini (2006) mengatakan masa remaja berarti sedang berkembang menuju kedewasaan, yang berlangsung antara masa kanak-kanak menuju dewasa. Penjelasan masa remaja di perjelas lagi oleh Papalia (2015) yang menjelaskan bahwa masa remaja ialah sebagai masa transisi perkembangan yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, emosional, dan sosial yang mengambil bentuk berbeda dalam setiap sosial budaya. Remaja memiliki peranan yang sangat penting untuk keberlangsungan masa depan suatu bangsa karena remaja merupakan calon individu-individu usia produktif yang pada saatnya kelak akan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Sehingga proses perkembangan remaja sangat rawan dan penuh resiko yang membutuhkan kesehatan diri yang baik (Wirenviona dan Riris, 2020) Menurut Hurlock dalam Farid dan Hidayati (2016) membagi fase remaja menjadi 2, yaitu masa remaja awal dengan usia 13-17 tahun dan masa remaja akhir usia antara 17-18 tahun. Sedangkan menurut Batubara (2016) secara psikososial remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu, remaja awal, pertengahan, dan remaja akhir. Remaja awal terjadi pada usia 12-14 tahun, anak-anak terpapar pada perubahan tubuh yang capat, adanya akselerasi pertumbuhan, dan perubahan komposisi tubuh disertai awal pertumbuhan seks sekunder. Remaja pertengahan terjadi pada usia 15-17 tahun, pada periode ini anak mulai tertarik akan intelektualitas dan karir. Secara seksual sangat memperhatikan penampilan, mulai mempunyai dan sering berganti-ganti pacar, sangat perhatian terhadap lawan jenis dan sudah mulai mempunyai konsep role model serta konsisten terhadap cita-cita. Remaja akhir dimulai pada usia 18 tahun, remaja akhir lebih memperhaikan masa depan, termasuk peran yang diinginkan nantinya, mulai serius dalam berhubungan dengan lawan jenis dan mulai menerima tradisi dan kebiasaan lingkungan.
Batubara (2016) menjelaskan bahwa perubahan fisik yang menonjol pada remaja adalah perkembangan tanda-tanda seks sekunder, terjadinya pacu tumbuh
serta perubahan perilaku dan hubungan sosial dengan lingkungannya. Maturasi seksual terjadi melalui tahapan-tahapan yang teratur yang akhirnya mengantarkan anak siap dengan fungsi fertilitasnya, laki-laki dewasa dengan spermatogenesis, sedangkan anak perempuan dengan ovulasi.
Sedangkan tahap perkembangan kognitif menurut Piagets dalam Papalia (2015) terbagi menjadi 4 tahap, salah satunya adalah tahap paling tertinggi yaitu operasional formal. Tahap operasional formal ini berlangsung ketika anak sudah berusia 11 tahun keatas. Dimana pada tahap ini anak sudah memiliki kemampuan untuk berpikir secara abstak, dapat berpikir apa yang mungkin terlihat, bukan hanya apa yang ada. Pada tahap ini juga mereka sudah tidak ketergantungan pada rangsangan konkret, sudah dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Seharusnya pada usia remaja ini mereka sudah sampai ditahap ini, namun pada kenyatannya tingkat kenakalan remaja di Jakarta masih terbilang tinggi.
Menurut data yang disampaikan oleh Kapolres Jakarta Barat Kombes Hengki Haryadi menyampaikan angka kejahatan di Jakarta Barat mengalami peningkatan cukup tajam pada 2019, ironisnya pelaku kebanyakan melibatkan anak dibawah umur. Tren kejahatan yang marak di Jakarta barat adalah kejahatan jalan, salah satunya begal, yang dilakukan oleh anak SD, SMP, dan SMA. Mereka cukup sadis hingga mengakibatkan korban meninggal dunia, keberanian para pelaku karna terpicu oleh narkoba. Lagi-lagi pengaruh narkotika membuat anak-anak kehilangan rasa takut dan empatinya. Dari hasil pengungkapan kasus sepanjang 2018-2019 polisi telah menangkap ratusan tersangka, kasus paling tinggi adalah tawuran. Total tersangkanya 122 anak, dan kasus yang diversi 14 kasus. (detiknews, 2019).
Begitupun data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2018 menunjukan telah menangani 1.885 kasus. Dari angka itu, kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) seperti menjadi pelaku narkoba, mencuri, hingga asusila menjadi kasus yang paling banyak yakni 504 kasus Dari data tahun 2011 sampai saat ini ABH menempati posisi paling tinggi. KPAI menyoroti pola asuh ABH dan menilai ada kesalahan pengawasan orang tua terhadap anaknya. Aktifitas orang tua dengan anak yang minim, menjadi salah satu kelemahan dalam
pengawasan sehari-hari (detiknews, 2018).
