• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Lokasi Kompleks Gunung Guntur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Lokasi Kompleks Gunung Guntur"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

I.1.1 Lokasi Kompleks Gunung Guntur

Daerah penelitian meliputi Kompleks Gunung Guntur terdiri dari Kaldera Pangkalan atau Kamojang, Kaldera Gandapura, dan puncak-puncak di sekitar Gunung Guntur. Gunung Guntur merupakan produk termuda teraktif di Kompleks Gunung Guntur dan merupakan gunungapi andesitik bertipe strato. Puncaknya terletak pada koordinat 7o8’52,8” LS dan 107o50’34,8” BT. Secara administratif Kompleks Gunung Guntur terletak di Kabupaten Garut sekitar 35 km di tenggara Kota Bandung (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Lokasi Gunung Guntur yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat dan sekitar 35 km di tenggara Kota Bandung.

Kompleks Gunung Guntur merupakan kompleks besar gunungapi yang dibentuk oleh beberapa kerucut, kawah, dan kaldera (Matahelemual, 1989). Kerucut, kawah, dan kaldera merupakan pusat-pusat kegiatan vulkanik di masa lalu. Kompleks Gunung Guntur mempunyai dua kaldera (kawah besar), yaitu: (i) Kaldera Pangkalan/Kamojang yang lebih tua merupakan daerah kerja PLTU Panas Bumi

(2)

2

Kamojang, terletak di sebelah barat; dan (ii) Kaldera Gandapura yang lebih muda, terletak di sebelah timur.

Gambar 1.2 Gunung Guntur merupakan gunungapi andesitik bertipe strato, di sebelah kirinya adalah Gunung Putri, dan di sebelah kanan adalah lereng selatan Gunung Picung dan Pasir Cileungsi.

Gambar 1.3. Kaldera, kawah, dan kerucut masing-masing ditandai oleh bulatan besar, kecil, dan kecil dengan tanda tambah di kompleks Gunung Guntur yang merepresentasikan pusat-pusat letusan dimasa lalu.

(3)

3

Posisi kerucut dan kawah satu terhadap yang lain di dalam kompleks Gunung Guntur ada yang membentuk pola melingkar dan ada pula membentuk pola lurus. Pola melingkar ditunjukkan oleh Gunung Kancing, Kawah Cakra, Kawah Kamojang, Kawah Pojok, dan Gunung Gajah yang mengelilingi Kaldera Gandapura. Pola lurus yang berarah barat laut tenggara ditunjukkan oleh Gunung Masigit, Gunung Sangiangburuan, Gunung Parupuyan, Gunung Kabuyutan, dan Gunung Guntur. Pola lurus lainnya berarah barat timur dibentuk pula oleh Gunung Batususun, Gunung Agung, dan Gunung Picung (Gambar 1.3).

Dalam kurun waktu 300 tahun (1600−1900) telah terjadi letusan besar sebanyak 22 kali. Letusan pertama tercatat pada tahun 1690 dan letusan terakhir tahun 1847. Dari tahun 1750−1850 atau selang waktu 100 tahun frekuensi erupsi sangat tinggi yang didominasi oleh erupsi eksplosif. Erupsi paling besar terjadi tahun 1840, aliran lava menerobos dari kawah Puncak Guntur mencapai Cipanas (sekarang merupakan salah satu daerah tujuan wisata Kabupaten Garut) sejauh 3 km dalam arah tenggara dan lemparan bom-bom vulkanik mencapai Kota Garut (10 km dari puncak) (Kusumadinata, 1979). Selang waktu terpendek antara dua letusan adalah 1 tahun dan terpanjang 87 tahun. Sejak letusan terakhir sampai sekarang sudah 162 tahun Gunung Guntur belum mengalami erupsi.

Sekarang kegiatan permukaan Gunung Guntur berupa tembusan solfatara dan fumarola pada kawah puncak yang lebih muda seperti Kabuyutan, Parupuyan, dan Sangiangburuan. Solfatara dan fumarola juga dijumpai di kaldera tua Pangkalan (Kamojang).

Untuk mitigasi letusan Gunung Guntur telah dilakukan pemantauan secara menerus sejak tahun 1985 menggunakan satu stasiun gempa analog dan sejak tahun 1994 kegiatan Gunung Guntur dipantau menggunakan jaringan gempa mikro digital yang dipasang di sekitar Kompleks Guntur hasil kerja sama Direktorat Vulkanologi (sekarang Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) dengan Sakurajima Volcano Observatory (Kyoto University, Jepang). Penanda waktu jaringan gempa digital ini dikalibrasi oleh waktu internasional menggunakan Global Positioning

System (GPS) dan semua data gempa dikirim dan didigitalisasi di Pos Pengamatan

(4)

4

I.1.2 Studi Tomografi Seismik Terdahulu

Tomografi seismik telah dikembangkan sejak tiga dekade terakhir di bidang tektonik global. Publikasi pertama tentang tomografi seismik ditulis oleh Aki dan Lee (1976). Sejak itu berbagai tulisan mengenai tomografi seismik mulai bermunculan yang disebabkan oleh kehandalan dari metoda ini dalam mendeliniasi model anomali 3-D di bawah permukaan bumi. Dalam perkembangannya, tomografi seismik telah terbukti merupakan alat atau metoda baru yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan seismotektonik global (Inoue et al., 1990; Widiyantoro et al., 1998), regional (Puspito et al., 1993; Widiyantoro dan Van der Hilst, 1997) maupun lokal (Thurber, 1983; Masturyono et al., 2001) dengan baik. Awal millennium kedua dalam waktu yang hampir bersamaan beberapa peneliti telah berhasil mengembangkan tomografi seismik dengan pendekatan non-linier secara terpisah (Bijwaard dan Spakman, 2000; Widiyantoro et al., 2000). Hasil kedua kolompok peneliti ini memperkuat penelitian sebelumnya yaitu tomografi seismik dengan pendekatan non-linier memperlihatkan citra struktur kecepatan 3-D di dalam bumi yang lebih tajam.

Keberhasilan metoda ini di bidang tektonik global, regional, dan lokal dicoba diterapkan pada daerah yang lebih sempit seperti daerah gunungapi. Pada saat ini studi tomografi seismik di daerah gunungapi sudah mulai banyak dilakukan menggunakan metoda waktu tunda gelombang P dan S kemudian dikembangkan model tomografi atenuasi, atenuasi adalah kebalikan daripada Q-factor. Q-Factor merupakan kemampuan suatu medium dalam meloloskan energi gelombang atau Q-1 merupakan kemampuan suatu medium meredam energi gelombang yang lewat. Sifat fisika medium ini sangat erat hubungannya dengan karakteristik material batuan yang dilewati oleh gelombang seismik. Oleh karena itu pencitraan dengan menggunakan teknik tomografi atenuasi seismik diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai keberadaan materi panas yang berkaitan dengan dapur magma.

Studi tomografi seismik di gunungapi aktif di Indonesia mulai dirintis tahun 2002 di Gunungapi Guntur menggunakan waktu tunda gelombang P dengan pendekatan linear (Suantika, 2002 dan Suantika dan Widyantoro, 2003). Kemudian studi tomografi lebih lanjut menggunakan waktu tunda gelombang P dan S dengan pendekatan non-linear dilanjutkan tahun 2005 (Nugraha, 2005). Tahun berikutnya

(5)

5

studi tomografi di Gunung Guntur dilanjutkan menggunakan atenuasi gelombang P dan S menggunakan metoda dan data dalam selang waktu yang berbeda-beda (Adiwiarta, 2007, Tambunan, 2007, Puspasari, 2008, dan Sedayo, 2008).

I.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian

Tujuan penelitian adalah mencari gambaran struktur 3-D bawah permukaan berdasarkan daerah-daerah anomali kecepatan dan anomali atenuasi di bawah permukaan Kompleks Gunung Guntur dengan menggunakan metoda tomografi seismik.

Metoda tomografi seismik memerlukan sumber sinar gelombang dan stasiun penerima. Sumber sinar menggunakan gelombang gempa-gempa vulkanik atau gempa mikro yang terjadi di Kompleks Guntur akibat kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik regional. Stasiun penerima adalah stasiun gempa yang dipasang mengelilingi tubuh gunungapi. Langkah pertama dalam penelitian ini mencari solusi tomografi menggunakan metoda delay time baik menggunakan gelombang P maupun gelombang S. Langkah selanjutnya adalah mengembangkan tomografi atenuasi menggunakan metoda spectral fitting dan spectral ratio gelombang P dan gelombang S sehingga gambaran bawah permukaan yang satu terhadap yang lainnya dapat dibandingkan. Data penelitian terdiri dari data kegempaan Kompleks Guntur dari tahun 1995 sampai tahun 2007.

I.3 Hipotesa, Asumsi, dan Kebaruan Penelitian

Waktu istirahat Gunungapi Guntur sampai sekarang sudah melewati perioda terpanjangnya tetapi kegempaannya cukup tinggi. Diperkirakan Gunung Guntur menyimpan energi cukup besar di dalam kantong magma dan sewaktu-waktu energi ini dapat dibebaskan dalam bentuk erupsi. Gambaran kantong magma atau struktur bawah permukaan suatu gunungapi dan perubahannya terhadap waktu sangat penting dalam penanganan mitigasi bencana gunungapi. Selama ini sistem kantong magma atau struktur bawah permukaan gunungapi diperkirakan melalui studi geologi (petrologi), sistem hidrotermal (analisa kimia air dan gas gunungapi), geofisika (anomali gravitasi, anomali geomagnet, dan anomali geolistrik), seismologi (distribusi hiposenter dan mekanisme sumber), dan deformasi (lokasi pressure source).

(6)

6

Berkaitan dengan hasil studi di atas maka studi tomografi seismik di kompleks Gunungapi Guntur bertitik tolak pada dugaan atau hipotesa sebagai berikut:

1. Pusat-pusat gempa ini biasanya terjadi di sekitar kantong magma panas atau pusat-pusat gempa ini merupakan daerah hancuran dengan heterogenitas batuan yang tinggi dan secara fisis bersifat tidak kompak. Akibat kondisi ini maka gelombang seismik yang lewat akan mengalami pelambatan dan peredaman (atenuasi), sehingga daerah anomali yang mencerminkan kantong magma, daerah panas, atau daerah lemah kemungkinan dapat dicitrakan secara lebih jelas melalui tomografi waktu tunda dan atenuasi baik menggunakan gelombang P maupun S.

2. Dampak berantai keberhasilan studi ini adalah sifat fisis (physical

properties) daerah anomali akan dapat diketahui.

3. Informasi sifat fisis anomali secara berkala diharapkan dapat berguna di dalam pemantauan dan peringatan dini tingkat kegiatan Gunungapi Guntur.

Pencitraan tomografi gelombang P dan S dibuat berdasarkan parameterisasi daerah penelitian ke dalam elemen volume yang cukup kecil dan interval waktu pengamatan sumber gempa yang cukup lama, sehingga dalam studi ini dapat diasumsikan sebagai berikut:

1. Sifat fisis medium di dalam satu elemen volume dianggap sama.

2. Selama penelitian dilakukan dianggap bahwa tidak terjadi migrasi magma secara besar-besaran ke permukaan atau tidak terjadi perubahan secara mencolok pada dimensi struktur bawah permukaan akibat kegiatan tektonik.

Gambaran bawah permukaan gunungapi dari studi terdahulu sangat diperlukan dalam vulkanologi dan dalam praktek penanganan suatu erupsi gunungapi. Semua model di atas dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam pengambilan keputusan mitigasi bencana gunungapi. Oleh karena itu penelitian ini telah menghasilkan beberapa kebaruan (novelty) dalam hal mengungkap daerah lemah bawah permukaan gunungapi dan penerapannya dalam pemantauan gunungapi di masa mendatang, sebagai berikut:

(7)

7

1. Gambaran anomali yang mencerminkan daerah panas atau struktur lemah bawah permukaan menggunakan tomografi seismik (waktu tunda dan atenuasi gelombang P dan S) akan memberikan citra lebih jelas dan akan memperkaya model-model struktur bawah permukaan dan sistem kantong magma terdahulu.

2. Dukungan teknologi dalam pengumpulan data kegempaan di daerah gunungapi akan memungkinkan dilakukan perhitungan tomografi secara cepat. Akibatnya adalah informasi perubahan terhadap waktu pada sifat fisis anomali atau perubahan dimensi anomali yang mencerminkan migrasi magma ke permukaan saat peningkatan kegiatan gunungapi akan dapat diikuti sehingga peringatan dini dalam mitigasi bencana erupsi gunungapi dapat dilakukan lebih akurat.

I.4 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian tomografi Kompleks Gunung Guntur secara garis besarnya terdiri dari beberapa tahap dan secara ringkas metodologi studi tomografi seismik di Kompleks Gunung Guntur dapat ditampilkan dalam bagan alir seperti dalam Gambar 1.4. Tahap metodologi penelitian adalah sebagai berikut,

1. Pengambilan dan pengumpulan data gempa vulkanik atau gempa mikro. 2. Pembacaan waktu tiba gelombang P (tp) dan S (ts).

3. Koreksi waktu tiba gelombang P dan S. 4. Analisa spektral gelombang P dan S.

5. Perhitungan waktu tempuh gelombang P dan gelombang S terbobot menggunakan metoda spectral fitting.

6. Perhitungan perbedaan waktu tempuh terbobot antara gelombang S dengan gelombang P melalui spectral ratio.

7. Koreksi waktu tiba gelombang P dan S, perhitungan waktu gempa (t0) dan

perhitungan rasio Vp/Vs melalui regresi linier data ts-tp dengan tp dari

semua stasiun.

8. Penentuan hiposenter menggunakan metoda bola.

(8)

8

Gambar 1.4. Bagan alir metodologi studi tomografi seismik di kompleks Gunung Guntur. Kotak berwarna menunjukkan model tomogram.

Pengumpulan data gempa vulkanik atau gempa mikro Pembacaan tp dan ts Koreksi tp dan ts x0,y0,z0 (metoda bola) t0 dan Vp/Vs (regresi linier) tp* dan ts* (spectral fitting) ts*-tp* (spectral ratio) x0,y0,z0,t0

(metoda grid search)

Model Vp dan Vs

(metoda refraksi)

Tp, Ts, dan dli

(pseudo bending ray

tracing) dVp, dVs (inversi LSQR) Tomogram dVp dan dVs Tomogram Qp-1 dan Qs-1 (spectral fitting) Tomogram Qp-1 dan Qs-1 (spectral ratio) Tomogram Vp/Vs ratio Tomogram Poisson’s ratio Tomogram Bulk Sound Velocity Tomogram Shear Wave Velocity Qp-1 dan Qs-1 (inversi LSQR) Qp-1 dan Qs-1 (inversi LSQR) Analisa Spektral P dan S

(9)

9

10.Parameterisasi daerah penelitian ke dalam elemen volume yang sesuai dengan distribusi stasiun dan pusat gempa, yaitu 2x2x2 km3.

11.Perhitungan model kecepatan.

12.Perhitungan waktu tempuh dari pusat gempa ke stasiun penerima dan perhitungan panjang lintasan gelombang di setiap elemen volume menggunakan metoda ray tracing.

13. Perhitungan inversi tomografi waktu tunda gelombang P dan S mengunakan metoda least square (LSQR).

14. Perhitungan inversi tomografi atenuasi gelombang P dan S melalui

spectral fitting dan spectral ratio mengunakan metoda least square

(LSQR).

I.5 Sistematika Disertasi

Untuk memudahkan menggunakan disertasi ini maka sistematika pembahasan disertasi terdiri dari bab pendahuluan yaitu bab pertama yang membahas tentang lokasi dan kondisi daerah penelitian, kemudian membahas keberhasilan metoda tomografi seismik pertama kali di dalam mengungkap gambaran struktur bawah permukaan bumi dan tinjauan studi tomografi di daerah gunungapi. Dalam subbab berikutnya membahas mengenai tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, hipotesa, asumsi, kebaruan, metodologi penelitian, dan sistematika disertasi.

Bab kedua membahas tentang tatanan geologi regional dan tatanan geologi Kompleks Gunung Guntur. Pembahasan dititikberatkan pada fisiografi atau morfologi, stratigrafi, dan tatanan tektonik di daerah penelitian dan di regional sekitarnya.

Bab ketiga membahas tentang semua landasan teori yang digunakan dalam penelitian tomografi terdiri dari teori ray tracing untuk menghitung waktu tempuh minimal dari sumber ke penerima, cara mengkoreksi data waktu tiba gelombang P dan S, perhitungan waktu gempa dan Vp/Vs rasio, perhitungan hiposenter

mengunakan metoda bola dan grid search, penurunan model kecepatan, perhitungan waktu tempuh terbobot menggunakan analisa spektral metoda spectral fitting dan

(10)

10

hubungan kontanta elastisitas dengan kecepatan gelombang P dan S, dan hubungan antara lama gempa dengan magnituda gempa.

Bab keempat dibahas mengenai sebaran stasiun dan hiposenter, ray covery daerah penelitian, parameterisasi daerah penelitian, check board test untuk menguji kestabilan program tomografi.

Bab kelima membahas tentang hasil inversi tomografi menggunakan ketiga metoda yaitu waktu tunda, atenuasi spectral fitting, dan atenuasi spectral ratio baik menggunakan gelombang P maupun S. Di sini juga dibahas model tomografi yang diturunkan dari model tomografi gelombang P dan S seperti Vp/Vs ratio, Poisson’s

ratio, bulk sound velocity, dan shear wave velocity.

Bab keenam membahas tentang anomali bawah permukaan, interpretasi tomogram kaitannya antara anomali dengan struktur bawah permukaan Kompleks Guntur, sifat fisis anomali, dan aplikasi hasil penelitian tomografi di bidang pemantauan kegiatan gunungapi.

Bab ketujuh merupakan bab terakhir yang menyimpulkan hasil-hasil penelitian dan membahas saran-saran dalam penggunaan hasil penelitian dan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyempurnakan hasil penelitian lebih lanjut.

Gambar

Gambar 1.1  Lokasi Gunung Guntur yang terletak di Kabupaten Garut,  Jawa Barat dan sekitar 35 km di tenggara Kota Bandung
Gambar 1.2  Gunung Guntur merupakan gunungapi andesitik bertipe strato, di  sebelah kirinya adalah Gunung Putri, dan di sebelah kanan adalah  lereng selatan Gunung Picung dan Pasir Cileungsi
Gambar 1.4.  Bagan  alir  metodologi  studi  tomografi  seismik  di  kompleks  Gunung Guntur

Referensi

Dokumen terkait

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar

Perbandingan distribusi severitas antara yang menggunakan KDE dengan yang menggunakan suatu model distribusi tertentu dilakukan untuk melihat secara visual, manakah dari

61 Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa dilema yang Jepang alami pada saat pengambilan keputusan untuk berkomitmen pada Protokol Kyoto adalah karena

2011 sangat memberi peluang optimalisasi diplomasi Indonesia dalam berperan memecahkan berbagai masalah yang ada baik di dalam negeri maupun di dalam kawasan

menganalisis, memproses dan mengorganisasikan data tersebut.. Peserta didik menyusun perkiraan dari hasil analisis yang dilakukan. Sampaikan poin-poin pembelajaran utama yang

Alat penghubung geser tersebut menghasilkan interaksi yang diperlukan untuk aksi komposit antara balok baja profil dan pelat beton, yang sebelumnya hanya menghasilkan lekatan

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah virus Covid-19 adalah dengan menerapkan perilaku Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di mana dalam penerapannya

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul