• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADITIONAL KNOWLEDGE DALAM SISTEM HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TRADITIONAL KNOWLEDGE DALAM SISTEM HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL INDONESIA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TRADITIONAL KNOWLEDGE DALAM SISTEM HUKUM

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL INDONESIA

Oleh : Syarifa Mahila, SH.,MH.1 Abstract

Indonesia is a country that has a wealth of biological resources (biodiversity), the second largest after Brazil and2 a wealth of traditional knowledge in the field of medicine that is very diverse. Indonesia's traditional knowledge is developed continuously and is guaranteed if the legal protection it will have a very high economic value, which would certainly boost the economy in Indonesia. This has become a very good opportunity for Indonesia to exploit the potential value of traditional knowledge which has been shown through various processes misappropriation (misuse) by the foreign companies. Traditional knowledge is knowledge developed by indigenous peoples based on tradition or intellectual work. This knowledge includes the methods of cultivation and processing plants, medicine, art, and food-beverage recipes. protection of traditional knowledge is important because it is a source of knowledge related to human life that can be commercialized. One of the important issues relating to intellectual property rights (IPR) today is about the extent to which traditional knowledge is protected. Traditional knowledge has emerged as a new legal problem caused no domestic legal instruments capable of providing an optimal legal protection of traditional knowledge that is currently widely used by parties who are not responsible.

Key Note :Traditional Knowledge, Protection of HAKI

A. Pendahuluan

Masyarakat negara berkembang di dunia, merupakan masyarakat transformasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri. Ketika globalisasi dan pembangunan dan budaya barat kemudian menjadi paradigma yang dipakai dalam pembangunan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia, sistem hukum ekonomi negara bersangkutan tentunya mengimbas baik langsung maupun tidak langsung kepada kehidupan masyarakat. Masyarakat yang masih belum dapat menikmati pembangunan ekonomi, terutama yang berada di pedesaan atau hidup di luar urban area, tentunya menghadapi konsekuensi-konsekuensi akibat penerapan hukum HAKI.

Traditional knowledge (pengetahuan tradisional) merupakan masalah hukum baru dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk World Intelectual Property Organization (WIPO). Pengetahuan tradisional diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas,masyarakat atau suku 1Syarifa Mahila, SH.,MH. adalah Wakil Dekan I dan Dosen Tetap PS Ilmu Hukum Fakultas Hukum

(2)

bangsa tertentu yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan (Agus Sardjono,2006: 1).

Salah satu isu penting yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual (HKI) dewasa ini adalah mengenai sejauh mana pengetahuan tradisional mendapatkan perlindungan. Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang dikembangkan oleh masyarakat pribumi atau karya intelektual berdasarkan tradisi. Pengetahuan ini mencakup metode budi Karya-karya seni tradisional, teknik-teknik tradisional yang telah lama “hidup” dalam masyarakat tradisional, dianggap sebagai suatu aset yang bernilai ekonomis. Terdapat beberapa kasus HAKI yang terkenal dimana traditional knowledge merupakan obyek atau sumber perselisihan hukum. Sebagai contoh: masalah pembatalan paten Shisedo atas ramuan tradisional Indonesia, Kasus paten baswati rice antara India dan perusahaan multinasional (MNC) Amerika Serikat, paten tempe di A.S., dll. Masalah ini sering dijadikan ‘peluru’ oleh negara berkembang dalam mengkritik ‘permintaan’ negara maju dalam penerapan sistem HAKI yang lebih ketat (komprehensif dalam melindungi kepentingan negara maju, seperti: Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, perlindungan merek terkenal, piranti lunak komputer, dll). Akibatnya paradigma dalam melihat suatu karya tradisional di negara berkembang cenderung berubah. Dari suatu obyek yang perlu tetap dijaga “kegratisannya” menjadi obyek yang bernilai ekonomis. Negara yang merasa memiliki kekayaan budaya dan sumber daya alam mulai melihat bahwa traditional knowledge harus dioptimalkan dalam kompetisi perdagangan di tingkat internasional.

Pengetahuan tradisional telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrumen hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab (Budi Agus Riswandi, M Syamsudin, 2005: 25). Di samping itu, di tingkat internasional pengetahuan tradisional ini belum menjadi suatu kesepakatan internasional untuk memberikan perlindungan hukum. Pengaturan hak kekayaan intelektual yang terdapat dalam Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), saat ini juga masih belum bisa optimal mengakomodasi kekayaan intelekual masyarakat asli/tradisional.

Pemberian perlindungan bagi pengetahuan tradisional menjadi penting ketika dihadapkan pada karakteristik dan keunikan yang dimilikinya. Ada beberapa alasan perlunya dikembangkannya perlindungan bagi pengetahuan tradisional, diantaranya adalah adanya pertimbangan keadilan, konservasi, pemeliharaan budaya dan praktek tradisi, pencegahan perampasan oleh pihak-pihak yang tidak berhak terhadap komponen-komponen pengetahuan tradisional dan pengembangan penggunaan kepentingan pengetahuan tradisional (Muhammad Djumhana, 2006:56). Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional berperan positif memberikan dukungan kepada komunitas masyarakat tersebut dalam melestarikan tradisinya.

(3)

B. Definisi Traditional Knowledge

Belum banyak orang yang tahu dan tidak mudah untuk menjelaskan dalam sebuah kalimat apa yang dimaksud dengan pengetahuan tradisional ( Traditional Knowledge). Perbedaan karakteristik dan bentuk-bentuk dari pengetahuan tradisional antara tempat yang satu dengan yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan yang lain, tidak memungkinkan untuk dirangkum dalam sebuah kalimat yang dapat diterima baik secara hukum ataupun teknis oleh seluruh pihak. Hingga saat ini, terminologi pengetahuan tradisional yang digunakan secara luas di seluruh dunia, merupakan salah satu upaya untuk memudahkan dalam penyebutan mengenai suatu hal yang sama, yaitu segala sesuatu yang terkait dengan bentuk-bentuk tradisional baik itu suatu kegiatan ataupun hasil suatu karya yang biasanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu.

Salah satu badan dunia, the World Intellectual Property Organisation (WIPO), selama ini menggunakan terminologi pengetahuan tradisional untuk menggambarkan tradition-based literary, artistic, scientific works, performances, inventions, scientific discoveries, designs, marks, names and symbols, undisclosed information, and all other tradition-based innovations and creation yang berasal dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, keilmuan, sastra ataupun seni. Namun hendaknya, ketiadaan sebuah definisi atas pengetahuan tradisional, hendaknya tidak menjadi penghalang dalam memberikan perlindungan. Batasan ruang lingkup dapat digunakan untuk membantu dalam menentukan, menjelaskan, ataupun acuan dalam memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional.

Sebagian besar pengetahuan tradisional merupakan suatu karya intelektual yang telah mengalami perkembangan di masa lalu dan masih terdapat kemungkinan untuk mengalami perkembangan di masa yang akan datang, digunakan dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi, dan dalam hal tertentu, telah dikumpulkan dan dipublikasikan oleh para antropolog, pakar sejarah, para peneliti ataupun akademisi. Intinya, pemberian batasan terhadap pengetahuan tradisional perlu dikaji dari waktu ke waktu baik itu dari segi definisi ataupun ruang lingkup.

Istilah traditional knowledge adalah istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi, know how yang secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi unit sosial. Traditional knowledge mulai berkembang dari tahun ke tahun seiring dengan pembaruan hukum dan kebijakan, seperti kebijakan pengembangan pertanian, keanekaragaman hayati dan kekayaan intelektual (Budi Agus Riswandi & M. Syamsudin, 2004:27). World Intellectual Property Organizatin (WIPO) mendefinisikan pengetahuan tradisional, mengacu pada sastra yang berupa karya seni atau ilmiah; pementasan; invensi; penemuan ilmiah; desain; merek; nama dan simbol-simbol; rahasia dagang dan inovasi-inovasi yang berupa budaya dan ciptaan-ciptaan yang merupakan hasil kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Kelompok pengetahuan tradisional mencakup: pengetahuan pertanian; ilmu pengetahuan; pengetahuan ekologi (lingkungan);

(4)

ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati, ekspresi budaya tradisional (ekspresi folklore) dalam bentuk musik, tarian, nyanyian/lagu, kerajinan tangan, desain, cerita dan karya seni; elemen-elemen bahasa seperti nama, indikasi geografis dan simbol; dan barang-barang yang bernilai budaya. Yang tidak termasuk dalam deskripsi pengetahuan tradisional adalah hal-hal yang bukan merupakan hasil dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmu pengetahuan, bidang sastra dan seni seperti jasad renik, bahasa secara umum, dan elemen-elemen warisan yang serupa dalam arti luas”.

Perkembangan dari suatu pengetahuan tradisional pada umumnya berlangsung di daerah dimana pengetahuan tradisional itu hidup dan berkembang. Salah satu hal yang memegang peranan kuat disamping latar belakang budaya adalah adanya unsur spiritual. Kepercayaan dari suatu masyarakat telah terinternalisasi selama bertahun-tahun ke dalam pengetahuan tradisional yang mereka miliki. Kerajinan pahat kayu di Bali yang memiliki ciri khas berbentuk tangan dalam posisi doa menangkup satu sama lain dimana hasil ini merupakan gambaran dari spiritualitas masyarakat Bali yang telah terinternalisasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di tempat lain, kerajinan ukir Jepara memiliki motif-motif khas yang tidak dimiliki hasil dari kerajinan ukir di daerah lain. Kemudian motif batik, apabila diperhatikan dengan cermat, tiap daerah penghasil batik memiliki ciri khas masing-masing. Bagi kolektor batik, sekali melihat corak sebuah kain batik, bisa mengetahui di daerah mana batik itu dibuat.

Kerajinan pahat, kerajinan ukir, ataupun motif batik, hanya merupakan sebagian kecil dari pengetahuan tradisional. Sebenarnya, banyak benda-benda atau apa yang kita lakukan sehari-hari termasuk ke dalam pengetahuan tradisional yang tidak kita sadari. Penggunaan obat-obatan tradisional atau cara penyembuhan tadisional yang diajarkan oleh orang tua atau kakek nenek kita, pada dasarnya merupakan pengetahuan tradisional. Perabot rumah tangga yang indah atau kain tenun hasil tenunan tangan yang seringkali digunakan untuk menghias ruang tamu atau ruang keluarga bila diperhatikan memiliki bentuk atau corak yang mencerminkan budaya tradisional khas dari daerah tertentu. Pengetahuan tradisional apabila dikelola dengan baik dapat menjadi aset bangsa yang sangat berharga dan meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.

C.Perlindungan Traditional Knowledge dalam sistem hukum HAKI Indonesia

Salah satu isu penting yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual (HKI) dewasa ini adalah mengenai sejauh mana pengetahuan tradisional mendapatkan perlindungan. Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang dikembangkan oleh masyarakat pribumi atau karya intelektual berdasarkan tradisi. Pengetahuan ini mencakup metode budi daya dan pengolahan tanaman, pengobatan, kesenian, serta resep makanan-minuman. perlindungan terhadap pengetahuan tradisional penting karena merupakan sumber pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan manusia yang dapat dikomersialkan.

(5)

Pengetahuan tradisional yang dimiliki Indonesia berpotensi menjadi suatu kekayaan kebendaan ketika telah termanifestasi dalam bentuk produk yang memiliki desain yang khas. Dalam persepektif hukum kekayaan intelektual, potensi ini merupakan hak yang bersifat kebendaan karena telah merupakan wujud HKI.

Dalam rangka pelaksanaan persetujuan TRIPs, dan sekaligus membangun sistem hukum nasional di bidang HaKI, Indonesia telah membuat berbagai kebijakan HKI, antara lain, di bidang peraturan perundang-undangan HaKI dan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap HaKI. Dalam bidang perundang-undangan, saat ini telah berlaku Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 ( Hak Cipta), Undang Nomor 29 Tahun 2000 (Varietas Tanaman), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 ( Rahasia Dagang), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 (Desain Industri), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 (Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 (Paten), dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 (Merek).

Di Indonesia, perlindungan hukum terhadap traditional knowledge, jika dilihat dari kesatuan perundangan tentang HKI hanya terdapat dua undang-undang yang secara ekspilisit maupun tidak langsung menyebutkan mengenai pengetahuan tradisional, yaitu:

1) Undang-Undang Hak Cipta yaitu UU No 19 tahun 2002. Pasal 10 yang menyatakan bahwa:

(1) Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan pra sejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. (2) a) Hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya dipelihara dan

dilindungi oleh negara;

b) Negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut pada ayat (2)a terhadap luar negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 10 ayat (3) undang-undang hak cipta mengatur bahwa dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.

Potensi pengetahuan tradisional tentu tidak hanya terbatas pada lingkup hak cipta saja, namun juga bisa melingkupi paten, merek, desain industri, perlindungan varietas tanaman dan rahasia dagang. Oleh karena itu, sistem HKI yang telah ada dipandang belum cukup untuk melindungi pengetahuan tradisional di Indonesia.

2) Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman/PVT (UU No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman) yaitu terdapat di Pasal 7 yang menyebutkan sebagai berikut: Varietas lokal milik masyarakat dikuasai oleh

(6)

negara, Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah berkewajiban memberikan penamaan terhadap varietas lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketentuan penamaan, pendaftaran, dan penggunaan varietas lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta instansi yang diberi tugas untuk melaksanakannya, diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

3) Undang-Undang No. 5 tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biodiversity/ UNCBD), Pasal 8 j UNCBD, menyebutkan bahwa pihak penandatangan konvensi wajib menghormati, melindungi, dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup yang berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi dan praktik-praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek semacam itu.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pengaturan dalam sistem HKI di Indonesia minim sekali yang menyinggung permasalahan pengetahuan tradisional. Ketiga perundang-undangan diatas yang secara eksplisit maupun implisit menyebut tentang pengetahuan tradisional belum cukup mengakomodir untuk melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat lokal pemilik pengetahuan tradisional. Pasal-pasal dari ketiga perundang-undangan tersebut terlalu abstrak dalam pelaksanaannya sehingga membutuhkan peraturan pelaksanaan yang lebih konkret atau suatu UU khusus yang mengaturnya.

Tantono Subagyo (2002, 2-6) mengumpulkan Paten Jepang (40 paten) yang menggunakan bahan tanaman obatan-obatan asal Indonesia, seperti : brotowali, daun sukun gondopuro, sambiloto, cabe Jawa, dsb. Akhirnya ada sebagian dari paten tersebut ditarik sendiri oleh Perusahaan Shiseido. Selanjutnya, berita yang mengagetkan pada tahun 1991 yaitu Perajin asal Bali pernah digugat di Pengadilan Distrik New York atas motif ukiran produknya yakni gelang motif naga dan kalung motif Borobudur (Forum Keadilan No. 31, 1999). Sebagaimana dimaklumi, pemanfaatan sumber daya genetis untuk berbagai kepentingan (antara lain sebagai bahan obat, makanan, minuman, pengawet, atau sebagai benih) yang semakin meningkat dengan dukungan perkembangan ilmu di bidang bioteknologi, telah menarik perhatian perusahaan-perusahaan besar di negara maju/berkembang. Sayangnya, pembagian keuntungan yang adil, dan pengalihan teknologi yang sungguh-sungguh dari perusahaan besar tersebut ke negara penghasil/penyuplai sumber daya genetis yang umumnya berasal dari negara sedang berkembang sejauh ini dirasa masih belum memadai. Adapun dalih yang banyak dipertentangkan yang telah dikemukakan oleh perusahaan maju tersebut adalah bahwa sumber daya genetis yang tersedia secara melimpah merupakan warisan leluhur yang dapat

(7)

Pembagian keuntungannya tidak adil, dan pengalihan teknologi yang tidak sungguh-sungguh oleh negara maju yang memanfaatkan sumber daya genetik kepada negara berkembang sebagai penyuplai. Perusahaan negara maju berdalih bahwa sumber daya genetik yang tersedia secara melimpah merupakan warisan leluhur /common heritage of mankindyang boleh dimanfaatkan oleh siapa saja dan kapan saja (Sigit, 2002).

Perlindungan pengetahuan tradisional-selain keragaman hayati, terutama yang berkaitan dengan folkslore dan desain produk industri harus juga diperhatikan. Karena pada kenyataannya, hal ini dapat menjadi salah satu pendorong peningkatan pendapatan daerah. Dalam kaitan itu, pemerintah harus dapat segera mengeluarkan berbagai kebijakan tentang pengetahuan tradisional, sehingga dapat melindungi semua pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh bangsa yang besar ini. Di Indonesia, perlindungan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan folkslore hanya diatur dalam Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

A. Alternatif Perlindungan Traditional Knowledge di Indonesia

Masalah perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan biasanya dikaitkan dengan sistem perlindungan hak atas kekayaan intelektual. Dalam forum internasional, wacana perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan dibicarakan dalam pertemuan antar Pemerintah negara-negara anggota WIPO (WIPO Intergovernmental Committee on Intellectual Properly Rights and Genetic Resources, Traditionaol Knowledge and Folklore/IGC-GRTKF). Sampai dengan pertemuan sesi ke sepuluh dari IGC-GRTKF (2007), belum ada kata sepakat tentang sistem atau rezim perlindungan yang tepat bagi pengetahuan tradisional dan

folklore. Beberapa pihak mengusulkan penggunaan rezim HKI, beberapa pihak lainnya menganggap rezim HKI kurang tepat. Agus Sardjono, dalam buku yang diangkat dari disertasinya, “Pengetahuan Tradisional, Studi Mengenai HKI Atas Obat-obatan”, mengungkapkan beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan pemerintah untuk melindungi pengetahuan tradisional di Indonesia, khususnya obat-obatan tradisional. Menurutnya, selain melalui sistem perundang-undangan nasional, strategi itu juga meliputi upaya pendokumentasian pengetahuan tradisional dan mekanisme benefit sharing yang tepat antara masyarakat lokal dengan pihak asing.

Pengetahuan tradisional dapat dilindungi dengan perundang-undangan sistem

Sui Generis atau mandiri di luar HKI. Ignatius Subagjo dari BPPT mengemukakan pengetahuan tradisional memiliki karakter yang unik dan holistik. Pengetahuan tradisional tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tapi juga bernilai magis dan kultur. Hal itu yang membuat beberapa negara seperti Thailand, Filipina dan Costa Rica

memilih sistem Sui Generis untuk mengatur pengetahuan tradisional mereka sehingga dapat memberikan perlindungan secara lebih komprehensif.

(8)

perundang-undangan HKI. Perlindungan bagi pengetahuan tradisional yang paling memungkinkan dilakukan pemerintah Indonesia sekarang adalah dengan memperkuat database atas pengetahuan tradisional yang ada di Indonesia, hal ini digunakan sebagai dasar bahwa pengetahuan tradisional tersebut memang menjadi milik Indonesia sehingga ketika ada pihak lain yang mengklaim Indonesia sudah mempunyai dasar yang kuat untuk menolak. Selain itu perlindungan dengan mekanisme benefit sharing bisa menjadi alternatif dengan mekanisme yang disepakati oleh para pihak sebelum pemerintah mengesahkan RUU Sui Generis

Perlindungan terhadap Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor yang sekarang masih menjadi agenda DPR.

Ada permasalahan yang sampai saat ini belum mendapatkan titik terang baik dikalangan ahli ilmu hukum maupun ahli ilmu sosial yakni apa yang dapat didefinisikan atau dikategorikan sebagai masyarakat ‘pemilik’ pengetahuan tradisional. Apakah masyarakat yang dikategorikan suku terasing atau masyarakat asli (indigenous people) atau kah masyarakat lokal pada umumnya (masyarakat yang hidup di daerah luar urban yang memang masih menggunakan praktek-praktek / teknologi tradisional, tetapi sudah tidak memiliki institusi hukum adat yang tegas berlaku). Permasalahan ini kemudian yang juga membuat sulitnya di identifikasi kepentingan ekonomi mereka. Namun apabila dilihat dalam kacamata negara (pemerintah negara berkembang), dalam hal pembangunan ekonomi, masyarakat diatas adalah obyek dari pembangunan. Hukum digunakan untuk mengubah masyarakat sedemikian ke masyarakat yang modern (baik cara hidup,

economic needs, dan lain-lain). Disisi lain pemahaman bahwa pengetahuan tradisional, ataupun karya traditional merupakan “milik bersama” ataupun “common heritage of all mankind”, dapat dilihat sebagai upaya pencegahan konflik berkepanjangan dalam hal klaim hak kepemilikan yang dapat timbul di Indonesia yang plural.

Konsep pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan tradisional sangat erat kaitannya dengan daerah sebagai “pemilik” pengetahuan tradisional, sehingga pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota memegang tugas dan fungsi penting dalam perlindungannya. Penyelenggaraan pemerintahan dalam konsep otonomi daerah mempertegas tugas dan fungsi pemerintahan yang dibagi kewenangannya antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

B. Kesimpulan

Pemahaman tentang pengetahuan tradisional diperlukan sebagai pengantar dalam pembahasan tentang perlindungan pengetahuan tradisional itu sendiri. Masih terdapat banyak perbedaan dalam pendefinisian pengetahuan tradisional dalam perbincangan internasional.

Upaya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional Indonesia sampai saat ini masih belum jelas pengaturannya. Masih banyak masalah hukum yang

(9)

berkenaan dengan "pencurian" pengetahuan tradisional Indonesia oleh negara lain dengan mekanisme sistem HKI yang berlaku. sekarang. Kasus yang banyak muncul berkenaan dengan hal ini adalah masalah pematenan oleh negara lain terhadap komposisi produk obat-obatan maupun derivatifnya dengan komposisi yang khas Indonesia. Perlindungan yang telah ada hanya sebatas perlindungan hak cipta pada folklor, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Konsep pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan tradisional sangat erat kaitannya dengan daerah sebagai “pemilik” pengetahuan tradisional, sehingga pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota memegang tugas dan fungsi penting dalam perlindungannya.

C. Daftar Pustaka

Agus Sardjono, 2005. Potensi Ekonomi dari GRTKF; Peluang dan Hambatan dalam Pemanfaatannya: Sudut Pandang Hak Kekayaan Intelektual, Media HKI Vol. I/No.2/Februari 2005.

Budi Agus Riswandi dan M. Syamsuddin, 2005, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

Muhammad Djumhana. 2006. Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Bandung. PT Citra Aditya Bakti.

Saidin. 2004. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tantono Subagyo, Meraih Masa Depan Bermodalkan Kekayaan Masa Lalu (Perlindungan Dan Pengembangan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan TradisionalDan Ekspresi Folklore Di Negara-Negara AS

Referensi

Dokumen terkait

Penju Penjualan alan prod produk uk koper koperasi asi secara tunai tidak dicatat di buku harian ini dan karena penjualan secara kredit tidak akan secara tunai tidak dicatat di

dihasilkan oleh sistem untuk memuaskan kebutuhan yang diidentifikasi. Output yang tak dikehendaki a) Merupakan hasil sampingan yang tidak dapat dihindari dari sistem yang

Berdasarkan hasil posttest di kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, analisis data dengan menggunakan t-tes, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil belajar Mateatika

Di era sekarang ini dan sebuah keamanan menjadi perhatian utama bagi teknologi elektronik (Niranjanamurthy and Chahar 2013) agar tetap aman seiring meningkatnya

Tujuan dari penelitian ini menguji kualitas air pada sumber air tanah yang ditinjau dari beberapa parameter kimia yaitu suhu, pH dan kandungan Besi (Fe) dimana

masalah, Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar karena banyak penderita alergi  batuk saat tidur siang atau di kantor dengan AC yang sangat dingin tidak timbul gejala

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga