• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN YANG DIBERI POLLARD DENGAN ARAS BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKTIVITAS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN YANG DIBERI POLLARD DENGAN ARAS BERBEDA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN YANG

DIBERI POLLARD DENGAN ARAS BERBEDA

(The Productivity of Thin Tailed Sheep Fed Various Levels of Pollard)

EDY RIANTO,EKO HARYONO danC.M.SRI LESTARI

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRACT

A study was carried out to investigate the effect of pollard supplementation on the productivity of thin tailed sheep (TES). Twelve male TES (aged 12 months, weighed 22.72 ± 2.04 kg) were randomly allocated into 3 groups based on Completely Randomised Design (CRD) with 3 treatments and 4 replications. The treatments applied were levels of pollard supplementation in the diet, i.e. T0: Napier grass without pollard, T1: Napier grass + pollard 1% of body weight (BW), and T2: Napier grass + pollard 2% of BW. The main parameters observed were dry matter (DM) intake and digestibility, liveweight gain (LWG), and feed conversion ratio (FCR). The results showed that supplementation of Napier grass with pollard in the diet significantly (P < 0.05) increased DM intake, but did not significantly (P > 0.05) influenced DM digestibility. The DM intakes of T0, T1 and T2 were 730, 895 and 847 g/d, respectively, while the DM digestibility of T0, T1 and T2 were 58.02; 68.28, and 68.28 %, respectively. These, in turn, increased (P < 0.05) LWG and reduced (P < 0.05) FCR. Live weight gains of T0, T1 and T2 were 15.15; 68.51 and 94.06 g/d, respectively; while the FCR’s were 82.14; 13.13 and 9.19 for T0, T1 and T2, respectively. It was concluded that supplementation of diet with pollard up to 2% of BW was able to increase sheep productivity.

Key Words: Sheep, Pollard, Feed Intake, Liveweight Gain, Feed Conversion

ABSTRAK

Suatu penelitian telah dilaksanakan untuk mengkaji pengaruh pemberian pollard dengan aras yang berbeda dalam pakan terhadap produktivitas domba ekor tipis (DET) jantan. Dua belas ekor domba lokal jantan (umur 12 bulan, bobot 22,72 ± 2,04 kg) dialokasikan secara acak dalam sebuah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 3 perlakuan pakan, dengan 4 ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah aras pemberian pollard sebagai pakan penguat, yaitu: T0: Rumput gajah tanpa pollard, T1: Rumput gajah + pollard 1% dari bobot hidup (BB), dan T2: Rumput gajah + pollard 2% dari BB. Parameter utama yang diamati dalam penelitian ini meliputi konsumsi dan kecernaan bahan kering (BK), pertambahan bobot hidup harian (PBHH) dan konversi pakan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa aras penambahan pollard dalam pakan secara nyata (P < 0,05) meningkatkan konsumsi BK, tetapi tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kecernaan BK. Hal ini pada akhirnya meningkatkan (P < 0,05) PBHH dan menurunkan (P < 0,05) konversi pakan. Rata-rata konsumsi BK pada T0, T1 dan T2 secara berturut-turut adalah 730, 895 dan 847 g/hari. Kecernaan BK pada T0, T1 dan T2 masing-masing adalah 58,02; 68,28, dan 68,28%. PBHH pada T0, T1 dan T2 berturut-turut adalah 15,15; 68,51 dan 94,06 g. Konversi pakan pada T0, T1 dan T2 adalah 82,14; 13,13 dan 9,19. Disimpulkan bahwa penambahan pollard dalam ransum sampai 2% dari bobot hidup dapat meningkatkan konsumsi pakan, kecernaan pakan, PBHH dan menurunkan konversi pakan.

Kata Kunci: Domba, Pollard, Konsumsi Pakan, Pertambahan Bobot Hidup, Konversi Pakan

PENDAHULUAN

Ternak domba pada umumnya masih dipelihara secara tradisional dengan hanya memberikan rumput sebagai pakannya,

perlu diberi bahan pakan tambahan, sebagai sumber energi dan protein.

