1
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini, masyarakat kembali dikejutkan oleh berbagai macam berita mengenai kekerasan seksual pada anak (KSA). Kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak mayoritas terjadi di lingkungan sosial seperti rumah, sekolah, panti, tempat bermain, dan ruang publik. Usia pelaku bervariasi, mulai dari anak-anak hingga dewasa bahkan lanjut usia. Hal yang turut memprihatinkan adalah mayoritas pelaku KSA merupakan orang yang sangat dekat dengan korban.
Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, terdapat 2.426 kasus kekerasan anak pada tahun 2011 yang 58% diantaranya adalah KSA. Kemudian pada tahun 2012, terdapat 2.637 kasus kekerasan anak yang 62% diantaranya adalah kekerasan seksual. Laporan mengenai kekerasan pada anak semakin meningkat pada tahun 2013, yaitu sebanyak 3.339 kasus kekerasan pada anak yang 52% diantaranya adalah kekerasan seksual (Republika Online, 2014). Sementara itu, bedasarkan data Komnas PA, terdapat 342 kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) pada Januari – April 2014. Data Polri 2014 juga mencatat 697 kasus KSA yang terjadi di separuh tahun 2014. Sedangkan berdasarkan data KPAI, terdapat 622 kasus KSA yang terjadi pada Januari hingga April 2014 (KPAI, 2014).
KSA semakin marak terjadi di Yogyakarta. Berdasarkan data statistik Yayasan Lembaga Perlindungan Anak (YLPA), terdapat 126 kasus KSA di Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditangani oleh YLPA pada tahun 2010 – 2013. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan salah satu pekerja sosial di YLPA DIY (HR) ditemukan bahwa beberapa korban KSA adalah anak dengan intellectual disability atau yang
umumnya disebut dengan retardasi mental. Korban diseret oleh lima pelaku ke sebuah TK. Korban sudah tiga kali menjadi korban KSA, tetapi percobaan ketiga gagal karena ada saksi yang melihat dan langsung mencegahnya, berikut ini pernyataan petugas (HR),
Karena anak ini sudah tiga kali mendapatkan perlakuan itu, begitu. Nah yang ketiga itu justru gagal. Yang menggagalkan saksi itu. Nah saksi ini yang kemudian eee melaporkan pada orangtua korban... dan orangtua korban melaporkan. Keduanya pun baru tahu kalau anaknya itu.. ini sudah yang ketiga kalinya. (PE.S2,9-14)
Berdasarkan penjelasan HR, anak-anak dengan retardasi mental rentan menjadi korban kekerasan seksual karena mereka mudah dipaksa sehingga pelaku dapat dengan mudah memanfaatkan kondisi korban. Korban mendapatkan ancaman dari pelaku sehingga tidak berani melaporkan kejadian yang dialaminya. Padahal para pelakunya masih duduk di bangku SD dan SMP. Hal ini tercermin pada pernyataan berikut,
Iya, karena ya itu tadi. Kita kan bertanya kenapa kok yang jadi sasaran si anak ini terus gitu kan. Awalnya kita kan bertanya, ‘Kenapa anak ini sudah menjadi sasaran ini kok bisa sampe tiga kali.. itu kenapa?’. Setelah kita ajak anak itu ketemu dengan anaknya baru kami mendapatkan jawaban.. kemungkinan karena retardasi mental anaknya itu lah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pelaku-pelaku itu. (PE.S2,99-105)
Kebanyakan begitu.. anak yang retardasi mental itu setelah mendapatkan perlakukan pelecehan seksual biasanya mendapatkan ancaman sehingga anak itu pun tidak berani untuk menyampaikan ke orangtua gitu. (PE.S2,112-115)