Selain pengawasan orang tua, anak juga membutuhkan suatu pendidikan yang balance (seimbang) antara akal dan batin yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. Dekadensi moral bangsa yang terjadi sebagai bukti tidak adanya keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual (Maslahah, 2013). Kecerdasan sendiri merupakan fitrah atau potensi yang di anugrahkan Allah kepada setiap manusia yang dilahirkan. Allah memberikan kecerdasan yang digunakan manusia untuk beribadah kepada Allah, berfikir rasional, memahami dunia yang luas, membedakan mana yang baik ataupun yang buruk dan menghadapi serta menyelesaikan permasalahan yang akan manusia temukan dikemudian hari ketika ingin mencapai tujuannya (Temantakita, 2015).
Berbicara tentang kecerdasan, setiap orang tua pasti memiliki keinginan yang sama untuk menjadikan anaknya orang yang cerdas. Sudah tertanam pada masyarakat secara umum bahwa seorang anak akan dikatakan berkualitas apabila anak tersebut memiliki nilai eksak yang bagus, dan begitu sebaliknya. Padahal sesungguhnya kecerdasan bukanlah hanya kecerdasan intelektual saja (Hotimah dan Yanto, 2019). Menurut Zohar dan Marshall (2000) pada awal abad kedua puluh orang berfikir bahwa IQ (Intelligence Quotient) berperan penting dalam kehidupan, kemudian Daniel Golman mempopulerkan teori EQ (Emotional Quotient). Lalu pada akhir abad kedua puluh Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan bahwa SQ (Spiritual Quotient) merupakan prasyarat bagi berfungsinya IQ dan EQ secara efektif.
Zohar dan Marshall (2002) mendefinisikan bahwa kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Dalam makna lain SQ merupakan kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang di perlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia.
Setelah sekian lama kecerdasan intelektual menjadi jastifikasi kesuksesan seseorang, perlahan tapi jelas bahwa tidak semua orang yang ber-IQ tinggi dapat meraih kesuksesan. Seseorang yang cerdas secara intelektual belum tentu dia juga memiliki kecerdasan spiritual, sedangkan orang yang cerdas secara spiritual, dia akan menemukan sebuah kesuksesan yang abadi sampai nanti diakhir hayatnya (Hotimah dan Yanto, 2019)
Melalui kecerdasan spiritual, anak di harapkan memiliki landasan kokoh untuk memiliki sebuah kecerdasan hati yang terbentuk dalam diri. Karena kenakalan sebagai contoh penyimpangan lebih banyak disebabkan oleh kondisi mental. Sehingga agama sangat menolong dan dapat mengembalikan kepercayaan kepada diri dan masyarakat, terutama dengan keyakinan akan Pengasih, Penyayang dan Pengampunan-Nya Tuhan (Daradjat, 1971).
Dari permasalahan diatas dan didukung dengan penelitian yang ada sebelumnya. Maka peneliti tertarik memilih judul ini dengan sampel remaja pertengahan usia 15-17 tahun di daerah Jakarta Barat untuk mengetahui apakah ada hubungan kecerdasan spiritual pada remaja?
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun alat ukur kecerdasan spiritual pada remaja
C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini di harapkan dapat memberi masukan bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan yang berkaitan dengan faktor perubahan fisik maupun psikis pada remaja, psikologi keluarga yang berkaitan dengan pola asuh orang tua dan psikologi kognitif yang berkaitan dengan kecerdasan spiritual.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Subjek
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pemahaman tentang pentingnya kecerdasan spiritual terutama bagi remaja, sehingga para remaja dapat mengimbangi kecerdasan inteligensi dengan kecerdasan spiritual yang dia punya.
b. Bagi para orang tua
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi orang tua dalam memilih gaya pengasuhan yang tepat agar anak dapat memilik kemampuan kecerdasan spiritual. Karena orang tua dan lingkungan keluarga adalah tempat pembelajaran yang pertama bagi anak. Sehingga pemilihan gaya pengasuhan orang tua sejak kecil yang tepat dapat membentuk karakter dimasa depan.
c. Bagi para pendidik
Kehidupan memang diperlukan kecerdasan intelektual pada seorang siswa, agar mereka dapat meraih cita-cita mereka. Tetapi tidak hanya kecerdasan intelektual yang harus di kembangkan melainkan kecerdasan spiritual pun sangat perlu di kembangkan. Agar siswa dapat menggunakan kecerdasan intelektual yang dia punya dengan cara yang positif.