Salah satu bahan pakan tambahan yang memiliki nilai gizi tinggi dengan harga yang relatif murah, tidak membahayakan bagi ternak

(2)

sampingan dari perusahaan penghasil tepung terigu. Pollard mengandung 88,4% bahan kering (BK), dan dalam 100% BK pollard mengandung 17,0% protein kasar (PK), 8,8% serat kasar (SK), 5,1% lemak kasar (LK), 45% bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan 24,1% Abu (HARTADI et al., 1993).

Efisiensi penggunaan pollard sebagai pakan ternak dapat dilihat dari nilai konversi, yaitu kemampuan tubuh ternak untuk mengubah nutrisi dalam pakan yang dimakan untuk menghasilkan produknya, dalam hal ini pertumbuhan atau pertambahan bobot hidup. Semakin kecil nilai konversi pakan maka semakin efisien pemanfatan bahan pakan oleh ternak (CAMPBELL dan LASLEY, 1985).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pemberian pollard dengan aras yang berbeda dalam pakan terhadap produktivitas domba lokal yang diukur dari pertambahan bobot hidup, konsumsi BK, konsumsi bahan organik (BO), kecernaan BK, kecernaan BO dan konversi pakan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa informasi bagi peternak maupun praktisi di bidang peternakan tentang potensi pemanfaatan pollard sebagai pakan tambahan pengganti konsentrat untuk pakan domba lokal.

MATERI DAN METODE

Materi yang digunakan dalam penelitian ini berupa 12 ekor DET jantan yang berumur sekitar 12 bulan, dengan rata-rata bobot hidup awal 22,72 ± 2,04 kg (CV = 8,97%). Domba-domba tersebut ditempatkan di dalam kandang

individual model panggung yang dilengkapi dengan palaka dan tempat air minum. Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang dilayukan sebagai pakan basal, dan pollard sebagai pakan tambahan. Kandungan gizi bahan pakan penelitian terdapat pada Tabel 1.

Rancangan percobaan

Penelitian ini menggunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari 3 perlakuan dengan 4 ulangan, sehingga secara keseluruhan terdapat 12 unit percobaan. Perlakuan yang diterapkan adalah:

T0 : Rumput gajah (ad libitum), tanpa pollard T1 : Rumput gajah (ad libitum) dan pollard

sebanyak 1% dari bobot hidup

T2 : Rumput gajah (ad libitum) dan pollard sebanyak 2% dari bobot hidup.

Prosedur penelitian

Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu tahap adaptasi (1 minggu), tahap pendahuluan (1 minggu) dan tahap perlakuan (11 minggu). Selama tahap adaptasi, domba diberi pakan penelitian secara bertahap untuk membiasakan mengkonsumsi pakan penelitian. Pada tahap ini domba juga diberi obat cacing merk “Vermiprazol” untuk menghilangkan parasit cacing di tubuh ternak domba.

Tabel 1. Kandungan zat gizi bahan pakan penelitian

Kandungan zat gizi dalam 100% BK

Bahan pakan BK Abu PK LK SK BETN (%) ---% BK--- Rumput Gajah 58,05 17,12 13,12 4,98 31,05 33,73 Pollard 88,67 3,73 18,71 6,92 4,76 65,88 BK = Bahan Kering PK = Protein Kasar LK = Lemak Kasar SK = Serat Kasar

(3)

Pada tahap pendahuluan dilakukan pengacakan perlakuan pada ternak dan penempatan ternak di dalam kandang. Pakan yang diberikan pada tahap ini sesuai dengan perlakuan pakan yang dicobakan, dengan tujuan untuk menghilangkan pengaruh pakan sebelumnya. Pollard diberikan 2 kali sehari yaitu pada pukul 07.00 dan 14.00 WIB. Rumput gajah diberikan secara ad libitum (2 jam setelah pemberian pollard). Air minum juga diberikan secara ad libitum.

Selama tahap perlakuan dilakukan penimbangan dan pemberian pakan setiap pagi dan penimbangan sisa pakan pada pagi hari berikutnya. Penimbangan domba dilakukan seminggu sekali untuk mengetahui perkembangan bobot hidup domba tersebut. Pada minggu ke tiga perlakuan dilakukan penampungan feses untuk perhitungan kecernaan.

Parameter penelitian

Parameter yang diamati dalam penelitian adalah konsumsi dan kecernaan BK dan BO, konsumsi “Total Digestible Nutrient” (TDN), pertambahan bobot hidup harian (PBHH) dan konversi pakan. Konsumsi BK pakan harian dihitung dari selisih jumlah pakan yang diberikan dengan jumlah pakan yang tersisa, kemudian dikalikan kadar BK kering masing-masing bahan pakan. Konsumsi BO organik dihitung dengan mengalikan konsumsi bahan BK pakan dengan kandungan BO pakan. Kecernaan dihitung dengan mencari selisih antara jumlah zat pakan yang dikonsumsi dengan zat pakan dalam feses kemudian dibagi jumlah konsumsi zat pakan dikalikan 100%. Cara yang sama digunakan untuk menghitung kecernaan PK, LK, SK dan BETN (TILLMAN

et al., 1998). Konsumsi protein dapat dicerna

(Prdd) dihitung dengan mengalikan persentase kecernaan PK dengan jumlah konsumsi protein total selama perlakuan (11 minggu), formula tersebut juga sama untuk menghitung konsumsi SK dd, LK dd dan BETN dd. Nilai TDN ransum dalam persen diperoleh dari rumus berikut:

TDN = Kecernaan PK x dd + SK dd + BETN dd + (2,25 x LK dd)

dimana:

PK dd = protein kasar dapat dicerna SK dd = serat kasar dapat dicerna BETN dd = bahan ekstrak tanpa nitrogen

dapat dicerna

LK dd = lemak kasar dapat dicerna Pertambahan bobot hidup harian diperoleh dari selisih bobot hidup akhir dan bobot hidup awal dibagi lamanya periode perlakuan. Konversi pakan dihitung dari perbandingan antara konsumsi bahan kering pakan harian dengan pertambahan bobot hidup harian.

Analisis data

Data yang diperoleh dalam penelitian diuji analisis ragam. Jika hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan, maka dilakukan Uji Wilayah Ganda Duncan dengan taraf signifikan 5% dan 1% (STEEL dan TORRIE, 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada minggu ke-8 salah satu domba T0 mati, sehingga pada akhir penelitian T0 hanya mempunyai 3 ulangan.

Konsumsi pakan

Rata-rata konsumsi BK, bahan organik (BO), TDN dan protein kasar (PK) pakan domba penelitian secara lengkap ditampilkan pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan dalam hal konsumsi BK total (P < 0,05) dan konsumsi BO (P < 0,01). Konsumsi BK dan BO pada T1 dan T2 lebih tinggi dibandingkan dengan T0, tetapi antara T1 dan T2 tidak berbeda nyata (P > 0,05). Peningkatan konsumsi BK dan BO pada T1 dan T2 kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya kecernaan dan peningkatan kandungan protein pakan (KEMPTON et al., 1977; ELLIS et al., 1988; MCDONALD et al., 1988). Pemberian pollard mengakibatkan meningkatnya kecernaan BK dan BO pakan secara keseluruhan (Tabel 3), meskipun secara

(4)

statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05). Peningkatan kecernaan menyebabkan digesta cepat terserap ke dalam tubuh melalui dinding usus, sehingga saluran pencernaan cepat menjadi kosong kembali, dan akibat selanjutnya adalah ternak cepat merasa lapar dan meningkatkan konsumsi pakannya.

Penambahan pollard pada T1 dan T2 juga telah menyebabkan peningkatan kandungan PK ransum, dan konsumsi PK, dibandingkan dengan T0 (Tabel 2). Protein pakan bagi ruminansia dapat dibagi menjadi 2 jenis (ARC, 1980), yaitu protein yang terdegradasi didalam rumen (RDP, rumen degradable protein) dan protein yang tidak terdegradasi (UDP, udgraded protein). Peningkatan RDP dalam ransum akan menyebabkan meningkatnya ketersediaan nitrogen untuk sintesis protein mikroba rumen, sehingga populasi dan akrivitas mikroba rumen meningkat, dan akibat selanjutnya adalah meningkatnya kecernaan pakan (KEMPTON et al., 1977; ELLIS et al., 1988; MCDONALD et al., 1988). Sementara itu, peningkatan kandungan UDP dalam pakan akan meningkatkan nafsu makan dan daya tampung saluran pencernaan, sehingga konsumsi pakan meningkat meskipun kecernaan tidak mengalami peningkatan (EGAN, 1965a; EGAN, 1965b; POOS et al., 1979). Tidak adanya perbedaan nyata (P > 0,05) dalam konsumsi BK total antara T1 dan