Faktor utama yang menyebabkan semakin maraknya KSA adalah perkembangan teknologi dan kurangnya perlindungan terhadap anak, baik dari orangtua, keluarga, masyarakat, maupun pemerintah. Oleh karena itu, pendidikan seksual sejak dini dinilai efektif untuk mencegah munculnya perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Anak normal rentan menjadi korban kekerasan seksual, apalagi anak dengan retardasi mental yang kadang tidak mengerti dengan bahaya di lingkungan sekitarnya. Menurut salah satu pekerja sosial YLPA (HR), KSA biasanya terjadi di daerah kumuh yang padat penduduk. Biasanya rumah mereka kecil dan tidak ada dinding pemisah antara kamar orangtua dan
kamar anak sehingga anak berpotensi melihat aktivitas seksual yang dilakukan oleh orangtuanya, berikut pernyataannya,
Kan kadang anak itu kan begini.. anak itu kan ciri utamanya itu kan ingin tahu dan mencoba kan begitu. Jadi kalo anak itu misal ya.. nun sewu dia melihat aktivitas seksual orangtuanya.. dia kan pengen tahu ‘Kenapa to kok bapakku kayak gitu sama ibukku?’ gitu. Nah karena keingin tahuan dia itu.. untuk menjawab pertanyannya itu dia lakukan supaya dia tahu gitu lho mbak. Kita tidak bisa salahkan si anak. Anak juga korban, makanya saya biasanya kejadian-kejadian yang melibatkan pelaku adalah seorang anak.. terutama untuk kekerasan seksual itu kebanyakan adalah di daerah-daerah slum.. daerah-daerah kumuh yang disana yo padet penduduknya. Rumahnya kadang hanya.. ruang tamunya aja paling cuma satu kali dua meter kayak gitu. (PE.S2,63-75)
Masih banyak kasus yang beredar di masyarakat luas tetapi tidak masuk ke ranah hukum karena alasan malu ataupun takut dengan ancaman pelaku KSA. Fenomena KSA menunjukkan dunia tidak aman bagi anak-anak, termasuk anak-anak dengan retardasi mental yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, anak-anak dengan retardasi mental mengalami kekerasan seksual yang lebih serius dibandingkan anak normal (Akbas, Turla, Karabekiroglu, Pazvantoglu, Keskin, & Boke, 2009). Anak-anak dengan retardasi mental umumnya lebih mudah dibujuk oleh pelaku KSA. Anak-anak tersebut setelah menjadi korban akan merasa bingung dan tidak dapat menceritakan peristiwa yang telah menimpanya dan hal ini sangat menguntungkan pelaku. Para pelaku dapat dengan leluasa melampiaskan hasratnya, sedangkan korbannya tidak berani menceritakan kejadian yang sebenarnya (Chomaria, 2014).
American Association on Mental Retardation (dalam Slavin, 2011) mendefinisikan retardasi mental sebagai kondisi yang biasanya muncul saat seorang anak lahir yang menyebabkan mereka memiliki kemampuan kecerdasan di bawah rata-rata dan menunjukkan perilaku adaptasi yang buruk. AAMR mengubah namanya menjadi American Association on Intellectual Developemental Disabilities (AAIDD). AAMR mengganti istilah retardasi mental karena tumbuh pandangan dan stigma negatif mengenai
mentally retarded. AAIDD mendefinisikan retardasi mental sebagai defisit fungsi intelektual dan perilaku adaptif, konsep sosial, dan keterampilan praktik perilaku adaptif dalam kehidupan sehari-hari (Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2012). Definisi tersebut menunjukkan bahwa anak-anak dengan retardasi mental mengalami kesulitan dalam melakukan interaksi dengan dunia luar. Mereka juga mengalami masalah komunikasi, hubungan dengan orang lain, dan menunjukkan sikap yang kurang bertanggung jawab pada lingkungan sekitarnya.
Anak dengan retardasi mental mulai memasuki usia pubertas dan mengalami perubahan fisik serta hormon pada usia yang sama dengan anak normal. Mereka membutuhkan lebih banyak pendidikan dan dukungan untuk memahami dan mengelola perubahan-perubahan tersebut. Anak dengan retardasi mental membutuhkan pendidikan mengenai cara mengekspresikan hasrat seksual mereka dengan cara yang positif (State Government of Victoria, 2013).
Anak dengan retardasi mental akan mengalami perubahan fisik dan seksual pada masa remaja. Sebagian dari mereka ada yang mengalami hambatan perkembangan minat seksual, tetapi ada juga yang perkembangannya sama seperti anak normal. Namun perubahan di masa tersebut tidak disertai dengan kematangan pemahaman sosio-emosional pada diri masing-masing anak. Koller (2000) menjelaskan bahwa sikap yang salah mengenai seks pada anak-anak dengan retardasi mental akan menggangu pendidikan seksual di lingkungannya. Padahal anak-anak dengan retardasi mental biasanya mengalami hambatan dalam mengekspresikan hasrat seksualnya. Tanggapan tabu dan berbagai mitos sosial mengakibatkan kurangnya bimbingan, kesempatan, dukungan emosial, dan pendidikan seks pada anak-anak tersebut. Penelitian pada anak dengan retardasi mental oleh Hastuti (2005), menyatakan hasil yang sama. Banyak murid laki-laki di lokasi
penelitian yang memiliki masalah dengan seksualitasnya, khususnya mengenai cara mengelola dorongan seksual secara sehat dan dapat diterima secara sosial.
Penjelasan mengenai retardasi mental dalam website Child and Parent Resource Institute Sexual Behavior Team memaparkan bahwa banyak orang tua atau pengasuh anak dengan retardasi mental mengalami kesulitan dalam memikirkan perilaku seksual anak-anaknya. Padahal anak-anak tersebut akan mengalami masa pubertas dan mengalami perasaan seksual seiring dengan bertambahnya usia kronologis mereka. Anak dengan retardasi mental memiliki risiko lebih besar untuk mengalami pelecehan seksual. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk mendapatkan informasi mengenai pendidikan seks. Pendidikan mengenai perkembangan dan perubahan fisik, kebersihan, privasi, batas-batas pribadi, dan perbedaan antara sentuhan yang baik atau buruk perlu dipertimbangkan oleh orang tua dan pengasuh anak dengan kebutuhan khusus (CPRI, 2009)
Pendidikan seks adalah ajaran mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perilaku seksual dan efeknya. Pendidikan seksual yang komprehensif, yaitu penyampaian informasi tentang organ reproduksi dan fisiologi, kontrasepsi, identitas seksual, hubungan antar lawan jenis, keintiman, risiko, konsekuensi dari perilaku seksual, kehamilan, dan penyakit menular seksual (Salkind, 2006). Seks tidak hanya mencakup perilaku seksual, tetapi di dalamnya juga mencakup hal-hal tentang gambaran diri, emosi, nilai-nilai, sikap, kepercayaan, perilaku, dan hubungan antar manusia (Koller, 2000).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada November 2014 dengan wawancara informal pada dua orang guru SLB X, ditemukan bahwa guru-guru SLB seringkali merasa sulit memberikan pendidikan seksual pada anak dengan retardasi mental karena kurangnya kemampuan anak-anak tersebut dalam menangkap suatu informasi. Berdasarkan pengalaman guru-guru tersebut selama mengajar di SLB, banyak anak yang sering melakukan onani di tempat umum. Menurut salah satu guru, biasanya
anak yang melakukan onani di sekolah dibiarkan saja karena apabila hal tersebut dilarang, maka dapat menimbulkan gangguan seksual pada diri anak. Selain itu, banyak juga anak yang sudah mengenal pacaran dan seringkali membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan dan keinginan untuk memiliki anak. Salah satu guru juga menceritakan pengetahuannya mengenai keadaan SLB di luar negeri yang biasanya sudah menyediakan ruangan-ruangan khusus di kelas sebagai tempat anak menyalurkan hasrat seksualnya.
Eksplorasi mengenai pengetahuan guru dan pengasuh mengenai pendidikan seksual yang sesuai dengan anak dengan retardasi mental perlu dilakukan mengingat masih banyaknya jumlah anak yang menyandang disabilitas. Berikut ini rincian jumlah individu dengan disabilitas menurut jenis dan kabupatennya di DIY dari Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tabel 1. Jumlah Penyandang Disabilitas Menurut Jenisnya pada Kabupaten atau Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta 2008 – 2012
Kabupaten/Kota Tuna Netra Bisu/Tuli Cacat Tubuh Cacat Mental Penyakit Kronis Ganda 1. Kulonprogo 582 403 1.290 1.289 236 210 2. Bantul 627 476 1.904 1.582 167 333 3. Gunungkidul 967 800 2.531 1.676 386 341 4. Sleman 266 685 1.682 2.098 306 271 5. Bantul 126 121 365 339 177 62 DIY 2012 2.586 2.485 7.772 6.984 1.272 1.217 2011 3.917 3.425 9.831 7.989 2.005 1.943 2010 4.636 3.966 11.389 9.215 2.166 2.330 2009 4.517 3.921 11.244 12.120 2.134 2.345 2008 6.233 5.413 13.225 11.465 3.078 1.805
Sumber: Dinas Sosial D.I. Yogyakarta (Badan Pusat Statistik, 2013)
Anak dengan retardasi mental memiliki dan merasakan kehidupan seksual seperti anak-anak lain, tetapi kondisi fisik dan mental menyebabkan seksualitas mereka sedikit berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Yohalem (dalam Strong, DeVault, Sayad, & Yarber, 20050 mengatakan bahwa pengetahuan anak dengan retardasi mental tentang seks sudah mulai berkembang luas. Hak-hak seksual mereka sekarang sudah mulai diakui oleh
kalangan masyarakat, meskipun ada banyak perdebatan tentang isu-isu ini. Kemampuan masing-masing anak dengan retardasi mental sangat bervariasi. Anak dengan retardasi ringan atau sedang masih dapat mempelajari perilaku yang tepat, melindungi diri dari pelecehan, dan memahami dasar-dasar reproduksi. Beberapa dari mereka juga ada yang berhasil menikah, bekerja, dan membangun keluarga.
Kebanyakan remaja mengatakan bahwa mereka tidak dapat berbicara secara bebas dengan orangtuanya tentang seks. Sementara itu, bedasarkan jajak pendapat nasional yang dilaksanakan oleh majalah Time, ditemukan bahwa 78% orangtua mengharapkan sekolah memberikan pendidikan seks, termasuk informasi mengenai pengendalian kelahiran (Santrock, 2003). Sementara itu, tidak semua orangtua paham dengan perkembangan seks anaknya, terbukti bahwa ada sebagian orangtua yang tidak mengetahui apa yang terjadi dengan anaknya dalam relasi dengan lawan jenis di sekolah (Hastuti, 2005). Padahal seharusnya orangtua memahami secara komprehensif sehingga upaya pemberdayaan anak dengan retardasi mental dapat berjalan optimal.
State Government of Victoria (2013) menjelaskan bahwa pendidikan seksualitas juga penting diberikan untuk anak-anak dengan retardasi mental karena mereka memiliki pikiran, sikap, perasaan, keinginan, dan fantasi seksual layaknya anak-anak normal. Anak-anak tersebut seringkali tidak mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas seksual sesuai dengan usia mereka. Padahal penting bagi mereka untuk mengeksplorasi, menikmati, dan mengekspresikan hasrat seksual mereka dengan cara yang positif dan sehat. Selain itu, pendidikan seksual juga memberikan kesempatan bagi anak dengan retardasi mental untuk mempelajari perilaku protektif untuk mencegah tindakan-tindakan seksual yang tidak bertanggung jawab.
Perubahan pola hidup dan norma-norma masyarakat telah meningkatkan kesempatan bagi anak dengan retardasi mental untuk hidup seperti anak normal di
lingkungan masyarakat. Namun masih banyak orang yang masih belum mengetahui bahwa semua orang memiliki hasrat seksual, kebutuhan, dan keinginan, terlepas dari kemampuan fisik atau mentalnya. Akibatnya, banyak anak dengan retardasi mental yang tidak menerima pendidikan seksual, baik di sekolah maupun di rumah. Bimbingan yang terstruktur dan konsisten akan sangat bermanfaat bagi perkembangan anak-anak dengan retardasi mental.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dinamika pengetahuan guru SLB-C1 dan pengasuh asrama anak dengan retardasi mental mengenai pendidikan seksual sebagai upaya pencegahan KSA.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan kajian ilmu pengetahuan mengenai pendidikan seksual yang tepat untuk anak dengan retardasi mental. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berfungsi sebagai kajian empirik
mengenai retardasi mental dan seksualitas sebagai salah satu bahasan dalam psikologi klinis, psikologi perkembangan, dan psikologi pendidikan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pendidik di lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian C-1, orangtua, rumah sakit, dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) sebagai salah satu acuan untuk membantu anak dengan retardasi mental atau intellectual disability agar lebih berdaya dalam menghadapi kehidupan seksualnya dan terhindar dari kekerasan seksual.