• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Return saham adalah tingkat keuntungan yang dinikmati oleh pemodal atas suatu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Return saham adalah tingkat keuntungan yang dinikmati oleh pemodal atas suatu"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Return Saham

Return saham adalah tingkat keuntungan yang dinikmati oleh pemodal atas suatu investasi yang dilakukannya (Robert Ang, 2001). Dalam teori pasar modal, tingkat pengembalian yang diterima oleh seorang investor dari saham yang diperdagangkan di pasar modal (saham perusahaan go public) biasa diistilahkan dengan return. Dalam pasar saham tidak selalu menjanjikan suatu return yang pasti bagi investor. Namun beberapa komponen return saham yang memungkinkan pemodal meraih keuntungan adalah deviden, saham bonus, dan capital gain.

Komponen suatu return terdiri dari dua jenis yaitu current income (pendapatan lancar) dan capital gain (keuntungan selisih harga). Current income adalah keuntungan yang diperoleh melalui pembayaran bersifat periodik seperti pembayaran bunga deposito, bunga obligasi dan sebagainya. Disebut juga pendapatan lancar maksudnya adalah keuntungan yang diterima biasanya dalam bentuk kas atau setara kas, sehingga dapat diuangkan dengan cepat. Misalnya kupon bunga obligasi yang membayar bungan dalam bentuk giro/cek, yang tinggal diuangkan, demikian juga dividend saham, yaitu dibayarkan dalam bentuk saham, yang dikonversi menjadi uang kas dengan cara menjual saham yang diterimanya (Robert Ang: 1997).

Adapun komponen kedua dari return adalah capital gain, yaitu keuntungan yang diterima karena adanya selisih harga jual dengan harga beli suatu instrumen

(2)

16 investasi. Tentunya tidak semua instrumen investasi memberikan komponen return berupa capital gain atau capital loss. Capital gain sangat tergantung dari harga pasar instrumen investasi yang bersangkutan, yang berarti bahwa instrumen investasi tersebut habis diperdagangkan di pasar. Karena dengan adanya perdagangan maka akan timbul perubahan-perubahan nilai suatu investasi. Investasi yang dapat memberikan capital gain seperti obligasi dan saham, sedangkan yang tidak memberikan komponen return capital gain seperti sertifikat deposito, tabungan dan sebagainya.

Return dapat berupa return realisasi yang sudah terjadi atau return ekspektasi yang belum terjadi tetapi yang diharapkan akan terjadi di masa mendatang. Return realisasi (realized return) merupakan return yang telah terjadi dan hitung berdasarkan data histori dan return realisasi itu penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja dari perusahaan sebagai dasar penentu return ekspektasi (expected return) dan resiko di masa mendatang. Return saham sesungguhnya (Ri,t) diperoleh dari harga saham harian sekuritas i pada waktu ke-t (Pi,t) dikurangi harga saham harian sekuritas i pada waktu ke t-1 (Pi,t-1), dibagi harga saham harian sekuritas i pada waktu t-1 (Pi,t-1) atau dengan rumus:

... ...(1) Seorang investor untuk mendapat return atau keuntungan juga harus memperhatikan resiko yang akan ditanggungnya jika ingin memperoleh return tertentu. Resiko merupakan kemungkinan perbedaan antara return aktual yang diterima dengan return yang diharapkan. Semakin besar kemungkinan perbedaan, berarti semakin besar resiko investasi tersebut.

(3)

17 Resiko terdiri dari bermacam-macam sebab, antara lain adalah resiko suku bunga, resiko pasar, resiko inflasi, resiko bisnis, resiko finansial, resiko likuiditas, resiko nilai tukar mata uang. Adapun resiko dibagi manjadi jenis resiko, yaitu resiko umum (general risk) yang merupakan resiko yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi di pasar secara keseluruhan serta resiko spesifik (resiko perusahaan) adalah resiko yang tidak berkaitan dengan perubahan pasar secara keseluruhan. 2.1.1 Expected Return

Expected return saham merupakan tingkat keuntungan yang diharapkan oleh investor. Dalam menghitung Expected return dapat diukur dengan menggunakan pendekatan :

a) Capital Asset Pricing Model (CAPM)

Expected return diukur dengan mempertimbangkan return pasar dan suku bunga bebas risiko. Model CAPM yang digunakan sebagai dasar perhitungan expected return adalah sebagai berikut:

E(Ri) = R1 + β (Rm – Rf)...(2) Dimana :

Rf adalah tingkat bunga bebas risiko (risk free rate).

Rm adalah return pasar yang dalam hal ini digunakan return indeks saham sektor perdagangan besar dan eceran.

p adalah beta masing-masing saham

Beta masing-masing saham yang dihitung dengan menggunakan interpolasi dengan menggunakan data return saham sektor usaha perdagangan besar dan eceran (Husnan, 1998). Return saham perdagangan besar dan eceran dan return pasar sektor perdagangan besar dan eceran dihitung berdasarkan formula

(4)

18 tradisional, yaitu prosentase selisih dari nilai periode t terhadap nilai periode t-1 dibagi nilai periode t-1 dan hasilnya dikalikan dengan seratus persen.

b) Single Index Market Model (SIMM)

Pendapatan saham yang diharapkan (expected return) adalah pendapatan yang diharapkan dari suatu saham di masa datang, yang sesuai dengan tingkat resiko dari saham tersebut. Sebelum menghitung expected return terlebih dahulu Mencari besarnya koefisien nilai alfa dan beta untuk masing-masing saham dengan cara meregresikan Ri,t sebagai variabel tergantung dengan Rmt sebagai variabel bebas selama periode yang diteliti. Menghitung normal return dengan menggunakan nilai alfa dan beta yang dihitung sebelumnya, sedangkan market return yang digunakan adalah market return selama periode penelitian. Dihitung dengan menggunakan rumus :

E(Ri,t) = αi + βi * Rmt...(3) 2.1.2 Abnormal Return

Abnormal return adalah return yang didapat investor yang tidak sesuai dengan pengharapan. Abnormal return adalah selisih antara return yang diharapkan dengan return yang didapatkan. Selisih return akan positif jika return yang didapatkan lebih besar dari return yang diharapkan atau return yang dihitung. Sedangkan return akan negatif jika return yang didapat lebih kecil dari return yang diharapkan atau return yang dihitung. Abnormal return dapat terjadi karena adanya kejadian – kejadian tertentu, misalnya hari libur nasional, awal bulan, awal tahan, suasana politik yang tidak menentu, kejadian-kejadian yang luar biasa, stock split, penawaran perdana saham, dan lain-lain. Studi peristiwa menganalisis return tidak normal (abnormal return) dari sekuritas yang mungkin terjadi di

(5)

19 sekitar pengumuman dari suatu peristiwa. Abnormal return atau excess return merupakan kelebihan dari return yang sesungguhnya terjadi terhadap return normal.

Menurut (Jogiyanto, 2000) abnormal return adalah selisih antara return sesungguhnya yang terjadi dengan return ekspektasi dengan rumus sebagai berikut:

RTNi,t = RI,t - E [ Ri,t ]...(4) Dimana :

RTN i,t = abnormal return sekuritas ke-I pada periode peristiwa ke-t.

R i,t = return sesungguhnya yang terjadi untuk sekuritas ke-i pada periode, peristiwa ke-t.

E [ R i,t ] = return ekspektasi sekuritas ke-i untuk periode peristiwa ke-t.

Return sesungguhnya merupakan return yang terjadi pada waktu ke-t yang merupakan selisih harga sekarang relatif terhadap harga sebelumnya, sedangkan return ekspektasi merupakan return yang diharapkan (diestimasi) dengan menggunakan persamaan return ekspektasi tersebut di atas.

2.2 Emerging Market

Dalam kaitan untuk menghasilkan tingkat return yang sesuai maka investor haruslah melakukan analisis yang tepat. Selain analisis fundamental investor haruslah melakukan analisis teknikal. Dalam analisis teknikal, analisis saham dilakukan berdasarkan informasi yang berasal dari luar perusahaan. Informasi tersebut meliputi kondisi negara, kondisi ekonomi, politik dan finansial. Dalam perhitungan analisis teknikal dapat diukur berdasarkan 3 resiko yaitu: political risk, finansial risk dan economic risk (Claude et.all : 1996) dalam Pancawati

(6)

20 (2001). Economic risk (resiko ekonomi) terdiri dari 6 faktor yaitu, tingkat inflasi, utang jasa yang dikukur dari prosentase ekspor barang dan jasa, rasio likuiditas internasional, pengalaman perdagangan internasional, neraca berjalan yang dikukur dari prosentase barang dan jasa dan indikator nilai tukar. Dari enam faktor diatas yang telah diatas terdapat dua faktor yang sangat fundamental dan mempengaruhi kestabilan kondisi perekonomian di Indonesia, yaitu : tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah terdapat uang asing khususnya Dolar.

Inflasi merupakan proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus-menerus, yang dikur dengan menggunakan indeks harga : consumer price index, wholesaler price index, dan GNP deflaktor. Indonesia sebagai negara berkembang saat ini cenderung mengalami masalah terkait dengan inflasi. Inflasi Indonesia cenderung bergerak tidak stabil. Ketidakstabilan inflasi akan memberikan tekanan ke bursa saham. Tekanan ini akan mengakibatkan harga saham turun sehingga return saham menjadi negatif. Exchange rate (nilai tukar mata uang) atau disebut juga kurs merupakan salah satu variabel yang penting dalam perekomomian yang terbuka. Pengaruh kurs yang besar terhadap neraca transaksi berjalan maupun variabel-variabel ekonomi makro lainnya. Dalam pendekatan moneter, nilai tukar didefinisikan sebagai harga dimana mata uang asing diperjual belikan terhadap domestic money dan harga tersebut berhubungan denga permintaan dan penawaran uang. Menurut Andi Sururi et.all (1998) nilai tukar rupiah akan sangat mempengaruhi kestabilan harga saham di lantai bursa.

Tjiptono (2001) menyatakan terdapat beberapa indikator yang dapat dijadikan tolok ukur perkembangan pasar modal antara lain: nilai kapitalisasi pasar, perkembangan emisi saham, emisi obligasi, right issue, pergerakan Indeks Harga

(7)

21 saham Gabungan (ISHG) dan kinerja perdagangan. Melihat perkembangan pasar modal yang didasarkan beberapa variabel tolok ukur diatas, Ainun Na’im (1997) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasar modal di Indonesia termasuk kelompok Emerging Capital Market (EMC). EMC atau Emerging Capital Market adalah sebutan untuk pasar modal di negara berkembang atau negara industri baru. EMC adalah pengertian untuk pasar modal yang baru berkembang, dinama EMC mempunyai ciri khas yang berbeda dengan pasar modal yang sudah berkembang atau maju seperti New York Stock Exchange (NYSE), London Stock Exchange (LSE) dan bursa-bursa saham di negara-negara maju. Kondisi yang ada tersebut disebabkan oleh perbedaan ekonomi, sosial, kepastian hukum dan regulasi ekonomi pada pasar modal emerging market. Banyak faktor yang mempengaruhi investasi pada emerging market, menurut Martins (2001) faktor terbesar yang mempengaruhi adalah pengaruh resiko pasar. Pendapat tersebut dipertegas oleh pendapat Eichengreen dan Mody (1998) yang menyatakan bahwa portfolio pada pasar modal berkembang dipengaruhi oleh sentiman pasar. Untuk itu sangatlah penting melakukan analisa resiko atau analisis beta saham untuk mendapatkan gambaran yang tepat berapa return saham yang akan didapat dari investasi di bidang perdagangan besar dan eceran.

2.3 Beta Saham

Resiko sistematik atau beta saham merupakan hal penting yang dipertimbangkan investor sebelum melakukan keputusan investasi, sehingga informasi yang akurat mengenai resiko sistematik adalah hal yang penting karena merupakan dasar untuk memperkirakan besarnya resiko maupun return investasi dimasa depan. Dengan memperkirakan perilaku koefisien beta dari waktu ke waktu, maka

(8)

22 investor dapat memperkirakan besarnya resiko sistematik dimasa depan. Oleh karena itu secara implisit dapat dikatakan bawa beta saham merupakan parameter kondisi keuangan suatu perusahaan, apakah perusahaan itu sehat ataukah perusahaan itu mendekati kegagalan bursa (delisting). Karena jika emiten mengalami delisting dari bursa maka investor akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Dengan kata lain akan timbul kerugian akibat salah investasi.

Menurut Suad Husnan (1998) resiko keseluruhan (total risk) dari pemilikan suatu saham terdiri dari dua bagian yaitu resiko yang sistematik dan resiko yang tidak sistematik. Resiko yang sistematik merupakan resiko yang keseluruhan dipasar dan tidak bisa dihilangkan dengan investasi pada berbagai jenis saham. Resiko ini terjadi karena kegiatan-kegiatan diluar kegiatan perusahan seperti inflasi, resesi, peraturan perpajakan, kebijakan moneter dan sebagainya yang mempengaruhi harga saham. Sedangkan resiko yang tidak sistematik merupakan resiko yang dapat dihilangkan dengan diversifikasi. Karena resiko ini untuk suatu perusahaan, yaitu hal yang buruk terjadi dalam suatu perusahaan dapat diimbangi dengan hal baik yang terjadi di perusahaan lain, misal perusahaan pesaing, perubahan teknologi bagian produksi, pemogokan buruh dan sebagainya.

Ukuran relatif resiko sistematik dikenal sebagai koefisien β (Beta) yang menunjukkan ukuran resiko relatif suatu saham terhadap portofolio pasar. Menurut Jogiyanto (1998) beta merupakan ukuran volatilities return saham terhadap return pasar. Semakin besar fluktuasi return saham terhadap return pasar maka semakin besar pula beta saham tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil fluktuasi return saham terhadap return pasar, semakin kecil pula beta saham tersebut.

(9)

23 Oleh karena itu, bagi seorang investor resiko tersebut menjadi lebih relevan untuk dipertimbangkan dalam memilih kombinasi saham dalam portofolio yang dibentuknya. Sehingga untuk menentukan tingkat keuntungan yang disyaratkan atau diharapkan (expected return) terhadap suatu saham, maka harus dikaitkan dengan resiko sistematik (yang tidak terhindarkan) dari saham yang bersangkutan hubungan antara resiko sistematik dengan tingkat keuntungan dapat dilihat dari gambar sebagai berikut :

Gambar 2.1

Hubungan Resiko dan Return

Keuntungan yang diharapkan digambarkan dalam sumbu vertikal, sedangkan resiko sistematik digambarkan sebagai sumbu horizontal. Garis linear (garis miring) yang menggambarkan antara resiko sistematik dengan tingkat keuntungan yang diharapkan disebut garis pasar modal. Dari gambar diatas, keuntungan yang diharapkan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat keuntungan bebas resiko (risk free rate / RF). Garis pasar modal menunjukkan bahwa semakin besar resiko sistematik, akan semakin tinggi pula tingkat keuntungan yang diharapkan (expected return) oleh investor. Kemiringan (slope) garis pasar modal menunjukkan seberapa jauh seorang investor menunjukkan sifat tidak menyukai resiko (risk averse). Semakin curam kemiringan garis pasar modalnya, berarti

Garis Pasar Garis Risk Resiko Expected Return Saham Rf

(10)

24 bahwa seorang investor semakin tidak menyukai resiko. Dari uraian diatas jelas bahwa terdapat hubungan positif antara resiko sistematik dengan tingkat keuntungan yang diharapkan.

Seperti yang sudah dikemukakan diatas, beta merupakan suatu pengukur return portofolio terhadap return pasar. Jika fluktuasi return-return suatu sekuritas atau portofolio secara statistik mengikuti fluktuasi dari return-return pasar, maka beta dikatakan mengarah pada nilai 1. Markowitz (dalam Sunariyah, 1997) menyatakan bahwa resiko yang diharapkan tergantung pada keanekaragaman kemungkinan hasil yang diharapkan. Untuk mengukur resiko yang diharapkan digunakan standar deviasi. Standar deviasi dalam matematika digunakan untuk mengukur tingkat penyimpangan. Secara statistik, standar deviasi yang digunakan untuk mengukur resiko yang diharapkan adalah sebagai berikut:

a = P [ r – E (r) ]2 ...(5) Dimana :

a = standar deviasi hasil yang diharapkan

P = probabilitas kejadian dari setiap hasil yang diharapkan r = kemungkinan tingkat hasil

E (r) = hasil yang diharapkan

Resiko tidak hanya tergantung pada standar deviasi dan hasil yang diharapkan seperti pada rumus tersebut di atas, tetapi juga tergantung kepada hubungan antara hasil suatu sekuritas portofolio yang diukur dari hubungan antara tiap-tiap sepasang sekuritas dan jumlah yang diinvestasikan (koefisien korelasi). Jadi perubahan hasil suatu sekuritas mempengaruhi investasi dalam sekuritas lain. Formulasi resiko standar deviasi ditentukan oleh standar deviasi untuk setiap

(11)

25 sekuritas, hubungan antara sepasang sekuritas dan jumlah investasi dalam setiap sekuritas.

Markowitz (dalam Tandelilin, 2001) menyatakan resiko portofolio tidak boleh dihitung dari penjumlahan semua resiko aset-aset yang ada dalam portofolio, tetapi harus dihitung dari kontribusi resiko aset tersebut terhadap resiko portofolio/diistilahkan dengan kovarian. Kovarian adalah suatu ukuran absolut yang menunjukkan sejauh mana return dari dua sekuritas dalam portofolio cenderung untuk bergerak secara bersama-sama. Dalam konteks manajemen portofolio, kovarian menunjukkan sejauh mana return dari dua sekuritas mempunyai kecenderungan bergerak bersama-sama kovarian bisa berbentuk angka positif, negatif ataupun nol.

Model portofolio Markovitz dengan perhitungan kovarian yang kompleks, selanjutnya dikembangkan oleh William Sharpe dengan menciptakan model indeks tunggal. Model ini mengkaitkan perhitungan return setiap aset pada return indeks pasar secara matematis, model indeks tunggal adalah sebagai berikut : ...(6) Dimana :

Ri = return sekuritas i Rm = return indeks pasar

αi = bagian return sekuritas i yang tak dipengaruhi kinerja pasar

βI = ukuran kepekaan return sekuritas i terhadap perubahan return pasar ei = kesalahan residual

Perhitungan kovarian dengan model Markowitz dengan model indeks tunggal mengandung perbedaan. Model Markowitz menghitung kovarians melalui

(12)

26 penggunaan matriks hubungan varians-kovarians yang memerlukan perhitungan yang kompleks. Sedangkan dalam model indeks tunggal, resiko disederhanakan ke dalam dua komponen yaitu : resiko pasar dan resiko keunikan perusahaan secara matematis, resiko dalam model indeks ini bisa digambarkan sebagai berikut :

...(7) Persamaan perhitungan resiko sekuritas dan model indeks tunggal dalam persamaan tersebut di atas juga bisa diterapkan untuk menghitung resiko portofolio. Persamaan untuk menghitung resiko portofolio dengan model indeks tunggal akan menjadi :

...(8) Penyederhanaan dalam model indeks tunggal tersebut ternyata bisa menyederhanakan perhitungan resiko portofolio Markowitz yang sangat kompleks menjadi perhitungan sederhana. Bahkan dalam penelitiannya Varjan (1993) menyatakan bahwa model indeks tunggal Sharpe mampu mengurangi dimensi permasalahan portofolio secara dramatis dan membuat perhitungan portofolio menjadi sangat sederhana. Perhitungan komputer selama 33 menit dengan model Markowitz ternyata hanya membutuhkan waktu 30 detik dengan menggunakan indeks tunggal (Tandelilin, 2001) . Untuk menghitung beta, pada penelitian ini digunakan model indeks tunggal, dengan persamaan sebagai berikut :

...(9) Dimana :

rit = return saham perusahaan ke-i pada bulan ke-t

(13)

27 βi = beta untuk masing-masing perusahaan ke-i

RMt = return indeks pasar pada bulan ke-t

εit = kesalahan residu untuk setiap persamaan regresi tiap-tiap perusahaan ke-i pada bulan ke-t

2.4 Struktur Modal

Struktur modal menurut Agus Sartono (2008) merupakan perimbangan jumlah hutang jangka pendek yang bersifat permanen, hutang jangka panjang, saham preferen dan saham biasa. Struktur modal yang optimal adalah gabungan dari hutang dan ekuitas yang memaksimalkan harga saham perusahaan. Myers (1984) menyatakan bahwa struktur modal merupakan suatu teka-teki yang belum bisa dijawab sebab tidak dapat diketahui bagaimana perusahaan memilih debt, equity atau campuran dari keduanya. Kebijakan pendanaan berkaitan dengan sumber dana, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar perusahaan. Sumber dana internal berasal dari dana yang terkumpul dari laba yang ditahan yang berasal dari kegiatan perusahaan dan depresiasi. Sumber dana eksternal berasal dari pemilik yang merupakan komponen modal sendiri dan dana yang berasal dari para kreditur yang merupakan modal pinjaman atau hutang.

Modal dalam suatu bisnis merupakan salah satu sumber kekuatan untuk dapat melaksanakan aktivitasnya. Menurut Husnan (2000), teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan, seandainya keputusan investasi dan kebijakan dividen dipegang konstan dengan kata lain jika perusahaan mengganti sebagian modal sendiri dengan hutang atau sebaliknya apakah harga saham akan berubah. Tetapi kalau dengan merubah struktur modalnya ternyata nilai perusahaan berubah, maka akan

(14)

28 diperoleh struktur modal yang terbaik. Struktur modal yang dapat memaksimumkan nilai perusahaan atau harga saham adalah struktur modal yang terbaik. Setiap keputusan pendanaan mengharuskan manajer keuangan untuk dapat mempertimbangkan manfaat dan biaya dari sumber-sumber dana yang akan dipilih karena masing-masing sumber dana mempunyai konsekuensi finansial yang berbeda.

Kombinasi pemilihan struktur modal yang optimal (optimal capital structure) merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan karena kombinasi pemilihan struktur modal tersebut akan mempengaruhi juga tingkat biaya modal yang dikeluarkan oleh perusahaan. Tingkat biaya modal adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendapatkan dana guna membiayai investasinya. Tingkat biaya modal rata-rata tertimbang hanya dapat dicapai apabila perusahaan telah menentukan struktur modalnya yang optimal. Struktur modal yang optimal suatu perusahaan harus berada pada keseimbangan antara risiko dan pengembalian yang memaksimalkan harga saham (Brigham dan Houston, 2001). Menurut Home dan Wachowich (1998), struktur modal yang optimal bagi seluruh perusahaan dalam industri membutuhkan proporsi hutang yang lebih tinggi dari ekuitas. Beberapa konsep struktur modal yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain pendekatan tradisional, pendekatan laba operasi, teori trade-off, agency theory dan pecking order theory, dengan penjelasan sebagai berikut :

1) Pendekatan Tradisional

Menurut Husnan (2000), mereka yang menganut pendekatan tradisional berpendapat bahwa kondisi pasar modal yang sempurna dan tidak ada pajak, nilai

(15)

29 perusahaan (atau biaya modal perusahaan) bisa dirubah dengan cara merubah struktur modalnya. Pendapat ini dominan sampai dengan awal tahun 1950-an. 2) Pendekatan Laba Operasi atau Net Operating Income (NOI)

Sartono (2008), mengatakan bahwa pendekatan NOI ini mengasumsikan bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan hutang oleh perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa bagaimana biaya modal rata-rata tertimbang konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan perusahaan.

3) Teori Trade-Off

Teori trade-off dari struktur modal menunjukkan bahwa hutang bermanfaat bagi perusahaan karena bunga dapat dikurangkan dalam menghitung pajak (tax deductible), tetapi hutang juga menimbulkan biaya yang berhubungan dengan kebangkrutan yang aktual dan potensial. Struktur modal yang optimal berada pada keseimbangan antara manfaat pajak dari hutang dan biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan. Hal ini disebut juga dengan balance theory, dimana perusahaan berupaya mempertahankan struktur modal yang optimal dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan.

Trade off theory sebagai penyeimbang manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat lebih besar, hutang akan ditambah. Tetapi apabila pengorbanan karena menggunakan hutang sudah lebih besar, maka hutang tidak boleh lagi ditambah (Husnan, 2000). Myers (1984) mengatakan bahwa secara garis besar dapat disimpulkan bahwa balance theory menganut pola keseimbangan antara keuntungan penggunaan dana dari hutang dengan tingkat bunga yang tinggi dan biaya kebangkrutan.

(16)

30 4) Pecking Order Theory

Teori ini dikenalkan pertama kali oleh Donaldson pada tahun 1961 sedangkan penamaan pecking order theory dilakukan oleh Myers (1984) dalam Husnan (2000). Pada pecking order theory mengatakan bahwa perusahaan lebih cenderung memilih pendanaan yang berasal dari internal dari pada eksternal perusahaan. Penggunaan dana internal lebih didahulukan dibandingkan dengan penggunaan dana yang bersumber dari eksternal. Penggunaan sumber pendanaan eksternal oleh perusahaan dilakukan apabila sumber internal tidak mencukupi. Pecking order theory menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan yang profitable umumnya meminjam dalam jumlah sedikit. Hal ini bukan disebabkan karena perusahaan tersebut mempunyai target debt ratio yang rendah, tapi karena perusahaan tersebut memerlukan external financing yang sedikit. Perusahaan yang kurang profitable akan cenderung mempunyai hutang yang lebih besar karena dana internal tidak cukup dan hutang merupakan sumber eksternal yang lebih disukai (Husnan, 2000).

Asimetri informasi, biaya transaksi dan biaya emisi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pendanaan berdasarkan pecking order theory, sehingga cenderung mendorong perilaku pecking order theory (Myers, 1984). Para manajer mengurangi berbagai biaya yang timbul dari pemilihan dana antara hutang atau ekuitas, dengan menerbitkan sekuritas yang berisiko paling kecil. Pecking order cenderung memilih pendanaan sesuai dengan urutan risiko Menurut Myers dan Majiluf (1984), Myers (1984), an Brealy dan Myers (1991) dalam Husnan (2000) bahwa pecking order theory menyatakan beberapa hal antara lain :

(17)

31 a) Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi). b) Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian dividen yang

ditargetkan dengan berusaha menghindari perubahan pembayaran dividen secara drastis.

c) Kebijakan dividen yang relatif segan untuk diubah, disertai untuk fluktuasi profitabilitas dan kesempatan investasi yang tidak bisa diduga, mengakibatkan bahwa dana hasil operasi kadang-kadang melebihi kebutuhan dana untuk investasi, meskipun dalam kesempatan lain mungkin kurang. d) Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka

perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu, yaitu dimulai dengan menerbitkan obligasi terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan sekuritas berkarakteritik opsi (seperti obligasi konversi), kemudian bila masih belum mencukupi baru diterbitkan saham.

e) Dalam teori pecking order, tidak ada satu target debt to equity ratio, karena ada dua jenis modal sendiri, yaitu internal dan eksternal. Modal sendiri berasal dari dalam perusahaan lebih disukai daripada modal sendiri yang berasal dari luar perusahaan

Ada dua alasan mengapa dana eksternal lebih disukai dalam bentuk hutang daripada modal sendiri. Pertama, adalah pertimbangan biaya emisi. Biaya emisi obligasi akan lebih murah dari biaya emisi saham baru, hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama. Kedua, manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh para pemodal dan membuat harga saham akan turun. Hal ini disebabkan antara

(18)

32 lain oleh kemungkinan adanya asimetri informasi antara pihak manajer dengan pihak modal.

5) Agency Theory

Teori biaya keagenan (agency cost) diawali dengan masalah keagenan (agency problem) yang terjadi di dalam suatu perusahaan. Teori ini dikemukakan oleh Michael C. Jensen dan William H. Meckling pada tahun 1976 (Home dan Wachowicz, 1998), manajemen perusahaan merupakan agen dari pemegang saham dan pemegang saham sebagai prinsipal atau pemilik perusahaan. Para pemegang saham berharap agen akan bertindak atas kepentingan mereka sehingga mendelegasikan wewenang kepada agen. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan melalui cara-cara seperti melakukan audit atas laporan keuangan dan membatasi kegiatan manajemen, membentuk struktur organisasi yang dapat membatasi manajemen dalam mengambil keputusan. Kegiatan pengawasan tentu saja membutuhkan biaya yang disebut biaya keagenan.

Menurut Home dan Wachowich (1998), biaya keagenan adalah biaya-biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual perusahaan dengan kreditur dan pemegang saham. Salah satu pendapat dalam teori agensi adalah siapapun yang menimbulkan biaya pengawasan, biaya yang timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham. Sebagai misal, pemegang obligasi mengantisipasi biaya pengawasan, membebankan bunga yang lebih tinggi. Semakin besar peluang timbulnya pengawasan, semakin tinggi tingkat bunga dan

(19)

33 semakin rendah nilai perusahaan bagi pemegang saham. Biaya pengawasan berfungsi sebagai disinsentif dalam penerbitan obligasi, terutama dalam jumlah yang besar. Jumlah pengawasan yang diminta oleh pemegang obligasi akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah obligasi yang beredar.

2.4.1 Kebijakan Struktur Modal

Modal dalam suatu bisnis merupakan salah satu sumber kekuatan untuk dapat melaksanakan aktivitasnya. Setiap perusahaan dalam melaksanakan kegiatannya selalu berupaya untuk menjaga keseimbangan finansialnya. Kebijakan struktur modal pada dasarnya dibangun dari hubungan antara keputusan dalam pemilihan sumber dana (financing decision) dengan jenis investasi yang harus dipilih oleh perusahaan (investment decision) agar sejalan dengan tujuan perusahaan yaitu memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham (maximize shareholders wealth) yang tercermin dari nilai perusahaan (value of firm) atau nilai pasar dari harga saham perusahaan (equity securities).

Sumber pendanaan di dalam suatu perusahaan dibagi menjadi dua kategori yaitu pendanaan internal dan pendanaan eksternal. Pendanaan internal dapat diperoleh dari sumber laba ditahan dan depresiasi, sedangkan pendanaan eksternal dapat diperoleh dari pemilik yang merupakan komponen modal sendiri dan dana yang berasal dari para kreditur yang merupakan modal pinjaman atau hutang.

Dana yang berasal dari hutang mempunyai biaya modal dalam bentuk biaya bunga. Dana yang berasal dari ekuitas mempunyai biaya modal berupa dividen. Perusahaan akan memilih sumber dana yang paling rendah biayanya di antara berbagai alternatif sumber dana yang tersedia. Proporsi atau bauran dari

(20)

34 penggunaan modal sendiri dan hutang dalam memenuhi kebutuhan dana perusahaan disebut struktur modal perusahaan.

Ang (1997) menyatakan setelah struktur modal ditentukan, maka perusahaan selanjutnya akan menggunakan dana yang diperoleh tersebut untuk operasional perusahaan. Aktivitas operasional perusahaan dikatakan menguntungkan jika return yang diperoleh dari hasil operasional tersebut lebih besar daripada biaya modal (cost of capital), dimana biaya modal ini merupakan rata-rata tertimbang dari biaya pendanaan (cost of funds) yang terdiri dari biaya (bunga) pinjaman dan biaya modal sendiri. Biaya modal sendiri terdiri dari dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham biasa dan dividen kepada pemegang saham preferen, sedangkan biaya pinjaman merupakan biaya bunga bersih (setelah dikurangi tarif pajak).

Penggunaan besarnya proporsi hutang dalam struktur modal dapat diamati lewat rasio leverage. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi segala kewajiban finansialnya, dengan kata lain rasio leverage mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi semua hutang jangka pendek dan jangka panjangnya yang dapat diukur melalui Debt ratio (DR) dan Debt to equity ratio (DER). Debt ratio (DR) adalah proporsi antara kewajiban yang dimiliki dengan seluruh kekayaan yang dimiliki. Debt to equity ratio (DER) adalah perbandingan hutang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Debt to equity ratio (DER) dapat menunjukkan tingkat risiko suatu perusahaan, dimana semakin tinggi rasio DER maka semakin tinggi risiko suatu perusahaan karena pendanaan perusahaan dari unsur hutang lebih besar daripada modal

(21)

35 sendiri (equity). Tingginya pendanaan dari unsur hutang membuat perusahaan harus menanggung biaya atau beban modal yang besar, risiko yang ditanggung perusahaan juga meningkat apabila investasi yang dijalankan perusahaan tidak menghasilkan tingkat pengembalian yang optimal, oleh karena itu investor cenderung lebih tertarik pada tingkat DER tertentu yang besarnya kurang dari satu karena jika lebih dari satu menunjukkan risiko perusahaan yang semakin meningkat. Dalam penelitian ini, Debt to equity ratio digunakan sebagai tolak ukur kebijakan struktur modal perusahaan. Rumus Debt to equity ratio adalah sebagai berikut:

...(10) 2.4 Pengaruh Beta Saham Terhadap Return Saham

Resiko yang tinggi akibat dari fluktuasi keuntungan yang besar ini bukanlah tanpa alasan. Dengan tingkat keuntungan yang fluktuatif, berarti dividen yang dibayarkan perusahaan kepada investor juga akan fluktuatif. Berarti dividen yang dibayarkan perusahaan kepada investor juga akan fluktuatif. Kondisi seperti ini tidak memberikan perasaan aman bagi investor untuk menginvestasikan uangnya diperusahaan tersebut. Miswanto (1999) menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan beta saham terhadap return saham. Dalam penelitiannya Elly dan Nur Indrianto (1999) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara beta saham terhadap tingkat return saham. Pendapat lain tentang pengaruh beta saham terhadap return disampaikan oleh Ali Argun Karabacay (2002) yang menyatakan bahwa: terdapat pengaruh kondisional antara return dan beta saham yang dapat digunakan sebagai dasar bagi manajer portofolio untuk menginvestasikan dananya di pasar modal serta saham yang berada pasar saham positif memiliki tingkat

(22)

36 return yang tinggi sehingga akan mempengaruhi tingkat beta saham menjadi tinggi juga sedangkan pada pasar negatif akan mengalami penurunan beta saham karena pengaruh return saham yang rendah.

2.5 Pengaruh Struktur Modal Terhadap Return Saham

Struktur Modal atau Debt to equity ratio (DER) yang tinggi menunjukkan komposisi total hutang semakin besar apabila dibandingkan dengan total modal sendiri dalam kebijakan struktur modal perusahaan, sehingga hal ini akan berdampak pada semakin besar pula beban perusahaan terhadap pihak eksternal (para kreditur). Penggunaan dana dari pihak luar akan dapat menimbulkan dua dampak, yaitu: dampak baik dengan meningkatkan kedisiplinan manajemen dalam pengelolaan dana, serta dampak buruk dengan munculnya biaya keagenan dan masalah asimetri informasi. Peningkatan beban terhadap kreditur akan menunjukkan sumber modal perusahaan sangat tergantung dari pihak ekternal, sehingga mengurangi minat investor dalam menanamkan dananya di perusahaan yang bersangkutan. Penurunan minat investor dalam menanamkan dananya ini akan berdampak pada penurunan harga saham perusahaan, sehingga return perusahaan juga semakin menurun.

Natarsyah (2000), menunjukkan bahwa Debt to equity ratio mempunyai pengaruh yang positif terhadap harga saham. Maka semakin besar hutang, harga saham cenderung akan bergerak naik yang pada akhirnya akan meningkatkan return saham perusahaan. Ratnasari (2003) dan Muhammad (2006) juga menunjukkan bahwa faktor Debt to equity ratio berpengaruh positif signifikan terhadap return saham. Sedangkan Sriwardany (2006) menyatakan bahwa struktur modal mempunyai pengaruh negatif terhadap perubahan harga saham, yang memberi arti

(23)

37 bahwa kebijakan struktur modal perusahaan lebih banyak menggunakan hutang maka akan terjadi penurunan harga saham. Suharli (2005) dan Nathaniel (2008), menemukan bahwa Debt to equity ratio tidak mempengaruhi return saham secara signifikan.

Referensi

Dokumen terkait

Penulis skripsi dengan judul “Optimasi dan Validasi Metode Analisis Timbal (Pb) Menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom dan Aplikasinya dalam Penetapan Kadar Timbal (Pb)

Dari masalah tersebut limbah abu batu diangkat dalam penelitian ini untuk memberikan inovasi sebagai bahan tambah material konstruksi yang baik, berupa penggunaan material limbah

Dari hasil pemetaan dengan cara pengambilan titik koordinat pada kuadran tiap spesies mangrove di tiga stasiun penelitian di Kelurahan Tongkaina, yaitu dengan

Pendapat Guru Penjas Sekolah Dasar Terhadap Persiapan Pembelajaran Sesuai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Untuk mendapatkan hasil yang baik, sempurna serta yang lebih

Tabel 5.11 Tabulasi Silang Penggabungan Kategori Hubungan Pemberian ASI berdasarkan Riwayat Pola Menyusui dengan Status Gizi menurut Indeks PB/U Anak Usia 1-2 Tahun di Desa

Berdasarkan masalah tersebut di atas maka perlu dicari tipe dan takaran pelatihan yang sesuai dengan tuntunan penampilan cabang olahraga itu, maka dalam

Jenis penelitian yang digunakan adalah peneli- tian diskriptif, yaitu untuk mendeskripsikan apakah kepala sekolah di Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung dalam

AICS - Inventarisasi Bahan Kimia Australia; ASTM - Masyarakat Amerika untuk Pengujian Bahan; bw - Berat badan; CERCLA - Undang-Undang Tanggapan, Kompensasi, dan Tanggung Jawab