d. Bagi peneliti lain
Diharapkan dapat memberi informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai gaya pengasuhan dan kecerdasan spiritual pada subjek lain atau mengkaitkan variable gaya pengasuhan dengan variable lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Spiritual 1. Definisi Kecerdasan Spiritual
Giacalone and Jurkiewicz dalam (Emmons 1999, 2000) mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual mengacu pada sejauh mana seseorang memiliki sifat mental dan emosional yang mengarahkan seseorang untuk melihat tujuan keseluruhan, petunjuk, untuk melihat tugas jangka menengah dan pendek sebagai sub-tujuan yang lebih besar dan untuk mempertahankan perilaku untuk melayani mereka. Menurut Furnham (2008) sendiri kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk menguasai serangkaian konsep difus dan abstrak tentang keberadaan, tetapi juga menguasai ketrampilan mengubah kesadaran seseorang dalam mencapai keadaan tertentu. Wallace and Erikson dalam (Sisk dan Torance 2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan untuk menemukan pendekatan multi-indera, termasuk intuisi, meditasi, dan visualisasi untuk memanfaatkan pengetahuan batin seseorang untuk menyelesaikan masalah yang bersifat global. Sedangkan menurut Bogdashina (2013) kecerdasan spiritual adalah yang tertinggi, karena menyatukan, mengintegrasikan dan melengkapi IQ dan EQ, berfungsi sebagai landasan untuk berfungsinya IQ (mental) dan EQ (emosional) secara efektif.
Jadi jika disimpulkan, menurut tokoh diatas kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk menemukan pendekatan multi-indera, kemampuan untuk menguasai serangkaian konsep abstrak, dan sejauh mana seseorang memiliki sifat mental dan emosional untuk menyatukan dan melengkapi IQ dan EQ.
2. Aspek-Aspek kecerdasan Spiritual
Aspek-aspek kecerdasan spiritual yang di kemukakan oleh Zohar dan Marshall dalam Suwendra (2019) mencakup 9 aspek, yaitu :
a. Kemampuan Bersikap fleksibel. Individu yang memiliki
kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik mampu menyesuaikan diri secara spontan dan aktif dalam bergaul.
b. Kesadaran diri yang tinggi. Individu yang memiliki kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik memiliki kesadaran akan adanya Tuhan dan kesadaran akan keadaan dirinya sendiri
c. Kemampuan untuk menghadapì dan memanfaatkan penderitaan. Individu yang memiliki kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik berpandangan bahwa penderitaan yang dialami sebagai cobaan dan ujian dari Tuhan, memiliki kesabaran dan rela dalam menghadapi penderitaan yang sedang dialami, serta mengambil hikmah.
d. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit. Individu yang memiliki kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik memiliki ketabahan ketika menghadapi dan melampaui rasa sakit tersebut
e. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai. Individu yang memiliki kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik memiliki kerangka berpikir bahwa hari ini lebih baik dari hari kemarin dan memiliki tujuan hidup.
f. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu. Individu yang memiliki kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik memiliki sikap yang mengorbankan hal-hal yang tidak perlu
g. Kecenderungan untuk melihat keterikatan antara berbagai hal yang beragam (berpandangan holistic). Individu yang memiliki kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik mampu melihat adanya keterkaitan antara dirinya dengan orang lain dan keterkaitan antara berbagai hal, serta tentang nasib manusia. h. Kecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.
Individu yang memiliki kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik cenderung untuk selalu mencari jawaban atas sesuatu.
i. Kemampuan untuk bekerja melawan konvensi atau menjadi mandiri. Individu yang memiliki kecerdasan spiritual yang
berkembang dengan baik mampu melakukan perbuatan tanpa tergantung orang lain.
