• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung Tapioka sebagai Bahan Baku Film Plastik Biodegradabel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung Tapioka sebagai Bahan Baku Film Plastik Biodegradabel"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

38

Potensi Limbah Padat-cair Industri

Tepung Tapioka sebagai Bahan Baku

Film Plastik Biodegradabel

Feris Firdaus1 dan Chairil Anwar2 1 Peneliti di Lembaga Penelitian UII Jogjakarta

2 Dosen Pasca sarjana UGM Jogjakarta

Abstract

The research about utilization of solid-liquid waste of tapioca flour

in-dustries as raw materials for creating biodegradable plastics, was

car-ried out. The raw materials of biodegradable plastics obtained then leaded

to polymerization process under themperature 80-90

0

C for about 5-10

minutes. The created biopolymer was molded on a polyethilene cast then

kept into oven under themperature 40-50

0

C for about 2-3 days. The dry

biodegradable plastic film got out for room themperature conditioning

for about 2 days then it was disengaged from the polyetilene cast and

ready for biodegradable test, delutable and mechanical properties. The

yield show that produced plastic films were extreemly biodegradable for

1-2 weeks lifetimes in the land and delutable for 1 week lifetimes in the

water. Besides, They had characteristic mechanical properties like strength

3.924 Pa for plastic film made of cassava‘s bark, pulp and cassava‘s

bark extract. Elongation 13.966 % for plastic film made of cassava‘s bark,

9.217 % for plastic film made of cassava‘s pulp and 11.208 % for plastic

film made of cassava‘s bark extract. As the comparative test, plastic film

made of polyetilene had strength 10.464 Pa and elongation 4.583.

Key Words

:

solid-liquid waste, polimerization, biodegradable plastic film.

Pendahuluan

Plastik biodegradabel adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, plastik biodegradabel merupakan bahan plastik yang ramah terhadap lingkungan. Di Jepang telah disepakati penggunaan nama plastik hijau (GURIINPURA) untuk plastik biodegradabel.

Secara umum kemasan plastik biodegradable diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Griffin (1994), plastik biodegradable adalah suatu bahan dalam kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur, algae). Sedangkan Seal (1994),

(2)

39 kemasan plastik biodegradable adalah suatu material polimer yang berubah kedalam senyawa berat molekul rendah dimana paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui metabolisme organisme secara alami.

Penduduk dunia yang berjumlah 3 milyar di tahun 1960 meningkat 2 kali lipat menjadi lebih dari 6 milyar hanya dalam kurun waktu 40 tahun. Peningkatan jumlah penduduk ditambah dengan penggunaan sumber daya alam dan energi secara besar-besaran berakibat terciptanya sampah yang menumpuk dalam jumlah sangat besar. Seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk pelestarian lingkungan, kebutuhan bahan plastik biodegradabel mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Proyeksi kebutuhan plastik biodegradabel hingga tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Japan

Bio-degradable Plastik Society. Di tahun 1999, produksi plastik biodegradabel hanya sebesar

2500 ton, yang merupakan 1/ 10.000 dari total produksi bahan plastik sintetis. Pada tahun 2010, diproyeksikan produksi plastik biodegradabel akan mencapai 1.200.000 ton atau menjadi 1/ 10 dari total produksi bahan plastik. Industri plastik biodegradabel akan berkembang menjadi industri besar di masa yang akan datang karena potensi alam Indonesia yang demikian besar (Pranamuda, 2003).

Di Indonesia penelitian dan pengembangan teknologi kemasan plastik biodegrad-able masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena selain kemampuan sumber daya manusia dalam penguasaan ilmu dan teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian yang terbatas. Dipahami bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar memerlukan waktu lama dan dana yang besar. Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik biodegradable di Indonesia sangat potensial. Alasan ini didukung oleh adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan dapat diperoleh sepanjang tahun. Berbagai hasil pertanian yang potensial untuk dikembangkan menjadi biopolimer adalah jagung, sagu, kacang kedele, kentang, tepung tapioka, ubi kayu (nabati) dan chitin dari kulit udang (hewani) dan lain sebagainya.

Kekayaan akan sumber bahan dasar seperti tersebut di atas, justru sebaliknya menjadi persoalan potensial yang serius pada negara-negara yang telah maju dan menguasai ilmu dan teknologi kemasan biodegrdable, khususnya di Jerman. Negara tersebut dengan penguasaan IPTEK yang tinggi bidang teknologi kemasan, merasa khawatir kekurangan sumber bahan dasar (raw materials) dan akan menjadi sangat tergantung pada negara yang kaya akan sumber daya alam. Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam (hasil pertanian), sangat potensial menghasilkan berbagai bahan biopolimer, sehingga teknologi kemasan plastik biodegradable mempunyai prospek yang baik (Latief, 2001).

Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memanfaatkan limbah padat-cair industri tepung tapioka sebagai bahan baku pembuatan film plastik biodegradable. Disamping itu, ingin mengetahui gambaran sifat fisik atau mekanik (warna, kekuatan tarik dan elongasinya), kelarutannya dalam air dan sifat biodegradabilitasnya.

Kajian Pustaka

Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat diterangkan melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu diantara fase cair dengan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu

(3)

dan kondisi lingkungan yang tertentu. Fase transisi gelas biasanya terjadi pada bahan berupa polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan. Madeka dan Kokini (1996), meneliti suhu transisi pada keadaan antara glassy ke rubbery (elastis) dari zein murni dengan kadar air 15 – 35 %. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya jalinan reaksi transisi pada suhu antara 65 – 160o C untuk tepung zein dengan kadar air di atas 25 %. Dibawah suhu 65o C zein terlihat seperti cairan polimer yang kusut (engtangled fluid polymer), sedang di atas suhu 160o C ikatan silang agregat zein menjadi lemah. Kaitan dengan gejala ini, polimer zein dari jagung yang dilarutkan dalam pelarut organik dapat dicetak menjadi film kemasan plastik.

Secara kimia kemampuan membentuk film dijelaskan oleh Argos, et al., (1982), sebagai akibat terjadinya interaksi glutamin pada batang-batang (planes) molekul zein yang bertumpuk. Selanjutnya Gennadios, et. al., (1994), bahwa film terbentuk melalui ikatan hidrofobik, hidrogen dan sedikit ikatan disulfid diantara cabang-cabang molekul zein (Latief, 2001).

Metode pembuatan kemasan plastik biodegradable telah berkembang sangat pesat. Beberapa metode yang dapat diterapkan diantaranya yang dikembangkan oleh Yamada, et. al. (1995), Frinault, et. al. (1997), Isobe (1999). Namun demikian, pemilihan metode/teknologi produksi didasarkan pada evaluasi terhadap karaktersitik fisik dan mekanik film yang dihasilkan. Selain karakteristik tersebut, juga didasarkan pada nilai biodegradabilitas film pada berbagai kondisi.

Metode pembuatan film yang dikembangkan oleh Isobe (1999), yaitu bahan dasar (zein) dilarutkan dalam aceton dengan air 30 % (v/v) atau etanol dengan air 20 % (v/v). Kemudian ditambahkan bahan pemlastik (lipida atau gliserin), dipanaskan pada 50o C selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pencetakan pada casting dengan menuangkan 10 ml campuran ke permukaan plat polyethylene yang licin. Dibiarkan selama 5 jam pada suhu 30 sampai 45o C dengan room humidity / RH ruangan terkendali. Film yang terbentuk dilepas dari permukaan cetakan (casting), dikeringkan dan disimpan pada suhu ruang selama 24 jam.

Metode lain yang dikembangkan oleh Frinault, et al., (1997) dengan bahan dasar (casein) menggunakan pencetak ekstruder dengan tahap proses terdiri dari : pencampuran bahan dasar dengan aceton/etanol- air, penambahan plasticiser, pencetakan dengan ekstruder kemudian pengeringan film.

