• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan judul. Hasil suatu karya ilmiah bukanlah pekerjaan mudah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan judul. Hasil suatu karya ilmiah bukanlah pekerjaan mudah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul. Hasil suatu karya ilmiah bukanlah pekerjaan mudah dipertanggungjawabkan, karena itulah disertakan data-data yang kuat yang ada hubunganya dengan yang diteliti.

Ada beberapa buku yang dipakai dalam penelitian ini seperti buku karangan Abdul Wahab dengan judul Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra, buku Henri Guntur Tarigan dengan judul Pengajaran Kosa Kata dan beberapa buku kebahasaan lainnya.

Berkaitan dengan judul skripsi yang penulis bicarakan bahasa terlebih dahulu penulis mengungkapkan beberapa defenisi tentang metafora.

Kata metafora berasal dari meta- yang berarti setengah atau tidak sepenuhnya seperti pada metafisika (setengah fisik, setengah badaniah, atau tidak sepenuhnya badaniah) dan fora (phora) yang berarti mengacu atau merujuk (Duranti 1997:38 dalam Saragih 2002:162). Berdasarkan kata lain, metafora merujuk sesuatu tidak sepenuhnya lagi atau hanya setengah merujuk sesuatu dalam memahami atau menyatakan pengalaman dalam ranah atau bidang lain.

Wahab (1986: 11) mengartikan, “Metafora sebagai ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, melainkan dari predikasi yang dapat dipakai oleh lambang maupun oleh makna yang dimaksudkan oleh ungkapan kebahasaan itu”.

(2)

Menurut Tarigan (1983: 141),“Metafora adalah sejenis majas perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua ide: yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek; dan yang satu lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita membandingkan yang belakang ini menjadi yang terlebih dahulu”.

Poerwadarminta (1976:648) mengatakan, “Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan”.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa metafora merupakan kata-kata yang menggunakan makna kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang biasa digunakan sehari-hari.

2.2 Teori yang Digunakan

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah seseorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori yang diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis. Penelitian ini menggunakan teori metafora leksikal dan metafora tata bahasa. Teori aliran ini meninjau aspek bahasa berdasarkan sudut pandang bahasa itu sendiri.

Duranti (dalam Saragih 2002:162) dalam bukunya berjudul Bahasa Dalam Konteks Sosial, metafora mencakup dua pandangan mengenai suatu masalah. Metafora dalam skripsi ini mencakupi leksis yang disebut metafora leksikal (lexical metaphor) dan metafora tata bahasa (grammatical metaphor).

(3)

2.2.1 Metafora Leksikal

Duranti (dalam Saragih 2002:163) mengatakan bahwa metafora leksikal menunjukkan bahwa makna leksikal dirujuk sebagian untuk menyatakan atau memahami makna lain. Sebagai contoh, ular sebagai leksis adalah binatang yang memiliki sifat menjalar, bersisik, melilit, berbisa, dan sifat lain. Klausa ular menjalar di rumput memberikan penertian lazim atau harfiah, yakni bahwa ada binatang yang memiliki keempat sifat itu menjalar, bersisik, melilit, dan berbisa. Yang sedang melata atau menjalar di rumput. Akan tetapi, kalau dikatakan Si Diah itu ular; jangan percaya kepadanya, klausa itu sudah bermuatan metafora karena sebahagian sifat ular telah dijadikan menjadi sifat si Diah. Si Diah adalah manusia dan sifatnya ditautkan atau dideskripsi dari sifat binatang, yakni ular. Dari keempat sifat ular tadi (menjalar, bersisik, melilit, dan berbisa) si Diah hanya dilihat dari sebahagian sifat ular, yaitu membelit (dengan kata-kata dan perbuatan, menipu, atau berbohong) dan berbisa (ucapannya membahayakan orang lain). Ini berarti bahwa si Diah telah direalisasikan sebagai memiliki sebahagian sifat ular tadi. Demikian juga klausa Dia sangat senang dengan si rambut panjang adalah klausa metafora karena rambut panjang adalah sebahagian sifat wanita.

Metafora leksikal dapat wujud dengan berbagai realisasi yang umumnya menyatakan satu fenomena dilihat dari dua prespektif. Dalam uraian berikut metafora leksikal dibahas dari lima hal yaitu:

a. Metafora leksikal wujud dengan makna kata benda atau nomina dibandingkan dengan nomina lain.

(4)

b. Metafora leksikal wujud dengan nomina dibandingkan dengan verba yang terkait atau dapat diturunkan dari nomina lain, seperti dalam tegas dia melontarkan pendapatnya dalam rapat itu. Dalam klausa itu pendapat dibandingkan dengan batu, tetapi tidak dikatakan pendapat batu, melainkan melontarka pendapat; verba melontarkan biasanya terkait dengan atau dapat diturunkan dari nomina batu atau benda keras lain.

c. Metafora leksikal wujud dengan membandingkan nomina dengan kata sifat atau ajektifa dari atau yang terkait dengan nomina lain, seperti kami ingin mengucapkan terimakasih banyak dengan terima kasih dibandingkan dengan banyak sebagai sifat bilangan atau uang.

d. Metafora wujud dengan membandingkan dua konsep sosial atau ideologi dalam dua komunitas.

e. Metafora leksikal dapat wujud dengan penanda bunyi saja.

2.2.2 Metafora Tata Bahasa

Duranti (dalam Saragih 2002: 165) mengatakan bahwa metafora tata bahasa sejalan dengan metafora semantik, metafora tata bahasa menunjukkan tata bahasa yang lazimnya digunakan untuk sesuatu pengalaman tertentu digunakan untuk pengalaman yang lain. Dengan kata lain, metafora tata bahasa memberikan pengertian bahwa realisasi yang lazim dari pengalaman (eksperiensial, logis, antarpesona, dan tekstual) dalam sistem transitivitas, klausa kompleks, modus, tema/rema, dan kohesi tertentu direalisasikan dengan atau dalam aspek (struktur) tata

(5)

bahasa yang lain atau yang tidak lazim. Dengan pengertian ini metafora tata bahasa mencakup dua hal, yaitu:

a. Relokasi realisasi makna yang lazim ke dalam aspek tata bahasa yang lain dalam peringkat yang sama, misalnya kegiatan atau aktivitas yang lazimnya direalisasikan oleh proses direalisasikan sebagai nomina atau realisasi yang lazim dikodekan dalam beberapa kata disampaikan dalam satu kata saja.

b. Relokasi realisasi makna yang lazim pada satu peringkat (ranking) dikodekan dalam peringkat tata bahasa yang lain yang lebih rendah (seperti pada metafora paparan pengalaman), atau lebih tinggi (seperti pada metafora pertukaran pengalaman). Misalnya makna yang lazimnya dikodekan dalam klausa dikodekan dalam grup atau frase dan makna yang lazimnya dikodekan dengan kata dimetaforakan menjadi klausa. Uraian tersebut adalah sebagai berikut:

1.Metafora Paparan Pengalaman (Metafora Eksperiensial)

Duranti (dalam Saragih 2002:166) mengatakan bahwa metafora paparan pengalaman atau metafora eksperiensial menunjukkan bahwa suatu pengalaman yang lazim dikodekan oleh sesuatu aspek, struktur, atau unit tata bahasa (lexicogrammar) direalisasikan dengan aspek, sruktur, atau unit tata bahasa yang lain yang tidak lazim. Metafora eksperiensial mencakup (a) relokasi realisasi pengalaman, (b) relokasi proses, dan (c) relokasi peringkat pengodean pengalaman dari klausa menjadi grup atau frase. Uraian tersebut adalah sebagai berikut:

(6)

a. Metafora Pengalaman

Metafora realisasi pengalaman menunjukkan pengodean pengalaman yang tidak lazim. Benda umumnya direalisasikan oleh partisipan/nomina, kegiatan atau aktivitas oleh proses atau verba, atau sifat oleh ajektiva, dan hubungan oleh konjungsi. Demikan juga halnya dengan pengalaman lain dalam realitas memiliki unsur tata bahasa sebagai realisasi yang lazim.

b. Metafora Proses

Dalam skripsi ini telah diuraikan enam jenis proses, yaitu proses material, mental, relasional, tingkah laku, verbal, dan wujud. Penggolongan proses tersebut ke dalam enam bagian membagi pengalaman atas enam kelompok. Apabila pengalaman material dikodekan dengan proses material pengodean itu disebut lazim. Akan tetapi, dapat terjadi kelainan atau kesenjangan; jika pengalaman material dikodekan dengan proses lain, hal itu disebut metafora.

c. Relokasi Peringkat Pengodean Pengalaman

Metafora tata bahasa mencakup pengodean pengalaman yang lazimnya dalam peringkat tertentu dikodekan ke peringkat tata bahasa lain yang lebih rendah atau lebih tinggi ( yang umumnya terjadi dalam metafora makna interpersonal). Penurunan peringkat pengodean ini dapat dikolompokkan atas dua bagian: penurunan klausa menjadin grup dan penurunan grup atau frase menjadi kata.