Maka dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan aspek-aspek kecerdasan spiritual dari Zohar dan Marshall dalam Suwendra (2019) sebagai acuan penelitian dalam melakukan penyusunan skala kecerdasan spiritual dikarnakan aspek kecerdasan spiritual dari Zohar dan Marshall sudah banyak digunakan, sehingga terpercaya untuk peneliti gunakan. 3. Komponen kecerdasan Spiritual
Empat komponen inti dari kecerdasan spiritual yang dikemukakan oleh David King dalam Vevaina (2013), yaitu :
a. Critical Existential Thinking
Kapasitas untuk secara kritis merenungkan siat keberadaam, kenyataan, alam semesta, waktu, ruang, dan masalah metafisik lainnya
b. Personal Meaning Production
Kemampuan untuk mendapatkan makna pribadi dari semua pengalaman fisik, mental, emosional dan spiritual dan memahami tujuan hidup seseorang
c. Transcendental Awareness
Kemampuan untuk mengidentifikasi dimensi dan pola ranspersonal diri, orang lain dan dunia fisik.
d. Conscious State Expantion
Kemampuan untuk masuk dan keluar dari tingkat kesadaran yang lebih dan mengalami kesulitas, keabadian, dan lain-lain atas kebijakan sendiri
4. Faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual Zohar dan Marshall di dalam buku Wispandono (2018) bisa dikelompokan menjadi inner value (nilai-nilai spiritual dari dalam) yang berasal dari dalam diri (suara hati), seperti :
a. Transparency (keterbukaan)
Keterbukaan diri dimaksudkan sebagai kesanggupan seseorang untuk mau menerima keberadaan orang lain apa adanya, dan tidak membeda-bedakan mereka. Hal ini ada hubungannya dengan kemampuan spiritual yang salah satu cirinya adalah memiliki kemampuan dalam membangun hubungan sosial-keagamaan yang baik. Jadi kemampuan spiritual seseorang dipengaruhi oleh keterbukaan dirinya untuk menerima keberadaan orang lain.
b. Responsibilities (tanggung jawab)
Seseorang yang memiliki kemampuan spiritual yang baik ditunjukan oleh perilaku yang responsible (bertanggung jawab) atas apa yang dilakukannya
c. Accountabilities (kepercayaan)
Kepercayaan terhadap hal yang ghaib wujud dari kemampuan spiritual yang baik. Hal ini karena dia menyadari bahwa ada kekuatan besar dibalik yang bisa dilihat oleh mata dan yang dirasakan oleh hati dan pikiran
d. Fairness (keadilan)
Orang yang memiliki kemampuan spiritual yang baik harus bisa bersikap adil terhadap semua mahluk hidup. Hal ini karena dia menyadari bahwa Allah sang khalik di muka bumi ini memiliki sifat yang Maha adil sehingga manusiapun seharusnya juga bersikap adil. e. Social wareness (kepedulian sosial)
Kepedulian sosial merupakan salah satu tanda dari orang yang berkemampuan spiritual yang baik. Ikut merasakan kebahagiaan ataupun kepedulian orang lain merupakan perwujudan dari kemampuan sosial dengan melakukan sesuatu yang membuat orang lain merasakan manfaatnya.
B.Remaja 1. Definisi Remaja
Sidabutar, dan Gultom (2018) adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak-anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Menurut Erikson dalam Simmons dan Blyth (2009) selain itu dalam konsepsi klasik Erikson remaja adalah waktu untuk berkeperimen dengan identitas yang mungkin dan akhirnya mencapai gambaran diri yang stabil dan spesifik. Ini juga merupakan masa dimana identitias peran gender semakin penting dan berubah. Sedangkan Cicchetti dan Walker (2003) berpendapat masa remaja adalah perubahan yang cukup besar, mengalami periode pertumbuhan yang cepat dan kemunculan karakteristik seksual sekunder, bersama dengan perubahan perilaku dan suasana hati yang tiba-tiba.
Jadi jika disimpulkan dari beberapa definisi diatas mengenai remaja ialah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, dimana diwaktu itu juga untuk bereksperimen dengan identitas yang mencapai gambaran diri stabil sehingga terjadi perubahan yang cukup besar dan kemunculan karakteristik seksual sekunder, bersama dengan perubahan perilaku dan suasana hati.
2. Perkembangan Remaja
Perkembangan pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohani (Susanto, 2018), yaitu :
a. Pertumbuhan pikiran dan mental, sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya.
b. Perkembangan perasaan, berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial,etis, dan estis mendorong remaja untuk menghayati kehidupan yang terbiasa dalam lingkungan agamis akan cenderung mendorong dirinya untuk lebih dekat kearah hidup agamis. c. Perkembangan sosial, dalam kehidupan keagamaan remaja timbul
bingung menentukan pilihan itu. Karna kehidupan duniawi leih di pengaruhi kepentingan materi maka pandangan mereka lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialistik.
d. Perkembanga moral, perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha mencari proteksi.
e. Sikap dan minat remaja, Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal itu tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka.
3. Faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja
Menurut Rahman (2016), faktor utama yang mempengaruhi perkembangan anak dan remaja adalah :
a. Pengaruh sosial
Pengaruh sosial berpengaruh terhadap diri individu dan dapat membuat individu mengubah suatu sikap, kepercayaan, persepsi atau tingkah lakunya sehingga diterima oleh kelompok sosialnya. Pengaruh sosial dapat memengaruhi individu dalam mengambil sebuah keputusan agar dapat diterima oleh kelompok sosialnya b. Faktor keturunan
Hereditas merupakan proses penurunan sifat atau ciri-ciri dari satu generasi ke generasi lain dengan perantara plasma benih atau suatu karakteristik yang ada pada setiap individu yang di peroleh melalui pewarisan atau pemindahan dari cairan-cairan germinal dari pihak orangtuanya, yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan.
c. Faktor lingkungan
Lingkungan tidak dapat di pisahkan dari manusia karena lingkungan mengitari manusia dari waktu ke waktu, sejak dilahirkan sampai meninggal. Dengan demikian, manusia dan lingkungan memiliki hubungan timbal balik, yaitu lingkungan memengaruhi manusia dan sebaliknya manusia juga memengaruhi lingkungan.
d. Konsep Diri
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan respons orang tua serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya.
4. Perkembangan kognitif
Dalam buku Djiwandon (1989) Piagets mengemukakan empat tahapan perkembangan kognitif manusia, yaitu :
a. Sensosi-motorik (0-2 tahun)
Pada tahap ini anak diharapkan dapat menunjuk pada konsep permanensi objek, yaitu kecakapan psiis untuk mengerti bahwa suatu objek masih tetap ada. Meskipun pada waktu itu tidak tampak oleh kita dan tidak bersangkutan dengan aktivitas pada waktu itu. Tetapi, pada stadium ini permanen objek belum sempurna.
b. Praoprasional (2-7 tahun)
Pada tahap ini di harapkan perkembangan kemampuan menggunakan simbol-simbol yang menggambarkan objek yang ada disekitarnya. Berpikirnya masih egosentris dan berpusat.
c. Operasional (7-11 tahun)
Pada tahap ini anak mampu berpikir logis. Mampu konkret memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan juga dapat menghubunngkan dimensi ini satu sama lain. Kurang egosentris. Belum bisa berpikir abstrak
d. Operasional formal (11 tahun-dewasa)
Pada tahap ini anak mampu berpikir abstrak dan dapat menganalisis masalah secara ilmiah dan kemudian dapat menyelesaikan masalah yang ada
METODE PENYUSUNAN SKALA
A. Definisi Operasional variabel
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk menemukan pendekatan multi-indra, kemampuan untuk menguasai serangkaian konsep abstrak, dan sejauh mana seseorang memiliki sifat mental dan emosional untuk menyatukan dan melengkapi IQ dan EQ. Dalam penelitian ini, variable kecerdasan spiritual diukur berdasarkan aspek-aspek menurut Zohar dan Marshall (2000) antara lain : kemampuan untuk bersikap fleksibel, memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi, mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan dan rasa sakit, kualitas hidup yang terilhami oleh visi dan nilai, tidak menyebabkan kerugian yang tidak perlu, kemampuan untuk melihat keterkaitan, kemampuan untuk mencari jawaban yang mendasar, kemampuan bekerja melawan konvensi atau menjadi mandiri. Semakin tinggi skor total yang diperleh maka semakin tinggi pula tingkat kecerdasan spiritualnya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah pula tingkat kecerdasan spiritualnya. Skala kecerdasan spiritual berbentuk skala Likert.
B. Partisipan Penelitian
Populasi penelitian adalah remaja di Jakarta Barat berjumlah 123 orang. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu pemilihan subjek berdasarkan ciri-ciri tertentu yang berkaitan dengan sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Ary, Jacobs, Sorensen & Walket, 2014). Mencari sampel seperti yang diinginkan peneliti berdasarkan tujuan penelitian tetapi sesuai dengan kriteria yaitu :
1) Remaja laki-laki atau perempuan 2) Berusia 15-17 tahun
3) Berdomisili di daerah Jakarta Barat.
14
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan angket atau kuesioner. Pada angket atau kuesioner tersebut terdapat lembar identitas subjek, skala kecerdasan spiritual.
Skala kecerdasan spiritual disusun berdasarkan aspek-aspek kecerdasan spiritual yang di kemukakan oleh Zohar dan Marshall (2000). Aspek-aspek kecerdasan spiritual tersebut adalah kemampuan untuk bersikap fleksibel, memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi, mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan dan rasa sakit, kualitas hidup yang terilhami oleh visi dan nilai, tidak menyebabkan kerugian yang tidak perlu, kemampuan untuk melihat keterkaitan, kemampuan untuk mencari jawaban yang mendasar, kemampuan bekerja melawan konvensi atau menjadi mandiri.