T2 (Tabel 2) menunjukkan bahwa peningkatan penambahan pollard dari 1% menjadi 2% bobot hidup tidak berpengaruh terhadap aktivitas mikroba rumen maupun selera makan ternak.

Persentase konsumsi BK harian terhadap rata-rata bobot hidup domba selama penelitian adalah 3,14% pada T0; 3,33% pada T1 dan 3,44% pada T2. Persentase konsumsi BK ini sudah mencapai kisaran kebutuhan BK domba jantan yang digemukkan seperti disarankan oleh RANJHAN (1981), yaitu sekitar 3 – 5% dari bobot hidup. Persentase BK terhadap bobot hidup ini juga sesuai dengan pernyataan KEARL (1982), bahwa kebutuhan BK pada domba adalah sekitar 3,3 – 3,6 dari bobot hidup, serta kisaran yang dinyatakan GATENBY

(1986), bahwa kebutuhan tersebut adalah kurang lebih 3% dari bobot hidup.

Rata-rata konsumsi BO pada T0 sangat nyata (P < 0,01) lebih rendah daripada konsumsi BO pada T1 dan T2, sedangkan antara T1 dan T2 tidak berbeda nyata (P > 0,05). Hal ini terjadi karena adanya perbedaan konsumsi BK pakan. Secara kuantitatif, konsumsi BK domba yang diberi pollard lebih banyak dibanding dengan tanpa pollard. Semakin tinggi konsumsi BK, semakin tinggi pula konsumsi nutrien yang terkandung didalam ransum (TILLMAN et al., 1998).

Tabel 2. Rata-rata konsumsi Bahan Kering (BK)Total, BK rumput Gajah, BK Pollard, Bahan Organik (BO)

Total, “Total Digestible Nutrients” (TDN) dan Protein Kasar (PK) Perlakuan Parameter

T0 T1 T2

--- g/ekor/hari ---

Konsumsi BK total 730a 895b 847b

Konsumsi BK rumput Gajah 730A 633B 378C

Konsumsi BK Pollard 0 262 469

Konsumsi BO total 605A 762B 764B

Konsumsi TDN 405a 584b 567b

Konsumsi PK total 96A 132B 137B

Superskrip dengan huruf besar berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01)

(5)

Konsumsi bahan kering hijauan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan pollard memberikan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01) terhadap konsumsi BK hijauan. Konsumsi BK hijauan pada T0, T1 dan T2 masing-masing adalah 730 g, 633 g dan 378 g/hari. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pollard memberikan efek substitusi sebagian terhadap BK hijauan, dan sebagian lagi bersifat suplementatif (Tabel 2). Penambahan pollard ini mengakibatkan konsumsi BK hijauan berkurang, tetapi konsumsi BK secara keseluruhan meningkat. Hal ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan (RIANTO et al., 2001), bahwa perbedaaan konsumsi hijauan antara lain dipengaruhi oleh adanya pakan tambahan.

Kemungkinan terjadinya penurunan konsumsi BK hijauan juga diduga disebabkan oleh adanya faktor pembatas konsumsi, yaitu kandungan energi dalam pakan. Pollard mengandung energi tinggi yang menyebabkan efek kenyang. Hal ini sesuai dengan pernyataan ARORA (1995) bahwa kandungan energi yang tinggi dalam pollard, menyebabkan tingginya kadar glukose dalam darah, yang dapat menimbulkan efek kenyang, sehingga ternak akan berhenti makan.