2. Metafora Pertukaran Pengalaman (Metafora Interpersonal)

Duranti (dalam Saragih 2002: 171) mengatakan bahwa makna pertukaran pengalaman atau antarpesona dikodekan oleh berbagai aspek tata bahasa seperti

(7)

modus, modalitas, dan vokatif. Jika semua makna pertukaran pengalaman masih dikodekan dengan cara yang diurai seperti dalam skripsi ini, keadaan itu disebut pengodean yang lazim. Akan tetapi, jika pengodean dilakukan dengan cara yang tidak lazim, keadaan itu disebut metafora. Uraian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Metafora Modus

Makna antarpesona pernyataan (statement), pertanyaan (questions), perintah (command) masing-masing lazimnya direalisasikan oleh mudos deklaratif, interogatif, dan imperatif, makna tawaran (offer) tidak memiliki bentuk yang lazim sebagai realisasinya.

b. Metafora Modalitas

Lazimnya modalitas direalisasaikan oleh unsur leksikal, seperti kata pasti, mungkin, sering, biasa, bermaksud, atau harus yang menyatakan sikap, opini, komentar, atau pertimbangan pribadi pemakai bahasa.

c. Metafora Vokatif

Realisasi makna antarpesona mencakup nama atau cara memanggil nama lawan bicara, mitrabicara, atau mitrakomunikasa. Cara yang digunakan memanggil seorang mitrakomunikasi menunjukkan derajat atau tingkat konteks sosial makna antar pesona, yaitu status (sama atau tidak sama), sikap efektif (suka atau tidak suka), dan hubungan (sering, akrab, atau pertama kali) antara para partisipan komunikasi. Panggilan nama seseorang mulai dari nama penuh dengan gelar kakrabatan, kontraksi nama sebagian sampai kepada kontraksi nama sepenuhnya.

(8)

3.Metafora Pengorganisasian Pengalaman (Metafora Tekstual)

Metafora tekstual lazimnya terealisasi dalam unsur tata bahasa yang terdiri atas tema, rema, dan kohesi. Yang dapat terealisasi ke dalam metafora makna tekstual adalah rujukan dan konjungsi sebagai unsur kohesi. Metafora makna tekstual terjadi dalam relokasi makna pada kata menjadi frase (dalam rujukan) atau relokasi makna dari konjungsi ke sirkumstan. Uraian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Metafora rujukan, adalah merupakan realisasi lazim dari perujuk anforik dia.

b. Metafora konjungsi, adalah lazimnya, sebagai realisasi tekstual alat kohesi konjungsi menautkan klausa dengan klausa lain.

c. Bahasa tulisan dan tematisasi sebagai pemicu metafora, merupakan pemicu wujudnya metafora tata bahasa. Bahasa lisan yang diubah menjadi bahasa tulisan menuntut nominalisasi, yakni pembuatan unit linguistik (yang biasanya bukan nomina) berfungsi sebagai benda atau nomina. Tematisasi mengubah unit linguistik rema menjadi tema.

Referensi

Dokumen terkait

Metode Penelitian: Jenis penelitian kuantitatif dengan adalah rancangan penelitian analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional yang merupakan penelitian

Metode Penelitian menggunakan Metode Eksperimen dan Action Research, diawali dengan pengembangan rancang bangun, pembuatan, pengujian dan perbaikan prototipe Portable

Praktik klinik stase keperawatan anak dilaksanakan di rumah sakit Tipe A. Rumah sakit yang digunakan adalah RSUD Ulin Banjarmasin didasarkan pada ketersediaan kasus

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

Salah satu alasannya adalah eksternalitas dan free ridding – kekuatan pasar tidak bias memberikan perusahaan full social benefits terhadap keputusan produksi informasi

Diharapkan melalui seluruh kolaborasi para pemangku kepentingan kota dan juga wisatawan, dapat menciptakan Kota Bandung sebagai kota kreatif yang memiliki daya

Rumah Perawatan Psiko-Neuro-Geriatri atau yang lebih dikenal dengan “Puri Saras” adalah klinik kesehatan yang bergerak dalam bidang layanan kesehatan jiwa, mulai beroperasi sejak

Peningkatan Kreativitas melalui Pendekatan Tematik dalam Pembelajaran Seni Grafis Cetak Tinggi Bahan Alam di SD Sistem pendidikan Sekolah Dasar, sebagaimana diungkapkan