Skala kecerdasan spiritual ini berbentuk skala Likert. Pilihan kategori jawaban tersebut antara lain : Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Aitem-aitemnya terdiri dari peryataan yang bersifat favorable dan unfavorable.
Kategori Penilaian kategori
Sangat Setuju (SS) 5
Setuju (S) 4
Netral (N) 3
Tidak Setuju (TS) 2
Sangat Tidak Setuju (STS) 1
D. Validitas, Daya Diskriminasi Aitem, dan Reliabilitas Alat Ukur
Untuk mengetahui apakah aitem-aitem yang digunakan telah mengukur apa yang seharusnya di ukur dan dapat diandalkan konsistensinya maka dilakukan uji validitas, daya diskriminasi aitem dan reliabilitas.
1. Validitas
Validitas adalah kriteria yang paling kritis dan menunjukan sejauh mana suatu instrument mengukur apa yang seharusnya di ukur (Ahmaddien dan Syarkani,
pengumpul data ini dilakukan dengan mengikuti blue print dan kaidah peulisan aitem yang benar.
2. Daya Diskriminasi Aitem
Azwar (2009) mengungkapkan bahwa daya diskriminasi aitem atau daya beda (db) merupakan kemampuan butir soal membedakan kemampuan tinggi dan kemampuan rendah pada aitem yang diukur. Butir soal yang memiliki daya beda tinggi berarti butir soal tersebut dapat membedakan dengan baik. Pada umumnya, daya beda dianggap memuaskan atau dapat membedakan dengan baik apabila mencapai angka 0,3.
3. Reliabilitas
Reliabilitas berasal dari kata reliability yang berari Sejauh mana hasil suatu pengukuran memiliki keterpercayaan, keterandalan, keajegan, konsistensi, kestabilan yang dapat dipercaya (Setyawan, 2017). Reliabilitas alat ukur ini diuji menngunakan uji reliabilitas analisis Alpha Cronbach, diperoleh lewat penyajian skala pada sekelompok responden dan dilakukan dengan cara pembelaan atau pembagian test sesuai dengan jumlah aitem yang ada (Azwar, 2012).
Perhitungan daya diskriminasi aitem dan reliabilitas penelitian ini menggunakan fasilitas computer SPSS versi 20 for Windows dengan standar reliabilitas 0,7 paling terkecil dan 0,9 yang terbesar.
BAB IV
HASIL PENYUSUNAN SKALA STRES KERJA
A. Persiapan Penyusunan Skala Pada tahap ini peneliti melakukan :
1. Menentukan satu variable sebagai dasar dalam pembuatan skala. Menentukan satu variable dari teori psikologi lalu mencari definisi, mengenali dan memahami dengan seksama teori yang mendasari konstruk psikologi yang hendak diukur. Dalam hal ini, peneliti menetapkan kecerdasan spiritual sebagai variable yang akan di teliti. 2. Menentukan subjek sasaran
Peneliti menentukan subjek yang akan menjadi sasaran dalam try out alat ukur nantinya. Maka peneliti menetapkan subjek remaja usia 15-17 tahun di daerah Jakarta Barat.
3. Merancang atau membuat blue print
Membuat Blue print ini berfungsi sebagai pedoman dalam pembuatan dan penyusunan skala agar lebih mudah dan sistematis sehingga adanya kesuaian antara variable, aspek dari variable, dan konten dari aitem yang dibuat.
4. Menentukan tipe aitem
Peneliti terlebih dahulu menentukan tipe aitem yang akan dibuat nantinya. Tipe aitem yang dibuat untuk skala asertif ini yaitu favorable dan unfavorable.
5. Menentukan skoring
Cara skoring ini penting karena harus sesuai dengan tipe aitem yang telah dibuat. Cara skoring yang dibuat peneliti yaitu dengan membedakan aitem favorable dan unfavorable.
6. Menulis dan menyusun aitem
Pada tahap ini peneliti menyusun aitem-aitem dari aspek kecerdasan spiritual, dimana terdiri dari 40 aitem, 20 aitem favorable dan 20 aitem unfavorable.
7. Analisis data
Setelah data terkumpul dan dilakukan skoring maka hasil tersebut di input kedalam software SPSS untuk dilakukan proses analisis reliabilitas. Kemudian peneliti dapat mengetahui aitem yang bertahan atau gugur. Dalam konteks ini peneliti menggunakan batas indeks daya diskriminasi sebesar ≥ 0.3
8. Reliabilitas dan validitas.
Reliabilitas kembali dihitung perdimensi dengan menggunakan SPSS, menggunakan Alpha Cronbach.
B. Pelaksanaan Try Out
Pada pelaksanaan try ouy penelitian ini peneliti membuat sendiri alat ukurnya yaitu berupa skala. Peneliti menggunakan skala terpakai (try out terpakai) sehingga hanya satu kali saja menyebarkan skala.
C. Hasil Uji Validitas 1. Hasil Item Wording
Pada aitem wording ini dilakukan evaluasi oleh dosen pengampu, evaluasi yang diberikan diantaranya pemilihan kata, efektivits kalimat, disesuaikan dengan kaidah penulisan yang benar dan aitem yang mengandung social desirability.
D. Hasil Try Out
1. Uji Daya Diskriminasi Aitem
Pada skala kecerdasan spiritual yang disusun oleh peneliti, setelah dilakukan analisis data daya diskriminasi aitem menggunakan SPSS. Dari jumlah total 40 aitem terdapat 17 aitem yang memiliki nilai daya diskriminasi aitem ≤ 0.3 dan dinyatakan gugur. Sehingga yang memiliki nilai daya diskriminasi aitem total yang baik ≥ 0.3 yakni sebanyak 23 aitem.
2. Uji Reliabilitas
Hasil uji reliabilitas yang peneliti dapat dari penelitian ini adalah sebesar 0,867.
Koefisien Reliabilitas Cronbach’s
Alpha Jumlah aitem
0,867 23
Dalam pengujian reliabilitas alat ukur ini, peneliti menggunakan metode koefisien reliabilitas Alpha Cronbach. Reliabilitas mempunyai rentang angka 0 samai dengan 1.00. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa uji reliabilitas untuk variable kecerdasan spiritual sebesar 0,867 yang menunjukan bahwa jika hasil koefsien reliabilitas mendekati angka 1.00. Dengan demikian, dapat disimpulkan variable kecerdasan spiritual ini bersifat reliable dan dapat digunakan dalam penelitian.
3. Skala Final
Skala final pada penelitian ini berisi 40 aitem menggunakan format respon skala likert dengan lima pilihan jawaban yaitu, STS (Sangat Tidak Setuju), TS (Tidak Setuju), N (Netral), S (Setuju), dan SS (Sangat Setuju). Pada penelitian ini peneliti menyebar data menggunakan google form yang disebarkan secara daring atau online.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Skala kecerdasan spiritual ini terdiri dari 40 aitem, dimana terdapat 17 aitem yang gugur dan tersisa 23 aitem lainnya yang tidak gugur. Try out dilakukan terhadap 123 responden yang merupakan remaja berusia 15-17 tahun di Jakarta Barat.
Uji validitas dan uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan SPSS dan dengan indeks diskriminasi 0,3 (Azwar,2009). Untuk reliabilitas di peroleh nilai alpha cronbach senilai 0,867. Sehingga dapat dikatakan skala kecerdasan spiritual ini pada nilai tengah dengan rentang 0-1 dan skala memiliki tingkat reliable yang tinggi.
B. SARAN
Dengan melihat hasil tinggi pada penelitian tentang kecerdasan spiritual pada remaja berusia 15-17 tahun di Jakarta Barat sebagai orang tua, tim pengajar, dan dinas pendidikan yang terkait diharapkan bisa lebih meningkatkan kecerdasan spiritual kepada anak-anak sedari kecil karena kecerdasan spiritual ini ialah akar dari kecerdasan manusia sesungguhnya. Serta bagi peneliti lain, penelitian akan terus berkembang dan suatu teori tidak akan selamanya dapat digunakan karena bisa saja terdapat kekurangan kemudian muncul teori baru yang lebih kompleks. Peneliti harus lebih memperhatikan banyak hal untuk meminimalisir aitem yang gugur sehingga skala bisa menjadi lebih reliabel, dan menambah jumlah responden sehingga data bisa lebih akurat dan objektif.
Ahmad Susanto, M. P. (2018). Bimbingan dan Konseling di Sekolah: Konsep, Teori, dan Aplikasinya. Kencana.
Ahmaddien, I,. & Syarkani, Y,. (2019). Statiska Terapan dengan Sistem SPSS. Bandung: ITB Press.
Asteria, P. V. (2014). Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Melalui Pembelajaran Membaca Sastra. Universitas Brawijaya Press
Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi, edisi 2. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
Azwar, S. (2009). Metode Penelitian (Cetakan Kesembilan). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Batubara, J. R. (2016). Adolescent development (perkembangan remaja). Sari
pediatri, 12(1), 21-9.
Benson, J. B., & Haith, M. M. (Eds.). (2010). Social and emotional development in infancy and early childhood. Academic Press.
Bogdashina, O. (2013). Autism and spirituality: Psyche, self and spirit in people on the autism spectrum. Jessica Kingsley Publishers.
Cicchetti, D., & Walker, E. F. (Eds.). (2003). Neurodevelopmental mechanisms in psychopathology. Cambridge University Press.
Detiknews. (2018). Ada 504 Kasus Anak Jadi Pelaku Pidana, KPAI Soroti Pengawasan Ortu. https://news.detik.com/berita/d-4128703/ada-504- kasus-anak-jadi-pelaku-pidana-kpai-soroti-pengawasan-ortu. Diakses pada 9 Juni 2020.
Detiknews. (2019). Angka Kejahatan di Jakbar Meningkat, Pelaku Mayoritas Anak-anak. https://news.detik.com/berita/d-4468041/angka-kejahatan-di-jakbar-meningkat-pelaku-mayoritas-anak-anak. Diakses pada 12 Agustus 2020.
Daradjat, Z. (1971). Membina nilai-nilai moral di Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang.
Djiwandon, S. E. W. (1989). Psikologi Pendidikan (rev-2). Grasindo
Erikson, G, & Wallace, B. (2006). Diversity in gifted education: International perspectives on global issues. Routledge.
Furnham, A. (2008). Personality and intelligence at work: Exploring and explaining individual differences at work. Routledge.
Hidayati, K. B., & Farid, M. (2016). Konsep Diri, Adversity Quotient dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 5(02). Hotimah, N., & Yanto, Y. (2019). Peran Orang Tua Dalam Meningkatkan
Kecerdasan Spiritual Anak Usia Dini. Indonesian Journal of Learning
Education and Counseling, 1(2), 85-93.
Https://kbbi.web.id/cerdas. Diakses pada 28 Juli 2020.
Hutaarmandau, K, A, H. (2018). Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dan Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogtakarta. Skripsi. Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta.
Kompasiana.(2016). Psikologi Remaja, karakteristik dan Permasalahannya. https://www.kompasiana.com/an/5719c1f41a7b61dc05c50cd9/psikologi-remaja-karakteristik-dan permasalahannya?. Diakses pada 28 Juli 2020.
Maslahah, A. A. (2013). Pentingnya kecerdasan spiritual dalam menangani perilaku menyimpang. Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling
Islam, 4(1), 21-34.
Moosa, J., & Ali, N. M. (2011). The study relationship between parenting styles and spiritual intelligence. Journal of life Science and Biomedicine, 1(1), 24027.
Papalia, D. E. (2015). Experience human development. New York: Mc Graw Hill.
Provitae, J. (2004). Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Moleong, LJ, 2004, 2010.
Rahman, A, A. (2016). PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK & REMAJA. Bandung : Pustaka Setia.
Sebayang, W., Gultom, D. Y., & Sidabutar, E. R. (2018). Perilaku Seksual Remaja. Deepublish.
Setiawan, B. (2015). Apa Itu Kecerdasan? Bacalah agar tidak salah Paham . http://temantakita.com/apa-itu-kecerdasan/. Diakses pada 9 Juni 2020. Setyawan, F, E, B,. (2017). Pedoman Metodologi Penelitian (Statistika Praktis).
Sidoarjo : Zifatma Jawara.
Shaffer, S. M., & Gordon, L. P. (2005). Why Boys Don’t Talk--and Why It Matters: A Parent's Survival Guide to Connecting with Your Teen. McGraw Hill Professional.
Simmons, R. G. (Ed.). (2017). Moving into adolescence: The impact of pubertal change and school context. Routledge.
Suwendra, I. W. (2019) Pengembangan Model Pembelajaran Purana Berbasis Pemahaman Diri Untuk Meningkatkan Kecerdasan Spiritual. Nilacakra. Wirenviona, R., & Riris, A. I. D. C. (2020). Edukasi Kesehatan Reproduksi Remaja.
Airlangga University Press.
Zohar, D., & Marshall, I. (2002). SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, penterjemah Rahmani Astuti dkk. Bandung: Mizan.
Zohar, D., & Marshall, I. (2004). Spiritual capital: Wealth we can live by. Berrett-Koehler Publishers.