• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Gotong Royong ke Pengupahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dari Gotong Royong ke Pengupahan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PENGANTAR REDAKSI

Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat-Nya segala yang kita lakukan dengan kerja keras dapat terlaksana dengan baik. Jurnal Etnoreflika Volume 3 Nomor 2 bulan Juni tahun 2014 telah terbit dengan menyajikan 9 (sembilan) tulisan. Ke sembilan tulisan tersebut merupakan hasil penelitian dari sejumlah dosen dengan berbagai disiplin ilmu, yakni sosial dan budaya yang berasal dari bidang ilmu yang berbeda-beda. Jurnal Etnoreflika Volume 3 Nomor 2, Juni 2014, memuat tulisan sebagai berikut:

Mencandra To Manurung sebagai Peletak Dasar Budaya Politik Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.

 Bahasa Binte: Bahasa Gaul Kalangan Remaja Kelurahan Wamponiki Kecamatan Katobu Kabupaten Muna.

 Pernikahan di Kalangan Ikhwan dan Akhwat pada Lembaga Wahdah Islamiyah Kendari.

 Prinsip-prinsip Metodologis dan Organisasi Gramatika Fungsional.  Kalidawa, Emas Hijau yang Tergusur.

 Afiksasi Verba Bahasa Kutai.

 Dari Gotong Royong ke Pengupahan (Studi Perubahan Sosial Budaya pada Masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe).

 Kajian Budaya Organisasi dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Kerja Pegawai dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Sekretariat Daerah Kota Kendari.

 Perkelahian Kuda pada Masyarakat Muna.

Semoga sajian dalam jurnal ini, dapat memberikan kontribusi, informasi maupun wawasan baru dalam bidang sosial dan budaya khususnya di daerah Sulawesi Tenggara.

(4)

DAFTAR ISI

Rifai Nur

Syamsumarlin Muh. Sarjono

Wa Ode Winesty Sofyani La Ode Aspin

Muh. Yazid Abdul Rahim Gege

La Ode Topo Jers Lilik Rita Lindayani

Hasniah Safri Sahrun Akhmad Marhadi Syawal 496-503 504-515 516-531 532-539 540-551 552-558 559-580 581-589 590-601

Mencandra To Manurung sebagai

Peletak Dasar Budaya Politik Sulawe-si Tenggara dan SulaweSulawe-si Selatan

Bahasa Binte : Bahasa Gaul Kalangan

Remaja Kelurahan Wamponiki Keca-matan Katobu Kabupaten Muna Pernikahan di Kalangan Ikhwan dan Akhwat pada Lembaga Wahdah Is-lamiyah Kendari

Prinsip-prinsip Metodologis dan Or-ganisasi Gramatika Fungsional

Kalidawa, Emas Hijau yang Tergusur

Afiksasi Verba Bahasa Kutai

Dari Gotong Royong ke Pengupahan (Studi Perubahan Sosial Budaya pada Masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe

Kajian Budaya Organisasi dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Ker-ja Pegawai dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Sekretariat Dae-rah Kota Kendari

Perkelahian Kuda pada Masyarakat Muna

(5)

VOLUME 3 No. 2. Juni 2014. Halaman 559-580 DARI GOTONG ROYONG KE PENGUPAHAN

(STUDI PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA PADA MASYARAKAT TANI DI DESA

ALOSIKA KECAMATAN ABUKI KABUPATEN KONAWE)1

Hasniah 2

Safri 3 ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan sistem gotong royong serta perubahan dari sistem gotong royong ke sistem pengupahan pada masyarakat tani di Desa Alosika.

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan terlibat (participation observation) dan

wawancara mendalam (indepth interview). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif

kualitatif. Analisis data dimaksudkan untuk menyederhanakan data yang diperoleh agar lebih muda dibaca dan dipahami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan sistem gotong royong ke sistem pengupahan masyarakat tani di Desa Alosika merupakan perubahan social budaya yang berawal dari program pemerintah. Masuknya program transmigrasi di desa ini menyebabkan penduduk lokal meninggalkan pertanian padi ladang dengan bentuk pertanian secara berkelompok, beralih ke pertanian padi sawah tradisional. Demikian halnya dengan tanah, selain sebagai sarana produksi, juga sebagai aset, dan sarana investasi bagi petani di Desa Alosika. Pola pikir petani sawah di Desa Alosika yang mengedepankan efektifitas dan efisiensi kerja dalam rangka mendapatkan untung sebesar-besarnya, telah mengantarkan petani di desa itu, untuk lebih kreatif dalam mengembangkan sistem pertaniannya. Petani kemudian mengenal sistem upah kemudian diterapkan ke dalam sistem pertanian sebagai pengganti sistem gotong royong yang dianggap cenderung merugikan petani. Kebutuhan akan uang, memiliki peranan yang sangat besar dalam merubah sistem pertanian dan tatanan social budaya dikalangan petani di Desa Alosika, karena petani jauh sebelumnya telah memikirkan untung dan rugi dalam pertanian sawahnya.

Kata Kunci: gotong royong, pengupahan, petani

ABSTRACT

This research aimed to identify and describe the changes of mutual assistance system to the wage system of farming society in the Alosika village. Data were collected by observation techniques involved participant observation and in-depth interviews. Data were analyzed by descriptive qualitative. Data analysis was intended to simplify the data obtained in order to be read and understood by the younger. The results showed that the change from mutual aid system to the wage system of the farmer society in Alosika village was socio-cultural changes that came from government programs. The entry of the transmigration program in the village had caused the change of local societies chosen from the rice farm fields with a form of agriculture as a group, switch to traditional rice farming. Likewise with the ground, beside as means of production, it was also as assets and investation tools for farmers in the Alosika village. The mindset of rice farmers in the Alosika village that promote effectiveness and efficiency in order to achieve maximization of profit, had led farmers in the village to be more creative in developing their agricultural systems.

1Hasil Penelitian 2

Staf Pendidik pada Jurusan Antroplogi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo, Kampus Hijau Bumi Tridharma, Jl. H.E. Agus Salim Mokodompit, Kendari 93232, Pos-el: hasniah_antrounhalu@yahoo.com 3 Alumni Mahasiswa Jurusan Antroplogi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo, Kampus Hijau Bumi Tridharma, Jl. H.E. Agus Salim Mokodompit, Kendari 93232, Pos-el: safri_10@yahoo.com

(6)

Farmers then know the wage system which was then applied to the agricultural system as a substitute for mutual assistance system that was considered had harmed the farmers. The need for money had a very large role of agricultural system and socio cultural changing order in the Alosika village among farmers, because farmers had to think about the gains and losses in agricultural fields.

Keywords:mutual assistance, wages, farmers.

A. PENDAHULUAN

Manusia adalah mahluk Tuhan yang berbudaya, sehingga manusia berbeda de-ngan mahluk ciptaan Tuhan yang lainya. Kebudayaan sebagai suatu konsep yang menyatu dalam kehidupan manusia, selalu berhubungan dengan kebutuhan hidupnya. Kebudayaan yang merupakan seperangkat sistem pengetahuan atau sistem gagasan yang berfungsi menjadi potret perasaan bagi sikap dan perilaku manusia sebagai anggota atau warga dari kesatuan sosial-nya, tumbuh, berkembang dan berubah se-suai dengan kebutuhan hidup manusia.

Bentuk kebudayaan yang sudah me-nyatu dengan kehidupan manusia yang berhubungan dengan kebutuhan hidup, se-perti pada masyarakat petani, dalam hal ini hubungan timbal balik atau kerja sama dalam aktifitas pertanian. Menurut Sairin (2002), hubungan kerjasama yang identik dengan gotong royong sebagai kata lain dari resiprositas, menurut beberapa ahli merupakan suatu mekanisme untuk meng-atasi kemiskinan. Pendapat ini dapat dibe-narkan, mengingat dengan melakukan ker-jasama (resiprositas), orang desa dapat berbagi resiko menghadapi kekurangan pangan, sandang dan papan.

Masyarakat petani memiliki prak-tek-praktek tersendiri dalam sistem pengo-lahan pengo-lahan maupun dalam pola kehidu-pan sosial lainnya. Hubungan yang mun-cul adalah hubungan timbal balik antar masyarakat desa sebagai salah satu bentuk organisasi ekonomi yang oleh Polanyi dalam Sairin (2002), dikatakan bahwa awalnya bermotif memenuhi kewajiban sosial dan sekaligus menambah kewibawa-an sosial, ykewibawa-ang akhirnya motif semacam-

ini digunakan oleh anggota-anggota pendu-kung kebudayaan untuk saling membantu dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pola hubungan timbal balik untuk memenuhi kebutuhan inilah yang berkem-bang menjadi bentuk-bentuk kerjasama di-bidang ekonomi. Bentuk kerjasama ini ak-an terjadi karena masing-masing ak-anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan aturan atau norma-norma yang berlaku sebagai bentuk kesepakatan masyarakat dalam ke-hidupan sehari-hari. Beberapa bentuk ker-jasama (gotong-royong) suku-suku bangsa diantaranya adalah gugur gunung pada suku Jawa, mosaut pada suku Saluan di Sulawesi Tengah, mapalus di Minahasa, samaturu pada Masyarakat Tolaki, Paham-ba-hamba pada suku Buton, Pakadadu pa-da suku Muna pa-dan Mepeduluhi pada masy-arakat Wawonii Sulawesi Tengara.

Adanya sistem gotong royong, mela-hirkan hubungan kerjasama yang erat da-lam sistem kekerabatan dan solidaritas di-antara masyarakat petani. Hal ini terjadi ka-rena sistem gotong royong yang dilakukan adalah manifestasi bentuk kerjasama tanpa adanya unsur paksaan. Seiring dengan per-kembangan zaman dan ilmu pengetahuan pelaksanaan gotong-royong oleh sebagian masyarakat petani banyak mengalami peru-bahan dan pergeseran nilai atau bahkan te-lah ditinggalkan dengan beralih menuju sis-tem upahan. Seperti pada penelitian Syam-sumarlin (2005) menjelaskan bahwa pada petani coklat di Desa Kalu-Kaluku telah mengalami perubahan terutama dalam ak-tivitas produksi bercocok tanam. Hal ini dapat dilihat dari sistem pengerahan tenaga kerja, yang dulunya terfokus pada tenaga kerja bantuan dari luar rumah tangga

(7)

de-Pada masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe)

ngan sistem tolong menolong antar warga, kini telah berubah menjadi pengerahan te-naga kerja dengan sistem upah. Sistem up-ah yang dilakukan masih terfokus pada pe-nggunaan tenaga kerja dari keluarga, te-tangga, sesama warga desa dan paling jauh tenaga kerja dari desa tetangga.

Kondisi serupa terjadi pada petani sa-wah di Desa Alosika Kecamatan Abuki Ka-bupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Orang Tolaki sebagai Penduduk lokal Desa Alo-sika merupakan masyarakat yang gemar bergotong royong, dalam sistem pertanian yang dikenal dengan samaturu. Meski de-mikian, Desa Alosika sebagai daerah trans-migrasi pada tahun 1982 dengan masuknya suku bangsa Jawa, Bali, Sunda, dan pe-rantau Suku Bugis dari Sulawesi Selatan, secara tidak langsung memberikan peng-aruh besar dengan perubahan sistem per-tanian penduduk lokal diantaranya pendu-duk lokal meninggalkan pertanian padi la-dang ke pertanian padi sawah.

Di awal kedatangan warga transmig-ran, pola pengerahan tenaga kerja dengan sistem gotong-royong masih menjadi priori-tas utama. Karena pada saat itu, para petani di Desa Alosika, masih berada pada kondisi belum bermodal. Berbagai bentuk gotong royong masih berlangsung, mulai dari pem-bukaan lahan, pembagunan sarana penun-jang pertanian, pemeliharaan tanaman, sam-pai pemanenan. Sebagai balasannya, petani yang sebelumnya pernah ditolong, akan melakukan hal serupa di kemudian hari. Ia akan membantu atau memberikan pertolo-ngan, walaupun dengan jenis pekerjaan yang berbeda.

Lambat laun, pertanian sawah Desa Alosika menunjukkan hasil yang berlimpah yang didukung oleh kesuburan tanah dan masuknya program irigasi permanen. Petani kemudian semakin giat melakukan perluas-an sawah dengperluas-an pengerahperluas-an tenaga kerja dengan sistem upah yakni mengupah buruh. Luas sawah petani semakin bervariasi,

se-hingga pekerjaan-pekerjan seperti pengola-an lahpengola-an, penpengola-anampengola-an, pemerliharapengola-an, pema-nenan bahkan pengangkutan hasil panen ti-dak memungkinkan lagi untuk dikerjakan sendiri atau bergotong-royong, terutama pe-tani yang memiliki lahan yang luas.

Pengerahan tenaga kerja dengan sis-tem upah, mendorong semakin banyaknya buruh sawah baik yang dari dalam Desa Alosika maupun yang berasal dari luar desa. Hal tersebut disebabkan karena ke-butuhan akan tenaga jasa buruh semakin meningkat. Selanjutnya sistem pengupahan yang berlangsung, semakin hari mengalami perubahan bentuk, yang dimulai dengan sis-tem upah harian, upah harian secara ber-kelompok, upah borongan, sampai pada pe-ngupahan jasa peralatan bermesin seperti, traktor, heller, dan dosser pemanen, bahkan menggunakan jasa alat berat seperti skafa-tor dan dosser pada pekerjaan-pekerjaan tertentu.

Perubahan tersebut memberikan gam-baran hilangnya salah satu produk budaya yang sebelumnya dikenal menjadi milik pe-tani desa. Sehingga yang muncul kemudian adalah segala sesuatu bentuk keringat indi-vidu atau kelompok dengan peralatan tek-nologi yang digunakan, dinilai dengan ua-ng. Kondisi tersebut menyebabkan petani di Desa Alosika tidak lagi mengedepankan so-lidaritas dan kekerabatan yang lahir dari go-tong-royong.

Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertu-juan: (1) untuk mengetahui dan mendeskri-psikan sistem gotong-royong pada masya-rakat petani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe; (2) untuk me-ngetahui dan mendeskripsikan perubahan dari sistem gotong royong ke sistem peng-upahan pada masyarakat petani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Ko-nawe.

(8)

B. LANDASAN TEORI DAN KERANGKA FIKIR

1. Landasan Teori

Penelitian dengan judul “Dari Goto-ng RoyoGoto-ng ke PeGoto-ngupahan’’meGoto-ngacu pada Teori Evolusi Budaya. Menurut White da-lam Kaplan (2002), Manusia dapat menga-dakan refresentasi mengenai simbolik ten-tang dunia bagi dirinya sendiri (tentu saja dapat terjadi misrepresentasi atau repsentasi keliru), maka mampu mentransendensikan pengalaman indrawinya sendiri. Manusia dapat berspekulasi tentang masa silam, be-rangan-angan tentang harapan hari depan, bahkan menciptakan hal-hal yang tidak ada seperti kuda sembrani dan nenek sihir. Per-lambangan membuat manusia mampu merawat, memanfaatkan, dan menyajikan pengalaman dalam satu wujud tertentu sehi-ngga pengalaman itu menjadi bagian suatu tradisi yang bersifat kumulatif dan progre-sif. Terutama melalui arus ekstrasomatis dari tradisi yang meliputi teknoekonomi, organisasi sosial dan idiologi inilah (seder-hananya melalui budaya) manusia beradap-tasi dengan dunian sekelilingnya dan meng-eksploitasinya.

White dalam rumusan-rumusan evo-lusinya lebih mempermasalahkan budaya secara luas daripada manifestasi-manifes-tasi lokalnya. White dapat mengabaikan fa-ktor geografis maupun variasi fisikobiolo-gis. Awal-mula budaya terkandung dalam proses-proses evolusi biologis. Akan tetapi begitu budaya tampil, maka ia memiliki ke-hidupan dan momentumnya sendiri dan ini-lah sebabnya. Kata White budaya hanya da-pat diterankan sebagai atau dalam kaitan dengan budaya. Perubahan-perubahan da-lam tradisi super organik yang bulat ini (bu-daya, kultur) maupun variasi-variasi lokal di dalamnya yang berlansung dari waktu ke waktu, tak dapat diterngkan dengan meru-juk kepada faktor-faktor geografis atau psi-kobiologis. Sebabnya, hal-hal tersebut bo-leh jadi tidak mengalami perubahan cukup berarti sejak akhir era pleis-tocene sekitar

dua puluh sampai dua puluh lima ribu tahun yang silam.

Dimensi lain yang sangat penting dalam konsepsi White adalah mengenai evolusi budaya. Budaya merupakan piranti adaptasi bagi manusia untuk berakomodasi terhadap alam dan mengadaptasikan alam padanya. Pada dasarnya manusia-dalam-budayamelaksanakan hal itu, dengan me-ngerahkan energi yang tersedia dan mem-perkerjakanya demi kepentingan. Dengan demikian, White mengajukan rumusan be-rikut untuk menjelaskan perkembangan kul-tur: budaya mengalami kemajuan seukur dengan tingginya peningkatan besarnya energi yang dikerahkan perkapita pertahun, atau seukur dengan peningkatan efesiensi pemanfaatan energi (E x T--> C, di mana E adalah energi, T adalah efesiensi dan C adalah kultur, budaya). Dalam peroses pe-ngerahan energi ini Wite melihat bahwa semua tatanan intitusional utama dalam bu-daya (teknologi, organisasi, sosial dan poli-tik, dan idiologi) memeberikan sumbangan kepada efektifitas sistem itu dalam menja-tah serta memanfaatkan energi yang terse-dia baginya. Akan tetapi “peran utama di-mainkan oleh sistem teknologi”. Karena berpendirian demikian, White acapkali ditu-duh berpandangan determinisme teknologi mekanis, meskipun dia menyatakan bahwa semua bagian budaya berinteraksi. Masing-masing bereaksi yang lain dan sebaliknya, terpengaruh pula oleh yang lain. White me-mpertahankan pandanganya mengenai ke-utamaan peran teknologi itu dengan mene-kankan bahwa melalui teknologi itu manu-sia bergaul dengan permukaan bumi secara paling erat dan kentara. Oleh karena itu, ko-mponen inilah yang memiliki bobot kausal lebih besar dalam menjelaskan evolusi kebudayaan (White dalam Kaplan 2002).

(9)

Pada masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe)

2. Kerangka Pikir

Gambar 1. Bagan Kerangka Fikir Mengacu pada bagan kerangka pikir diatas, objek penelitian adalah sistem go-tong royong dan perubahan sistem gogo-tong royong ke sistem pengupahan pertanian pada petani ladang dimasa lampau yang digantikan pertanian padi sawah beririgasi di Desa Alosika. Masyarakat petani sawah Desa Alosika merupakan petani yang gemar bergotong royong dimasa lampau, sebagai wujud dari solidaritas dan persaudaraan di-kalangan petani. Aktifitas kerja sama dalam aktifitas pertanian dilakukan sebagai mani-festasi dengan tidak mengaharapkan upah secara materi, melainkan masing-masing petani memiliki kesatuan-kesatuan dalam komunitas mereka dengan harapan akan mendapatkan bantuan jasa dari orang yang telah dibantunya secara suka rela, sebalik-nya petani yang telah mendapatkan bantuan jasa dari petani lain memiliki untuk mem-bantu yang telah memmem-bantunya sehingga suatu saat akan membayarnya tampa ada batas waktu yang ditentukan.

Seiring dengan berjalannya waktu serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penduduk lokal di Desa Alosika perlahan meninggalkan perladangan yang

dahulu kental dengan sistem gotong royong dan beralih ke pertanian sawah. Bercocok tanam padi di sawah dahulu juga awalnya selalu diwarnai dengan aktivitas gotong ro-yong, namun hal tersebut berubah menjadi sistem upah jasa buruh. Hal ini selaras de-ngan pola pikir petani yang mengedepankan efektifitas dan efesiensi kerja yang tampak dalam perilaku petani itu sendiri.

Hilangnya gotong royong yang di-gantikan dengan sistem upah juga mem-bawa banyak perubahan pada aspek kehidu-pan lain dari masyarakat petani sawah di Desa Alosika. Beberapa bentuk perubahan tersebut antara lain perubahan pola pikir pe-tani itu sendiri, yang menyebabkan beruba-hnya pula perilaku mereka; petani cende-rung tampil sebagai individu; serta solidari-tas antar petani mulai memudar karena ua-ng meua-ngambil alih peran yaua-ng sebelumnya dilakukan oleh manusia.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Desa Alo-sika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe. Sebagian besar wilayahnya adalah areal pe-rtanian sawah. Hal tersebut juga membawa berkah bagi warga setempat yang mayoritas memilih mata pencaharian sebagai petani sawah. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan kunci dan informan biasa. Pe-nentuan informan ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan infor-man berdasarkan kebutuhan penelitian atau pemilihan informan secara sengaja. Hal ter-sebut mengacu pada Spradley (1997) yang mengatakan, bahwa seorang informan se-baiknya mereka yang mengetahui dan me-mahami secara tepat permasalahan pene-litian, sehingga diperoleh informasi seba-nyak mungkin dalam rangka menjawab per-masalahan penelitian.

Sebagai sebuah penelitian lapangan (fieldwork), maka proses pengumpulan data dilakukan melalui metode pengamatan terli-bat (participation observation) dan wawan-Perubahan sistem gotong

royong ke sistem pengupahan masyarakat

Tani di Desa Alosika

Masyarakat Desa Alosika

Sistem Pertanian

Sistem Gotong Royong Masyarakat Tani di Desa

Alosika

Teori Evolusi Budaya Leslie A. White

Dari Gotong Royong ke Pengupahan (Studi perubahan Sosial Budaya

pada Masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki

(10)

cara mendalam (indepth interview). Me-nurut Spradley (1997) bahwa salah satu ciri khas dari metode penelitian lapangan (field work) etnografi adalah sifatnya yang ho-listik-integratif, deskripsi yang tebal dan mendalam (thick description) dan analisis kualitatif dalam rangka mendapatkan pema-haman warga yang diteliti atau native’s point of view serta menggunakan pengama-tan terlibat.

Analisis data dilakukan secara desk-riptif-kualitatif dengan melalui langkah-la-ngkah berikut: (1) menyusun satuan-satuan seluruh data yang dikumpul dari hasil wa-wancara, observasi, kelompok terfokus di-bagi satu persatu, dikumpulkan sesuai de-ngan golode-nganya, kemudian dilakukan re-duksi guna mengeliminir data yang kurang lelevan, membuat abstraksi dan menyusun satuan-satuan data; (2) melakukan katego-risasi data; (3) menyusun antarkategori data yang lainya, dan melakukan interpretasi makna-makna setiap hubungan antar kate-gori data yang sudah dikelompokkan sehi-ngga dapat ditemukan makna kesimpulanya (Maleong, 1994).

D. DARI GOTONG ROYONG KE

PENGUPAHAN

1. Sistem Gotong Royong

Sistem pertanian dan gotong royong masyarakat tani di Desa Alosika mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Hal terse-but ditunjang dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta program pemerintah yakni dengan dijadikanya dae-rah tersebut sebagai daedae-rah transmigrasi. Masuknya berbagai suku bangsa membawa pengetahuan dan gagasan baru turut berpe-ngaruh terhadap pola pertanian dan kehidu-pan sosial lainya di desa ini. Perubahan ter-sebut melalui beberapa tahapan yakni: (1) sebelum menjadi daerah transmigrasi; (2) setelah menjadi daerah transmigrasi; (3) berlakunya sistem irigasi tradisional yang dikelola dengan sistem subak, walaupun

sistem subak dipahami sebatas sebagai ke-lompok tani oleh petani lain diluar orang Bali.

2. Sebelum Menjadi Daerah

Transmig-rasi

Desa Alosika sebagaimana yang di-kenal seperti saat ini, dahulu adalah Desa Persiapan Hulu Jaya yang didiami oleh or-ang Tolaki. Sebelum menjadi des transmig-ran pada tahun 1982, Desa Persiapan Hulu Jaya telah mulai didatangi oleh orang Bugis dari Sulawesi Selatan Saat itu hanya terdiri atas 3 kepala keluarga (KK). Kondisi Desa Alosika masih berupa perkampungan serta hamparan semak belukar, rawa dan hutan. Tujuan awal kedatangan orang Bugis di desa adalah berkebun. Mereka berupaya membuka lahan dengan menanam coklat. Secara kuantitas orang Bugis sangat sedikit dibandingkan dengan orang Tolaki, sehing-ga kehadiran orang Bugis di desa itu, tidak banyak memberi konstribusi bagi penduduk lokal untuk mengalami perubahan sosial budaya.

Mata pencaharian utama orang To-laki dalam memenuhi kebutuhan pangan untuk konsumsi rumah tangga masih ter-fokus pada apa yang telah tersedia di alam misalnya mengolah sagu (sumaku), serta berladang (monda’u).

Penanaman padi ladang dilakukan hanya satu kali dalam satu tahun yakni mu-sim tersebut ditandai dengan berakhirnya musim kemarau dan sudah sesekali turun hujan. Pertanian padi ladang melewati be-berapa tahapan dan setiap tahapan tersebut dilakukan dengan pengerahan tenaga kerja dengan sistem gotong royong yang dimulai dari membuka lahan (menduehi), pemaga-ran (mewolu), penanaman benih (mowu-wui), menyiangi, dan memanen (mosowi) serta mengangkut (dirongo) ke gubuk lum-bung padi (laika landa). Pembukaan lahan dilakukan secara bergotong oyong yang di-kenal sebagai samaturu. Hal ini menunjuk-kan bahwa masyarakat Tolaki gemar dalam

(11)

Pada masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe)

bergotong royong, tidak terkecuali dalam aktifitas pertanian.

Pembukaaan lahan pada saat musim kemarau sudah hampir berlalu yang dise-suaikan dengan perkiraan mereka dari pe-ngalaman pada musim sebelumnya. Pendu-duk lokal di Desa Alosika saat itu, mulai membuka lahan secara bersama-sama atau membentuk kelompok kerja yang terdiri atas beberapa orang atau kepala keluarga yang biasanya masih keluarga atau tetang-ga. Semakin banyak anggota kelompok ma-ka semakin luas pula lahan yang dapat di-buka.

Sebagai tahap awal, para petani me-nentukan lahan yang akan dibuka. Biasanya lokasi dipilih pada hutan yang tidak banyak memiliki pepohonan yang besar karena ak-an menyulitkak-an petak-ani untuk menebak-ang. Se-telah lokasi lahan disepakati, maka barulah petani melakukan pembukaan lahan ( wun-duehi). Pembukaan lahan tersebut diupaya-kan seluas mungkin dengan menebang pe-pohonan dan membabat semak belukar ya-ng akan meya-nghalaya-ngi pertumbuhan padi la-dang nantinya. Tenaga kerja pada saat pe-nebangan dilakukan bukan semata dari ang-gota kelompok namun juga berasal dari pe-tani lainya yang berasal dari kelompok lain. Setelah penebangan dan pembabatan sele-sai, maka tahapan berikutnya adalah memi-sahkan batang-batang pohon yang telah di-tebang untuk dijadikan pagar atau dimanfa-atkan sebagai kayu bakar. Dedaunan dan semak yang telah kering dibakar dengan tu-juan menambah kesuburan tanah.

Tahapan selanjutnya adalah tahap pemagaran (mewolu). Dalam proses ini ma-syarakat yang telah terbentuk dalam kelom-pok kerja serta bantuan tenaga dari petani lainnya, secara bersama-sama melakukan pemagaran keliling yang dikenal dengan mewolu. Kayu yang telah ditebang diman-faatkan sebagai pagar dengan cara disusun rapi. Sepanjang pagar tersebut dalam jarak tertentu diberi penyangga dan tiang agar

ti-dak mudah dirobohkan babi. Tinggi pagar tersebut yakni sekitar 75 cm sampai 1,5 m.

Setelah persiapan lahan selesai yang meliputi pembukaan lahan, pembakaran dan pemagaran, maka anggota kelompok yang terdiri atas beberapa orang (biasanya 5-10) membagi lahan yang selanjutnya ditanami padi. Lahan dibagi sama sehingga tidak ada yang dirugikan, sambil menunggu turunnya hujan dan hari untuk menanam. Sebelum penanaman dilakukan biasanya dilakukan ritual yang dikenal dengan nama mombo-dai. Ritual tersebut dilakukan di kebun de-ngan dihadiri oleh orang-orang yang akan membantu menanam dan dipimpin oleh se-orang dukun (parika). Ritual tersebut dila-kukan agar padi tumbuh dengan subur dan terhindar dari hama serta mendapatkan hasil panen yang melimpah.

Proses penanaman benih padi ( mo-nda’u) juga dikerjakan secara gotong ro-yong. Tenaga kerja berasal dari anggota ke-lompok dan luar keke-lompok yakni tetangga rumah, tetangga kebun, teman dari luar de-sa. Tidak ada batasan antara anak-anak dan orang dewasa. Penanaman dilakukan deng-an menugal menggunakdeng-an kayu ydeng-ang telah diruncing ujungnya yang oleh masyarakat Tolaki saat itu, dikenal dengan potasu. Me-nunggal menggunakan potasu merupakan kerjaan laki-laki. Sementara itu, yang me-masukkan padi yang telah berkecamba ke dalam lubang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Biasanya satu penugal diikuti oleh 3 - 5 orang yang bertugas memasukkan bibit padi ke lubang bekas potasu. Kegiatan ini disebut sebagai yang dikenal dengan is-tilah mowuwui. Adapun padi yang ditanam oleh masyarakat Tolaki saat itu hanya dua jenis yakni padi merah (paendolaki) dan padi ketan (paedai).

Bekerja secara gotong royong seba-gaimana yang dilakukan dalam tahapan se-belumnya masih berlanjut pada pemeliha-raan tanaman padi di ladang. Pada usia se-kitar dua sampo tiga minggu, padi telah mencapai tinggi sekitar 10 cm. Namun pada

(12)

saat yang sama, rumput dan gulma lainnya juga tumbuh disekitar tanaman padi terse-but, sehingga harus segera dibersihkan agar padi tetap tumbuh dalam kondisi yang su-bur. Kegiatan ini juga dilakukan secara go-tong royong secara bergantian sebagai upa-ya untuk mengefisiensikan waktu kerja.

Berbeda dengan tahapan sebelum-nya, proses panen padi (mosowi) tidak se-penuhnya dilakukan secara gotong-royong, namun sudah menggunakan sistem upah ha-rian. Tenaga kerja yang digunakan dalam proses ini adalah keluarga ataupun tetang-ga, baik yang tinggal di pemukiman (te-tangga rumah), maupun te(te-tangga kebun

Pada tahap pemanenan padi di la-dang (mosowi) ini, pemilik lahan merasa sudah tidak sewajarnya lagi jika masih di-kerjakan secara gotong royong. Oleh karena itu, pada tahapan panen padi dilakukan ngan dengan sistem bagi hasil, yakni de-ngan hitude-ngan secara umum empat ikat ke-luar satu. Selain itu, pemilik lahan juga me-miliki kebijakan tertentu, misalnya: (1) jika dalam satu hari, yang dapat dipanen hanya tujuh ikat, maka untuk yang bersangkutan tetap diberikan dua ikat; (2) apabila luas la-han tidak sebanding dengan jumlah pema-nen dan masing-masing pemapema-nen rata-rata hanya memanen dibawah empat ikat (3 ikat atau dua ikat), sementara padi sudah selesai dipanen maka untuk yang bersangkutan te-tap akan mendapatkan bagian hasil panen. Besarnya tergantung dari kebijakan pemilik lahan.

Saat panen tiba, warga akan berda-tangan atas inisiatif sendiri baik disampai-kan maupun tidak disampaidisampai-kan oleh pemi-lik ladang. Mereka membawa anai-anai se-bagai alat panen. Hal tersebut sudah men-jadi kebiasaan yang umum bagi petani la-dang saat itu di Desa Alosika. Pada umum-nya, pemanen adalah keluarga, tetangga la-ding, tetangga rumah, teman dari luar desa. Pemilik ladang tidak peserta yang tidak membatasi jumlah warga yang mau ikut memanen padi. Pada dasarnya, kondisi

yang demikian cenderung merugikan pemi-lik lading. Namun, semangat berbagi dan solidaritas antar sesama petani saat itu ma-sih kental, sehingga hal tersebut merupakan hal yang biasa saja. Petani belum berpikir mengenai untung dan rugi, mengingat ber-cocok tanam padi di ladang tidak memer-lukan modal yang besar seperti pertanian padi sawah sekarang ini.

Padi yang telah dipanen bersama-sama oleh sebagian besar petani tidak la-ngsung dibawah pulang ke rumah melain-kan disimpan pada lumbung padi, sebuah gubuk yang dibangun di tengah-tengah la-dang oleh penduduk local. Lumbung adi tersebut lebih dikenal dengan istilah laika landa. Pembangunan gubuk tersebut dilaku-kan jauh hari sebelum padi di ladang siap panen atau bahkan hampir bersamaan de-ngan ditanamnya benih padi. Karena gubuk tersebut juga berfungsi sebagai tempat isti-rahat dan tempat untuk melakukan penga-wasan hama perusak seperti babi dimalam hari dan hama burung di siang harinya.

Seiring dengan berjalanya waktu dan bertambahnya penduduk serta lahan ya-ng mulai berkuraya-ng, pola perladaya-ngan se-cara berkelompok di desa ini mulai diting-galkan berganti menjadi pola perladangan mandiri. Sudah banyak warga yang melaku-kan penanaman padi ladang secara terpisah atau secara sendiri-sendiri. Meskipun demi-kian, proses pada setiap tahapannya tetap dilakukan secara bergotong royong. Warga yang satu dengan yang lainya tetap saling membantu dalam mengolah lading-ladang mereka.

Ada beberapa faktor yang menye-babkan hal tersebut, antara lain kebutuhan akan pangan penduduk pada saat itu se-makin meningkat serta kondisi tersebut dibarengi dengan pertumbuhan penduduk. Jika sebelumnya hanya terdiri atas satu ke-pala keluarga, namun anak-anak yang su-dah menikah dan membentuk satu keluarga inti. Sehinga terjadi pertumbuhan penduduk yang berlangsung secara terus menerus.

(13)

Ke-Pada masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe)

luarga-keluarga inti tersebut juga perlu juga menyandarkan hidupnya dari aktivitas per-ladangan. Namun di sisi lain, luas lahan re-latif tetap. Di sisi lain, aktivitas perladangan relatif dilakukan secara berpindah mengi-ngat lahan ladang yang digunakan lebih da-ri satu kali secara terus menerus akan mem-buat lahan cenderung menjadi tandus dan tidak layak untuk ditanami padi. Kondisi tersebut selanjutnya membawa perubahan pada pola perladangan yang dilakukan oleh dengan warga setempat di masa itu, dari perladangan secara berkelompok beralih menjadi pola perladangan secara mandiri (sendiri-sendiri).

3. Setelah Menjadi Daerah Transmigrasi

Pada tahun 1982 Desa Persiapan Hulu Jaya (Desa Alosika) dijadikan daerah transmigrasi bagi penduduk suku bangsa Bali, Jawa dan Sunda. Hal tersebut diiringi dengan pembukaan lahan pertanian secara besar-besaran berupa lahan perkebunan un-tuk daerah kering dan pembukaan lahan persawahan pada daerah rawa. Pada saat yang sama desa ini mulai didatangi oleh or-ang Bugis dari Sulawesi Selatan. Kedata-ngan mereka berawal dari hanya sekedar mengunjungi keluarga yang telah lebih aw-al datang dan bermukim di desa tersebut. Mereka selanjutnya memutuskan menetap mengingat masih tersedia lahan yang luas dengan kondisi tanah yang subur. Harga la-han yang sangat (Rp.1.000.000-3.000.000/-ha), juga menjadi daya tarik bagi mereka untuk memilih tinggal di desa ini.

Kehidupan masyarakat desa tersebut yang sebelumnya hanya dihuni oleh pendu-duk lokal, mengalami perubahan besar. Ak-tifitas pembukaan lahan secara besar-besa-ran dilakukan oleh warga pendatang (warga transmigran dan orang Bugis). Hal tersebut dilakukan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Warga tra-nsmigrasi mendapatkan lahan olahan seba-nyak 2 ha setiap kepala keluarga (KK) yang berupa 0,5 ha untuk pemukiman dan peka-rangan, serta 1,5 ha untuk lahan

perkebu-nan. Perubahan yang paling signifikan ter-jadi dan mempengaruhi kehidupan masya-rakat setempat adalah beralihnya pola ber-tani ladang menjadi berber-tani di lahan persa-wahan. Penduduk lokal yang sebelumnya hanya berladang dengan menanam padi ladang, secara berangsur-angsur mulai me-ninggalkan pola tersebut.

Penduduk transmigran dan orang Bugis di Desa Alosika juga membawa ke-terampilan serta pengetahuan baru tentang pertanian. Pengetahuan-pengetahuan baru tersebut selanjutnya diserap oleh penduduk lokal yang akhirnya termotivasi untuk membuka lahan persawahan juga. Namun sebagian besar justru memilih pindah ke desa lain seperti: Desa Asolu, Langgea dan Kota Unaaha karena telah menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Penduduk lokal sebagian besar pin-dah ke desa lain misalnya ke Desa Asolu, Langgea dan bahkan banyak yang pindah ke Kota Unaaha karena telah menjadi Pega-wai Negeri Sipil. Sebagian lainnya masih bertahan dengan ikut membuka lahan per-sawahan seperti yang dilakukan oleh para pendatang karena hal tersebut dianggap baik. Namun demikian, penduduk lokal se-bagai tuan tanah terus menerus melakukan penjualan tanah. Disisi lain, orang Bugis dan penduduk transmigrasi lainya malah te-rus melakukan perluasan lahan dengan ban-tuan modal dari keluarganya. Bahkan ba-nyak diantara keluarga mereka tersebut juga datang untuk membeli tanah dan selanjut-nya bermukim di desa tersebut. Keluarga para pendatang di Desa Alosika yang akhir-nya datang juga ke desa tersebut, awalakhir-nya hanya ingin bersilahturahmi atau mengun-jungi keluarga mereka yang sudah lebih da-hulu tinggal di Alosika. Namun pada akhir-nya mereka membeli tanah di daerah ini dan memilih menetap. Keputusan membeli tanah di daerah ini didasarkan pada pertim-bangan bahwa harga tanah yang sangat mu-rah serta memiliki potensi untuk diolah menjadi pertanian sawah.

(14)

Beberapa diantara mereka ada pula yang memutuskan menjual lahan milik di kampung halaman. Uang hasil penjualan ta-nah tersebut digunakan untuk membeli la-han di Desa Alosika. Harga lala-han di kam-pung asal mereka jauh lebih mahal jika dibandingkan di desa tersebut pada saat itu. Hasil menjual ½ ha lahan petani di kam-pung halaman mereka (misalnya di Sula-wesi Selatan atau di Bali) dapat digunakan untuk membeli lahan sekitar 2 ha di Desa Alosika pada saat itu.

Awal kedatangan transmigran di de-sa ini pengerahan tenaga kerja dengan jalan gotong royong merupakan prioritas utama dalam rangka mengurangi biaya produksi. Penduduk Desa Alosika pada awalnya ber-sawah hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga saja, namun seiring berjalannya waktu sudah banyak yang me-lakukan penjualan hasil panen.

Pada dasarnya gotong royong meru-pakan salah satu yang dianjurkan agama dengan konsep saling tolong menolong. Na-mun demikian, hal yang memotivasi me-reka untuk bergotong royong, khususnya pada pertanian sawah masyarakat transmig-rasi adalah karena kurangnya modal yang dimiliki. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan melakukan gotong royong, mereka dapat mengurangi biaya produksi saat mela-kukan pengolahan lahan dan hanya perlu mengeluarkan sedikit modal. Hal tersebut juga dilakukan mengingat hasil pertanian saat itu hanya dimanfaatkan untuk meme-nuhi kebutuhan pangan keluarga saja.

Pada saat itu, pengolahan lahan sa-wah masih bersifat tradisional dengan peng-erahan tenaga kerja secara bergotong ro-yong serta memanfaatkan tenaga hewan (sapi) dalam aktifitas produksi. Sebagian besar lahan sawah masih diolah satu musim karena merupakan sawah tadah hujan. Se-bagian lainnya telah menggunakan irigasi yang dibuat secara swadaya dengan cara membendung sumber mata air dari rawa yang ada di sekitar desa. Kondisi tersebut

menyebabkan pada saat musim kemarau be-sar kemungkinan sawah petani akan kekeri-ngan dan pada musim hujan tanggul dari saluran irigasi swadaya tersebut akan jebol. Umunya Aktivitas gotong royong dilakukan pada beberapa pekerjaan seperti pembukaan atau pencetakan sawah baru, pengolahan sawah, pemeliharaan, dan pe-ngangkutan hasil panen. Pembukaan lahan dilakukan oleh masing-masing kelompok masyarakat (misalnya sesama orang Jawa) dengan sistem kerjasama dan saling bergili-ran dari lahan satu ke lahan yang lainnya sampai semua lahan selesai. Pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama pada tahap ini adalah pembuatan pematang, member-sihkan sisa akar pepohonan dan pembaka-ran sisa-sisa pembaka-ranting pohon.

Aktivitas gotong royong selanjutnya juga dilakukan pada pekerjaan pengolahan sawah yang dimulai dari membajak, meme-cah, meratakan (mapan). Tenaga hewan sa-pi pada tahap ini mengambil peranan pen-ting sebagai sumber tenaga. Para petani me-nggunakan sapi dalam pembajakan sawah yang meliputi aktifitas membajak (meluku), meratakan (memapan) dan sebagainya. Pa-da tahap ini, bentuk kerjasama dengan sa-ling tukar menukar hewan untuk mengolah sawah juga berlangsung.

Bentuk hubungan antar petani masih dibingkai dengan solidaritas dan kebersa-maan yang masih kental. Petani yang satu dengan petani yang lainya saling menutupi kekurangan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Petani saling sumbang tenaga dan jasa ternak mereka untuk saling melengkapi dalam proses produksi. Petani yang me-miliki ternak meminjamkan ternaknya un-tuk digunakan dalam proses pengolahan la-han sawah oleh pemilik lala-han lainnya yang tidak memiliki ternak. Petani yang tidak memiliki ternak diuntungkan dengan pinja-man ternak tersebut dan sebaliknya petani pemilik ternak juga di untungkan karena ti-dak perlu lagi bersusah paya membajak sendiri.

(15)

Pada masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe)

Di sisi lain, petani yang tidak memi-liki ternak dan juga tidak menggunakan ternak sapi petani lainya untuk mengolah lahan, sering kali meminta tolong kepada beberapa orang petani yang memiliki ternak sapi untuk membajak sawah miliknya. Bi-asanya mereka masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, tetangga atau te-man. Setelah pengolahan lahan selesai, ma-ka sampailah pada proses menanam bibit padi yang juga dilakukan secara bergotong oyong. Mereka saling membantu secara bergiliran mulai dari lahan milik mereka sendiri hingga ke lahan sawah milik petani lainnya. Jika yang bersangkutan tidak sem-pat membantu, maka akan ada utusan yang menggantikan perannya. Biasanya pengga-nti tersebut adalah anggota keluarganya. In-formasi mengenai aktivitas tersebut diketa-hui dari mulut ke mulut, baik disampaikan saat mereka saling berpapasan di jalan, ber-temu di masjid atau disampaikan secara la-ngsung oleh pemilik lahan pada kegiatan yasinan di setiap malam jumat. Kegiatan tersebut dilaksanakan selalu dilaskanakan di salah satu rumah warga secara bergiliran. Tujuan disampaikanya informasi tersebut adalah agar tidak terjadi ada dua kegiatan penanaman pada waktu yang bersamaan.

Pada tahapan selanjutnya, gotong royong juga masih dilakukan pada tahapan perawatan padi, namun tidak sesering dan seramai pada saat proses penanaman. Se-mentara itu, pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti pemupukan dan penyemprotan, pe-ngaturan air dan pekerjaan lainnya keba-nyakan dikerjakan sendiri oleh pemilik sa-wah.

Secara khusus, petani Bali memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada dimuka bumi adalah ciptaan Tuhan, ter-masuk hama perusak tanaman padi. Oleh karena itu, Untuk menanggulangi hama ter-sebut mereka gemar melakukan ritual untuk menyembah Dewa Seraya. Selain itu, orang Bali juga membentuk kelompok-kelompok yang dikenal dengan nama subak. Satu

su-bak terdiri dari 40 kepala keluarga (KK) petani. Setiap subak melakukan ritual di sawah yang dipimpin oleh seorang imam. Penyembahan kepada Dewa Seraya dilaku-kan dengan tujuan supaya hama tanaman ti-dak diturunkan untuk menggangu padi yang telah ditanam. Ritual ini juga dilakukan se-cara bersama-sama yang bertujuan agar tanaman padi mereka terhindar dari hama serta berharap bahwa hasil panen melim-pah. Selain itu, ritual tersebut menyebabkan petani tidak menggunakan pestisida dalam pemeliharaan tanaman padi.

Subak sebagai organisasi kemasya-rakatan yang berbasis kelompok tani selain mengatur pengairan (irigasi), juga berperan dalam pelaksanaan ritual bagi orang Bali. Ritual tersebut juga menjadi bentuk kontrol bagi petani untuk tetap menjaga keseim-bangan lingkungan alam, dengan tidak ba-nyak menggunakan bahan kimia seperti pe-stisida dan bahan kimia lainya.

Para anggota subak yang beragama Hindu memiliki kewajiban untuk mengikuti ritual penyembahan kepada Dewa Sraya tersebut. Ritual ini biasanya dilaksanakan bersamaan dengan hari raya galungan dan kuningan. Sementara itu, anggota subak ya-ng tidak beragama Hindu, tidak memiliki kewajiban mengikuti ritual sembahyang ter-sebut. Apabila ada yang tidak sempat hadir, maka akan dikenakan denda berupa gabah, beras atau uang tunai yang disesuaikan de-ngan kesepakatan denda dari musyawarah anggota subak.

Pada tahapan pemanenan padi, seca-ra umum tidak dikerjakan secaseca-ra gotong royong, namun sejak dulu sudah diupahkan. Tenaga kerja masih berasal dari tetangga, keluarga dan lain-lain. Sistem upah yang di-terapkan berupa upah harian berupa gabah dengan takaran 35 liter/hari. Namun demi-kian, hal ini dianggap merugikan pemilik lahan karena secara tidak langsung mereka memberikan upah dua kali lipat kepada te-naga upahan tersebut. Selain memberi upah dalam bentuk gabah, pemilik lahan juga

(16)

masih harus direpotkan karena harus me-nyediakan makanan untuk orang yang di-upahnya.

Berbeda dengan proses pemanenan, pengangkutan hasil panen tetap dilakukan dengan jalan bergotong royong, khususnya jika hasil panen padi relatif banyak. Jika ha-sil panen sedikit, biasanya proses panen di-lakukan sendiri oleh pemilik lahan. Padi yang telah dipanen dalam bentuk gabah tidak bisa dibiarkan tinggal lama di sawah. Gabah harus segera dikeringkan agar kuali-tas berasnya tetap bagus. Petani dalam me-ngangkut hasil panennya kadang dilakukan sendiri jika jumlah hasil panenya hanya se-dikit dengan cara dipikul sendiri. Sementara itu, petani yang memiliki lahan yang luas cenderung memanen padi dalam jumlah ba-nyak pula. Petani tersebut akan memanggil tetangga, keluarga dan teman mereka untuk membantu memikul gabah hasil panennya. Gotong royong dalam memikul gabah ber-langsung sebelum dikenalnya sistem upah jasa ojek gabah. Jasa ojek yang dimaksud menggunakan sepeda yang di desain sede-mikian rupa agar sepeda tersebut mampu memuat beban seberat satu karung gabah atau sekitar 100 kg.

4. Irigasi Tradisional

Persawahan di Desa Alosika sebe-lum masuknya irigasi modern hanya berada pada daerah rawa atau di tepi gunung. Se-bagian bahkan merupakan areal persawahan dengan sistem tadah hujan yang diolah satu kali dalam satu musim. Saat itu, areal wahan belum seluas dengan areal persa-wahan setelah masuknya sistem irigasi mo-deren. Dalam rangka mendapatkan air un-tuk mengolah sawahnya, petani bergotong royong membendung sumber mata air baik dari gunung maupun dari sumber mata air dari rawa. Air dari hasil bendungan swada-ya tersebut dialirkan melalui saluran irigasi tradisonal yang dibangun melalui gotong royong. Sistem pengairan tradisional ini berbasis sistem kelompok yang di dasarkan

atas lokasi lahan, agar dapat sampai pada sawah milik petani.

Pada tahap ini kelompok tani atau subak yang terbentuk berdasarkan letak sa-wah yang secara kebetulan berdekatan dan satu aliran irigasi. Pada awalnya yang ber-inisiatif membangun saluran irigasi adalah petani yang lahannya akan mendapatkan aliran air dari saluran irigasi yang akan di-bangun, sehingga mereka dapat mencetak sawah baru untuk diolah. Sistem ini selan-jutnya juga diterapkan dan dilakukan oleh petani dari suku-suku bangsa lainnya, di-mana pekerjaan bendungan atau saluran iri-gasi dilakukan secara bergotong rotong de-ngan sistem berkelompok.

Dalam proses pengerjaan irigasi, pe-tani sebelumnya membuat kesepakatan me-ngenai penetapan hari kerja. Hal ini dila-kukan agar pada hari tersebut petani yang bersangkutaan tidak melakukan aktifitas la-in. Pekerjaan saluran irigasi dilakukan seba-nyak satu sampai dua kali dalam sepekan. Mereka membagun kekompakan untuk ha-sil kerja yang baik dan cepat untuk diman-faatkan secara bersama.

Jangkauan saluran irigasi tradisional tersebut tidak terlalu jauh hanya mampu mengairi beberapa hektar sawah saja, kare-na sumber air dari bendungan tidak berasal dari sungai. Kelompok sistem irigasi yang mayoritas anggotanya adalah orang Bali, maka pengaturan air dilakukan melalui sis-tem subak. Sementara itu, anggota kelom-pok lainnya yang terdiri dari orang Bugis, Sunda dan orang Jawa cenderung mengikuti sistem pemanfaatan irigasi yang dibuat oleh orang Bali. Harapan mereka melalui kelom-pok tani tersebut, maka pemanfaatan salu-ran irigasi dapat berlangsung baik, sehingga sawah mereka juga dapat mendapatkan asu-pan air secukupnya.

Subak dalam pengaturan pembagian air menggunakan cara yang disesuaikan de-ngan kebutuhan yang dipahami bersama ol-eh anggota kelompok. Keterbatasan air

(17)

pa-Pada masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe)

da saat itu, menyebabkan petani perlu me-nggunakan cara-cara tertentu agar semua dapat mengolah laham sawah dan menda-patkan pasokan air. Petani melalui kendali kelompok tani atau subak melakukan sistem pengolahan lahan secara bergantian sehing-ga air akan difokuskan pada lahan petani yang sementara diolah. Selanjutnya, pada saat setelah penanaman, tanaman padi tetap membutuhkan air. Cara yang dilakukan pa-da tahap ini apa-dalah dengan mengalirkan air pada lahan sawah yang paling dekat dari sumber air, atau sawah yang berada paling tinggi dibanding sawah lainya. Air akan mengisi lahan sawah pertama dengan secu-kupnya, kemudian akan mengalir ke lahan sawah berikutnya karena pada dasarnya air tidak akan mengalir keatas tetapi kebawah. Sistem ini sebenarnya lebih cenderung me-nguntungkan pemilik lahan yang berada de-kat dengan sumber air.

Mengingat sistem irigasi tradisional sangat rentan dengan kerusakan, maka go-tong royong tidak hanya pada saat pemba-ngunannya saja. Namun juga pada tahap pe-rawatannya. Kerusakan saluran irigasi dapat disebabkan karena faktor alam seperti ke-banjiran atau saluran irigasi ditunbuhi rum-put yang rimbun. Oleh karena itu, petani perlu melakukan pemeliharaan saluran iri-gasi tersebut yang dilakukan secara bergo-tong royong. Kelompok tani memiliki agen-da rutin untuk bekerja bakti agen-dalam perawa-tan saluran irigasi. Semua anggota kelom-pok tani akan hadir dalam kegiatan kerja bakti. Jika yang bersangkutan tidak sempat karena ada kegiatan lain yang sangat pen-ting, maka akan diwakilkan kepada anggota keluarga lainnya misalnya saudara atau an-ak.

Sistem kelompok tersebut memba-ngun hubungan kerja yang baik dikalangan petani. Dalam kelompok kekompakan se-nantiasa dijaga demi terwujudnya harmoni-sasi dengan tujuan yang sama sebagaimana cita-cita subak pada orang Bali yang dida-sarkan pada konsep tri hita karana. Selain

itu, petani Bali sering kali secara bersama-sama melakukan ritual keagamaan yang ter-kait dengan sistem pertanian misalnya pe-nyembahan kepada dewa seraya yang bi-asanya turut dirangkaikan pada hari raya kuningan dan galungan. Pada tahapan ini petani yang bukan Bali tidak dilibatkan wa-laupun mereka satu kelompok disebabkan oleh perbedaan keyakinan dimana orang Bali dengan agama Hindu sedang petani lainnya beragama Islam.

5. Perubahan Sistem Gotong Royong ke

Sistem Upah.

Saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa hampir semua hal sudah dapat diperjual be-likan atau dipertukarkan, tidak terkecuali sistem pertanian milik masyarakat petani sawah di desa. Masyarakat petani di Desa Alosika saat ini menjadikan sistem per-tanian sawahnya sebagai suatu hal yang segala sesuatunya bernilai dengan materi atau uang yakni dengan sistem pengupahan dalam aktifitas pertanian. Perubahan sistem gotong royong ke sistem pengupahan tidak lain disebabkan oleh pola pikir dari petani itu sendiri yang mengutamakan efektifitas dan efesiensi kerja dalam rangka mendapat-kan keuntungan dari hasil panen padi dalam setiap musimnya.

6. Irigasi Moderen

Desa Alosika yang sangat potensial untuk persawahan kemudian dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kona-we dengan membangun sistem irigasi untuk pertanian sawah sebagai salah satu infra-struktur pertanian tersebut. Irigasi tersebut dibangun dengan membendung sungai yang ada di Desa Garuda Kecamatan Abuki ke-mudian dialirkan dengan saluran induk be-serta cabang-cabang aliran kecil untuk sam-pai pada sawah-sawah yang ada di Desa Alosika dan beberapa desa lainya.

Pembangunan irigasi di Desa Alo-sika memakan waktu 1 tahun yakni dari ta-hun 1991 sampai 1992. Namun demikian, saluran irigasi tersebut optimal

(18)

dimanfa-atkan sepenuhnya pada tahun 1993. Bentuk irigasi yang dibangun adalah irigasi perma-nen dengan teknik berdinding dan beralas-kan beton. Kehadiran irigasi permanen ini, banyak membawa perubahan yang sangat signifikan bagi kehidupan bermasyarakat petani sawah di desa tersebut. Salah satu-nya, warga tidak perlu lagi bersusah payah memperbaiki bendungan swadaya yang ke-rap kali kekeringan pada musim kemarau atau jebol pada musim hujan. Hal tersebut mengurangi aktifitas warga untuk melaku-kan kegiatan bergotong royong. Para petani hanya konsentrasi pada lahan garapan ma-sing-masing dan berupaya memperluas la-han olala-han karena tidak khawatir kekeri-ngan, disisi lain lahan masih teredia.

Selain itu, pembangunan saluran iri-gasi selama kurang lebih satu tahun tersebut dikerjakan secara upahan baik borongan maupun harian. Pengerahan tenaga kerja upahan dalam pembangunan saluran irigasi tersebut merupakan petani itu sendiri mes-kipun ditambah dengan tukang yang lebih professional. Pemberlakuan sistem upah da-ri pembangunan sarana umum merupakan hal yang baru dikalangan petani sawah De-sa Alosika De-saat itu, dimana sebelumnya ha-nya dikerjakan dengan jalan bergotong ro-yong.

Awal dari memudarnya semangat gotong royong petani sawah di Desa Alo-sika adalah adanya pekerjaan saluran irigasi yang dikerjakan dengan sistem upah dima-na tedima-naga kerja dalam proyek pembangudima-nan tersebut sebagian besar merupakan petani sawah di Desa Alosika dan petani dari desa lain. Para petani kemudian enggan menger-jakan atau memperbaiki sarana umum ter-sebut secara sukarela bergotong royong ka-rena beranggapan bahwa semuanya sudah ada anggarannya. Mereka hanya mau mera-wat saluran irigasi yang masuk wilayah ker-ja anggota subak atau kelompok tani yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat di de-sa itu, mide-salnya kerja bakti membersihkan

saluran irigasi dan pembagian air secara merata.

Berangkat dari pengalaman upahan pada pekerjaan bendungan dan saluran iri-gasi tersebut, sistem upah kemudian diang-gap baik oleh kalangan petani di Desa Alo-sika. Sehingga hal tersebut diterapkan pula ke dalam sistem pertanian dengan mulai memberlakukan sistem upah harian dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu misalnya nanaman dan pemanenan, terutama bagi pe-tani yang memiliki lahan yang luas karena tidak memungkinkan untuk dikerjakan sen-diri.

Berlakunya sistem irigasi permanen, menyebabkan hasil panen petani di desa ini mengalami peningkatan. Dengan kata lain program pemerintah tersebut telah berhasil memberdayakan petani sawah di Desa Alo-sika. Kondisi tersebut kemudian menjadi ajang kompetisi bagi petani untuk memper-luas lahannya dengan mencetak lahan sa-wah baru ataupun dengan membeli lahan. Sebagai dampaknya adalah harga tanah se-makin mahal dan sese-makin menyudutkan pe-tani yang tidak memiliki modal.

Pembelian tanah dalam rangka me-mperluas lahan dilakukan oleh warga pen-datang seperti Orang Bugis, warga trans-migran, serta warga pendatang lainnya. Se-baliknya, penduduk lokal sebagai tuan ta-nah banyak melakukan penjualan lahan. Se-lanjutnya satu persatu diantara mereka pin-dah bermukim di daerah lain.

Dampak dari hal tersebut di atas ada-lah para petani dengan sendirinya mencip-takan unsur persaingan yang ketat. Dalam hal ini, siapa yang bermodal, maka dialah yang akan berkuasa memiliki lahan yang luas dan akan dipandang sebagai petani yang telah sukses. Dengan memiliki lahan yang luas, tentunya memerlukan tenaga kerja yang besar pula. Kondisi tersebut me-ndorong tenaga buruh semakin dibutuhkan. Sebaliknya, lahan olahan bagi mereka yang tidak memiliki modal cenderung tetap,

(19)

ma-Pada masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe)

ka menjadi buruh sawah merupakan alter-natif untuk membantu ekonomi keluarga.

Dengan demikian hubungan yang terbentuk antar petani mengalami peru-bahan. Sebelumnya hanya dikenal relasi antara sesama petani sawah yang mengo-lah sebidang tanah melalui system bergo-tong royong. Namun sekarang melalui sis-tem upah, tercipta relasi baru yakni antara buruh sawah dengan pemilik lahan. Buruh sawah berperan sebagai penyedia jasa, se-dangkan pemilik lahan menyediakan uang untuk mengupah buruh.

Hadirnya sistem upah menjadi lapa-ngan kerja bagi para buruh sawah. Mes-kipun pada dasarnya sebagian besar buruh sawah juga memiliki lahan sawah sendiri meski tidak luas. Mereka membentuk ke-lompok yang biasanya terdiri dari 7-10 or-ang. Hasil keringat sebagai buruh dimanfa-atkan untuk memenuhi biaya produksi di lahan sawah mereka sendiri, misalnya se-wa traktor pengolah, mengupah sesama rekan buruh pada saat bekerja dilahannya, membeli pupuk serta digunakan pula untuk menyekolahkan anak dan membantu peng-hasilan suami.

Menjadi buruh di Desa Alosika dila-kukan bukan karena pekerjaan mereka di lahan sendiri telah selesai, namun mahalnya biaya produksi pertanian sawah menjadi faktor utama. Seiring berjalannya sistem pengupahan, maka tenaga buruh semakin dibutuhkan. Hal ini menyebabkan upah dan sistem pengupahanya banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang dimu-lai dengan upah harian, borongan, sampai pada sistem langganan. Teknik pemba-yarannya umumnya dilakukan setelah pan-en.

Berbagai dampak penerapan sistem irigasi di Desa Alosika, antara lain: (a) me-nghilangnya gotong royong yang kemudian digantikan dengan sistem upah; (b) sistem pertanian tradisonal ke pertanian modern di mana tenaga hewan digantikan dengan

te-naga mesin. Pola pikir petani sawah Desa Alosika semakin kompleks dan rasional yang dibarengi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selain itu, perubahan juga sangat nampak pada aspek religius dari masyarakat petani sawah di Desa Alosika. Petani sawah Desa Alosika yang terdiri atas beberapa su-ku bangsa dan agama tampaknya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menyi-kapi pertanian. Pada suku Bali yang hampir keseluruhan warganya beragama Hindu me-miliki keyakinan atas Dewa Seraya. Men-urut pemahaman Hindu apa yang ada di alam adalah Ciptaan Tuhan termasuk hama perusak tanaman. Agar hama tersebut tidak merusak tanaman padi, maka dilakukanlah ritual penyembahan terhadap Dewa Seraya yang dirangkaikan dengan pembuatan air suci.

Dengan semakin ketatnya persaing-an persaing-antara sesama petpersaing-ani sawah di Desa Alosika, maupun antara petani atau buruh sawah khususnya di kalangan orang Bali. Kondisi tersebut menyebabkan mereka me-ngganggap waktu adalah uang. Namun de-mikian, persaingan dalam kerja beratani menyebabkan etos kerja petani semakin meningkat. Meskipun di bidang pertanian, Orang Bali telah menerapkan sistem dan teknik bertani yang terkini, termasuk pro-duk pertaniannya, namun mereka masih menganggap ritual sebagai hal yang penting aktivitas bertani sawah. Ritual yang dilaku-kan tersebut merupadilaku-kan wujud ketaatan da-lam beragama dan melaksanakan tradisi ya-ng sifatnya wajib. Baik petani maupun bu-ruh sawah akan mengupayakan untuk me-ngikuti ritual keagamaan di tengah-tengah kesibukan mereka.

Buruh sawah yang dimaksud terdiri dari beberapa orang dalam satu kelompok buruh. Mereka terbentuk karena adanya hu-bungan darah, suku bangsa atau hanya se-batas teman. Satu sama lain memiliki keya-kinan yang berbeda sehingga mereka harus saling memahami perbedaan tersebut. Apa

(20)

lagi kenyataannya bahwa buruh sawah di Desa Alosika tidak hanya terdiri dari Orang Bali yang beragama Hindu atau Budha, na-mun juga terdapat Orang Jawa, Orang Sun-da, dan Orang Bugis.

Dalam konteks perubahan, maka berbagai aspek kehidupan masyarakat peta-ni di Desa Alosika mengalami perubahan sebagaimana dipaparkan di atas. Salah satu wujud perubahan itu, yakni berkaitan deng-an penentudeng-an hari baik untuk memulai su-atu kegiatan pertanian, penamanan benih/-bibit dan pemanenan. Pada masa kini, pe-tani tidak lagi menerapkan hal tersebut, baik pada orang Jawa, Sunda, Tolaki mau-pun orang Bugis. Dengan kata lain bahwa petani sawah di Desa Alosika saat ini sudah tidak mengedepankan hal yang demikian. Dahulu, sebelum penggunaan jasa buruh sa-wah mengemuka, petani di daerah ini me-ngenal adanya penentuan hari baik untuk memulai setiap proses tahapan bertani sa-wah berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat. Namun saat ini hal sebagai dam-pak dari penerapan sistem irigasi, petani perlahan meninggalkan hal tersebut. Meski-pun demikian, masih ada pula beberapa di-antaranya yang masih mempertahankan tra-disi tersebut.

Pada tahapan ini, subak sebagai or-ganisasi kemasyarakatan berbasis kelompok tani yang berperan dalam sistem irigasi, menunjukkan eksistesinya di luar Bali. Pa-da gilirannya, subak sebagai warisan bu-daya masyarakat Bali masih berperan se-bagai fungsi kontrol sosial masyarakat di Desa Alosika.

Subak bagi orang Bali bukan hanya sebatas dipahami sebagai organisasi kelom-pok tani yang berperan dalam sistem irigasi dan pembagian air, melainkan juga sebagai warisan leluhur masyarakat Bali yang telah diwariskan secara turun temurun. Masyara-kat Bali yang mayoritas beragama Hindu merupakan masyarakat yang tidak bisa hi-dup sendiri melainkan hihi-dup secara ber-kelompok. Jika mereka berada di luar

dae-rah Bali, misalnya menjadi transmigran di-wajibkan membentu subak dan mendirikan satu unit pura induk sebagai sarana ibadah.

Sistem pengetahuan orang Bali de-ngan sistem subak tersebut diterapkan pula ke dalam sistem pertanian sawah masya-rakat di Desa Alosika dengan tujuan ter-wujudnya hubungan yang harmonis atau terwujudnya kesejahteraan hidup yang di-dasarkan pada tri hita karana. Misalnya orang Bugis, Jawa dan Sunda yang secara kebetulan berada satu wilayah persawahan dengan mayoritas kelompok petani Bali, dapat bergabung dalam subak, walaupun mereka umumnya berasal dari luar Desa Alosika. Jika mereka memutuskan berga-bung ke dalam subak, maka petani tersebut harus patuh terhadap aturan yang dibuat da-lam subak, yang berkaitan dengan penge-lolaan saluran irigasi dan pembagian air namun tidak dilibatkan pada kegiatan yang sifatnya ritual. Bagi mereka terlibat dalam kelompok tani merupakan upaya untuk me-mbina kerukunan demi kepentingan ber-sama. Subak juga mencerminkan kebersa-maan yang kuat diantaraa sesama petani serta toleransi yang tinggi antar umat ber-agama.

Subak sebagai organisasi kelompok tani yang terorganisir secara kelembagaan, dimana subak dipimpin oleh seorang ketua, dibantu dengan sekertaris, bendahara dan beberapa kordinator wilayah, yang diangkat dengan jalan musyawarah mufakat yang dihadiri oleh semua anggota kelompok. Semua anggota subak diwajibkan mem-bayar iuran musiman yakni Rp.50.000/ha yang dikenal dengan istilah ipa air dan me-ngikuti kerja bakti yang sebelumnya telah disepakati waktunya. Apabila tidak sempat hadir, maka anggota subak tersebut diwa-jibkan untuk membayar denda sebesar Rp.10.000 dan dibayar bersamaan dengan ipa air pada saat habis panen yang akan ditagih langsung oleh ketua subak.

Uang yang terkumpul dari iuran ipa air tersebut 70% diperuntukkan untuk

(21)

pe-Pada masyarakat Tani di Desa Alosika Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe)

rawatan saluran irigasi, serta 30% sisanya diperuntukkan untuk biaya oprasional pe-ngelola subak. hal tersebut berlaku untuk semua subak yang terdapat di Desa Alosika pada saat itu. Pembayaran ipa air beserta denda karena tidak mengikuti kerja bakti sengaja dilakukan pada saat petani habis panen dengan harapan tidak memberatkan petani yang bersangkutan.

Posisi etani Jawa, Sunda dan Bugis yang masuk dalam anggota subak kebanya-kan sebagai anggota saja. Pengelolaan su-bak atau kelompok tani di Desa Alosika pada tahap ini selalu dipercayakan kepada orang Bali. Orang Bali dinilai berhasil da-lam mengelola kelompok dengan senantiasa menjaga kekompakan dan harmonisasi ang-gota kelompok. Hal ini tentu saja merujuk pada konsep tri hita karana yang dipahami oleh orang Bali yang berorientasi terwujud-nya hubungan yang harmonis.

Sistem subak mengatur air melalui petugas yang telah disepakati sebelumnya. Dalam sistem ini dikenal istilah temuku, yakni berupa pipa yang ditanam sebagai tempat keluarnya air dengan takaran ter-tentu, untuk masuk ke sawah anggota su-bak. Petani tidak dapat menanbah jatah air untuk masuk ke dalam sawahnya terkecuali dengan mengganti temuku tersebut. Tidak mudah mengganti temuku, karena telah di-buat secara permanen. Selain itu pintu air pada pembagian air akan dibuka atau ditu-tup berdasarkan perkiraan air yang sesuai-kan dengan luas lahan yang asesuai-kan dialirsesuai-kan air. Apabila jumlah air yang masuk ke sa-wah melebihi kebutuhan, maka dengan ke-sepakatan dapat diopor ke sawah tetangga sebelah. Namun jika air tersebut tidak di-butuhkan, maka air tersebut akan di buang melalui saluran pembuangan.

7. Pertanian Moderen

Pertanian modern selama ini dikenal hanya milik petani yang ada di negara-negara maju seperti Jepang, Korea, Taiwan dan negara-negara lainya. Istilah pertanian

moderen tidak lepas dari sarana penunjang pertanian dengan peralatan yang digunakan. Petani sawah di Desa Alosika dengan kon-disi kekinian bisa dibilang sudah hampir meninggalkan pertanian tradisonal yang menggunakan peralatan seadanya, seperti: tenaga hewan, irigasi swadaya, dikerjakan secara gotong royong, serta jauh dari cam-pur tangan tenaga mesein.

Perkembangan sistem pertanian ma-syarakat Desa Alosika menuju pertanian ya-ng lebih moderen diawali deya-ngan dibaya-ngun- dibangun-nya bendungan dan saluran irigasi. Hal ter-sebut dibarengi pula dengan masuknya pe-ralatan moderen yang menggantikan tenaga hewan yakni dengan penggunaan traktor pada pengolahan sawah dan penggunaan mesin heller (penggilingan). Bahkan dalam perkembangannya, kapasitas mesin traktor dan mesin heller terus ditingkatkan, missal-nya traktor dengan roda 10 daun, ke 14 da-un, sampai pada roda 16 daun. Hal tersebut dilakukan agar jangkauan kerja lebih luas, cepat dalam proses produksi dan distribusi hasil panen yang memuaskan.

Kehadiran mesin traktor dan heller bukan menjadi masalah yang berarti bagi petani dan buruh sawah. Bahkan justru mempermudah petani yang memiliki lahan yang luas dalam proses produksi gabah ser-ta ser-tambahan penghasilan bagi pemiliknya karena di sewakan kepada petani yang tidak memiliki alat tersebut.

Penggunaan mesin traktor pada da-sarnya memudahkan petani dalam proses produksi. Kehadiran mesin traktor dalam pengolahan lahan sawah menggantikan te-naga sapi tidak mengurangi jatah kerja bu-ruh dalam sistem produksi, mengingat ke-giatan yang dikerjakan dengan teraktor me-rupakan pekerjaan yang sebelumnya di-kerjakan oleh sapi. Bahkan buruh dapat me-njadi operator traktor dan bekerja secara upahan pada sawah petani yang tidak me-miliki teraktor, begitu pula pada pengguna-an mesin heller.

(22)

Era modernisasi saat ini, yang ditan-dai dengan semakin mutakhirnya teknologi dan informasi yang masuk pada masyarakat desa termasuk di Desa Alosika. Petani de-ngan mudahnya mengakses informasi yang berkaitan dengan sistem pertanian. Tekno-logi yang dimaksud berupa serangkaian pe-ralatan modern selain traktor dan mesin hel-ler yang sudah lama dikenal oleh petani di Desa sebagai pengganti tenaga hewan, ada-lah alat modern seperti alat berat (scafator, dosser), dosser pemanen, candu dan sistem paralon dalam penanaman benih padi serta ojek motor dalam pengangkutan gabah.

Masuknya peralatan moderen terse-but, menyebabkan tergesernya posisi buruh sawah. Pekerjaan yang selama ini dikerja-kan buruh misalnya meratadikerja-kan dan pengga-bungkan petakan sawah sudah tergantikan dengan tenaga scafator dan dosser. Saat ini di Desa Alosika sudah tidak dilakukan lagi pencetakan sawah baru, namun pekerjaan semacam menggabungkan dan meratakan sawah dengan tujuan mempermudah penga-turan air kerap kali dilakukan sehabis pa-nen. Dahulu sebelum masuknya alat berat berupa dosser, pekerjaan tersebut dikerja-kan oleh buruh yang diupah secara boro-ngan.

Kecenderungan petani lebih memi-lih menggunakan tenaga peralatan berme-sin, dibandingkan dengan menggunakan te-naga buruh sawah disebabkan pola pikir dari petani itu sendiri yang mengedepankan efektifitas serta efisensi kerja. Orientasi dari pertanian di Desa Alosika saat ini adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil panen permu-simnya.

Selain itu, petani saat ini cenderung dikejar waktu pengolahan lahan dan pe-manenan yang menunjukkan bahwa Petani di Desa Alosika dengan kondisi sekarang ini sudah tidak lagi menggunakan cara-cara tradisional dalam mengolah sawah. Petani selalu dikejar waktu yaitu masa tanam serta masa panen. Penanaman dan pemanenan

yang dilakukan secara serentak tidak lain dalam rangka menghindari serangan hama padi seperti tikus, ulat, kepik dan hama la-innya. Hal tersebut yang mendorong petani untuk menggunakan peralatan yang bekerja super cepat.

Demikian pula pada aspek penge-tahuan petani yang semakin meningkat dari musim ke musim. Petani telah belajar dari pengalaman yang telah dilalui, misalnya pe-tani sadar bahwa apa yang mereka lakukan sebelumnya yakni menumpuk padi yang te-lah dipanen untuk kemudian dideros setelah semuanya selesai merupakan pemicu ke-rusakan hasil panen mereka. Padi yang di tumpuk berhari-hari mengalami kerusakan setelah digiling. Berasnya agak hitam dan rasanya cenderung pahit.

Hal yang positif dari hadirnya pe-ralatan pertanian modern tersebut di atas adalah bahwa petani mampu menjawab per-masalahan dan keresahan yang dialami pe-tani selama ini. Pepe-tani kerap meresahkan serangan hama yang mungkin akan menye-rang tanaman padi mereka, akibat terlambat menanam padi. Karena prosesnya dikerja-kan secara manual dengan jalan mengupah buruh. Saat ini, petani menggunakan teknik tebar bibit dan sistem paralon sebagai salah satu teknologi tepat guna yang didapatkan melalui pelatihan oleh dinas pertanian sete-mpat serta penyaluran alat pada awalnya melalui subak. Teknologi sederhana terbuat dari pipa berukuran sekitar 1,5 m memiliki roda, hadir sebagai pengganti sistem tanam. Penggunaan alat tersebut membuat petani tidak perlu lagi menunggu giliran buruh ngganan mereka menanam bibit padi di la-han mereka atau tidak perlu lagi harus me-nunggu bibit padi tumbuh di bedengan pe-mbibitan. Semua tahapan proses produksi dapat dilakukan secara serentak, bersamaan dengan petani-petani lainnya.

Sistem paralon memiliki cara kerja yang sederhana yakni petani mengisi pipa dengan benih padi yang telah berkecambah, kemudian ditarik pada medan sawah yang

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka Fikir  Mengacu pada bagan kerangka pikir  diatas,  objek  penelitian  adalah  sistem   go-tong  royong  dan  perubahan  sistem  gogo-tong  royong  ke  sistem  pengupahan  pertanian  pada  petani  ladang  dimasa  lampau  yang  digan

Referensi

Dokumen terkait

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu untuk memajukan daya pikir

Perkembangan Teknologi informasi berkembang sangat begitu pesat saat ini dan menghasilkan inovasi-inovasi baru seiring dengan perkembangan pola pikir manusia yang

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Mata

Modernisasi dalam pendidikan menyebabkan perubahan pola pikir, juga diikuti oleh perkembangan mode, perkembangan desain tekstil, teknologi pembuatan busana, dan kemudian

M atematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, juga mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir

Semakin pesatnya perkembangan teknologi internet secara global merupakan indicator penting dalam perubahan pola pikir dan cara pandang masyarakat. Pemanfaatan

Perkembangan Teknologi informasi berkembang sangat begitu pesat saat ini dan menghasilkan inovasi-inovasi baru seiring dengan perkembangan pola pikir manusia yang

Fakosi Balaza merupakan salah satu bagian dari budaya gotong royong masyarakat petani desa Nanowa secara khusus.Fakosi balaza diartikan sebagai bentuk kerjasama masyarakat petani