Konsumsi TDN

Konsumsi TDN rata-rata pada T0, T1 dan T2 dapat dilihat pada Tabel 2. Penambahan pollard meningkatkan secara nyata (P < 0,05) konsumsi TDN. Konsumsi TDN T1 dan T2 lebih tinggi dibanding T0. Hal ini disebabkan konsumsi dan kecernaan BK pada T1 dan T2 lebih tinggi dibanding T0. Konsumsi TDN pada T1 dan T2 dalam penelitian ini sudah mencukupi kebutuhan untuk target pertambahan bobot hidup 100g/hari menurut KEARL (1982); sementara konsumsi TDN pada T0 belum memenuhi kebutuhan untuk target pertambahan bobot hidup sebesar 100 g/hari. Dinyatakan oleh KEARL (1982) bahwa domba dengan bobot hidup 20 – 25 kg dengan target pertambahan bobot hidup 100 g/hari, membutuhkan TDN sebesar 470 – 550 g.

Kecernaan pakan

Rata-rata kecernaan BK dan BO pakan dapat dilihat pada Tabel 3. Rata-rata kecernaan BK pakan pada perlakuan T0 lebih rendah dibanding dengan perlakuan T1 dan T2, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05). Penambahan pollard ke dalam ransum mengakibatkan meningkatnya kecernaan PK (P < 0,05), LK dan BETN (P < 0,01), tetapi mengakibatkan penurunan kecernaan SK, meskipun secara statistik tidak nyata (P > 0,05). Kecernaan PK, LK, dan BETN pada T1 dan T2 nyata (P < 0,05) lebih tinggi daripada T0 (Tabel 3). Hal ini disebabkan pakan T0 hanya terdiri dari hijauan saja. Hijauan merupakan bahan pakan yang mengandung SK tinggi yang didalamnya terkandung lignin tinggi, yang menyebabkan nutrisi pakan yang terkandung didalamnya sulit untuk dicerna oleh enzim pencernaan (MCDONALD et al., 1988; ANGGORODI, 1994).

Penambahan pollard dalam ransum telah mengakibatkan meningkatnya konsumsi BK, sehingga laju digesta di dalam saluran pencernaan juga meningkat. Hal inilah kemungkinan yang menyebabkan kecernaan BK pada T1 dan T2 tidak jauh berbeda dari T0, meskipun kandungan SK pada T1 dan T2 lebih rendah daripada T0. Kecernaan pakan dipengaruhi antara lain oleh kandungan SK ransum dan tingkat konsumsi ransum. Semakin tinggi kandungan SK ransum semakin rendah kecernaannya, karena lignin yang keberadaannya di dalam pakan sangat terkait dengan SK menghalangi proses pencernaan nutrien. Semakin tinggi tingkat konsumsi menyebabkan laju digesta di dalam saluran pencernaan semakin tinggi, sehingga waktu yang tersedia bagi enzim untuk menyerang nutrien menjadi terbatas, dan pada akhirnya kecernaan pakan menjadi menurun.

Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05), kecernaan SK pada T1 dan T2 lebih rendah daripada T0. Penambahan pollard pada T1 dan T2 diduga menyebabkan mikroba rumen banyak memanfaatkan karbohidrat pollard yang lebih mudah difermentasikan, sehingga selulosa dan hemiselulosa yang keberadaannya banyak

(6)

Tabel 3. Rata-rata kecernaan (BK) dan (BO) pakan

Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)

Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01)

PK = Protein Kasar, SK = Serat Kasar, LK = Lemak Kasar, BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

terikat dengan lignin (MCDONALD, 1988; ANGGORODI, 1994) tidak banyak mengalami proses pencernaan. Hal lain yang mungkin ikut berpengaruh adalah kenyataan menurunnya pH rumen pada T1 dan T2 dibanding pada T0. Hal ini menyebabkan aktivitas mikroba rumen pada T1 dan T2 juga menurun, sehingga proses fermentasi SK di dalam rumen menjadi ikut terganggu.

Pertambahan Bobot Hidup Harian

Rata-rata PBHH domba ditampilkan pada Tabel 4. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa PBHH domba antar perlakuan berbeda sangat nyata (P < 0,01). Perbedaan PBHH antar perlakuan, diduga disebabkan oleh adanya perbedaan konsumsi BK dan PK pakan. Konsumsi BK dan PK pakan ini digunakan tubuh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, dan selebihnya disimpan dalam bentuk bobot hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat PARAKKASI (1995), bahwa PBHH dipengaruhi oleh konsumsi pakan, semakin tinggi bahan

kering yang dikonsumsi oleh domba, semakin tinggi pula pertambahan bobot hidupnya.

Ternak yang mendapat pakan dengan penambahan pollard (T1 dan T2), menunjukkan PBHH yang sangat nyata (P < 0,01) lebih tinggi (22,11%) daripada domba perlakuan T0. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi dan kecernaan BK (Tabel 2 dan 3) pada T1 dan T2, meskipun kecernaan BK tersebut secara statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05).

Penambahan pollard telah meningkatkan suplai nutrisi yang dibutuhkan untuk pertambahan bobot hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan WILLIAMSON dan PAYNE

(1993), bahwa pertambahan bobot hidup terjadi apabila ternak mampu mengubah zat-zat makanan yang diperoleh menjadi produk ternak, seperti lemak dan daging setelah kebutuhan pokok hidup terpenuhi. Domba yang hanya mendapat pakan berupa rumput gajah saja (T0), mempunyai tingkat PBHH yang rendah, karena kandungan nutrisinya tidak cukup untuk berproduksi maksimal.

Tabel 4. Rata-rata Pertambahan Bobot Hidup Harian dan konversi pakan

Perlakuan Parameter

T0 T1 T2

PBHH (g/ekor/hari) 15,15A 68,51B 94,06C

Konversi pakan 82,14A 13,13B 9,19B

Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat Perlakuan Kecernaan T0 T1 T2 ---%--- BK Total 58,02a 68,28a 66,13a BO Total 60,81a 69,99a 71,13a PK 73,19a 79,09b 78,56b SK 68,33a 68,35a 55,55a LK 80,56A 88,64B 86,37B BETN 46,15A 66,02B 68,00B

(7)

Pertambahan bobot hidup harian T2 sangat nyata (P < 0,01) lebih tinggi (72,84%) daripada T1, sementara konsumsi BK, TDN dan PK tidak berbeda nyata (P > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa angka manfaat protein (Protein Value) yang dikonsumsi T2, lebih tinggi daripada T1. Hal ini sesuai dengan pernyataan VAN SOEST (1994), bahwa nilai manfaat protein antara lain dipengaruhi oleh komposisi asam amino. Oleh karena itu dapat diduga, bahwa komposisi asam amino pollard lebih baik dibanding rumput gajah.

Pertambahan bobot hidup harian pada T1 dan T2 lebih tinggi dibanding hasil penelitian RIANTO et al. (2006), yang hanya mampu memberikan PBHH sebesar 44,46 g/ekor/hari. Hal ini mungkin terjadi karena penggunaan bahan pakan yang berbeda. Penelitian ini menggunakan pollard yang merupakan bahan pakan sumber energi dengan kadar SK rendah (4,76%), sedangkan penelitian RIANTO et al. (2006) menggunakan dedak padi dengan kadar SK tinggi (28,31%). Hal ini menunjukkan bahwa pollard, kualitasnya lebih baik dibanding dedak padi, dengan kandungan SK yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan WILLIAMSON dan PAYNE (1993) serta ANGGORODI (1994), bahwa pakan yang berkualitas baik akan berpengaruh positif terhadap pertambahan bobot hidup. Kedua penelitian menggunakan bangsa, umur dan bobot hidup yang hampir sama, oleh karena itu dapat disimpulkan, bahwa perbedaan PBHH tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan kualitas pakan. Penelitian RIANTO et al. (2006) menggunakan domba yang berumur sekitar 12 bulan dengan rata-rata bobot hidup awal 20,95 kg, sedangkan penelitian ini menggunakan domba umur 12 bulan dengan bobot hidup awal rata-rata 22,72 kg. Hijauan yang digunakan sama, yaitu rumput gajah, tetapi kandungan gizinya berbeda. Kandungan PK hijauan dan dedak padi pada penelitian RIANTO

et al. (2006) masing-masing adalah 7,65% dan

10,49%, sedangkan dalam penelitian ini kandungan PK hijauan dan pollard masing-masing adalah 13,12% dan 18,71%.

