• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahmud Yunus dan Kontribusi Pemikirannya Terhadap Hadis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mahmud Yunus dan Kontribusi Pemikirannya Terhadap Hadis"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Istinarah: Riset Keagamaan, Sosial dan Budaya, Vol. 2 (1), 2020, (Januari-Juni)

ISSN Print : 2714-7762 ISSN Online : 2716-3539 Tersedia online di http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/istinarah/index

Mahmud Yunus dan Kontribusi Pemikirannya Terhadap Hadis

Ummi Kalsum Hasibuan

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

D.I. Yogyakarta, Indonesia E-mail:

ummi220896@gmail.com

Abstrak: Tulisan ini mengeksplorasi tentang Mahmud Yunus dan kontribusi pemikirannya terhadap hadis. Fokus kajian dalam tulisan ini adalah menggambarkan secara umum terkait dengan biografi intelektual dari Mahmud Yunus dan mengupas pemikiran Mahmud Yunus terhadap hadis. Metode yang dipakai dalam tulisan ini adalah metode deskriptif-analisis dengan pendekatan historis. Tujuan tulisan ini untuk mengetahui dan menyingkap biografi kehidupan Mahmud Yunus, untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam tentang kontribusi pemikiran Mahmud Yunus terhadap hadis. Sehingga dari tulisan ini dapat ditarik suatu kesimpulan: pertama, bahwa Mahmud Yunus lahir pada Sabtu 10 Februari 1899 (30 Ramadhan 1316 H) di Sungayang, Batusangkar, Sumatera Barat. Kedua, Mahmud Yunus dikenal dengan disiplin keilmuannya lebih kepada dunia pendidikan Islam di Indonesia yang sangat gigih dalam memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum. Namun, dalam kajian hadis Yunus berkontribusi pemikirannya terhadap kajian hadis dan ilmu hadis, dengan memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan dan mampu menghadirkan kajian ilmu hadis dalam bentuk berbahasa Indonesia yang pertama sekaligus digunakan sebagai bahan ajar di Madrasah-madrasah maupun pesantren-pesantren dengan bentuk yang sangat sederhana dan praktis. Selain itu, ia ingin menyamakan bahan ajar yang ada di Timur Tengah dengan bahan ajar di Indonesia terutama di Sumatera Barat.

Abstract: This paper explores Mahmud Yunus and his

contribution to the hadith. The focus of the study in this paper is a general description related to the intellectual biography of Mahmud Yunus and examines Mahmud Yunus's thoughts on the hadith. The method used in this paper is a descriptive method of analysis using historical. The purpose of this paper is to study and unveil the biography of Mahmud Yunus's life, to understand and study about understanding Mahmud Yunus on hadith. First taken on Saturday 10 February 1899 (30 Ramadhan 1316 H) in Sungayang, Batusangkar, West Sumatra. Secondly, Mahmud Yunus is known for his scientific discipline more into the world of Islamic education in Indonesia which is very persistent in fighting for the entry of religious education into public schools. However, in the study of hadith Yunus contributed to the study of traditions and the science of traditions. Which he gave great attention to in this study by incorporating it into the education curriculum and being able to provide scientific studies that have been carried out in Indonesia which were first used as teaching material in Madrasas and also Islamic boarding schools in a very easy and practical form. In addition, Mahmud Yunus also contributed to the study of hadith which he wanted to equate teaching materials in the Middle East with teaching materials in Indonesia, especially in West Sumatra.

(2)

PENDAHULUAN

Hadis adalah segala sesuatu hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakter dan sejarah perjalanan hidupnya, baik itu setelah menjadi utusan Allah atau sebelumnya. Hadis merupakan sumber ajaran agama Islam yang kedua setelah Alquran. Selain itu, hadis juga sebagai pedoman bagi manusia dalam melaksanakan kehidupannya, sehingga hadis banyak memberi ajaran sekaligus penjelasan dalam berbagai aspek kehidupan. (Hafizzullah, 2016).

Perkembangan agama Islam di Nusantara tidak lah lepas dari namanya peran ataupun pengaruh dari para ulama. Sehingga terkait dengan kajian hadis secara khusus tersebut masih belum populer. Karena para ulama terdahulu lebih cenderung terhadap kajian tasawuf mengungguli kajian ilmu-ilmu syariat. Dan pada nyatanya menurut sejarah, kajian hadis di Indonesia baru dimulai sejak awal abad ke 17 M. Yang mana penyebaran Islam diduga telah mulai menyentuh wilayah nusantara sejak abad ke-13 M.

Permulaan abad ke-20 masih belum menunjukkan perkembangan

hadis yang signifikan, yang mana dapat dilihat bahwa kajian hadis ketika masa penjajahan Belanda masih bagian dari kajian fiqh bukan dari kajian tersendirinya. Ketika abad ke-20 sejalan dengan munculnya gerakan Islam berhaluan modenis, hadis dapat diposisikan sebagai kajian yang tidak terikat dari disiplin ilmu keislaman lainnya.

Howard M Federspiel dalam penelitiannya terhadap literatur hadis sampai tahun 1980, ia mengelompokkan literatur tersebut ke dalam empat jenis. Pertama; literatur ilmu hadis yang berisi analisis terhadap hadis yang berkembang pada awal Islam untuk menentukan keotentikan dan kepalsuannya. Kedua; literatur terjemahan kitab-kitab hadis yang disusun pada masa klasik (620-1250 M) dan masa pertengahan Islam (1250-1950 M). Ketiga; antologi hadis pilihan yang diambil dari kitab-kitab kumpulan hadis. Keempat; kumpulan hadis yang digunakan sebagai sumber hukum dan materi pelajaran di sekolah-sekolah Islam. (Hedhri Nadhiran, 2019: 1).

Berkembangnya kajian hadis pada abad ke-20 dapat dilihat dengan munculnya karya-karya ulama dan

(3)

intelektual Indonesia yang berkaitan dengan hadis dan keilmuannya. Sehingga keilmuan hadis di Indonesia berkembang pesat ketika banyaknya bermunculnya para tokoh-tokoh yang berkarya dalam bidang hadis. Salah satu dari tokoh tersebut adalah Mahmud Yunus. Yang mana latar belakang intelektualnya memang tidak berasal dari hadis secara khusus, akan tetapi menguasai berbagai disiplin ilmu keagamaan. Mahmud Yunus merupakan seorang ulama dan juga lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan. Namun, Mahmud Yunus juga mempunyai karangan di bidang hadis di antaranya buku Ilmu Mushtalah al-Hadîts.

METODE

Penelitian dalam tulisan ini menggunakan metode penelitia bersifat kualitatif dengan jenis penelitian pustaka (library research) Sedangkan metode analisis yang di gunakan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif-analisis. Sumber data dalam penelitian adalah buku-buku yang mengkaji tentang tokoh Mahmud Yunus maupun buku-buku lainnya yang berkaitan dengan topik bahasan dalam penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kehidupan Intelektual Mahmud

Yunus

Mahmud Yunus merupakan seorang tokoh pendidikan Islam Indonesia yang sangat gigih dalam memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum juga ikut berusaha memperjuangkan berdirinya perguruan tinggi agama Islam (PTAIN). (Abuddin Nata, 2005: 57). Beliau memiliki nama asli Prof. Dr. H. Mahmud Yunus bin Yunus bin Incek lahir pada hari Sabtu 10 Februari 1899 dan bertepatan pada 30 Ramadhan 1316 H di Sungayang, Batusangkar, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Yunus bin Incek sebagai seorang petani biasa, juga mengajar di surau-surau berasl dari suku Mandailing dan ibunya bernama Hafsah binti Imam Samiun, anak Engku Gadang M. Thahir bin Ali dan ibunya tersebut berasal dari suku Caniago Yunus berasal dari keluarga yang sederhana, juga alim dan taat dalam menjalankan ajaran agama Islam. Buyut dari keluarga ibunya merupakan seorang ulama besar yang bernama Muhammad Ali dengan gelar Angku Kolok di Sungayang, Batusangkar. (Muhammad Dede Rudliyana, 2004: 137).

(4)

Sejak kecil Mahmud Yunus telah memperlihatkan minat dan kecenderungannya yang begitu kuat untuk memperdalam ilmu agama Islam dan dengan hafalan yang sangat kuat. Sebab ketika ia mendengarkan sebuah cerita maka ia mampu menceritakannya kembali secara utuh, dari awal sampai akhir. (Edi Iskandar, 2017: 30). Yunus memulai jenjang pendidikannya dari kakeknya sendiri dengan mempelajari Alquran dan bahasa Arab ketika berusia tujuh tahun di surau milik kakeknya M. Thahir tahun 1906. Setelah Yunus selesai mengaji dan menghafal Alquran, ia selalu membantu kakeknya mengajarkan Alquran sebagai guru bantu, sambil ia mempelajari bahasa Arab bersama kakeknya. (Saiful Amin Ghofur, 2008: 197).

Bertepatan pada tahun 1908, dibuka suatu sekolah desa oleh masyarakat Sungayang, dan Mahmud Yunus pun tertarik untuk masuk kesekolah ini. Sehingga Yunus meminta izin pada ibunya dani bunya juga mengizinkan Yunus untuk masuk sekolah desa tersebut. Lalu ia mengikuti pelajaran di sekolah desa pada siang hari, tanpa meninggalkan

tugas-tugas di surau kakeknya untuk mengajarkan Alquran pada malam harinya. Kegiatan yang dilakukan oleh Yunus ini dijalani dengan tekun dan menghasilkan prestasi. Pendidikan sekolah desa ini hanya dijalaninya selama kurang dari tiga tahun dan hanya sampaipada kelas tiga saja. (Asmi Yuni, 2011: 35).

Kemudian pada tahun 1910 Syekh H. Mohammad Thaib Umar membuka suatu madrasah di surau Tanjung Pauh Sungayang. Madrasah itu bernama Madras School. Sehingga Yunus pun meminta izin pada ibunya untuk pindah ke Madras School yang diasuh oleh Syekh H. Mohammad Thaib Umar dikenal sebagai salah seorang ulama pembaharu Minangkabau. Di Madras School Mahmud Yunus belajar setiap hari di sekolah mulai dari pukul 09.00 sampai pada pukul 12.00 tengah hari. Sedangkan malam harinya ia masih tetap menjadi guru bantu di surau kakeknya dalam hal mengajarkan Alquran.

Ketekunan dan kesungguhan Yunus dalam menimba disiplin ilmu selama empat tahun dengan membuahkan hasil yang sangat menakjubkan. Maka Yunus pun telah

(5)

mampu mengajarkan kitab-kitab Mahali, Alfiyah dan Jam’ul al-Jawami’. Sehingga, pada saat Syekh Mohammad Thaib Umar jatuh sakit dan berhenti mengajar, lalu Yunus ditunjuk atau diberi amanah untuk menggantikannya mengajar. Maka kedekatan Yunus terhadap Thaib Umar, dapat membawanya pada forum rapat akbar ulama Minangkabau bertepatan pada tahun 1919 di Padang Panjang dan Yunus datang sebagai wakil Thaib Umar, setelah itu ia membentuk perkumpulan pelajar Islam di Sungayang dengan nama Sumatera Thawalib tahun 1920. Kegiatan yang dilakukan itu pun beragam, salah satunya menerbitkan majalah al-Basyir yang mana Yunus di pilih sebagai pemimpin redaksinya. ( Saiful Amin Ghofur, 2013: 156). Kemudian Mahmud Yunus juga di utus untuk menghadiri pertemuan akbar dan di hadiri oleh para alim ulama Minangkabau. Rapat akbar itu membahas tentang suatu keinginan untuk mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). (Muhammad Dede Rudliyana, 138).

Pendidikan yang dilalui Mahmud Yunus setelah selesai di Madras School

adalah melanjutkan belajarnya ke Universitas al-Azhar Mesir pada tahun 1924 dengan mengikuti prosesnya yang penuh semangat. Di al-Azhar Yunus mempelajari dan mendalami ilmu ushul fiqih, tafsir, serta fiqih madzhab Hanafi. Dengan ketekunan, kegigihan dan keseriusannya dalm menuntut ilmu, maka Yunus menyelesaikan pendidikannya padatahun 1925 dan mendapatkan predikat Syahadah Alimiyah. Setelah itu Mahmud Yunus termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya kembali di Dar ‘Ulum ‘Ulya Mesir tahun 1925. Dalam lembaga pendidikan ini selain mempelajari agama, juga mempelajari pengetahuan umum. Pada tahun 1930 Yunus menyelesaikan pendidikannya dan mendapat ijazah Diploma guru dengan keahlian ilmu pendidikan. (Fauza Masyhudi, 2014: 97).

Terkait dengan guru dari Mahmud Yunus adalah ayahnya sendiri Yunus bin Incek, selanjutnya kakeknya Muhammad Thaher bin Ali yang bergelar sebagai angku gadang serta ulama-ulama yang telah melakukan pembaharuan di Minangkabau Sumatera Barat, yakni Muhammad Thaib Umar, Syeikh Jamil Jambek,

(6)

Abdullah Karim Amrullah dan Syeikh Ibrahim Musa. Selain memiliki seorang guru, Yunus juga mempunyai seorang murid yang bernama Imam Zarkasi sebagai pendiri Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur. (Febriyeni, 2015: 60).

Setelah menyelesaikan studinya di Mesir, kemudian Yunus kembali ke Indonesia tahun 1930. Yunus banyak berpengalaman mengajar dan menjadi pemimpin berbagai sekolah ataupun lembaga, di antaranya adalah: Pemimpin al-Jami’ah Islamiyah di Sungayang Batusangkar tahun 1931-1932, Kepala Muallimin Islamiyah Normal Islam di Padang pada tahun 1932-1946, Kepala Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta (1957-1980), Menjadi Dekan dan Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1960-1963), Mendirikan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) dan sebagai anggota dari Minangkabau Raad (1938-1942), Anggota Komite Nasional Sumatera Barat (1945-1946, Mendirikan Majelis Islam Tinggi Minangkabau dan anggota MIT Sumatera (1946), Anggota Pemeriksa Agama pada Jawatan Agama Provinsi

Sumatera di Pematang Siantar tahun 1946-1949, Sekretaris menteri Agama PDRI (1949), Karyawan Tinggi Departemen Agama di Yogyakarta (1950), Kepala Penghubung Pendidikan Agama di Departemen Agama di Jakarta (1951), Rektor IAIN Imam Bonjol Padang tahun 1966-1971, dan Doctor Honoris Causa bidang ilmu Tarbiyah yang diberikan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (Hanifatul Husna, 2018: 52).

Mahmud Yunus merupakan salah satu tokoh Sumatera Barat yang sangat produktif. Sehingga banyak karya-karyanya yang telah terbit di tanah air. Sepanjang hidupnya Yunus telah menghasilkan 82 buah karya dan karya-karyanya tersebut tidak hanya terbatas pada satu disiplin ilmu saja, melainkan beberapa disiplin ilmu yang dimulai dari bidang hadis, pendidikan, fiqih, tafsir, bahasa Arab, hadis, akhlak, sejarah dan lain-lain. Adapun karya-karya Mahmud Yunus tersebut adalah:

Bidang hadis: Ilmu Mushthalah al-Hadits dan Ilmu Mushthalah Hadis, dan di bidang tafsir cukup banuak, di antaranya adalah: TafsirAlquran Karim 30 Juz, Tafsir Al-Fatihah, Tafsir Ayat Akhlak, Juz ’Amma dan Terjemahnya,

(7)

Tafsir Alquran Juz 1-10, Pelajaran Huruf Alquran, Kesimpulan Isi Alquran, dan lannya.

Di antara karyanya di bidang fiqh: Marilah Sembahyang I dan II, Puasa dan Zakat, Haji ke Mekkah, Hukum Warisan dalam Islam, Fiqh Al-Wadhih I-III, Mabadi’ al-Fiqh Al-Tsanawiy, Tarikh Al-Fiqh Al-Islamiy (Sejarah Fiqh Islam), Al-Masail Al-Fiqhiyah ’ala Madzahib Al-Arab’ah (Masalah-masalah Fiqh Empat Madzhab) (Febriyeni, 2015, 55-56).

Bidang bahasa Arab, yaitu: Pelajaran Bahasa Arab I, Pelajaran Bahasa Arab II, Pelajaran Bahasa Arab III, Pelajaran Bahasa Arab IV, Methodik Khusus Bahasa Arab, Kamus Arab-Indonesia, Muthall’ah wa Mahfuzhar (Bedah Buku dan Kata Mutiara), Darus Al-Lughat al-’Arabiyah I-III, Muhadatsat Al-Arabiyah (Percakapan: Bahasa Arab), Al-Muktarat Lil Muthalla’ah wa al-Mahfuzhat, serta masih banyak lagi karyanya baik di bidang akhlak, Pendidikan, maupun sejarah yang tidak mungkin dipaparkan secara keseluruhan dalam tulisan ini.

Dalam melaksanakan

kehidupannya, Yunus menghabiskan

waktunya dengan melakukan banyak hal kegiatan yang bermanfaat. Dia mencoba belajar dan mengembangkan pendidikan Islam dari berbagai bidang. Sehingga pada awal tahun 1970 kesehatan Mahmud Yunus pun menurun dan bolak balik pergi ke rumah sakit. Kemudian Yunus memperoleh gelar doctor honoris causa pada bidang ilmu Tarbiyah di IAIN Jakarta atas karya-karyanya dan jasanya dalam mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia tahun 1982. Bertepatan pada tanggal 16 Januari 1982 (20 Rabiul awal 1402) ketika berusia 83 tahun Mahmud Yunus pun menghebuskan nafas terakhir di kediamannya Kelurahan Kebon Kosong Kemayoran, Jakarta Pusat. Sehari kemudian ia dimakamkan di pemakaman IAIN Syarif Hidayatullah.

Kontribusi Pemikiran Mahmud

Yunus terhadap Hadis

Mahmud Yunus adalah seorang tokoh yang menerapkan pengajaran dalam bahasa Arab. Yunus lebih menekankan pada pengajaran bahasa Arab. Sebab bahasa merupakan hal utama dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman, seperti Alquran, hadis dan

(8)

kitab-kitab fiqh. Sehingga perhatian Mahmud Yunus terhadap pengajaran bahasa Arab ini berawal dari rasa ketidakpuasan atas sistem pengajaran berbentuk halaqah. Dalam hal ini seorang guru membaca dan menjelaskannya sedangkan para murid mendengarkan dan mencatat yang perlu untuk dicatat. (Herry Mohammad, 2006: 87).

Walaupun Mahmud Yunus lebih dikenal dengan tokoh pendidikan di Indonesia, dibandingkan sebagai tokoh hadis. Namun, hal demikian tidak dipungkiri bahwa Yunus juga ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis sebagaimana yang tertuang dalam dua buah karyanya pada bidang hadis yang berjudul ilmu mushthalah al-hadits dan ilmu mushtalah hadis. Pada kedua karyanya tersebut ia memberikan perhatian yang begitu besar dalam kajian hadis. Maka dengan hasil karyanya di bidang hadis, dapatlah dikatakan bahwa Mahmud Yunus juga dikategorikan sebagai tokoh hadis Sumatera Barat.

Selain itu, Yunus juga menyumbang perhatian yang sangat besar terhadap kajian ilmu hadis dengan memasukkannya pada

kurikulum pendidikan dan ia mampu menghadirkan kajian ilmu hadis dalam bentuk berbahasa Indonesia yang pertama dan di pakai sebagai bahan ajar di Madrasah-Madrasah maupun pesantren-pesantren. Yang mana pada mulanya kajian ilmu hadis hanya termasuk ke dalam mata pelajaran agama Islam. Dengan memberikan perhatiannya yang sangat besar terhadap hadis, maka Yunus mengelompokkan keilmuan hadis ke dalam kurikulum pendidikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Sehingga sedikit banyaknya Yunus juga mengutip hadis pada salah satu karyanya yang berjudul tentang Akhlak Menurut Alquran dan Hadis Nabi SAW.

Hadis-hadis yang dikutip dalam karyanya tersebut tidak menyebutkan sanadnya, namun ia hanya menyebutkan perawinya saja. Akan tetapi, terdapat dua hadis yang disebutkan sanad akhirnya yang berasal dari Abu Hurairah. Kemudian hadis-hadis tersebut diberi penjelasan dengan menggunakan pendapat Mahmud Yunus sendiri dan pendapat ulama lainnya. Adapun contohnya hadis tentang jujur, yaitu:

(9)

“Tanda orang munafik ada tiga, yaitu: meskipun ia puasa, shalat, serta menyatakan ia muslim, yaitu: apabila berbicara ia dusta, apabila berjanji ia ingkari, dan apabila ia dipercaya ia khianati.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Dari hadis tentang jujur di atas, bahwa Yunus menjelaskan jujur merupakan sifat utama yang wajib diamalkan setiap muslim. Apabila manusia berdusta maka masyarat akan mengalami atau terjadi kekacauan seluruhnya. Maka hukum berdusta itu haram, kecuali dalam tiga posisi, sebagaimana dalam hadis Nabi yang artinya: “Tidak boleh berdusta kecuali pada tiga hal: laki-laki yang berdusta terhadap istrinya untuk menyenangkan hatinya, laki-laki yang berdusta dalam peperangan karena peperangan itu adalah tipu muslihat, dan laki-laki yang berdusta terhadap dua orang muslim untuk mendamaikan antara keduanya.” (H.R. Muslim). (Mahmud Yunus, 1978: 5-6). Dalam hal ini Mahmud Yunus hanya menyebutkan terjemahan dari hadis di atas tanpa mencantumkan redaksi aslinya. Tapi ia

menjelaskan bahwa di dalam riwayat Abu Daud terdapat suatu tambahan dari Ummi kalsum yaitu: dan perempuan yang berbicara dengan suaminya.

Sedangkan terkait pemikiran Mahmud Yunus dalam karyanya pada bidang ilmu hadis terdapat dua karya, yang mana kedua karyanya itu memiliki judul yang sama. Namun, perbedaan kedua karyanya itu adalah; pertama, merupakan karangan Mahmud Yunus sendiri dengan berbahasa Arab, kedua, yang dikarang bersama-sama dengan Mahmud Aziz dalam bentuk bahasa Indonesia.

Pada karyanya berjudul ‘Ilmu Mushthalah al-Hadits merupakan hasil karangannya sendiri yang disusun secara sederhana dan praktis. Dalam muqaddimah kitabnya ini disebutkan bahwa kitab ini merupakan ringkasan dari beberapa kitab yang membahas ilmu musthalah al-hadis secara komprehensif atau panjang lebar. Karangannya yang pertama ini ia menjelaskan pada setiap pembahasannya dengan menggunakan poin-poin sehingga terkesan sistematis. Dalam hal ini iya tidak hanya sebatas meringkas, bahkan ia juga menambahkan pemikirannya terhadap

(10)

suatu pembahasan. Buku ini ditujukan sebagai sumber rujukan bagi para pengajar atau guru-guru di sekolah-sekolah maupun juga di pesantren-pesantren sehingga pembahasannya terlihat lebih luas dan mendalam. Yang mana dalam pembahasan bukunya ini terdapat suatu pemikiran Yunus. Ia memaparkan kritikan-kritikannya terhadap pendapat ulama hadis sebelumnya. Di antaranya kritikan terhadap kitab al-Shahihain, Ibnu Shalah dan al-Shan’aniy. (Mahmud Yunus, 1971).

Sedangkan buku keduanya yang dikarang bersama-sama dengan Mahmud Aziz tersebut juga merupakan buku yang berbentuk sangat sederhana dan ringkas terdiri dari 11 pasal pembahasan di dalamnya dengan jumlah 90 halaman. Dalam pengantar buku ini menyatakan bahwa ketika menyelidiki hadis-hadis yang bermacam-macam keadaannya itu, maka lahirlah istilah-istilah untuk memberi nama hadis-hadis tersebut, sehingga lahir pulalah suatu ilmu yang dinamai ilmu Mushthalah Hadis, untuk mempelajari istilah-istilah yang dipakai dalam ilmu hadis. Juga untuk mengetahui mana hadis sahih dan apa

syarat-syaratnya, mana hadis lemah dan apa sebab kelemahannya, mana hadis yang benar, mana hadis palsu dan apa perbedaan antara keduanya dan lain-lain sebagainya. Sehingga terdapat suatu motivasi dalam penulisan buku ini yang mana Mahmud Yunus didorong oleh cita-cita dan keinginan yang begitu besar untuk memperluas tersebarnya pengetahuan Islam. Buku ini ditulis dalam bentuk bahasa Indonesia agar mudah dipahami bagi para pelajar PGA, Madrasah dan Muballigh serta dapat pula dipelajari oleh umum yang ingin mengetahui hadis. (Mahmud Aziz & Mahmud Yunus, 1974: 6).

Kemudian selanjutnya terkait dengan sumbangan pemikiran yang menarik dari Mahmud Yunus dalam bidang ilmu hadis. Salah satu di antaranya terkait dengan kritikannya terhadap kitab shahihaini dan Ibnu Shalah. Shahihain disini merupakan suatu istilah yang di pakai dalam dua kitab hadis milik Imam Bukhari dan Imam Muslim. Kedua kitab ini telah disepakati oleh Ahlussunnah sebagai kitab yang paling shahih setelah Alquran. Yang mana Imam Nawawi berkata bahwa para ulama telah sepakat

(11)

apabila kedua kitab ini tergolong pada kitab yang paling shahih setelah Alquran adalah al-Shahihain Bukhari dan Muslim, lalu umat pun telah sepakat dan menerima keduanya. Buku ilmu mushtalah al-hadits, bahwa Mahmud Yunus melakukan suatu bahasan yang jarang ditemukan dalam kitab mushtalah klasik sebelumnya, pembahasan tersebut ia beri judul dengan نيحيحصلا ىلع داقتنإ. Dalam hal ini Mahmud Yunus mengemukakan pendapat dari Imam Nawawi dalam syarah Muslim adalah: (Mahmud Yunus, 1971:43).

Dari ungkapan pendapat di atas, maka Mahmud Yunus menyatakan bahwa Imam Daruquthni memastikan terhadap Bukhari dan Muslim yang telah meninggalkan beberapa hadis yang memenuhi kriteria atau karakteristik syarat shahih dalam kitab

shahihain. Sehingga dalam kritikan Mahmud Yunus tentang kitab shahihain tersebut. Setelah Yunus melakukan rujukan pada beberapa referensi dengan informasi bahwa Ilzamat wa al-tatabu’ karangan Daruquthni, yang mana kitab ini memiliki 110 hadis. Selanjutnya setelah melakukan telaah dan analisisa terhadap hadis yang di kritik Daruquthni, bahwa al-Hafiz Ibnu Hajar berpendapat: tidak seluruh hadis yang dikritik tersebut memiliki illat qadihah yang dapat mendhaifkan suatu hadis. Bahkan mayoritas ulama mengklaim hal itu dapat dijawab dengan argumentasi yang jelas dan tuntutan kecacatan itu tertolak. Adapun terdapat beberapa hadi yang kebenarannya masih bersifat muhtamal dan hanya sedikit yang sulit dijelaskan jawabannya. (Febri Yeni, 2015: 96). Selanjutnya terdapat beberapa hadis-hadis yang dikritik yang dibagi kepada enam macam, yaitu:

(12)

Dari kutipan yang dilakukan Mahmud Yunus di atas, maka dapat di pahami bahwa hadis-hadis yang di kritik Daruquthni, di antaranya: pertama, hadis-hadis yang diperselisihkan dari aspek atau segi jumlah periwayatnya. Kedua, terdapat perbedaan antara para perawi dengan adanya perubahan penyebutan sebagian rijal sanad. Ketiga, hadis yang sebagian perawinya itu tsiqah menyendiri (tafarrud) dalam melakukan periwayatannya, sehingga adanya suatu penambahan yang tidak disebutkan dalam riwayatnya dari para perawi-perawi yang tsiqah lainnya. Keempat, hadis yang tafarrud dari sebagian perawinya dan dinilai dha’if. Kelima, hadis yang mana perawinya itu dinilai terkena waham, sehingga sebagian dari waham berpengaruh terhadap ke-shahih-an hadis, tetapi sebagiannya lagi tidak berpengaruh. Keenam, hadis-hadis yang diperselisihkan karena adanya perubahan pada sebagian teks

matan hadisnya, baik itu jumlahnya banyak ataupun tidak.

Bahwa ia hanya sebatas mengemukakan adanya perbedaan pendapat ulama tentang ke-shahih-an kitab yang ditulis oleh Bukhari dan Muslim. Dan dalam kritikan ulama tersebut, Yunus pun tidak mencantumkan pendapatnya sendiri, namun ia hanya memaparkan kitab shahih Bukhari dan Muslim tidak pernah luput dari yang namanya sebuah kritikan terhadap ulama mutaqaddimin. Sebagai akademisi, Mahmud Yunus sangat objektivitas ketika menyikapi perbedaan pendapat ulama tersebut, sehingga ia tidak membela atau memihak pada satu pendapat saja dan juga tidak menjatuhkan pendapat yang lainnya.

Dalam bukunya ini terdapat suatu pemikiran yang dinyatakan oleh Mahmud Yunus. Yang mana terkait kedudukan sunnah terhadap Alquran. pada dasarnya kedudukan sunnah tersebut sama dengan ulama sebelumnya, yaitu sunnah berada di posisi kedua setelah al-Qur’an, namun ia memiliki pendapat sendiri dalam beragumentasi ketika menjelaskan persoalan tersebut. Selain itu, juga

(13)

terdapat pembahasan tentang hukum beramal dengan hadis dhaif. Dalam hal ini Mahmud Yunus tergolong kepada ulama yang mutasyaddid dalam beramal hadis dhaif, misalnya ketika ia mengutip suatu hadis yang terdapat dalam kitab Ilmu Mushthalah Hadis, ia mengungkapkan hadisnya dengan sanad yang lengkap, juga kualitas perawinya ketika dibutuhkan, contoh:

Telah menceritakan kepada kami Husyaim dan Yazid, dari Yahya bin Sa’id dari Amr bin Syu’aib, ia berkata: telah berkata Umar: kalau tidaklah karena aku mendengar Rasulullah, berkata: “Tidak ada sesuatu warisan bagi sipembunuh itu”, niscaya akujadikan engkau ahli waris.Amr bin Syu’aib berkata: “Umar memanggil saudara laki-laki dari ibu yang terbunuh itu, lalu ia berikan unta kepadanya.”

Mahmud Yunus menjelaskan bahwa perawi yang ada di dalam hadis ini adalah Husyaim dan Yazid, dari Yahya bin Sa’id, Amr bin Syu’aib dan Umar. Apabila diperhatikan orang teresebut, maka kita ketahui bahwa Amr bin Syu’aib tidak semasa dengan Saiyidina Umar. Bagaimanakah Amr

bisa bertemu dengan Umar? Tentulah dengan perantaraan seseorang yang tidak disebutkan namanya. Siapa orang tesebut, bagaimana sifatnya, bisa dipercaya atau tidakna tidak bisa diketahui. Oleh karena itu, hadis ini adalah hadis dha’if, sebab tidak bersambung sanadnya. (al-Muslimin 8: 17).

Dalam buku Ilmu Mushthalah Hadis karangan M. Aziz dan M. Yunus dijelaskan bahwa meriwayatkan hadis dhaif, para ulama membolehkannya dengan syarat hadis tersebut bukan untuk menetapkan suatu hukum, seperti haram, wajib, sunah dan sebagainya. Sehingga hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang pendusta, pengkhianat itu haram meriwayatkan hadis tersebut. Tetapi boleh mengamalkan hadis dha’if, apabila kandungan dan maksudnya itu telah masuk dalam umum hadis yang sah atau umum Alquran. Misalnya hadis yang menjelaskan tentang pahala shalat, pahala puasa, pahala bersedekah, maka hadis itu boleh di amalkan. (Mahmud Aziz & Mahmud Yunus, 31-32 ).

Hal ini bisa dilihat bahwa, Mahmud Yunus memang sebagai seorang tokoh pembaharu dalam

(14)

bidang pendidikan, sehingga perhatiannya dalam hal pendidikan di Indonesia sangatlah besar dan berpengaruh. Yang mana pada awalnya pengajaran Islam itu dilakukan berbentuk pengajian Alquran dan kitab yang dilaksanakan di surau-surau, rumah-rumah, pesantren, mesjid. Kemudian hal tersebut diubah menjadi suatu lembaga pendidikan yang formal dengan menggunakan materi pelajaran (kurikulum), metode pendidikan Islam serta bentuk bahan ajar yang lebih sistematis, komprehensif dan terarah.

Walaupun dalam karyanya Mahmud Yunus tidak terdapat hal yang baru baik itu terkait dengan hadis dan ulumul hadi, sebab seluruhnya itu merupakan kutipan Mahmud Yunus dari ulama-ulama terdahulu tanpa memberikan pemikiran ulang. Akan tetapi Yunus memberikan perhatian yang sangat besar dalam bidang hadis dan ulumul hadis seperti yang terdapat dalam karya-karyanya tersebut. Pada masa Yunus pembahasan tentang hadis dan ulumul hadis itu belum begitu marak dibicarakan, sehingga bukunya tersebut merupakan sebuah pengantar dalam kajian hadis maupun ulumul hadis. (Munirah, 2017: 292).

KESIMPULAN

Mahmud Yunus adalah seorang tokoh pendidikan Islam Indonesia yang sangat gigih dalam memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum lahir pada Sabtu 10 Februari 1899 (30 Ramadhan 1316 H) di Sungayang, Batusangkar, Sumatera Barat. Terkait kontribusi pemikirannya terhadap kajian hadis dan ilmu hadis, bahwa Yunus memberikan perhatian besar terhadap kajian ilmu hadis yang mana dengan memasukkannya pada kurikulum pendidikan dan mampu menghadirkan kajian ilmu hadis dalam bentuk berbahasa Indonesia yang pertama dan digunakan sebagai bahan ajar di Madrasah-Madrasah maupun pesantren-pesantren. Selanjutnya kontribusinya yang lain bahwa Mahmud Yunus ingin menyamakan bahan ajar yang ada di Timur Tengah dengan bahan ajar di Indonesia terutama Sumatera Barat.

REFERENSI

Febriyeni, 2015, “Studi Pemikiran Tokoh Hadis Sumatera Barat: Prof. H. Mahmud Yunus dan H. Mawardi Muhammad” Tesis pada Konsentrasi Ilmu Hadis Program Studi Pengkajian

(15)

Islam Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang.

Ghofur, Saiful Amin, 2008, Profil Para Mufasir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insani Madani.

---, 2013, Mozaik Mufasir al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba.

Hafizullah, Hafizullah.

"HADIS-HADIS BALÂGHÂT

MARFU’DALAM KITAB MUWATHTHA’IMAM

MALIK." Jurnal

Ulunnuha 5.1 (2016): 37-56.

Husna, Hanifatul, 2018, “Analysis Study of ‘Ilmu Mushtalah al-Hadits Book By Mahmud Yunus”, Skripsi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN IB Padang. Iskandar, Edi, 2017, “Mengenal Sosok

Mahmud Yunus dan Pemikirannya Tentang Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Potensi: Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1.

Masyhudi, Fauza, 2014, “Pemikiran Mahmud YunusTentang Konsep Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Tarbiyah, Vol 21, No 1.

Munirah, 2017, “Mahmud Yunus dan Kontribusinya dalam Perkembangan Studi Hadis dan Ilmu Hadis di Indonesia”, dalam Millati

Jurnal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 2, No. 2. Nadhiran, Hedhri, “Perkembangan

Pemikiran Hadis di Indonesia Analisis Teori Hadis Hasbi ash-Shiddieqy”, dalam

http://www.academia.edu.

Nata, Abuddin, 2005, Tokoh-tokoh PembaruanPendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Rudliyana, Muhammad Dede, 2004,

Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadits Dari Klasik Sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia.

Yuni, Asmi, 2011, “Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Metode Pendidikan Islam”, Skripsi Fakultas Tarbiyah UIN Suska Riau Pekanbaru. Yunus, Mahmud, 1978, Akhlak

Menurut al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW, Jakarta: Hidakarya Agung.

---, 1971, ’Ilmu Mushthalah al-Hadits, Padang: Sa’adiyah Putra.

---, 1974, Ilmu Mushthalah Hadis, Jakarta: Jayamurni. Zulmardi, 2009, “Mahmud Yunus dan

Pemikirannya dalam Pendidikan”, dalam Jurnal Ta’dib, Vol 12, No. 1.

Referensi

Dokumen terkait

Pengawasan ini dilakukan langsung oleh Kasat Sat Reskoba Polres Malang Kota maupun oleh kepala BNN Malang Kota terhadap petugas yang melakukan under cover buy

Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah formulasi jamur tiram dan tapioka berpengaruh sangat nyata terhadap volume pengembangan kerupuk, tekstur,

Sebagaian siswa juga beranggapan bahwa mereka menyukai guru yang mengirim makalah dengan email (54%), namun ada beberapa siswa manyatakan ketidaksukaan mereka

Berdasarkan hasil pengembangan, produk instrumen penilaian pengetahuan mata pelajaran PJOK ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu (1) produk berisi 131 butir soal

Kepala Urusan Keuangan memiliki fungsi melaksanakan urusan keuangan seperti pengurusan administrasi keuangan, administrasi sumber-sumber pendapatan dan pengeluaran,

perhitungan risiko dan lain sebagainya (Tim Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, 2009). Oleh karena itu, maka diperlukan suatu kajian tentang kesiap-

2# Melakukan koordinasi dengan instalasi3 unit$unit kerja di lingkungan umah Sakit Marina Permata terkait pelaksanaan pemantauan  program indikator mutu keselamatan pasien

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Febriliany (2013), Puspitasari (2013) dan Pratiwi (2013) menyatakan bahwa polen yang ditentukan memiliki bentuk morfologi yang