• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa,"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kridalaksana, 2001:117).

2.1.1 Kesantunan

Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama” (Sibarani, 2004:170).

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya (Sibarani, 2004:170).

2.1.2 Imperatif

Imperatif adalah bentuk kalimat atau verba untuk mengungkapkan perintah, keharusan atau larangan melaksanakan perbuatan (Kridalaksana, 2001:81). Perintah tidak hanya diartikan sebagai perintah untuk melakukan sesuatu, tetapi juga sebagai perintah untuk tidak melakukan sesuatu yang disebut larangan.

(2)

2.2 Landasan Teori

Terdapat empat macam teori yang dapat dijadikan dasar atau pijakan di dalam penelitian kesantunan imperatif dalam BBT. Keempat teori tersebut adalah sebagai berikut:

2.2.1 Kesantunan Berbahasa

Fraser (dalam Kaswanti 1994:48) mendefenisikan kesantunan merupakan property atau bagian yang ditunjukkan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau mengingkari memenuhi kewajibannya. Maksudnya adalah bahwa si penutur memerintah mitra tutur sesuai dengan kemampuan mitra tutur tersebut, apabila tidak sesuai dengan kemampuan mitra tutur maka tuturan tersebut tidak santun.

Ulasan Fraser terhadap kesantunan berbahasa yaitu pertama, kesantunan itu adalah property atau bagian dari ujaran, jadi tidak hanya ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu merupakan ujaran. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak diukur berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya; maksudnya adalah bahwa penutur jika memerintah atau menyuruh mitra tutur harus sesuai dengan kemampuan mitra tutur dan (2) apakah si penutur memenuhi kewajibanya kepada lawan bicaranya; maksudnya adalah si penutur memenuhi kewajibannya kepada mitra tutur.

2.2.2 Kalimat Imperatif

Rahardi (2005:71) menyatakan bahwa kalimat imperatif mengadung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan si penutur. Dengan

(3)

bervariasi. Bahasa Indonesia juga membicarakan tentang wujud kesantunan imperatif. Rahardi (2005:87) mengatakan wujud kesantunan imperatif mencakup dua macam hal, yaitu; (1) wujud formal imperatif atau struktural dan (2) wujud pragmatik imperatif atau nonstruktural.

Wujud formal imperatif adalah realisasi maksud imperatif bahasa Indonesia menurut ciri struktural atau ciri formalnya. Rahardi (2005:88) menunjukkan tiga ciri mendasar yang dimiliki satuan lingual dalam bahasa Indonesia, yakni (1). Menggunakan intonasi keras, (2). Kata kerja yang digunakan lazimya kata kerja dasar, (3). Mempergunakan partikel pengeras –lah. Secara formal, tuturan imperatif meliputi dua macam wujud yaitu imperatif aktif dan imperatif pasif.

Wujud pragmatik imperatif adalah realisasi maksud imperatif menurut makna pragmatiknya. Makna tersebut dekat hubungannya dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakangi munculnya tuturan imperatif itu. Konteks mencakup banyak hal, seperti lingkungan tutur, nada tutur, peserta tutur, dan aspek-aspek konteks situasi tutur lain. Oleh karena itu, wujud imperatif pragmatik dalam bahasa Indonesia itu dapat berupa tuturan yang bermacam-macam sejauh di dalamnya terkandung makna pragmatik imperatif. Secara pragmatik, terdapat tujuh belas macam tuturan imperatif yaitu: pragmatik imperatif perintah, pragmatik imperatif suruhan, pragmatik imperatif permintaan, pragmatik imperatif permohonan, pragmatik imperatif desakan, pragmatik imperatif bujukan, pragmatik imperatif imbauan, pragmatik imperatif persilaan, pragmatik imperatif ajakan, pragmatik imperatif permintaan izin, pragmatik imperatif mengizinkan, pragmatik imperatif larangan, pragmatik imperatif harapan, pragmati imperatif umpatan, pragmatik imperatif ucapan selamat, pragmatik imperatif anjuran, pragmatik imperatif ngelulu.

(4)

2.2.3 Tindak Tutur

Teori tindak tutur adalah pandangan yang mempertegaskan bahwa ungkapan suatu bahasa dapat dipahami dengan baik apabila dikaitkan dengan situasi konteks terjadinya ungkapan tersebut. Berbicara tentang kesantunan berarti membicarakan penggunaan bahasa (langue use) dalam suatu masyarakat tertentu. Adapun yang akan dibicarakan atau dikaji dalam penelitian kesantunan adalah segi dan fungsi tuturan, dalam hal ini, maksud dan fungsi tuturan imperatif BBT.

Searle (dalam Rahardi, 2005:35-36) terdapat dalam bukunya Speech Act: An Essy in Philosophy Of Language menyatakan bahwa dalam praktik terdapat tiga macam tindak tutur antara lain: (1) tindak lokusioner, (2) tindak ilokusioner, (3) tindak perlokusi.

Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan “tanganku gatal” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.

Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan “tanganku gatal” diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan penutur, misalnya mitra tutur mengambil balsem.

(5)

Tindakan perlokusi adalah tindak menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan “tanganku gatal”, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.

Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi, 2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Asertif (Assertives), yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), menbual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).

2. Direktif (Directives), yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya, memesan (orderin), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending).

3. Ekspresif (Experssives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blambing), memuji (praising), berbelasungkawa (condoling).

4. Komisif (Commissives), yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).

(6)

5. Deklarasi (Declarations), bentu tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), menbaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).

Teori tindak tutur atau bentuk ujaran mempunyai lebih dari satu fungsi. Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran.

Contoh:

A: lampu ini terang sekali. (sambil menutup mata) B: akan ku matikan.

Tuturan tersebut diucapkan seseorang kepada temannya ketika berada di rumah mitra tutur. Ujaran “lampu ini terang sekali” tersebut berfungsi sebagai perintah, sama seperti “

matikan lampunya”. Seseorang mungkin juga menyatakan perintah dalam bentuk pernyataan

kebiasaan dengan mengatakan “aku tidak bisa tidur kalau lampunya terlalu terang”.

2.2.4 Konteks Situasi

Konteks situasi merupakan interaksi linguistik dalam suatu ujaran atau lebih melibatkan dua pihak, yakni penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Chaer dan Leonie, 2004 : 47).

Suatu konteks harus memenuhi delapan komponen yang diakronominkan sebagai S-P-E-A-K-I-N-G Hymes (dalam Chaer dan Leonie, 2004 : 28). Komponen tersebut adalah :

(7)

1. S (setting dan scene), setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan berlangsung, scene adalah situasi tempat dan waktu.

2. P (participants), pihak-pihak yang terlibat dalam tuturan. 3. E (end), merujuk pada maksud dan tujuan tuturan.

4. A (act sequence), mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.

5. K (keys), mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, serius, mengejek, bergurau.

6. I (instrumentalies), mengacu pada bahasa yang digunakan.

7. N (norm of interaction an interpretation), mengacu pada tingkah laku yang berkaitan dengan peristiwa tutur.

8. G (genre), mengacu pada jenis penyampaian.

Setting and scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tuturan berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepakbola pada waktu pertandingan sepakbola dalam situasi ramai anda bisa berbicara keras-keras, berbeda dengan pembicaraan di ruangan perpustakaan pada waktu banyak orang membaca, anda harus berbicara seperlahan mungkin.

Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dengan penerima pesan. Dua orang yang bercakap dapat berganti peran sebagai pendengar dan pembicara, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang

(8)

anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orangtuanya atau gurunya, bila dibandingkan berbicara terhadap teman-temannya.

Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruangan pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara. Namun, para partisipan dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.

Keys, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek dan sebagainya. Hal ini juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Bentuk ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek, atau register.

Norm or interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

Berdasarkan keterangan diatas, peneliti dapat melihat kompleksnya suatu peristiwa tuturan yang telah terlihat, atau dialami sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

(9)

Hasibuan (2005) mengkaji tentang perangkat tindak tutur dan siasat kesantunan bahasa dalam bahasa Mandailing. Ia mengemukakan jenis-jenis tindak tutur versi Searle, yaitu representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Juga membahas jenis tindak tutur langsung dan tidak langsung.

Rahardi (2005) dalam bukunya yang berjudul Kesantunan Imperatif Dalam Bahasa Indonesia yang mengungkapkan tentang kalimat imperatif. Kalimat imperatif adalah memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana yang diinginkan si penutur. Selain itu dalam buku ini juga dibahas wujud formal dan wujud pragmatik. Wujud formal imperatif adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa Indonesia menurut ciri struktural atau formalnya sedangkan, wujud pragmatik imperatif adalah realisasi maksud imperatif menurut makna pragmatiknya.

Ida Luthfiyanti (2007) dalam skripsinya yang berjudul Kesantunan Imperatif dalam Interaksi antara Santri Putri Pompes Sunan Drajat Banjarnyar Paciran Lamongan Jawa Timur. Membahas tentang wujud pemakaian kesantunan imperatif dan makna dasar imperatif yang digunakan dalam interaksi antarsantri putri pondok pesantren sunan drajat banjarnyar paciran Lamongan. Terdapat dua wujud pemakaian kesantunan imperatif pada pesantren tersebut menjadi wujud imperatif dan kesantunan imperatif. Bentuk imperatif santri terhadap ustadzah dan pengurus dipastikan tidak ada. Salah satu faktornya adalah norma-norma di santri untuk selalu hormat kepada ustadzah dan pengurus mengingat status mereka yang lebih tinggi.

Lasmaina Simarmata (2009) dalam skripsinya yang berjudul Kesantunan Imperatif dalam Bahasa Simalungun yang membicarakan tentang kesantunan nilai imperatif dan wujud imperatif bahasa Simalungun. Dalam bahasa Simalungun terdapat lima bagian nilai komunikatif yaitu; kalimat imperatif permintaan, kalimat imperatif biasa, kalimat imperatif pemberian izin, kalimat

(10)

imperatif ajakan, kalimat imperatif suruhan. Terdapat dua wujud imperatif dalam bahasa Simalungun yaitu wujud formal imperatif dan wujud pragmatik.

Khairina Nasution (2008) dalam jurnal ilmiah ilmu bahasa yang berjudul Tindak Tutur dan Kesantunan dalam Bahasa Mandailing. Menyimpulkan bahwa dalam bertindak tutur masyarakat Mandailing tetap menjaga kesantunannya sesuai dengan budaya yang ditanamkan kepada masyarakatnya. Untuk mendukung kesantunan tersebut, terdapat dua prinsip umum kesantunan dalam berinteraksi sosial yaitu; (1) kesantunan positif dan (2) kesantunan negatif. Seseorang yang dikaitkan memiliki kesantunan positif apabila ia memiliki siasat bertutur yang menggambarkan adanya solidaritas dengan pendengarnya dan kesantunan negatif merujuk kepada tuturan yang orientasinya menyelamatkan muka negatif orang lain.

Berdasarkan beberapa sumber di atas, maka dapat dijadikan sebagai sumber sejumlah data yang relevan dan berhubungan dengan penelitian kesantunan imperatif BBT karena hasil penelitian sebelumya dapat menjadi informasi bagi peneliti untuk memperoleh analisis yang lebih lengkap dengan menggunakan teori tindak tutur, kesantunan berbahasa, konteks situasi, dan kalimat imperatif. Oleh karena itu, Kesantunan Imperatif dalam BBT sama sekali belum pernah diteliti, dan pada kesempatan ini akan diteliti tentang bagaimanakah wujud formal kesantunan imperatif dalam BBT dan bagaimanakah wujud pragmatik kesantunan imperatif dalam BBT.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya penelitian yang di keluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3) Bantul yang telah melakukan pendampingan dan

1 Tetap, gedung dan ruangan kantor UPT Uji Mutu Bahan Bangunan dan Perbengkelan saat ini 3.3 UPT Perkantoran Terpadu Perkantoran Terpadu gedung B lantai 2 sisi

Consumer acceptance of electronic commerce: integrating trust and risk with the technology acceptance model. Punya Aplikasi Ini Pembayaran Lebih Praktis Tanpa Perlu

Lokasi penelitian Sapuregel memiliki indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun I dan diduga penyebabnya diduga juga karena stasiun I memiliki rata-rata nilai salinitas yang

• Denda sebesar 50% dari biaya program untuk pembatalan yang dilakukan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal penyelenggaraan.. • Denda sebesar 100% dari biaya program untuk

Penelitian dengan judul “Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Keputusan Pembelian Obat Generik di Apotek SAIYO FARMA Jombang” ini dilakukan untuk mengetahui

Satu hal yang perlu di pertimbangkan pada saat penerapan multi faktor otentikasi di sebuah organisasi adalah bahwa sistem ini masih memiliki beberapa kelemahan yang

Yang bukan termasuk perilaku demokrasi yang perlu dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut .... Memaksakan pendapat dalam