Metode yang dikembangkan Yamada, et. al., (1995), bahan dasar (zein) dilarutkan dalam etanol 80 %. Ditambahkan pemlastis, dipanaskan pada suhu 60 sampai 70o C selama 15 menit. Campuran kemudian dicetak pada auto-casting machine. Selanjutnya dibiarkan selama 3 – 6 jam pada suhu 35o C dengan RH ruangan 50 %. Film kemudian dikeringkan selama 12 – 18 jam pada suhu 30o C pada RH 50 %. Dilanjutkan dengan conditioning dalam ruang selama 24 jam pada suhu dan RH ambien.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat eksperimental yang dilakukan di laboratorium yang sering disebut sebagai Experimental Research. Sampel yang digunakan merupakan sampel simulasi dari limbah padat-cair (cairan, kulit dan ampas

(4)

singkong) industri pembuatan tepung tapioka. Kulit (yang berwarna putih) dan ampas singkong tersebut dijadikan sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradabel sedangkan limbah cairnya dijadikan sebagai pelarut dalam proses polimerisasi (berdasarkan prosedur pembuatan tepung tapioka PDII-LIPI dan RISTEK, 2000). Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah filler : kulit dan ampas singkong (dalam bentuk bubur/pulp), matriks : ekstrak kulit singkong, pelarut : ethanol 70 % dan limbah cairan/ air limbah, plasticizer : gliserin/gliserol. Sedangkan alat yang digunakan adalah termometer, pemanas listrik, gelas beker dan pengaduk, timbangan listrik, pemarut semi mekanis, saringan, oven, cetakan (bahan polyethilene), tenso lab (alat uji mekanik), media pengujian biodegradabilitas dan kelarutan, foto warna.

Proses Pembuatan

Kulit putih yang diperoleh diparut/dihaluskan dengan pemarut semi mekanis sehingga diperoleh bubur/pulp kulit singkong basah. Selanjutnya diekstrak sari patinya dengan pelarut air limbah kemudian dipisahkan dalam bejana berbeda. Ampas singkong basah 20 gram (sekali proses) dicampur dengan ekstrak kulit 100 ml, dipanaskan sambil diaduk pada suhu 80-90 0C selama 5-10 menit, setelah terbentuk biopolimer, segera ditambahkan pelarut ethanol 70 % 20 ml dan gliserol 10 ml sambil diaduk dengan pemanasan berlanjut selama 2-3 menit.

Untuk sampel kulit singkong dapat diproses seperti halnya pada sampel ampas singkong. Biopolimer yang dihasilkan dicetak di atas cetakan bahan PE yang licin kemudian disimpan dalam oven pada suhu 40-50 0C selama 2-3 hari, setelah itu dikondisikan dalam suhu kamar selama 2 hari. Diperoleh masing-masing dua jenis film yang berasal dari kulit dan ampas singkong yang siap untuk diuji karakteristiknya. Mekanisme Pengujian

Film yang dihasilkan difoto dengan foto visual biasa untuk mengetahui tekstur fisik dan warnanya kemudian dilakukan berbagai pengujian seperti uji biodegradabilitas, kelarutan dalam air, elongasi dan kekuatan tariknya. Film plastik biodegradable yang dihasilkan diuji sifat biodegradabilitasnya dengan cara dikubur di dalam tanah dengan ukuran film kurang lebih (10x10) cm dan kedalaman tanah 20 cm dan luas (15x15) cm. Proses penguburan dilakukan selama 1 minggu kemudian dilakukan pengamatan. Uji kelarutan plastik biodegradable dalam air dilakukan dengan cara memasukkan lembaran film plastik dengan ukuran kurang lebih (2x10) cm ke dalam bejana yang berisi air sambil diaduk secara manual dan roses ujinya dilakukan selama 1 minggu sambil diamati perkembangannya.

Uji mekanik yang berupa uji kekuatan tarik dan elongasi merupakan uji yang sangat penting kaitannya dengan kualitas film plastik biodegradable yang dihasilkan. Sampel film plastik yang akan diuji dipotong dengan ukuran (2,5 x 20) cm, kemudian dikaitkan secara horisontal pada penjepit/pengait yang ada pada alat Tenso Lab dengan peregangan normal. Setelah film plastik terpasang pada masing-masing pengaitnya, pengujian kuat tarik dan elastisitas dapat dilakukan. Perangkat alat ini berupa alat peregang yang didukung oleh data komputer yang dapat diamati langsung pada saat pengujian.

(5)

Hasil dan Pembahasan

Film plastik biodegradable yang dihasilkan

Gambar 1.

Film plastik biodegradable yang terbuat dari kulit singkong

Setelah dikondisikan dalam suhu kamar selama 2 hari, film plastik diodegradable dilepaskan dari cetakannya dan siap untuk diuji. Film plastik yang dihasilkan berwarna bening/jernih tetapi banyak terdapat flok-flok coklat yang menghiasi lembaran film plastik biodegradable. Rekomendasi untuk penelitian berikutnya adalah bagaimana caranya menghilangkan flok-flok coklat tersebut sehingga warna film plastik biodegradable dapat mencapai kejernihan/bening sempurna (Lihat Gambar 1).

Gambar 2.

(6)

Setelah dikondisikan dalam suhu kamar selama 2 hari, film plastik diodegradable dilepaskan dari cetakannya dan siap untuk diuji. Film plastik yang dihasilkan berwarna jernih/bening namun banyak dipenuhi dengan bintik-bintik putih sehingga warnanya cenderung memutih dan kurang jernih/bening. Dilihat dari teksturnya, film plastik dari ampas singkong cenderung lebih rapuh dan kurang elastis apabila dibandingkan dengan film plastik dari kulit singkong (Lihat Gambar 1 dan 2). Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah bagaimana caranya untuk merekayasa warna film plastik yang dihasilkan sehingga menjadi bening/jernih sempurna dan memiliki tekstur yang lebih kuat dan elastisitasnya tinggi.

Gambar 3.

Film plastik biodegradable yang terbuat dari ekstrak kulit singkong

Film plastik yang dihasilkan dari bahan baku ekstrak kulit singkong memiliki tekstur yang lebih rapuh dengan warna putih/krem. Secara fisik kualitasnya belum optimal dan cenderung lebih baik film plastik yang dihasilkan dari kulit singkong walaupun banyak bercak coklatnya. Elongasi film plastik tersebut lebih rendah dari film plastik berbahan baku kulit singkong tetapi lebih tinggi dari film plastik yang berbahan baku ampas singkong (Lihat Gambar 3).

Griffin (1994) menyatakan bahwa plastik biodegradable adalah suatu bahan dalam kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur, algae). Sedangkan Seal (1994) berpendapat, kemasan plastik biodegradable adalah suatu material polimer yang berubah kedalam senyawa berat molekul rendah dimana paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui metabolisme organisme secara alami.

Uji biodegradabilitas film plastik biodegradable

Proses uji biodegradable ini diperlukan untuk mempelajari tingkat ketahanan film plastik yang dihasilkan kaitannya dengan pengaruh mikroba pengurai, kelembaban tanah dan suhu bahkan faktor kimia fisik yang lain. Secara kimiawi, film plastik yang dihasilkan jelas bersifat biodegradable, hal itu disebabkan oleh bahan baku yang digunakan adalah bahan baku organaik dan alamiah yang mudah

(7)

berinteraksi dengan air dan mikro organisme lain bahkan sensitif terhadap pengaruh fisik/kimia lingkungan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan setelah kontak dengan mikroorganisme, yakni : sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan. Proses terjadinya biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan polimer dengan berat molekul yang rendah. Proses berikutnya (secondary process) adalah serangan mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim (intracellular, extracellu-lar). Contoh mikroorganisme diantaranya bakteri phototrop (Rhodospirillium,

Rhodopseudomonas, Chromatium, Thiocystis), pembentuk endospora (Bacillus, Clostridium), gram negatif aerob (Pseudomonas, Zoogloa, Azotobacter, Rhizobium), Actynomycetes, Alcaligenes (Griffin, 1994).

Setelah dilakukan penguburan selama 1 minggu, hasil pengamatan menunjukkan bahawa film plastik telah terdekomposisi/terdegradasi secara alamiah di dalam tanah walaupun masih tersisa sedikit, yang diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor mikro organisme pengurai, kelembaban tanah dan kadar air tanah. Alasan utama membuat kemasan plastik berbahan dasar bioplimer adalah sifat alamiahnya yang dapat hancur atau terdegradasi dengan mudah. Umumnya setelah sampah kemasan dibuang ke tanah (landfill), akan mengalami proses penghancuran alami baik melalui proses fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi kimiawi (air, oksigen), biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau degradasi mekanik (angin, abrasi). Proses-proses tersebut dapat berlansung secara tunggal maupun kombinasi (Latief, 2001).

Pada minggu berikutnya, setelah dilakukan penggalian lagi, ternyata sisa-sisa film plastik tersebut sudah bersih/terdegradasi sempurna. Kondisi tanah yang digunakan untuk proses penguburan adalah sangat lembab dan banyak mengandung air serta dimungkinkan banyak terdapat mikroba pengurai yang berperan. Karakter biodegradabilitas telah teruji secara praktis bahwa film plastik yang dihasilkan ternyata dapat dengan mudah diuraikan dalam tanah secara biologis maupun kimiawi dan tentunya aman bagi lingkungan. Apabila dicermati dari sudut bahan baku dan

chemi-cal spiecies lain yang mendukung maka film plastik yang dibuang atau dikubur di alam/

tanah tidak merusak lingkungan sekitarnya.

Uji kelarutan film plastik biodegradable dalam air

Proses ujinya dilakukan selama 1 minggu dan ternyata film plastik yang direndam dalam air tersebut hancur tercerai-berai dan akhirnya larut dengan air. Fenomena ini menunjukkan bahwa material komposisi penyusun film plastik biodegradable bersifat hidrofilik/suka air, misalnya ethanol 70 %, air suling dan gliserol, semuanya dapat larut dalam air, bahkan bahan bakunya yang berupa kulit dan ampas singkong memiliki karakter hidrofilik.

Pada dasarnya karakter uji kelarutan film plastik dalam air hampir sama dengan uji biodegradabilitas dalam tanah. Konsep dasarnya adalah bahwa film plastik yang dihasilkan dapat dengan mudah dihancurkan secara alamiah, efektif dan efisien/ ekonomis dan tentunya ramah lingkungan. Pada uji kelarutan ini, faktor yang paling menentukan adalah sifat hidrofilik film plastik dan didukung oleh pengadukan yang secara mekanis dapat mempercepat kelarutan film plastik dalam air, tetapi karena

Referensi

Dokumen terkait

Undang-undang ini menggalakkan penyelesaian kes-kes kecuaian perubatan terlebih dahulu melalui pengantaraan kerana kaedah ini dapat mengekalkan hubungan baik antara

Dasar kebijakan : Surat edaran bersama antara Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Direktur Jenderal Pendidikan Menengah, Nomor : 233/C/KR/2015, tentang Penetapan Sekolah

dalam bentuk materi misalnya; a) Berupa dana talangan yang diberikan kepada korban setelah ada keputusan tetap dari pengadilan. Model ini akan memposisikan penegak hukum bukan

Dalam beberapa tahun belakangan, Teknologi Informasi dan Komunikasi telah menjadi elemen pendukung yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan sebuah perguruan

Adapun tujuan dari penulisan laporan akhir ini adalah sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Politeknik Negeri Sriwijaya, khususnya pada jurusan

 Sedangkan pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang Provinsi NTB ( y- on-y ) pada triwulan II tahun 2017 jika dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa: Skripsi yang berjudul: “ Implementasi Strategi Pengelolaan Anggaran Dana Desa dalam Meningkatkan Pembangunan Desa di

(a) Anak belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya kecuali bila ibunya telah meninggal maka kedudukannya diganti oleh: (1) Wanita- wanita garis lurus keatas