Pertambahan bobot hidup pada penelitian ini masih dibawah harapan. Merujuk pada rekomendasi KEARL (1982), maka PBHH domba T1 dan T2 diharapkan mencapai 100 g/hari. Beberapa penelitian serupa sebelumnya

rekomendasi dengan kenyataan (RIANTO et al.,

2001; BULU et al. 2004; OKTARINA et al., 2004; RIANTO et al. 2004; RIANTO et al., 2006). Oleh karena itu, perlu adanya standar pemberian pakan dan kebutuhan nutrisi bagi ternak di Indonesia.

Konversi pakan

Rata-rata konversi pakan domba penelitian, ditampilkan pada Tabel 4. Hasil analisis ragam menunjukkan, bahwa konversi pakan antar perlakuan, berbeda sangat nyata (P < 0,01). Nilai konversi pakan semakin kecil, seiring dengan penambahan pollard dalam pakan. Hal ini berarti, bahwa penambahan pollard telah berhasil meningkatkan efisiensi teknis-biologis, karena mampu memperkecil jumlah pakan yang dibutuhkan untuk mendapatkan PBHH yang sama.

Nilai konversi pakan terbaik dicapai pada perlakuan T2 (9,19) dibanding dengan perlakuan T0 (82,14) dan T1 (13,13). Nilai konversi penelitian ini lebih kecil dibanding hasil penelitian WIDHARTO et al. (2005) yang mendapatkan konversi pakan sebesar 12,54 pada domba yang diberi rumput Gajah ad

libitum dan konsentrat sebesar 2% dari bobot

hidup. Hal ini diduga terjadi karena kandungan nutrisi ransum pada penelitian ini lebih baik daripada ransum yang digunakan oleh WIDHARTO et al. (2005). Kandungan protein yang tinggi dan SK yang rendah merupakan salah satu keunggulan pollard, sehingga ternak dapat memanfaatkan pakan dengan efisien untuk di konversi menjadi PBHH. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan CAMPBELL dan LASLEY (1985), bahwa konversi pakan antara lain dipengaruhi oleh kecernaan pakan dan kecukupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, pertumbuhan dan fungsi-fungsi tubuh yang lain.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pemberian rumput gajah sebagai pakan tunggal hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan PBHH domba yang rendah. Penggunaan pollard dengan aras sampai 2% dari bobot hidup dapat meningkatkan

(8)

Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengkaji penggunaan pollard sebagai komponen konsentrat pada domba yang digemukkan secara intensif, dalam upaya meningkatkan produktivitas domba sebagai penghasil daging.

DAFTAR PUSTAKA

ANGGORODI, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-5. PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.

ARORA, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Cetakan ke-2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (diterjemahkan

oleh B. Srigandono).

BULU, S., SUGIYONO, H. CAHYANTO, E. RIANTO, D.H. REKSOWARDOJO dan A. PURNOMOADI. 2004. Pengaruh aras pemberian ampas tahu kering terhadap pemanfaatan protein pakan pada Domba Ekor Tipis jantan. J.

Pengembangan Peternakan Tropis. 29(4):

213 – 219.

CAMPBELL,J.R. dan J.F.LASLEY. 1985. The Science of Animal that Served Humanity. 3rd Ed. McGraw-Hill Inc., New York.

EGAN, A.E. 1965a. Nutritional status and intake regulation in sheep: II. The influence of sustained duodenal infusions of casein or urea upon voluntary intake of low-protein roughage by sheep. Aust. J. Agric. Res. 16: 4451 – 4462. EGAN, A.E. 1965b. Nutritional status and intake

regulation in sheep: III. The relationship between improvement of nitrogen status and increase in voluntary intake of low-protein roughage by sheep. Aust. J. agric. Res. 16: 463 – 472.

ELLIS, W.C., M.J. WYLIE dan J.H. MATIS. 1988. Dietary interaction determining the feeding value of forages and roughages. In: World Animal Science: B.4. Feed Science. Orskov, E.R. (Ed). Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam.

GATENBY, R.M. 1986. Sheep Production in the Tropics and Sub Tropics. 1st Ed. Longman Inc., New York.

HARTADI, H., S. REKSOHADIPRODJO dan A.D. TILMAN. 1993. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan ke-3. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuffs Utah Agriculture Experiment Station. 1st Ed. Utah State University, Logan.

KEMPTON, T.J.,J.V. NOLAN dan R.A.LENG. 197. Principles for the use of non-protein nitrogen and by-pass proteins in the diet of ruminants.

World Anim. Rev. 22: 2 – 10.

MC DONALD, P., R.A. EDWARDS dan J.F.D. GREENHALGH. 1988. Animal Nutrition. 4th Ed. Longman Scientific and Technical, New York. OKTARINA,K.,E.RIANTO, R.ADIWINARTI dan A.

PURNOMOADI. 2004. Retensi protein pada Domba Ekor Tipis jantan yang mendapat pakan penguat dedak padi dengan aras yang berbeda. J. Pengembangan Peternakan Tropis

Spec. Ed. Oktober 2004. Buku I. hlm. 110 –

115.

POOS, M.I., L.S. BULL dan R.W. HEMKEN. 1979. Supplementation of diets with positive and negarive urea fermentation potential using urea or soybean meal. J. Anim. Sci. 49: 1417 – 1426.

RANJHAN, S.K. 1981. Animal Nutrition in the Tropics. 3rd Ed. Vicas Publishing House PVT Ltd, New Delhi.

RIANTO,E.,E.LINDASARI dan E.PURBOWATI. 2006. Proporsi daging, tulang dan lemak karkas Domba Ekor Tipis jantan yang mendapat pakan tambahan dedak padi dengan aras yang berbeda. J. Livestock Prod. 8(1): 28 – 33. Rianto, E., E. Purbowati, dan R. Adiwinarti. 2001.

Penampilan Produksi Domba Lokal yang Mendapat Pakan Tambahan Ampas Tahu Kering. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang (Laporan Penelitian). Rianto, E., M. Budiharto dan M. Arifin. 2004.

Proporsi daging, tulang dan lemak karkas Domba Ekor Tipis jantan akibat pemberian ampas tahu dengan aras yang berbeda. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Buku I. Puslitbang Peternakan,Bogor. hlm. 309 – 313. STEEL,R.G.D. dan J.H.TORRIE. 1991. Prinsip dan

Prosedur Statistika. Edisi ke-2. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (diterjemahkan oleh B. Sumantri).

TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPROJO dan S. LEDOSUKOJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

(9)

VAN SOEST,P.J. 1994. Nutritional Ecology of the Ruminant. 2nd Ed. Cornell University Press, London.

WIDHARTO, D., E. RIANTO dan A. PURNOMOADI. 2005. Lumpur Bahinol sebagai Penyusun Ransum Konsentrat Pakan Domba. Caraka

Tani XX(2): 84 – 86.

WILLIAMSON, G. dan W.J.A. PAYNE. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi ke-3. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (diterjemahkan oleh S.G.N.D. Darmadja).

Referensi

Dokumen terkait

Sama halnya seperti yang terjadi kepada keseluruhan informan, walaupun mereka menyaksikan sinetron dengan adegan yang sama, yaitu aksi-aksi yang terkesan negatif

Interaksi antara intensitas dan dosis pemberian pupuk organik berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman 46-60 HSPT, diameter batang pada 46-60 HSPT, jumlah daun pada

Banyak bangsa asing yang kagum dan ingin untuk mempelajarinya, salah satu kebudayaan Indonesia yang telah mendunia adalah batik.. Batik

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak etanol kulit buah semangka merah berbiji terhadap bakteri Staphylococcus aureus pada konsentrasi 30 mg/mL dengan diameter daerah

[r]

Sedangkan batu gerinda dengan metode perekatan celup memiliki nilai impak yang lebih baik dari pada batu gerinda dengan metode perekat noncelup. Meskipun hanya memiliki selisih

Umur simpan sari buah diduga dengan menghitung selisih skor awal produk dan skor pada saat produk tidak disukai dibagi dengan laju penurunan mutu (k) pada suhu

Kawasan Berikat adalah suatu bangunan, tempat atau kawasan dengan batas-batas tertentu yan didalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan,