• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Pada zaman dahulu, jembatan dibuat untuk menyeberangi sungai kecil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Pada zaman dahulu, jembatan dibuat untuk menyeberangi sungai kecil"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Jembatan

II.1.1 Perkembangan Jembatan

Jembatan dikatakan sebagai peralatan yang tertua di dalam peradaban manusia. Pada zaman dahulu, jembatan dibuat untuk menyeberangi sungai kecil dengan menggunakan balok kayu atau batang pohon yang besar dan kuat. Menurut Degrand, jembatan pertama sekali tercatat pernah dibangun di sungai Nil oleh raja Manes dari Mesir pada tahun 2650 SM. Suatu deskripsi jembatan kayu yang dibangun Ratu Semiwaris dari Babilonis yang melintasi sungai Efhrat pada tahun 783 SM juga pernah disusun oleh Diodrons Siculus.

Jembatan ini berlantai kayu, dan bertumpu pada pier dari batu. Lantai kayu ini dapat dipindahkan atau digeser pada malam hari untuk mencegah pencuri memasuki kota. Jembatan terapung, yang terbuat dari rangkaian perahu untuk menyeberangkan tentara pada masa-masa perang pernah dibangun oleh raja Alexander dari Cyprus pad tahun 556 SM. Jembatan kayu digunakan telah lama, disebabkan materialnya banyak, dan pelaksanaannya mudah.

Perkembangan Jembatan semakin maju, antara lain dikarenakan penemuan-penemuan material yang baru antara lain kayu atau batu digabungkan dengan besi. Jembatan pelengkung beton yang pertama dibangun pada tahun 1776 melintas sungai Severn di Inggris. Belakangan pada tahun 1824 jembatan gelagar baja dibangun pada jalan kereta api Dublin Drogheda.

(2)

Jembatan beton hanya digunakan untuk bentuk pelengkung, karena tidak kuat menahan tegangan tarik. Dengan penemuan baja pada tahun 1825, masa pembangunan jembatan modern dimulai. Pada tahun 1964, dibangunlah suatu jembatan yang terpanjang di dunia pada saat itu, yaitu Jembatan Verazano di New York - USA dengan bentang total adalah 2038 meter, dengan bentang utama adalah 1298 meter. Di banyak negara, jembatan umumnya dibuat dari beton bertulang, walaupun mulai digantikan oleh beton pratekan.

II.1.2 Pengertiaan Jembatan

Berdasarkan UU 38 Tahun 2004 bahwa jalan dan juga termasuk jembatan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan yang dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah.

Konstruksi jembatan adalah suatu konstruksi bangunan pelengkap sarana trasportasi jalan yang menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang dapat dilintasi oleh sesuatu benda bergerak misalnya suatu lintas yang terputus akibat suatu rintangan atau sebab lainnya, dengan cara melompati rintangan tersebut tanpa menimbun / menutup rintangan itu dan apabila jembatan terputus maka lalu lintas akan terhenti. Lintas tersebut bisa merupakan jalan kendaraan, jalan kereta api atau jalan pejalan kaki, sedangkan rintangan tersebut dapat berupa jalan kenderaan, jalan kereta api, sungai, lintasan air, lembah atau jurang.

Jembatan juga merupakan suatu bangunan pelengkap prasarana lalu lintas darat dengan konstruksi terdiri dari pondasi, struktur bangunan bawah dan struktur

(3)

bangunan atas, yang menghubungkan dua ujung jalan yang terputus akibat bentuk rintangan melalui konstruksi struktur bangunan atas.

Jembatan adalah jenis bangunan yang apabila akan dilakukan perubahan konstruksi, tidak dapat dimodifikasi secara mudah, biaya yang diperlukan relatif mahal dan berpengaruh pada kelancaran lalu lintas pada saat pelaksanaan pekerjaan. Jembatan dibangun dengan umur rencana 100 tahun untuk jembatan besar, minimum jembatan dapat digunakan 50 tahun. Ini berarti, disamping kekuatan dan kemampuan untuk melayani beban lalu lintas, perlu diperhatikan juga bagaimana pemeliharaan jembatan yang baik.

Karena perkembangan lalu lintas yang ada relatip besar, jembatan yang dibangun, biasanya dalam beberapa tahun tidak mampu lagi menampung volume lalu lintas, sehingga biasanya perlu diadakan pelebaran. Untuk memudahkan pelebaran perlu disiapkan desain dari seluruh jembatan sehingga dimungkinkan dilakukan pelebaran dikemudian hari, sehingga pelebaran dapat dilaksanakan dengan biaya yang murah dan konstruksi menjadi mudah.

Pada saat pelaksanaan konstruksi jembatan harus dilakukan pengawasan dan pengujian yang tepat untuk memastikan bahwa seluruh pekerjaan dapat diselesaikan, sesuai dengan tahapan pekerjaan yang benar dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku, sehingga dicapai pelaksanaan yang efektif dan efisien, biaya dan mutu serta waktu yang telah ditentukan.

(4)

II.1.3 Klasifikasi Jembatan

Ditinjau dari berbagai aspek, maka jembatan diklasifikasikan atas : 1. Ditinjau dari material yang digunakan, jembatan bisa dibedakan, yakni :

a. Jembatan Kayu

b. Jembatan Gelagar Baja c. Jembatan Beton Bertulang d. Jembatan Komposit e. Jembatan Beton Prategang

Jembatan Khusus, misalnya jembatan dimana mutu bahannya berbeda untuk konstruksi utama dan sekunder / jembatan gelagar baja pratekan.

2. Ditinjau dari bentuk struktur konstruksi, jembatan bisa dibedakan ,yakni : a. Jembatan batang kayu (Log bridge)

b. Jembatan gelagar biasa (Beam bridge) c. Jembatan portal (Rigid frame bridge) d. Jembatan penyangga (Cantilever bridge)

e. Jembatan lengkung atau portal (Compression arch bridge)

Gambar II.1 Berbagai Tipe Jembatan Pelengkung

(5)

f. Jembatan gantung (Suspension bridge)

Gambar II.2 Jembatan Gantung

(Sumber: Chen & Duan, 2000)

g. Jembatan kerangka (Truss bridge)

h. Jembatan kabel penahan (Cable-stayed bridge)

Gambar II.3 Jenis Jembatan Kabel Tarik (a) jembatan bentang dua dengan angker tanah dan

(b) jembatan bentang tiga dengan pendukung antara di sisi bentang

(Sumber: Chen & Duan, 2000)

i. Jembatan gelagar I segmental beton atau beton pra tekan

Jembatan gelagar sederhana merupakan suatu jembatan, yang konstruksi utama (bagian atas) terdiri dari beberapa buah gelagar, yang dikonstruksikan dan diletakkan di atas dua buah tumpuan atau perletakkan dengan anggapan satu sendi dan satu rol. Pada bagian bawah gelagar dibuat beberapa buah profil melintang dan menyilang yang berfungsi sebagai penyatu gelagar. Pada bagian atas diletakkan papan lantai jembatan dan kemudian dilapisi dengan aspal.

(6)

Gambar II.4 Jembatan Gelagar I segmental panjang 20 m

j. Jembatan baja berdinding penuh (Plat girder bridge)

3. Ditinjau dari statika konstruksi, jembatan bisa dibedakan antara lain :

Berdasarkan analisa struktur (statika konstruksi) maka jembatan dapat di bagi atas dua bagian yaitu :

a. Jembatan statis tertentu b. Jembatan statis tak tertentu

4. Ditinjau dari fungsi atau kegunaannya, jembatan bisa dibedakan antara lain :

a. Jembatan untuk lalu lintas kereta api (railway bridge)

b. Jembatan untuk lalu lintas biasa atau umum (highway bridge) c. Jembatan untuk pejalan kaki (foot path)

d. Jembatan berfungsi ganda, misalnya untuk lalu lintas kereta api dan mobil, untuk lalu lintas umum dan air minum, dan sebagainya.

e. Jembatan khusus, misalnya untuk pipa-pipa air minum, pengairan, pipa gas, jembatan militer dan lain-lain.

(7)

5. Ditinjau menurut sifat-sifatnya, jembatan bisa dibedakan antara lain :

a. Jembatan sementara atau darurat b. Jembatan tetap atau permanen

c. Jembatan bergerak, yaitu jembatan yang dapat digerakkan misalnya agar penyeberangan kapal-kapal di sungai tidak terganggu.

6. Ditinjau menurut letak atau posisinya, jembatan bisa dibedakan antara lain : a. Jembatan di atas saluran sungai, saluran irigasi atau drainase

b. Jembatan di atas perairan (Aquaduct) c. Jembatan di atas lembah

d. Jembatan di atas jalan yang sudah ada (Viaduct)

7. Ditinjau menurut letak lantainya, jembatan bisa dibedakan antara lain :

a. Jembatan dengan lantai kenderaan di bawah b. Jembatan dengan lantai kenderaan di atas c. Jembatan dengan lantai kenderaan di tengah

d. Jembatan lantai kenderaan di atas dan bawah (Double deck bridge)

Gambar II.5 Jembatan Box Girder Beton Menerus Kelas-A, Jawa Barat, 1979. Bentang utama 132 meter dua sisi simetris 45 meter (total 222 meter)

(8)

II.1.4 Dasar Pemilihan Tipe Jembatan

Banyak beberapa faktor yang menentukan tipe dari jembatan yang akan dibangun agar bangunan yang akan dibangun efisien dan ekononis. Adapun faktor tersebut antara lain :

II.1.4.a Keadaan Struktur Tanah Pondasi

Untuk tanah pondasi lunak adalah kurang cocok bila dibuat suatu jembatan pelengkung, mengingat gaya horizontal yang besar dan memerlukan pondasi tiang pancang miring, yang sulit dilaksanakan. Untuk tanah keras atau batu cadas yang menghubungkan jurang yang dalam, sangat cocok bila dibangun jembatan pelengkung. Selain itu juga sangat cocok di bangun di pegunungan yang memiliki tanah pendasar atau pondasi yang curam. Dengan adanya gaya horizontal pada pondasi, maka gaya geser vertikal pada tanah pondasi bisa diimbangi oleh gaya horizontal, sehingga bahaya longsoran dapat dikurangi.

II.1.4.b Faktor Peralatan dan Tenaga Teknis

Perencanaan jembatan gelagar sederhana, tidak memerlukan keahlian khusus dalam bidang tertentu. Peralatan berat harus dipikirkan dalam perencanaan sebuah jembatan beton yang dicor di tempat lain. Jembatan beton pratekan (pre-cast) dengan bentang 20 meter, yang akan dibangun di daerah pedalaman atau pegunungan tentunya kurang relevan karena akan sulit dalam pengangkutan dan pelaksanaannya yang akan melalui jalan berliku.

II.1.4.c Faktor Bahan dan Lokasi

Ada kalanya di sungai tertentu, bila akan dibangun jembatan, dijumpai banyak sekali batu kerikil yang baik untuk beton dan juga pasir dan batu koral yang

(9)

bermutu tinggi. Di sana mungkin akan sangat ekonomis bila jembatan di buat dari beton bertulang, pondasi dari pasangan batu koral dan sebagainya.

Di daerah pantai laut, dimana udara sekeliling mengandung garam, maka perlu dipertimbangkan pemakaian konstruksi baja apakah masih sesuai mengingat faktor perkaratan.

II.1.4.d Faktor Lingkungan

Sebaiknya bentuk jembatan harmonis dengan sekitarnya, agar indah dipandang. Ketentraman bathin menentukan dalam ruang gerak kehidupan manusia. Bentuk dan warna alam sekitar mempengaruhi ketentraman jiwa.

Selain faktor di atas, maka perlu dipertimbangkan prinsip pemilihan konstruksi jembatan, sebagai berikut :

1. Konstruksi Sederhana (bisa dikerjakan masyarakat) 2. Harga Murah (manfaatkan material lokal)

3. Kuat & Tahan Lama (mampu menerima beban lalin) 4. Perawatan Mudah & Murah (bisa dilakukan masyarakat) 5. Stabil & Mampu Menahan Gerusan Air

6. Bentang yang direncanakan adalah yang terpendek 7. Perencanaan abutment yang dihindari terlalu tinggi.

Tipe jembatan umumnya ditentukan oleh faktor seperti beban yang direncanakan, kondisi geografi sekitar, jalur lintasan dan lebarnya, panjang dan bentang jembatan, estetika, persyaratan ruang di bawah jembatan, transportasi material konstruksi, prosedur pendirian, biaya dan masa pembangunan. Tabel II.1 berikut menunjukkan aplikasi panjang bentang beberapa tipe jembatan.

(10)

Tabel II.1 Tipe Jembatan dan Aplikasi Panjang Jembatan No Tipe Jembatan Panjang Bentang

( m ) Contoh Jembatan dan Panjangnya 1 Gelagar Beton Prestress 10 - 300 Stolmasundet, Norwegia, 301 m

2 Gelagar Baja I / Kotak 15 - 376 Jembatan Stalassa, Itali, 376 m 3 Rangka Baja 40 - 550 Quebec, Canada, 549 m 4 Baja Lengkung 50 - 550 Shanghai Lupu, China, 550 m

5 Beton Lengkung 40 - 425 Wan Xian, China, 425 m (pipa baja berisi beton) 6 Kabel Tarik 110 - 1100 Sutong, China, 1088 m

7 Gantung 150 - 2000 Akaski-Kaikyo, Jepang, 1991 m

II.1.5 Bagian Struktur Jembatan

Elemen struktur jembatan sebenarnya dapat dibedakan menjadi bagian atas (super-structure) dan bagian bawah (sub-structure). Bangunan bawah jembatan menyalurkan beban dari bangunan atas jembatan ke tapak atau pondasi.

Gambar II.6 Tipikal Struktur Jembatan

(Sumber: Chen & Duan, 2000)

Struktur jembatan bagian atas dipakai untuk melintasi aliran air, jalur rel, ataupun jalur jalan yang lain. Struktur jembatan tidak harus memotong aliran air atau alur lainnya secara tegak lurus, tetapi juga boleh secara serong (skew), baik ke kanan, maupun ke kiri. Alinemen jalan yang lebih baik akan menghasilkan biaya operasi kendaraan dan waktu perjalanan yang lebih kecil, yang dapat mengimbangi tambahan biaya struktur jembatan serong (skew).

(11)

II.1.5.a Struktur Bangunan Atas Jembatan (Upper/Super-Structure)

Adalah bagian dari struktur jembatan yang secara langsung menahan beban yang ditimbulkan oleh lalu lintas orang, kenderaan dan lain-lain, untuk selanjutnya disalurkan kepada bangunan bawah jembatan; bagian-bagian pada struktur bangunan atas jembatan terdiri atas struktur utama, sistem lantai, sistem perletakan, sambungan siar muai dan perlengkapan lainnya seperti bangunan pengaman jembatan dan oprit jembatan; struktur utama bangunan atas jembatan dapat berbentuk pelat, gelagar, sistem rangka, gantung, jembatan kabel (cable stayed) atau pelengkung.

Oprit-jembatan merupakan timbunan tanah di belakang abutment, timbunan

tanah ini dibuat sepadat mungkin, untuk menghindari terjadinya penurunan (settlement) yang tidak disukai bagi pengendara. Apabila terjadi penurunan atau kerusakkan pada hubungan ekspansi yang merupakan bidang pertemuan antara bangunan atas dengan abutment, maka pemadatan harus dibuat maksimum dan di atasnya dipasang plat injak di belakang abutment.

II.1.5.b Struktur Bangunan Bawah Jembatan (Sub-Structure)

Adalah bagian dari struktur jembatan yang umumnya terletak di sebelah bawah bangunan atas dengan fungsi untuk menerima dan memikul beban dari bangunan atas agar dapat disalurkan kepada pondasi. Bangunan bawah dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu kepala jembatan (abutment) atau pilar (pier) dan pondasi untuk kepala jembatan atau pilar. Struktur bangunan bawah perlu didesain khusus sesuai dengan jenis kekuatan tanah dasar dan elevasi jembatan.

(12)

II.2 Gelagar Beton Prategang II.2.1 Pengertian Beton Prategang

Beton adalah meterial yang kuat terhadap kondisi tekan, akan tetapi material yang lemah terhadap kondisi tarik. Kuat tarik beton bervariasi mulai dari 8 sampai 14 persen dari kuat tekannya. Rendahnya kapasitas tarik beton menimbulkan terjadinya retak lentur pada taraf pembebanan yang masih rendah. Untuk mengurangi atau mencegah berkembangnya retak tersebut, gaya konsentris atau eksentris diberikan dalam arah longitudinal elemen struktural. Gaya ini mencegah berkembangnya retak dengan cara mengeliminasi atau sangat mengurangi tegangan tarik di bagian tumpuan dan daerah kritis pada kondisi beban kerja sehingga dapat meningkatkan kapasitas lentur, geser, dan torsional penampang tersebut. Penampang dapat berperilaku elastis, dan hampir semua kapasitas beton dalam memikul tekan dapat secara efektif dimanfaatkan di seluruh tinggi penampang beton pada saat semua beban bekerja di struktur tersebut

Gaya longitudinal yang diterapkan tersebut di atas disebut gaya prategang, yaitu gaya tekan yang memberikan prategang pada penampang di sepanjang bentang suatu elemen struktural sebelum bekerjanya beban mati dan beban hidup transversal atau beban hidup horizontal transien. Gaya prategang ini berupa tendon yang diberikan tegangan awal sebelum memikul beban kerjanya, yang berfungsi mengurangi atau menghilangkan tegangan tarik pada saat beton mengalami beban kerja, mengantikan tulangan tarik pada struktur beton bertulang biasa.

(13)

Pada beton bertulang biasa, gaya tarik yang berasal dari momen lentur ditahan oleh lekatan yang terjadi antara tulangan dan beton. Akan tetapi, tulangan di dalam komponen struktur beton bertulang tidak memberikan gaya dari dirinya pada komponen struktur tersebut, suatu hal yang berlawanan dengan aksi baja (tendon) prategang yang menghasilkan gaya dari dirinya sehingga memungkinkan pemulihan retak dan defleksi akibat momen lentur tersebut. Pemberian gaya prategang berupa tendon, guna mengurangi atau menghilangkan tegangan tarik, ini yang dikenal sebagi beton prategang.

Beton prategang adalah material yang sangat banyak digunakan dalam kontruksi. Beton prategang pada dasarnya adalah beton di mana tegangan-tegangan internal dengan besar serta distribusi yang sesuai diberikan sedemikian rupa sehingga tegangan-tegangan yang diakibatkan oleh beban-beban luar dilawan sampai suatu tingkat yang diinginkan. Prategang meliputi tambahan gaya tekan pada struktur untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan gaya tarik internal dan dalam hal ini retak pada beton dapat dihilangkan. Pada beton bertulang, prategang pada umumnya diberikan dengan menarik baja tulangan. Gaya tekan disebabkan oleh reaksi baja tulangan yang ditarik, mengakibatkan berkurangnya retak, elemen beton prategang akan jauh lebih kokoh dari elemen beton bertulang biasa. Prategangan juga menyebabkan gaya dalam yang berlawanan dengan gaya luar dan mengurangi atau bahkan menghilangkan lendutan secara signifikan pada struktur.

Beton yang digunkan dalam beton prategang adalah mempunyai kuat tekan yang cukup tinggi dengan nilai f’c min K-300, modulus elastis yang tinggi dan

mengalami rangkak ultimit yang lebih kecil, yang menghasilkan kehilangan prategang yang lebih kecil pada baja. Kuat tekan yang tinggi ini diperlukan untuk

(14)

menahan tegangan tekan pada serat tertekan, pengangkuran tendon, mencegah terjadinya keretakan. Tipikal diagram tegangan-regangan beton dapat dilihat pada gambar II.7. Pemakaian beton berkekuatan tinggi dapat memperkecil dimensi penampang melintang unsur-unsur struktural beton prategang. Dengan berkurangnya berat mati material, maka secara teknis maupun ekonomis bentang yang lebih panjang dapat dilakukan.

Tegangan (Mpa)

Regangan

Gambar II.7 Diagram Tegangan Regangan Pada Beton

Perubahan bentuk pada beton adalah langsung dan tergantung pada waktu. Pada beban tetap, perubahan bentuk bertambah dengan waktu dan jauh lebih besar dibandingkan harga langsungnya. Susut tidak disebabkan oleh tegangan, tetapi merupakan akibat dari hilangnya air dalam proses pengeringan beton, sementara rangkak oleh bekerjanya tegangan. Susut dan rangkak menyebabkan perubahan bentuk aksial, kelengkungan pada penampang, kehilangan tegangan lokal antara beton dan baja, redistribusi aksi internal pada struktur statis tertentu.

(15)

II.2.2 Penggunaan Baja Prategang

Untuk penggunaan pada beban layan yang tinggi, penggunaan baja tulangan (tendon) dan beton mutu tinggi akan lebih efisien. Hanya baja dengan tegangan elastis tinggi yang cocok digunakan pada beton prategang. Penggunaan baja tulangan mutu tinggi bukan saja merupakan suatu keuntungan, tetapi merupakan suatu keharusan. Prategangan akan menghasilkan elemen yang lebih ringan, bentang yang lebih besar dan lebih ekonomis jika ditinjau dari segi pemasangan dibandingkan dengan beton bertulang biasa.

Prategang pada dasarnya merupakan suatu beban yang menimbulkan tegangan dalam awal sebelum pembebanan luar dengan besar dan distribusi tertentu bekerja sehingga tegangan yang dihasilkan dari beban luar dilawan sampai tingkat yang diinginkan. Gaya pratekan dihasilkan dengan menarik kabel tendon yang ditempatkan pada beton dengan alat penarik. Setelah penarikan tendon mencapai gaya/tekanan yang direncanakan, tendon ditahan dengan angkur, agar gaya tarik yang tadi dikerjakan tidak hilang. Penarikan kabel tendon dapat dilakukan baik sebelum beton dicor (pre-tension) atau setelah beton mengeras (post-tension).

Baja (tendon) yang dipakai untuk beton prategang dalam prakteknya ada tiga macam, yaitu :

1. Kawat tunggal (wires), biasanya digunkan untuk baja prategang pada beton prategang dengan system pratarik (pre-tension).

2. Kawat untaian (strand), biasanya digunkan untuk baja prategang pada beton pratengang dengan system pascatarik (post-tension).

3. Kawat batangan (bar), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton prategang dengan system pratarik (pre-tension)

(16)

 Kawat tunggal (wires) (b) Untaian Kawat (strand)

(c) Kawat batangan (bars)

Gambar II.8 Jenis-jenis Baja yang Dipakai Untuk Beton Prategang : (a) Kawat tunggal (wires). (b) Untaian Kawat (strand). (c) Kawat batangan (bars)

(Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)

Kawat tunggal yang dipakai untuk beton prategang adalah yang sesuai dengan dpesifikasi sepeti ASTM A 421; stress-relieved strands mengikuti standar ASTM A 416. Strands terbuat dari tujuh kawat dengan memuntir enam diantaranya pada pich sebesar 12 sampai 16 kali diameter di sekeliling kawat lurus yang sedikit kebih besar. Ukuran dari kawat tunggal bervariasi dengan diameter antara 3 – 8 m, dengan tengangan tarik (fp) antara 1500 – 1700 Mpa dengan modulus elastisitas Ep =

200 x 103 Mpa. Tipikal diagram tegangan-regangan dari ketiga jenis tendon tersebut dapat dilihat pada gambar II.9, gambar II.10, dan gambar II.11.

(17)

Gambar II.9 Diagram Tegangan-Regangan Pada Kawat Tunggal

(Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)

Gambar II.10 Diagram Tegangan-Tegangan Pada Untaian Kawat

(Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)

Gambar II.11 Diagram Tegangan-Regangan Pada Baja Batangan

(18)

Untuk memaksimumkan luas baja strands 7 kawat untuk suatu diameter nominal, kawat standar dapat dibentuk menjadi strands yang dipadatkan seperti pada gambar II.12. Standar ASTM yang disyaratkan masing-masing tercantum pada table II.2.

Gambar II.12 Strands Prategang 7 Kawat Standard dan Dipadatkan. (a) Penampang strand standar. (b) Penampang strand yang dipadatkan

(Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)

Table II.2 Strand Standar Tujuh Kawat Untuk Beton Prategang

Diameter nominal strand (in) Kuat patah strand (min. lb) Luas baja nominal strand (in.2) Berat nominal strand (lb/100 ft)* Beban minimum pada ekstensi 1% (lb) MUTU 250 1/4 (0,250) 9.000 0,036 122 7.650 5/16 (0,313) 14.500 0,058 197 12.300 3/8 (0,375) 20.000 0,080 272 17.000 7/16 (0,438) 27.000 0,108 367 23.000 1/2 (0,500) 36.000 0,144 490 30.600 3/5 (0,600) 54.000 0,216 737 45.900 MUTU 270 3/8 (0,375) 23.000 0,085 290 19.550 7/16 (0,438) 31.000 0,115 390 26.350 1/2 (0,500) 41.300 0,153 520 35.100 3/5 (0,600) 58.600 0,217 740 49.800 * 100.000 psi = 689,5 Mpa 0,1 in = 2,54 mm, 1 in2 = 645

berat: kalikan dengan 1,49 untuk mendapatkan berat dalam kg per 1000 m. 1000 lb = 4448 N

(19)

II.2.3 Prinsip Dasar Prategang

Pemberian gaya prategang, bersama besarnya, ditentukan terutama berdasarkan jenis sistem yang dilaksanakan dan panjang bentang serta kelangsingan yang dikehendaki. Gaya pratengang yang diberikan secara longitudinal di sepanjang atau sejajar dengan sumbu komponen struktur, maka prinsip-prinsip prategang dikenal sebagai pemberian prategang linier.

Gambar II.13 Pinsip-prinsip Prategang Linier dan Melingkar. (a) Pemberian prategang linier pada sederetan blok untuk membentuk balok. (b) Tegangan tekan di

penmpang tengah bentang C dan penampang Atau B. (c) Pemberian prategang melingkar pada gentong kayu dengan pemberian tarik pada pita logam. (d) Prategang

melingkar pada satu papan kayu. (e) Gaya tarik F pada detengah pita logam akibat tekanan internal, yang harus diimbangi oleh prategang melingkar

(20)

Gambar II.13 menjelaskan bahwa aksi pemberian prategang pada kedua sestem structural dan respon tegangan yang dihasilkan. Pada bagian (a), blok-blok beton bekerja bersama sebagai sebuah balok pembarian gaya prategang tekan P. Pada blok-blok tersebut kemungkinan tergelincir pda arah vertical yang mensimulasikan kegagalan gelincir geser, pada kenyataan tidak demikian karena adanya gaya longitudinal P. Dengan cara yang sama, papan-papan kayu di dalam bagian (c) kelihatan dapat terpisah satu sama lain sebagai akibat adanya tekanan yang radial internal yang bekerja padanya. Akan tetapi, karena adanya prategang tekan yang diberikan oleh pita logam sebagai prategang melingkar, papan-papan tersebut tetap menyatu.

II.2.4 Konsep-Konsep Dasar Beton Prategang

Ada tiga konsep yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut :

Konsep pertama, Sistem Prategang Untuk Mengubah Beton Menjadi Bahan

Yang Elastis. Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis. Ini

merupakan sebuah pemikiran dari Eugene Freyssnet yang memvisualisasikan beton prategang yang pada dasarnya adalah beton dari bahan yang getas menjadi bhan yang elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada bahan tersebut. Beban yang tidak mampu menahan tarikan dana kuat memikul tekanan (umumnya dengan baja mutu tinggi yang ditarik) sedemikiaan sehingga beton yang getas dapat memikul tegangan tarik. Dari konsep inilah lahir kriteria “tidak ada tegangan tarik” pada beton. Unumnya telah diketahui bahwa jika tidak ada tegangan

(21)

F/A My/I Mc/I (F/A + Mc/I) (F/A My/I) (F/A - Mc/I)

Akibat Gaya Prategang Akibat Momen Eksternal M Akibat F dan M c.g.c

Tendon Konsentris (Gaya F)

Gaya diberi Prategang dan Dibebani

tarik pada beton, berarti tidak akan terjadi retak, dan beton tidak merupakan bahan yang getas lagi melainkan bahan yang elastis.

Dalam bentuk yang sederhana, ditinjau sebuah balok persegi panjang yang diberi gaya prategang oleh sebuah tendon melalui sumbu yang melalui titik berat dan dibebani oleh gaya eksternal, lihat gambar II.14.

Gambar II.14 Distribusi Tegangan Sepanjang Penampang Beton Prategang Konsentris

(Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)

Gaya partegang F pda tendon menghasilkan gaya tekan F yang sama pada beton yang juga bekerja pada titik berat tendon. Akibatnya gaya prategang tekan secara merata sebesar ) 1 . 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... A F f =

akan timbul pada penampang seluas A. jika M adalah momen eksternal pada penampang akibat beban dan berat sendiri balok, maka tegangan pada setiap titik sepanjang penampang akibat M adalah

(22)

Bagian Balok Prategang P C T P C T Bagian Balok Bertulang

) 2 . 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... I My f =

dimana y adalah jarak dari sumbu yang melalui titik berat dan I adalah momen inersia penampang. Jadi distribusi tegangan yang dihasilkan adalah

) 3 . 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ... I My A F f = ±

Kosep kedua, Sistem Prategang Untuk Kombinasi Baja Mutu Tinggi Dengan

Beton. Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi

(gabungan) dari baja dan beton, seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan beton menahan teknan. Dengan demikian kedua bahan membentuk kopel penahan untuk melawan momen eksternal, gambar II.15. Hal ini merupakan konsep yang mudah. Dengan beton bertulang, dimana baja menahan gaya tarik dan beton menahan gaya tekan, dan kedua gaya membentuk momen kopel dengan memen diantaranya.

Gambar II.15 Momen Penahan Internal Pada Beton Prategang dan Beton Bertulang

(23)

Pada beton bertulang mengalami retak dan lendutan yang besar

Pada beton prategang mengalami retak dan lendutan yang kecil

Pada beton prategang, baja mutu tinggi dipakai dengan cara menariknya sebelum kekuatannya dimanfaatkan sepenuhnya. Jika beton mutu tinggi ditanamkan pada beton, seperti pada beton betulang biasa, beton sekitarnya akan mengalami retak sebelum seluruh kekuatan baja digunkan, Gambar II.16.

Gambar II.16 Balok Beton Menggunakan Baja Mutu Tinggi

(Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)

Konsep ketiga, Sistem Prategang untuk Mencapai Keseimbangan Beban.

Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai suatu usaha untuk membuat seimbang gaya-gaya pada sebuah batang.

Pada keseluruhan desain struktur beton prategang, pengaruh dari prategang dipandang sebagai keseimbangan berat sendiri sehingga batang yang mengalami lenturan seperti pelat (slab), balok, dan gelagar (girder) tidak akan mengalami tegangan lentur pada kondisi pembebanan yang terjadi. Ini memungkinkan transformasi dari batan lentur menjadi batang yang mengalami tegangan langsung dan sangat menyederhanakan persoalan baik didalam desain maupun analisis dan struktur yang rumit.

Penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya yang bekerja pada beton sepanjang

(24)

Tendon Parabola

Beban Merata

Wb h

L

bentang. Sebagai contoh, sebuah balok prategang diatas dua tumpuan (simple beam) dengan tendon berbentuk parabola seperti Gambar II.17.

Gambar II.17 Balok Prategang Dengan Tendon Parabola

(Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)

Jika, F = Gaya Pratengang L = Panjang Bentang H = Tinggi Parabola

Beban yang terdistribusi secara merata kea rah atas dinyatakan dalam

) 4 . 2 .( ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 8 2 L Fh Wb =

Jadi, untuk W yang terdistribusi secara merata ke arah bawah yang diberikan, beban tegak lurus pada balok diimbangi, dan balok hanya dibebani oleh gaya aksial

(25)

II.2.5 Sistem Pratengang dan Pengangkeran

Sehubungan dengan perbedaan system untuk penarikan dan pengangkeran tendon, maka situasinya sedikit membingungkan dalam perancangan dan penerapan beton prategang. Seorang sarjana teknik wsipil harus mempunyai pengetahuan umum mengenai metode-metode yang ada dan mengingatnya pada saat menentukan dimensi komponen struktur, sehingga tendon-tendon dari beberapa sistem dapat ditempatkan dengan baik.

Gambar II.18 Pengangkeran Sistem Pratarik (Pre-tensioning)

(Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)

Berbagai metode dengan nama pratekanan (pre-compression) diberikan pada beton dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Pembangkit gaya tekan antara elemen structural dan tumpuan-tumpuannya dengan pemakaian dongkrak (flat jack).

2. Pengembangan Tekanan Keliling (hoop compression) dalam struktur berbentuk silinder dengan mengulung kawat secara melingkar.

(26)

3. Pemakaian baja yang ditarik secara longitudinal yang ditanam dalam beton atau ditempatkan dalam selongsong.

4. Pemakaian prinsip distorsi suatu struktur statis tak tentu baik dengan perpindahan maupun dengan rotasi satu bagian relatif terhadap bagian lainnya.

5. Pemakaian pemotong baja structural yang dilendutkan dan ditanam dalam beton sampai beton tersebut mengeras.

6. Pengembangan tarikan terbatas pada baja dan tekanan pada beton dengan memakai semen yang mengembang

Gambar II.19 Pengangkeran Sistem Pascatarik (Post-tensioning) dengan Mengunakan jack 1000 ton

(Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)

Metode yang biasa dipakai untuk memberikan parategang pada semen beton strukural adalah dengan menarik baja ke arah longitudinal dengan alat penarik yang berbeda-beda. Prategang dengan menggunakan gaya-gaya langsung diantara

(27)

tumpuan-tumpuan umumnya dipakai pelengkung dan perkerasan, dan dongkrak datar selalu dipakai untuk memberikan gaya-gaya yang diinginkan.

Pengankeran ada 2 macam yaitu : angker mati dan angker hidup. Angker mati adalah angker yang tidak bias dilakukan lagi penarikan setelah penegangan tendon dilakukan. Angker mati sering digunakan dalam prategang dengan sistem pratarik. Sedangkan angker hidup dapat dilakukan penarikan kembali jika hal itu diperlukan. Pegangkeran ini sering dijumpai dalam prategang dengan sistem pasca tarik.

(a)Angker hidup (b) Angker mati. Gambar II.20 Jenis Pengankeran (a) Angker hidup. (b) Angker mati.

(Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)

(28)

II.2.5.a Sistem Pratarik (Pre-tensioning)

Didalam sistem pratarik (Pre-tensioning), tendon lebih dahulu ditarik antara blok-blok angker yang kaku (rigid) yang dicetak diatas tanah atau didalam suatu kolom atau perangkat cetakan pratarik seperti terlihat pada gambar II.22, dan selanjutnya dicor dan dipadatkan sesuai dengan bentuk serta ukuran yang diinginkan. Metode ini digunakan untuk beton-beton pracetak dan biasanya digunakan untuk konstruksi-konstruksi kecil. Beton-beton pracetak biasanya digunakan pada konstruksi-konstruksi bangunan, kolom-kolom gedung, tiang pondasi atau balok dengan bentang yang panjang.

Adapun tahap urutan pengerjaan beton pre-tension adalah sebagai berikut : Kabel tendon dipersiapkan terlebih dahulu pada sebuah angkur yang mati (fixed anchorage) dan sebuah angkur yang hidup (live anchorage). Kemudian live anchorage ditarik dengan dongkrak (jack) sehingga kabel tendon bertambah panjang. Jack biasanya dilengkapi dengan manometer untuk mengetahui besarnya gaya yang ditimbulkan oleh jack. Setelah mencapai gaya yang diinginkan, beton dicor. Setelah beton mencapai umur yang cukup, kabel perlahan-lahan dilepaskan dari kedua angkur dan dipotong. Kabel tendon akan berusaha kembali ke bentuknya semula setelah pertambahan panjang yang diakibatkan oleh penarikan pada awal pelaksanaan. Hal inilah yang menyebabkan adanya gaya tekan internal pada beton. Oleh karena sistem pratarik besandar pada rekatan yang timbul antara baja dan tendon sekelilingnya, hal itu penting bahwa setiap tendon harus merekat sepanjang deluruh panjang badan. Setelah beton mengeras, tendon dilepaskan dari alas prapenarikan dan gaya prategang ditranfer ke beton.

(29)

Gambar II.22 Proses Pengerjaan Beton Pratarik (Pre-tensioning)

(Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)

II.2.5.b Sistem Pascatarik (Post-tensioning)

Kebanyakan pelaksanaan pretensioning dilapangan dilaksanakan dengan metode post-tensioning. Pascatarik dipakai untuk memperkuat bendungan beton, prategang melingkar dari tangki-tangki beton yang besar, serta perisai-perisai biologis dari reactor nuklir. Pascatarik (Post-tensioning) juga banyak digunakan konstruksi beton prategang segmental pada jembatan dengan bentang yang panjang.

Adapun metode dalam pelaksanaan pengerjaan beton pasca tarik

(Post-tensioning) adalah sebagai berikut :

Selongsong kabel tendon dimasukkan dengan posisi yang benar pada cetakan beton beserta atau tanpa tendon dengan salah satu ujungnya diberi angkur hidup dan ujung lainnya angkur mati atau kedua ujungnya dipasang angkur hidup. Beton dicor dan dibiarkan mengeras hingga mencapai umur yang mencukupi. Selanjutnya, dongkrak

(30)

(a) Beton dicor

(b) Tendon ditarik dan gaya tekan ditransfer

(c) Tendon diangkur dan digrouting

hidrolik dipasang pada angkur hidup dan kabel tendon ditarik hingga mencapai tegangan atau gaya yang direncanakan seperti terlihat pada gambar II.23. Untuk mencegah kabel tendon kehilangan tegangan akibat slip pada ujung angkur terdapat baji. Gaya tarik akan berpindah pada beton sebagai gaya tekan internal akibat reaksi angkur.

Gambar II.23 Proses Pengerjaan Beton Pascatarik (Post-tensioning)

(Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)

II.2.5.c Prategang Termo-Listrik

Metode prategang dengan tendon yang dipanaskan, yang dicapai dengan melewatkan aliran listrik pada kawat yang bermutu tinggi, umumnya disebut sebagai “Prategang Termo-Listrik”. Prosesnya terdiri atas pemanasan batang dengan arus listrik sampai temperature 300 – 400 ºC selama 3 – 5 menit. Batang tersebut mengalami perpanjangan kira-kira 0,3 – 0,5 persen. Setelah pendinginan batang tersebut berusaha memperpendek diri ada ini dicegah oleh jepitan angkur pada kedua ujungnya seperti yang ditunjukan dengan gambar II.24. Waktu pendinginan diperhitungkan 12 – 15 menit.

(31)

Blok Ujung Batang Didinginkan Batang Dipanaskan Cetakan Batang setelah Pengangkuran L L = (Ly -Lt > Ly Ly L)

Gambar II.24 Proses Prategang Termo-Listrik

(Sumber: Beton Pratekan, N. Krishna Raju)

II.2.5.d Prategang Secara Kimia

Reaksi kimia dalam semen ekspansif dapat menegangkan baja yang ditanam yang kemudian menekan beton. Hal ini sering disebut dengan penegangan sendiri (self-sressing) atau disebut juga prategang kimiawi.

Bila semen ini digunakan untuk membuat beton dengan baja yang tertanam, maka baja akan mengalami pertambahan panjang sejalan dengan pemgembangan beton tersebut. Oleh karena pengembangan beton dikekang oleh kawat baja bermutu tinggi, maka timbul tegangan tekan pada beton dan kawat baja mengalami tegangan tarik. Karena pemuaian terjadi pada tiga arah, sehingga akan lebih sulit untuk menggunkan system prategang secara kimia pada struktur-struktur yang dicor setempat seperti gedung. Aka tetapi, untuk pipa-pipa tekanan dan perkerasan jalan (pavement), dimana prategang sekurang-kurangnya pada dua arah, sistem prategang kimiawi lebih ekonomis. Hal ini juga berlaku untuk pelat, dinding, dan cangkang.

(32)

II.2.6 Analisa Prategang

Tegangan yang disebabkan oleh prategang umumnya merupakan tegangan kombinasi yang disebabkan oleh beban langsung dan lenturan yang dihasilkan oleh beban yang ditempatkan secara eksentris.

Analisa tegangan-tegangan yang timbul pada suatu elemen struktur beton prategang didasarkan atas asumsi-asumsi berikut :

1. Beton prategang adalah suatu mineral yang elastic serta homogen

2. Didalam batas-batas tegangan kerja, baik beton maupun baja berperilaku elastis, tidak dapat menahan rangkak yang kecil yang terjadi pada kedua material tersebut pada pembebanan terus-menerus.

3. Suatu potongan datar sebelum melentur dianggap tetap datar meskipun sudah mengalami lenturan, yang menyatakan suatu distribusi regangan linier pada keseluruhan tinggi batang.

Selama tegangan tarik tidak melampaui batas modulus keruntuhan beton (yang sesuai dengan tahap retakan yang terlihat pada beton), setiap perubahan dalam pembebanan batang menghasilkan perubahan tegangan pada beton saja, satu-satunya fungsi dari tendon prategang adalah untuk memberikan dan memelihara prategang pada beton.

Tegangan yang disebabkan oleh prategang umumnya merupakan tegangan kombinasi yang disebabkan oleh aksi beban langsung dan lenturan yang dihasilkan oleh beban yang ditempatkan secara eksentris maupun kosentris.

(33)

c.g.c Tendon Konsentris

(Gaya F)

F F

Tegangan = F/A II.2.6.a Tedon Konsentris

Balok beton prategang dengan satu tedon konsentris yang ditunjukan dalam gambar II.25.

Gambar II.25 Prategang Konsentris

(Sumber: Beton Pratekan, N. Krishna Raju)

Gambar di atas menunjukkan sebuah beton prategangan tanpa eksentrisitas, tendon berada pada garis berat beton (cental grafity of concrete,c.g.c). Prategang seragam pada beton = F/A yang berupa tekan pada seluruh tinggi balok. Pada umumnya beban-beban yang dipakai dan beban mati balok menimbulkan tegangan tarik terhadap bidang bagian bawah dan ini diimbangi lebih efektif dengan memakai tendon.

(34)

II.2.6.b Tendon Eksentris

Sebuah balok yang mengalami suatu gaya prategang eksentris sebesar P yang ditempatkan dengan eksentrisitas e. Tendon ditempatkan secara eksentris terhadap titik berat penampang beton. Eksentrisitas tendon akan menambah kemampuan untuk memikul beban eksternal.

F/A = M/W + F.e/W F/A = M/W – F.e/W Resultan Tegangan

Gambar II.27 Distribusi Tegangan Tendon Eksentris

Eksentisitas akan menambah kemampuan untuk menerima/memikul tegangan tarik yang lebih besar lagi (serat bawah).

Prategangan juga menyebabkan perimbangan gaya-gaya dalam komponen beton prategang. Konsep ini terutama terjadi pada beton prategang post-tension.

(35)

Gambar II.28 Gaya-gaya Penyeimbang Beban Pada Tendon Parabola

Tegangan yang ditimbulkan pada serat-serat bagian atas dan bagian bawah balok diperoleh dengan hubungan :

) 5 . 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... 1 2       + =       + = i ey A P Z Pe A P f b b bawah ) 6 . 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... 1 2      + =       − = i ey A P Z Pe A P f t t atas Dimana :

P = Gaya Prategang (positif apabila menghasilkan tekanan langsung)

E = Eksentrsitas gaya prategang

A = Luas potongan melintang batang beton

Zt dan Zb = Momen penampang serat paling atas dan paling bawah

f atas dan f bawah = Prategang pada beton yang ditimbulkan pada serat paling atas dan paling bawah (positif apabila tekan dan negatif apabila tarik)

yt dan yb = Jarak antara serat paling atas dan serat paling bawah

terhadap titik berat panampang

(36)

L

P e P

e + + + =

P/A Pe/Zt Mg/Zt Mq/Zt ( P/A - Pe/Zt + Mg/Zt + Mq )

P/A Pe/Zb Mg/Zt Mq/Zt ( P/A - Pe/Zt + Mg/Zt + Mq )

+ + + + + -- -Penampang melintang Prategang Tegangan

akibat beban mati

Tegangan resultan Tegangan

akibat beban Beban mati dan beban

hidup (g + q)

II.2.6.c Tegangan Resultan pada Suatu Penampang

Balok beton yang diperlihatkan pada gamabar II.29 memikul beban hidup dan mati yang terbagi rata dengan q dan g. Balok diprategangkan dengan suatu tendon lurus yang membawa suatu gaya prategang P dengan eksentrisitas e. Tegangan resultan pada suatu penampang beton diperoleh dengan superposisi pengaruh prategang dan tegangan-tegangan lentur yang ditimbulkan oleh beban-beban tersebut. Jika Mq dan Mg merupakan momen akibat beban-beban hidup dan beban-beban mati pada penampang di tegah bentang.

) 7 . 2 .( ... ... ... ... ... ... ... ... ... 8 , 8 2 2             = qL Mg gL Mq

Gambar II.29 Distribusi Tegangan Balok Prategang dengan Tendon Eksentris Beban mati dan Beban Hidup

(37)

Tegangan-tegangan resultan pada serat-serat beton paling atas dan paling bawah penampang tertentu diperoleh :

) 8 . 2 ...( ... ... ... ... ... ... ...       + +       = t t t atas Z Mq Z Mg Z Pe A P f ) 9 . 2 ...( ... ... ... ... ... ... ...       − −       − = b b b bawah Z Mq Z Mg Z Pe A P f

II.2.7 Kehilangan Prategang

Gaya prategang akan mengalami pengurangan/reduksi saat transfer (jangka pendek) atau saat service (jangka panjang). Kehilangan prategangan saat transfer terjadi sesaat setelah penarikan tendon, sedangkan kehilangan saat service terjadi perlahan-lahan pada saat umur pelayanan dan karena pengaruh waktu.

Kehilangan pada saat transfer berupa :

• Dudukan angkur pada saat penyaluran gaya (slip) • Friksi akibat kelengkungan tendon pada post-tensioning • Perpendekan elastis beton

Kehilangan pada saat service berupa : • Rangkak beton

• Susut beton

• Relaksasi kabel tendon

Kehilangan akibat friksi tendon pada post-tensioning dihitung berdasarkan rumus : = (KlX+µα)

X S P e

(38)

Bila (KlX+μα) tidak lebih besar dari 0,3 maka kehilangan akibat friksi dihitung

sebagai berikut :

PS = PX

(

1+KlX +

µα

)

……….(2.11) Koefisien friksi akibat wobble K dan kelengkungan μ ditentukan secara eksperimental dan harus dibuktikan pada saat penarikan tendon dilakukan. Nilai koefisien friksi akibat wobble K dan kelengkungan μ dapat dilihat pada table II.3 di bawah ini.

Table II.3 Koefisien Friksi Tendon Pasca-tarik

(39)

II.2.8 Pembebanan Jembatan

II.2.8.a Beban dan Aksi yang Bekerja

Pembebanan untuk merencanakan jembatan jalan raya merupakan dasar dalam menentukan beban-beban dan gaya-gaya untuk perhitungan tegangan-tegangan yang terjadi pada setiap bagian jembatan jalan raya. Penggunaan pembebanan ini dimaksudkan agar dapat mencapai perencanaan yang aman dan ekonomis sesuai dengan kondisi setempat, tingkat keperluan, kemampuan pelaksanaan dan syarat teknis lainnya, sehingga proses pelaksanaan dalam perencanaan jembatan menjadi efektif.

II.2.8.b Pembebanan Jembatan di Lapangan Berdasarkan PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987 Pembebanan yang digunakan dalam perencanaan jembatan Sei Belumai (di lapangan) berdasarkan data yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya (PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987) II.2.8.b.1 Beban Primer

Yang termasuk beban primer adalah : • Beban Mati

• Beban Hidup • Beban Kejut

(40)

1. Beban Mati

Dalam menentukan besarnya beban mati tersebut, harus digunakan nilai berat isi untuk bahan-bahan bangunan tersebut dibawah ini :

Tabel II.4 Berat Isi untuk Beban Mati (t/m³) (PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987)

No. Bahan

Berat Bahan per Satuan Isi

(t/m3)

1 Baja tuang 7,85

2 Besi tuang 7,25

3 Aluminium paduan 2,80

4 Beton bertulang/pratekan 2,50 – 2,60

5 Beton biasa, tumbuk, siklop 2,20

6 Pasangan batu/bata 2,00

7 Kayu 1,00

8 Tanah, pasir, kerikil (semua dalam keadaan padat) 2,00

9 Perkerasan jalan beraspal 2,0 – 2,50

10 Air 1,00

Untuk bahan-bahan yang belum disebut di atas, harus diperhitungkan berat isi yang sesungguhnya.

(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)

2. Beban Hidup

2.1 Macam Beban Hidup

Beban hidup pada jembatan yang ditnjau dinyatakan dalam dua macam, yaitu beban “T” yang merupakan beban terpusat untuk lantai kendaraan dan beban “D” yang merupakan beban jalur untuk gelagar.

2.2 Lantai kendaraan dan jalur lalu lintas

Jalur lalu lintas mempunyai lebar minimum 2,75 meter dan lebar maksimum 3,75 meter. Lebar jalur minimum ini harus digunakan untuk menentukan beban “D” perlajur.

(41)

Jumlah jalur lalu lintas untuk lantai kendaraan dengan lebar 5,50 meter atau lebih ditentukan menurut table I.

Utnuk selanjutnya jumlah jalur jembatan ini digunakan dalam menentukan beban “D” pada perhitungan beban “D” pda perhitungan reaksi perletakan.

Tabel II.5 Jumlah Jalur Lalu lintas

Lebar Lantai Kendaraan Jumlah Jalur Lalu Lintas 5,50 m sampai dengan 8,25 m

Lebih dari 8,25 m sampai dengan 11,25 Lebih dari 11,25 m sampai dengan 15,00 m Lebih dari 15,00 m sampai dengan 18,75 m Lebih dari 18,75 m sampai dengan 32,50 m

2 3 4 5 6

Catatan : Daftar tersebut di atas hanya diguanakn dalam menentukan jumlah jalur pada jemabatan

(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)

a. Beban “T”

Untuk perhitungan kekuatan lantai kendaraan atau system lantai kendaraan jembatan, harus digunakan beban “T” seperti dijelaskan berikut ini :

Beban “T” adalah beban yang merupakan beban yang merupakan kendaraan truk yang mempunyai beban roda ganda (dual wheel load) sebesar 10 ton dengan ukuran-ukuran serta kedudukan seperti tertera pada gambar II.30.

(42)

Dimana :

a1 = a2 = 30,00 cm

b1 = 12,50 cm

b2 = 50,00 cm

Ms = Muatan rencana sumbu = 20 ton.

Gambar II.30 Pembebanan Truk ”T” PPPJJR

(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)

b. Beban “D”

• Untuk perhitungan kekuatyan gelagar-gelagar harus digunakan beban “D”. Beban “D” atau beban lajur adalah susunan beban pada setiap jalur lalu lintas yang terdiri dari beban terbagi rata sebesar “q” ton per meter panjang per jalur, dan beban garis “p” ton per jalur lalu lintas tersebut.

(43)

Beban “D” adalah seperti tertera pada gambar II.31

Gambar II.31 Beban Lajur “D” PPPJJR

(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)

Besar “q” ditentukan sebagai berikut :

q = 2,2 t/m’ …….untuk L < 30 m ……….…..(2.12)

q = 2,2 t/m’ – x (L – 30) t/m’ ….... untuk 30 m < L < 60 m …...…..(2.13)

q = 1,1 (1 + ) t/m’ …….untuk L > 60 m ……….…….(2.14)

L = Panjang dalam meter, ditentukan oleh tipe kontruksi jembatan t/m’ = ton per meter panjang, per lajur

• Ketentuan penggunaan beban “D” dalam arah melintang jembatan adalah sebagai berikut :

 Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan sama atau lebih kecil dari 5,50 meter, beban “D” sepenuhnya (100%) harus dibebankan pada seluruh lebar jembatan.

 Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan lebih besar dari 5,50 meter, beban “D” sepenuhnya (100%) dibebankan pada lebar jalur 5,50 meter

(44)

sedangakan selebihnya dibebani hanya separuh “D” (50%), lihat gambar II.32.

Gambar II.32 Ketentuan Penggunaan Beban “D” PPPJJR

(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)

• Dalam menentukan beban hidup (beban terbagi rata dan beban garis) perlu diperhatikan ketentuan bahwa :

 Panjang bentang (L) untuk muatan terbagi rata, sesuai ketentuan dalam perumusan koefisisn kejut

 Beban hidup per meter lebar jembatan menjadi sebagai berikut :

Beban terbagi rata = ……….…….(2.15)

Beban garis = ……….…….(2.16)

Angka pembagi 2,75 meter di atas selalu tetap dan tidak tergantung pada jalur lalu lintas.

• Beban “D” tersebut harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan pengaruh terbesar pada gelagar.

(45)

c. Beban pada Trotoir, Kerb dan Sandaran

• Kontruksi trotoir harus diperhitungkan terhadap beban hidup sebesar 500 kg/m2. Dalam perhitungan kekuatan gelagar karena pengaruh beban hidup pada trotoir, diperhitungkan beban sebesar 60% beban hidup trotoir.

• Kerb yang terdapat pada tepi-tepi lantai kendaraan harus diperhitungkan untuk dapat menahan satu beban horizontal kea rah melintang jembatan sebesar 500 kg/m’ yang bekerja pada puncak kerb yang bersangkutan atau pada tinggi 25 cm di atas permukaan lantai kendaraan apabila kerb yang bersangkutan lebih tinggi dari 25 cm.

• Tiang-tiang sandaran pada setiap tepi trotoir harus diperhitungkan untuk dapat menahan beban horizontal sebesar 100 kg/m’, yang bekerja pada tinggi 90 cm di atas lantai trotoir.

3. Beban Kejut

Untuk memperhitungkan pengaruh getaran-getaran dan pengaruh-pengaruh dinamis lainnya, tegangan-tegangan akibat beban garis “p” harus dikalikan dengan koefisien kejut yang akan memberikan hasil maksimum, sedangkan beban merata “q” dan beban “T” tidak dikalikan dengan koefisien kejut.

Koefisien Kejut ditentukan dengan rumus ;

K = 1 + 20 / (50 + L) ……….………...(2.17) Dimana ;

K = Koefisien kejut

L = Panjang bentang dalam meter, ditentukan oleh tipe konstruksi jembatan (keadaan statis) dan kedudukna muatan “p”.

(46)

Koefisien kejut tidak diperhitungkan terhadap bangunan bawah, apabila bangunan bawah dan bangunan atas merupakan satu kesatuan.

Bila bangunan bawah dan bangunan atas merupakan satu kesatuan maka koefisien kejut diperhitungkan terhadap bangunan bawah.

4. Gaya Akibat Tekanan Tanah

Bagian bangunan jembatan yang menahan tanah harus direncanakan dapat menahan tekanan tanah sesuai rumus-rumus yang ada.

II.2.8.b.2 Beban Sekunder

Yang termasuk beban sekunder adalah : • Beban Angin

• Gaya Akibat Perbedaan Suhu • Gaya Akibat Rangkak dan Susut • Gaya Rem dan Traksi

• Gaya-gaya akibat Gempa Bumi

• Gaya Gesekan pada Tumpuan-tumpuan bergerak

Pada umumnya beban ini mengakibatkan tegangan-tegangan relatif lebih kecil dari tegangan-tegangan akibat beban primer kecuali gaya akiabat gempa bumi dan gaya gesekan yang kadang-kadang menentukan dan biasanya tergantung dari bentang, bahan, sistem kontruksi, tipe jembatan serta keadaan tempat.

(47)

1. Beban Angin

Pengaruh beban angin sebesar 150 kg/m2 pada jembatan ditinjauberdasarkan bekerjanya beban angin horizontal terbagi rata pada bidang vertical jembatan, dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Jumlah luas bidang vertikal bangunan atas jembatan yang dianggap terkena oleh angin ditetapkan sebesar suatu prosentase tertentu terhadap luas bagian-bagian sisi jembatan dan luas bidang vertikal beban hidup.

Bidang vertikal beban hidup ditetapkan sebagi suatu permukaan bidang vertikal yang mempunyai tinggi menerus sebesar 2 (dua) meter di atas lantai kendaraan.

Dalam menghitung jumlah luas bagian-bagian sisi jembatan yang terkena angin dapat digunakan ketentuan sebagai berikut :

a. Keadaan tanpa beban hidup

• untuk jembatan gelagar penuh diambil sebesar 100% luas bidang sisi jembatan yang langsung terkena angin, ditambah 50% luas bidang sisi lainnya.

• Untuk jembatan rangka diambil sebesar 30% luas bidang sisi jembatan yang langsung terkena angin, ditambah 15% luas bidang sisi-sisi lainnya.

b. Keadaan dengan beban hidup

• Untuk jembatan diambil sebesar 50% terhadap luas bidang menurut (1.a). • Untuk beban hidup diambil sebesar 100% bidang sisi yang langsung terkena

(48)

c. Jembatan menerus di atas lebih dari dua perletakan

Untuk perletakan tetap perlu diperhitungkan beban angin dalam arah longitudinal jembatan yang terjadi bersamaan dengan beban angin masing-masing sebesar 40% terhadap luas bidang menurut keadaan (1.a dan 1.b).

Pada jembatan yang memerlukan perhitungan pengaruh angin yang teliti, harus diadakan penelitian khusus.

2. Gaya Akibat Perbedaan Suhu

Peninjauan diadakan terhadap timbulnya tegangan-tegangan structural karena adanya perubahan bentuk akibat perbedaan suhu antaa bagian-bagian jembatan baik yang menggunakan bahan yang sama maupun dengan bahan yang berbeda. Perbedaan suhu ditetapkan sesuai dengan data perkembangan suhu setempat.

Pada umumnya pengaruh perbedaan suhu tersebut dapat dihitung dengan mengambil perbedaan suhu untuk :

Bangunan baja : Perbedaan suhu maksimum-minimum = 30o C

Perbedaan suhu antaa bagian-bagian jembatan = 15o C Bnguan beton : Perbedaan suhu maksimum-minimum = 15o C

Perbedaan suhu antaa bagian-bagian jembatan < 10o C, tergantung dimensi penampang

Untuk perhitungan tegangan-tegangan dan pergerakan pada jembatan/bagian-bagian jembatan/perletakan akibat perbedaan suhu dapat diambil nilai Modulus Elastisitas Young (E) dan koefisien muai panjang (Є) sesuai table II.6

(49)

Tabel II.6 Modulus Elastisitas Young (E) dan Koefisien Muai Panjang (Є) Jenis Bahan E (kg/cm2) Є per derajat Celcius Baja Beton 2,1 x 106 2 sampai 4 x 105* 12 x 10-6 10 x 10-6 Kayu : - Sejajar serat - Tegak lurus serat

1,0 x 105* 1,0 x 104*

5 x 10-6 50 x 10-6* *) Tergantung pada mutu bahan

(Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)

3. Gaya Rangkak dan Susut

Pengaruh rangkak dan susut bahan beton terhadap kontruksi, harus ditinjau. Besarnya pengaruh tersebut apabila tidak ada ketentuan lain, dapat dianggap senilai dengan gaya yang timbul akibat turunnya sehu sebesar 15o C.

4. Gaya Rem

Pengaruh-pengaruh dalam arah memanjang jembatan akibat gaya rem, harus ditinjau. Pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan pengaruh gaya rem sebesar 5% dari beban “D” tanpa koefisien kejut yang memenuhi semua jalu lalu lintas yang ada, dan dalam satu jurusan.

Gaya dem tersebut dianggap bekerja horizontal dalam arah sumbu jemabatan dengan titik tangkap setinggi 1,80 meter di atas permukaan lantai kendaraan.

5. Gaya Akibat Gempa Bumi

Jembatan-jembatan yang akan dibangun pada daerah-daerah di mana diperkirakan terjadi pengaruh-pengaruh gempa bumi, harus direncanakan dengan menghitung pengaruh-pengaruh gempa bumi tersebut sesuai denga “Buku Petunjuk Perencanaan Tahan Gempa untuk Jembatan Jalan Raya 1986”.

(50)

6. Gaya Akibat Gesekan

Jembatan harus pula ditinjau terhadap gaya yang timbul akibat gesekan pada tumpuan bergerak, karena adanya pemuaian dan penyusutan dari jembatan akibat perbedaan suhu atau akibat-akibat lain.

II.2.8.b.3 Beban Khusus

Yang termasuk beban Khusus adalah : • Gaya Sentrifugal

• Gaya Tumbuk pada Jembatan Layang • Gaya dan Beban Selama Pelaksanaan

• Gaya Aliran Air dan Tumbukan Benda-benda Hanyutan • Gaya Angkat

Beban-beban dan gaya-gaya selain tersenut di atas perlu diperhatikan, apabila hal tersebut menyangkut kekhususan jembatan, antara lain sistem kontruksi dan tipe jembatan serta keadaan setempat, misalnya gaya pratekan, gaya angkat (buoyancy), dan lain-lain.

(51)

II.2.8.c Pembebanan Jembatan Berdasarkan RSNI T – 02 – 2005 Standar Pembebanan Untuk Jembatan

II.2.8.c.1 Beban Primer

Beban primer adalah beban yang selalu bekerja pada perencanaan bagian-bagian utama konstruksi jembatan, yang merupakan beban utama dalam perhitungan tegangan pada setiap perencanaan jembatan jalan raya. beban Beban primer terbagi atas beberapa beban yaitu beban mati dan beban hidup.

1 Beban Mati

a. Beban Mati Sendiri

Beban sendiri jembatan adalah semua beban tetap yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya yang terdiri dari berat masing-masing bagian struktural dan elemen-elemen non-struktural. Masing-masing berat elemen ini harus dianggap sebagai aksi yang terintegrasi pada waktu menerapkan faktor beban biasa dan faktor beban yang terkurangi.

Beban mati terdiri dari beban mati primer dan beban mati sekunder. Beban mati primer terdiri atas berat sendiri dari pelat dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing-masing gelagar jembatan. Sedangkan beban mati sekunder terdiri atas berat kerb, trotoar, tiang sandaran dan lain-lain yang dipasang setelah pelat dicor, beban tersebut dianggap terbagi rata diseluruh gelagar. Dalam menetukan besarnya beban mati dan merupakan satu kesatuan dengannya, harus digunakan nilai berat isi untuk bahan-bahan seperti pada tabel II.9.

(52)

Tabel II.7 Ringkasan Aksi-aksi Rencana

No

Aksi Lama

Waktu (3)

Faktor beban pada keadaan batas

Nama Simbol

(1)

Daya Layan

K Normal Terkurangi

1 Berat Sendiri PMS Tetap 1,0 * (3) * (3)

2 Beban Mati Tambahan PMA Tetap 1,0/1,3 2,0/1,4 0,7/0,8

3 Penyusutan & Rangkak PSR Tetap 1,0 1,0 N/A

4 Prategang PPR Tetap 1,0 1,0 N/A

5 Tekanan Tanah PTA Tetap 1,0 * (3) * (3)

6 Beban Pelaksanaan Tetap PPL Tetap 1,0 1,25 0,8

7 Beban Lajur “D” TTD Tran 1,0 1,8 N/A

8 Beban Truk “T” TTT Tran 1,0 1,8 N/A

9 Gaya Rem TTB Tran 1,0 1,8 N/A

10 Gaya Sentrifugal TTR Tran 1,0 1,8 N/A

11 Beban trotoar TTP Tran 1,0 1,8 N/A

12 Beban-beban Tumbukan TTC Tran * (3) * (3) N/A

13 Penurunan PES Tetap 1,0 N/A N/A

14 Temperatur TET Tran 1,0 1,2 0,8

15 Aliran/Benda hanyutan TEF Tran 1,0 * (3) N/A

16 Hidro/Daya apung TEU Tran 1,0 1,0 1,0

17 Angin TEW Tran 1,0 1,2 N/A

18 Gempa TEQ Tran N/A 1,0 N/A

19 Gesekan TBF Tran 1,0 1,3 0,8

20 Getaran TVI Tran 1,0 N/A N/A

21 Pelaksanaan TCL Tran * (3) * (3) * (3)

Catatan (1) Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol untuk beban rencana menggunakan tanda bintang, untuk: PMS = berat sendiri nominal, P*MS = berat sendiri rencana.

Catatan (2) Tran = transien.

Catatan (3) Untuk penjelasan lihat Pasal pada peraturan RSNI T-02-2005 yang sesuai.

Catatan (4) “N/A” menandakan tidak dapat dipakai. Dalam hal di mana pengaruh beban transien adalah meningkatkan keamanan, faktor beban yang cocok adalah nol.

(53)

Tabel II.8 Faktor Beban untuk Berat Sendiri JANGKA WAKTU FAKTOR BEBAN Biasa Terkurangi TETAP Baja, aluminium 1,0 1,1 0,9

Beton pra cetak 1,0 1,2 0,85 Beton dicor di tempat 1,0 1,3 0,75

Kayu 1,0 1,4 0,7

(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)

Besarnya kerapatan masa dan berat isi untuk berbagai macam bahan diberikan dalam tabel II.6.

Tabel II.9 Berat Isi untuk Beban Mati (kN/m³)

No. Bahan

Berat Bahan per Satuan Isi

(kN/m3)

Kerapatan Masa (kg/m3)

1 Campuran aluminium 26.7 2720

2 Lapisan permukaan beraspal 22.0 2240

3 Besi tuang 71.0 7200

4 Timbunan tanah dipadatkan 17.2 1760

5 Kerikil dipadatkan 18.8-22.7 1920-2320 6 Aspal beton 22.0 2240 7 Beton ringan 12.25-19.6 1250-2000 8 Beton 22.0-25.0 2240-2560 9 Beton prategang 25.0-26.0 2560-2640 10 Beton bertulang 23.5-25.5 2400-2600 11 Timbal 111 11 400 12 Lempung lepas 12.5 1280 13 Batu pasangan 23.5 2400 14 Neoprin 11.3 1150 15 Pasir kering 15.7-17.2 1600-1760 16 Pasir basah 18.0-18.8 1840-1920 17 Lumpur lunak 17.2 1760 18 Baja 77.0 7850 19 Kayu (ringan) 7.8 800 20 Kayu (keras) 11.0 1120 21 Air murni 9.8 1000 22 Air garam 10.0 1025 23 Besi tempa 75.5 7680

(54)

b. Berat Mati Tambahan atau Utilitas

Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk elemen non struktural dan menjadi satu beban pada jembatan dan besarnya dapat berubah selama umur jembatan. Dalam hal tertentu harga KMA yang telah berkurang boleh digunakan

dengan persetujuan instansi berwenang. Hal ini bisa dilakukan bila instansi tersebut mengawasi beban mati tambahan sehingga tidak dilampaui selama umur jembatan.

Kecuali ditentukan oleh instansi berwenang, semua jembatan harus direncanakan untuk bisa memikul beban tambahan yang berupa aspal beton setebal 50 mm untuk pelapisan kembali dikemudian hari. Lapisan ini harus ditambahkan pada lapisan permukaan yang tercantum dalam gambar. Pelapisan kembali merupakan beban nominal yang dikaitkan dengan faktor beban untuk mendapatkan beban rencana.

Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada jembatan harus dihitung setepat mungkin. Berat dari pipa untuk saluran air bersih, saluran air kotor dan lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh sehingga kondisi yang paling membahayakan dapat diperhitungkan.

Tabel II.10 Faktor Beban untuk Beban Mati Tambahan

JANGKA WAKTU

FAKTOR BEBAN

Biasa Terkurangi

TETAP Keadaan Umum 1,0 (1) 2,0 0,7

Keadaan Khusus 1,0 1,4 0,8

Catatan (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas

(55)

2 Beban Hidup

Beban hidup adalah semua baban yang berasal dari berat kendaraan-kendaraan yang bergerak/lalu lintas dan/atau pejalan kaki yang mana dianggap bekerja pada struktur jembatan. Beban hidup pada jembatan merupakan beban bergerak yang bekerja pada jembatan.

a. Beban Lalu Lintas

Lajur lalu lintas rencana harus mempunyai lebar 2,75 m. Jumlah maksimum lajur yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam table II.11. Lajur lalu lintas rencana harus disusun sejajar dengan sumbu memanjang jembatan.

Tabel II.11 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana Tipe

Jembatan (1)

Lebar Jalur Kendaraan (m) (2)

Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana (nl) Satu lajur 4,0 - 5,0 1 Dua arah, tanpa median 5,5 - 8,25 11,3 - 15,0 2 (3) 4 Banyak arah 8,25 - 11,25 11,3 - 15,0 15,1 - 18,75 18,8 - 22,5 3 4 5 6

Catatan (1) Untuk jembatan lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan oleh instansi berwenang.

Catatan (2) Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb dengan median untuk banyak arah.

Catatan (3) Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur kendaraan adalah 6.0 m. Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah memungkinkan untuk menyiap.

(56)

Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur "D" dan beban truk "T". Beban lajur "D" bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur "D" yang bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri.

Beban truk "T" adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk "T" diterapkan per lajur lalu lintas rencana.

Secara umum, beban "D" akan menjadi beban penentu, sedangkan beban "T" digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan.

a.1 Beban lajur “D”

Intensitas dari Beban lajur "D" terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT) seperti terlihat dalam gambar II.33.

Gambar II.33 Beban Lajur “D” RSNI T-02-2005

(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)

Tabel II.12 Faktor Beban Akibat Beban Lajur “D” JANGKA

WAKTU

FAKTOR BEBAN

TRANSIEN 1,0 1,8

(57)

• Beban Terbagi Rata (BTR)

mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang total yang dibebani L seperti berikut:

L ≤ 30 m : q = 9,0 kPa………...(2.18)

L > 30 m : q = 9,0 kPa……….(2.19)

dengan pengertian q adalah intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan, sedangkan L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter). Hubungan ini bisa dilihat dalam gambar II.34.

Gambar II.34 BTR Berbanding dengan Panjang yang Dibebani

(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)

Panjang yang dibebani (L) adalah panjang total beban yang bekerja pada jembatan. Beban mungkin harus dipecah guna mendapat pengaruh maksimum pada jembatan. Dalam hal ini L adalah jumlah dari masing-masing panjang beban yang dipecah seperti terlihat dalam gambar II.35.

(58)

• Beban Garis (BGT)

Dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap lalu lintas jembatan. Besar intensitas p = 49 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum jembatan menerus, BGT kedua identik harus ditempatkan pada posisi dalam dengan arah melintang jembatan pada bentang lainnya. Ini bisa dilihat dalam gambar II.35.

Gambar II.35 Susunan Pembebanan “D”

(59)

Beban "D" harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen BTR dan BGT dari beban "D" pada arah melintang harus sama. Penempatan beban dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

• Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban "D" ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 %.

• Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban "D" ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana (nl) yang berdekatan, dengan intensitas 100

%. Hasilnya berupa beban garis ekuivalen nl x 2,75 q kN/m dan beban

terpusat ekuivalen sebesar nl x 2,75 p kN, kedua-duanya bekerja berupa strip

pada jalur selebar nl x 2,75 m.

• Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana saja pada jalur jembatan. Beban "D" tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50 %. Susunan pembebanan ini bisa dilihat dalam gambar II.36.

Gambar II.36 Penyebaran Pembebanan Pada Arah Melintang

Gambar

Tabel II.1 Tipe Jembatan dan Aplikasi Panjang Jembatan
Gambar II.12 Strands Prategang 7 Kawat Standard dan Dipadatkan.
Gambar II.17  Balok Prategang Dengan Tendon Parabola
Gambar II.24 Proses Prategang Termo-Listrik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan kandungan Pb tidak dipengaruhi secara signifikan baik oleh lebar saluran maupun jenis mangrove, namun terdapat pola akumulasi yang berlawanan antara

Masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh yang signifikan antara kredibilitas komunikator dan kredibilitas pesan komunikasi word of mouth secara parsial dan

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi remaja dan sikap remaja terhadap pacaran dan variable terikat

suatu tindakan oleh penegak hukum setelah terjadinya suatu tindak pidana yang bertujuan untuk memulihkan keadaan sebelum terjadinya tindak pidana. Beda halnya dengan

Dari hasil analisis pengamatan dan analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa pemberian pupuk kandang kotoran sapi maupun pupuk NPK Yara-Mila 16-16-16 menunjukkan

Pada penelitian yang dilakukan Noura Aleisa [5] dapat diketahui bahwa 3DES memiliki ketahanan terhadap serangan brute force, interpolation cryptnalysis dan kurang

Mengapa seorang orang suatu peralatan pesawat yang membahayakan dalam pengoperasiannya harus dapat lisensi dari kementerian tenaga kerja dan transmigrasi..

Pada hari ini, Senin, tanggal enam belas bulan Juli Tahun dua ribu dua belas, pukul 09.00 – 13.00 WIB, Pokja/Pantia Pembangunan Rumah Dinas BPS Kabupaten Tapanuli Selatan, sesuai