PENDAHULUAN
Multipel sklerosis (MS) merupakan suatu penyakit autoimun yang menyerang selubung mielin sistem saraf pusat sehingga terjadi suatu
proses inflamasi demielinisasi. Demielinisasi dapat
menyebabkan konduksi hantaran saraf menjadi lambat atau bahkan gagal dihantarkan. Demielinisasi yang disertai ataupun tidak disertai kerusakan akson pada MS akan memberikan gambaran klinis yang
bervariasi dan tidak spesifik.1,2
Tumefactive multiple sclerosis atau multipel
sklerosis tumefaktif merupakan suatu lesi demielinisasi otak berukuran lebih dari 2cm di daerah substansia alba dengan efek menyerupai massa dan edema vasogenik. Setelah pemberian kontras gadolinium, pada pemeriksaan MRI kepala akan menunjukkan gambaran penyangatan berbentuk cincin yang belum sempurna secara khas pada lesi tersebut.3 MS tumefaktif merupakan varian jarang dari MS dan diperkirakan 1-2 per 1.000 kasus MS atau 3 kasus per 1.000.000 per tahun pada populasi umum. MS tumefaktif lebih sering ditemui pada
MULTIPEL SKLEROSIS TUMEFAKTIF
TUMEFACTIVE MULTIPLE SCLEROSIS
Dwi Astiny,* Reza Aditya Arpandy,* Riwanti Estiasari* ABSTRACTTumefactive multiple sclerosis (MS) is a rare variant of MS. It refers to demyelinating brain lesions more than 2cm in white matter region with mass-like effect or vasogenic edema and post-gadolinium magnetic resonance imaging (MRI) typically showing an incomplete ring enhancement. MRI offers by far the most sensitive technique for detecting MS lesion and has proved to be an important paraclinical tool for diagnosing MS. Because tumefactive MS imaging features can present as a suggestive brain tumor, MRI may cause diagnostic difficulties to several neoplastic and infective diseases of the brain that have similar imaging characteristics. Magnetic resonance spectroscopy (MRS) has been applied in the assessment of various pathologic processes that affect the central nervous system and might be useful to differentiate tumefactiveMS lesions from other tumor lesions. We report a case of a 16 years old male with weakness on left extremities since 4 month before admission andvisual disturbance. The brain MRI showed 4 lesions of various sizes in bilateral frontal, parietal lobes, and left lower brainstem. The brain MRS showed thatthe largest lesion with peri-lesional edema in the right parieto-frontal lobe was suspected astumefactive demyelination. After treated with methylprednisolone 1000mg IV for 5 days, the brain MRI evaluation showed the lesion become smaller.
Keywords: Magnetic resonance imaging, magnetic resonance spectroscopy, multiple sclerosis, tumefactive multiple sclerosis
ABSTRAK
Tumefactive multiple sclerosis atau multipel sklerosis (MS) tumefaktif adalah suatu varian jarang dari MS. MS tumefaktif merujuk pada suatu lesi demielinisasi otak yang berukuran lebih dari 2cm di daerah substansia alba dengan efek massa ringan atau edema vasogenik dan pada pemeriksaan MRI dengan kontras gadolinium secara khas menunjukkan suatu penyangatan berbentuk cincin yang tidak tertutup sempurna. Sejauh ini MRI merupakan teknik pencitraan yang sensitif untuk mendeteksi adanya lesi MS dan terbukti merupakan alat penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis MS. Bentuk gambaran MS tumefaktif yang bisa menyerupai tumor otak menyebabkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis karena beberapa neoplasma dan penyakit infeksi otak dapat memberikan gambaran yang sama pada MRI. Magnetic resonance spectroscopy (MRS) ditambahkan untuk menilai berbagai proses patologi di susunan saraf pusat dan mungkin dapat membantu untuk membedakan lesi MS tumefaktif dengan lesi tumor lainnya. Dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki 16 tahun dengan kelemahan ekstremitas kiri sejak 4 bulan yang lalu dan gangguan penglihatan. MRI kepala pasien menunjukkan adanya 4 lesi dengan ukuran bervariasi pada lobus frontal bilateral, parietal kiri, dan batang otak kiri bawah. MRS menunjukkan bahwa lesi terbesar dengan edema di sekitarnya yang terletak di lobus parietofrontal kanan diduga sebagai tumefaktif demielinisasi. Setelah pemberian terapi metilprednisolon 1000mg IV selama 5 hari, MRI kepala evaluasi menunjukkan ukuran lesi menjadi lebih kecil.
Kata kunci: Magnetic resonance imaging, magnetic resonance spectroscopy, multipel sklerosis, tumefaktif. *Departemen Neurologi FK Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Korespondensi: do.we.asty@gmail.com. Artikel ini telah ditampilkan sebagai poster pada acara Pan-Asian Committee for Treatment And Research in Multiple Sclerosis (PACTRIMS) di Seoul, 19-21 November 2015.
Gambar 1. MRI Kepala dengan Kontras
Gambar 2. Gambaran MRS Daerah Lesi
perempuan dengan nilai median usia awitan sekitar 37 tahun.1
Diagnosis MS ditegakkan dengan melihat gambaran klinis dan atau dibuktikan dengan gambaran radiologi yang memenuhi kriteria diseminasi waktu (dissemination in time/DIT) dan diseminasi ruang (dissemination in space/DIS). Secara klinis dan radiologis, MS tumefaktif dapat menyerupai suatu neoplasma primer atau sekunder, infeksi, abses
otak, tuberkuloma, dan kelainan inflamasi lainnya
seperti sarkoidosis atau sindroma Sjogren primer. Sebagai akibatnya, MS tumefaktif seringkali salah didiagnosis, sehingga tidak mendapatkan terapi yang tepat.3,4 Adanya MRI yang modern sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis sekaligus menyingkirkan diagnosis banding MS tumefaktif tersebut.2
KASUS
Seorang laki-laki 16 tahun datang ke RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan keluhan utama kelemahan ekstremitas kiri sejak 4 bulan sebelumnya. Kelemahan disertai gemetar pada ekstremitas sisi kiri serta pandangan menjadi buram. Tidak terdapat riwayat demam, trauma kepala, dan infeksi tuberkulosa paru, ataupun riwayat penyakit serupa pada keluarga.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nilai GCS 15, pupil isokor, diameter 3mm dengan refleks
cahaya langsung dan tidak langsung baik, tidak ada tanda rangsang meningeal dan paresis saraf kranialis. Penilaian ketajaman visus bed side kesan dalam batas normal (>3/60) pada kedua mata. Kekuatan motorik
ekstremitas sisi kiri seluruhnya 4, refleks fisiologis normal, dan tanpa refleks patologis, gangguan
Gambar 3. Perbandingan Hasil MRI Sebelum (Kiri) dan Sesudah (Kanan) Pemberian
Metilprednisolon Dosis Tinggi
sensorik ataupun otonom. Nilai expanded disability status scale (EDSS) pasien adalah 1,5.
Pada MRI kepala didapatkan 4 lesi dengan ukuran bervariasi pada lobus frontal bilateral, parietal kiri, dan batang otak kiri bawah. Magnetic resonance spectroscopy (MRS) menunjukkan lesi terbesar dengan edema terletak pada lobus parieto-frontal kanan mempunyai puncak kolin tinggi, N-acetyl aspartate (NAA) rendah, dan laktat yang meningkat. Lesi lain menunjukkan puncak kolin sedikit meningkat dengan NAA rendah. Tidak ada
peningkatan perfusi yang signifikan pada lesi bila
dibandingkan daerah otak lainnya. Hal ini sesuai dengan gambaran demielinisasi tumefaktif.
Pemeriksaan visual evoked potential dalam batas nomal, sehingga disimpulkan keluhan pandangan buram bersifat subyektif. Hasil laboratorium juga tidak menunjukkan kelainan. Pasien mendapatkan terapi
PEMBAHASAN
MS merupakan penyakit inflamasi demielinisasi
yang paling sering memberikan gambaran klasik berupa plak mutifokal pada otak dan medula spinalis.1 Plak demielinasi biasanya terlihat di nervus optikus, batang otak, medulla spinalis, serebelum, dan daerah periventrikuler. MS mempunyai 2 tahap penyakit
dengan tahap awal berupa komponen inflamasi
menyerang selubung mielin dan substansi alba. Pada tahap kedua terjadi degenerasi substansia alba dan nigra. 1
Lesi tumefaktif demielinisasi atau MS tumefaktif adalah lesi besar di daerah substansia alba berdiameter lebih dari 2cm dengan efek massa dan edema vasogenik di sekitarnya. Pada MRI kepala dengan kontras gadolinium menunjukkan gambar khas berupa penyangatan berbentuk cincin yang belum terbentuk sempurna.1,3 Gambaran ini membuat tampilan penyakit demielinisasi menyerupai infeksi dan neoplasma (sulit dibedakan dengan lesi high-grade glioma).1,5
Manifestasi klinis dan gejala awal MS sangat bervariasi, seperti pada Tabel 1,1 sehingga sulit untuk menegakkan diagnosis. Gejala motorik pada MS sering mendahului gejala sensorik. Gejala klinis yang dialami pasien dengan MS tumefaktif tergantung pada lokasi dan ukuran lesi. Oleh karena itu MS tumefaktif dapat memberikan gejala yang bervariasi berupa sakit kepala, abnormalitas kognitif, gangguan mental, afasia, apraksia, dan atau kejang.1,6
MRI merupakan metode pencitraan pilihan untuk lesi demielinisasi baik untuk lesi tumefaktif maupun bukan.8 MRI berperan pada penegakan diagnosis MS, sesuai dengan kriteria DIT dan DIS. DIT merujuk kepada suatu episode yang banyak, sedangkan DIS menunjukkan keterlibatan lebih dari satu area sistem saraf pusat.1
DIS tampak pada MRI potongan T2 setidaknya pada minimal 2 dari 4 area tipikal MS, yaitu periventrikel, jukstakortikal, infratentorial, dan medula spinalis. DIT dapat ditegakkan apabila:
Tabel 1. Gambaran Klinis MS1
Tanda Gejala
Neuritis optik Pandangan buram, nyeri pada bola mata, penglihatan mengenai warna terganggu, gangguan lapang pandang.
Mielitis Nyeri, baal, disestesia, merasa seperti ditekan, kelemahan, ataksia, disfungsi gait, gangguan berkemih neurogenik, gangguan BAB neurogenik, disfungsi seksual, spastisitas.
Okuler, motorik, vestibular Penglihatan ganda, osillopsia, vertigo, mual, muntah, disorientasi, gangguan gait. Paroksismal Kejang, distonia fokal, spasme tonik, disartria, ataksia, speech arrest.
Fenomena Uhthoff Gejala memberat karena adanya infeksi, pemanasan, aktivitas lama, atau stress. Kognitif Proses bicara yang lambat, tidak bisa aktivitas multitasking, memori yang menurun,
sindroma afasia (jarang).
Fatigue Ada hubungannya dengan gangguan tidur, mood, terganggunya fungsi fisik (seperti biomekanik, spastisitas).
terdapatnya lesi lain yang asimtomatis yang menyangat atau tidak menyangat kontras dengan pemberian gadolinium kapan pun, atau adanya lesi baru pada T2 atau yang menyangat kontras pada MRI yang dilakukan pada saat follow up, tanpa melihat waktu pelaksanaan MRI sebelumnya.7
Teknik MRI lebih lanjut digunakan untuk evaluasi MS yang lebih baik, yaitu MRS.2 MRS mempunyai potensi untuk membedakan keberadaan dan menghitung jumlah relatif berbagai metabolit kimia dalam otak. Teknik pencitraan MRS sangat berguna untuk menilai penyakit intracranial lebih
lanjut, terutama untuk mengidentifikasi gangguan
yang bermanifestasi lesi pada gambaran pencitraan,
seperti neoplasma, inflamasi, dan iskemik.11
MRS dapat membantu dalam mengidentifikasi
lesi tumefaktif demielinisasi dan membedakannya dengan lesi tumor. Produk metabolit dari jaringan saraf yang dapat diukur dengan MRS meliputi kolin, kreatin, NAA, lipid, laktat, alanin, mio-inositol, glutamat, dan glutamin.5,9 NAA merupakan penanda untuk integritas struktural dan fungsional dari neuron dan akson, kreatin untuk metabolisme energi, serta kolin sebagai penanda untuk membran sel dan pergantian membran sel. Laktat, lipid, asam amino sitosolik, alanin, asetat, suksinat merupakan penanda adanya glikolisis anaerobik, yaitu terjadinya proses nekrosis jaringan. Mio-inositol menjadi penanda adanya astrogliosis, lipid dan asam amino sitolik menunjukkan adanya kerusakan mielin, sedangkan glutamat dan glutamin merupakan indikator neurotransmitter eksitatori.9
Selanjutnya MRS dianalisis dengan melihat rasio metabolit tersebut, yaitu rasio NAA/keratin, NAA/kolin, dan kolin/keratin. Nilai normal untuk NAA/kreatin adalah 2 dan dikatakan abnormal bila <1,6. Nilai normal rasio NAA/kolin adalah 1,6 dan dikatakan abnormal bila <1,2; sedangkan nilai normal kolin/keratin adalah 1,2 dan abnormal bila >1,5.9
Banyak penelitian mengenai lesi tumefaktif demielinisasi, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Lucchinetti dkk.6 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gambaran
klinis dan radiografi penyakit demielinisasi inflamasi susunan saraf pusat yang kemudian dikonfirmasi juga
dengan biopsi pada 168 pasien. Sebelum dilakukan
biopsi, gambaran MRI pada hampir 168 pasien menunjukkan lesi berukuran >2cm, kecuali 13 kasus. Secara statistik, pada studi ini juga ditemukan ada hubungan kuat antara peningkatan ukuran lesiyang tampak pada MRI dengan efek massa dan edema. Kebanyakan lesi ditemukan di daerah supratentorial dan subkortikal di lobus frontal, parietal, oksipital, dan temporal (berdasarkan urutan frekuensi lokasi tersering). Sebaliknya, untuk lesi multifokal yang tidak dilakukan biopsi kebanyakan berada di daerah periventrikuler substansia alba. Penyangatan berbentuk cincin ditemukan pada kebanyakan kasus, baik pada lesi yang dibiopsi maupun tidak. Pola penyangatan homogen banyak ditemukan pada lesi yang tidak dibiopsi, namun tidak pada lesi yang dibiopsi.6
Pada studi terdahulu dinyatakan bahwa pola penyangatan cincin yang ada hubungannya dengan demielinisasi lebih sering ‘terbuka’, bagian yang tidak tertutup sempurna berbatasan dengan substansia grisea kortikal atau basal ganglia. Pada studi terbaru, lesi menunjukkan penyangatan cincin, biasanya berbentuk cincin tertutup. Walaupun cincin yang ada kaitannya dengan abses dan neoplasma lebih sering tertutup sempurna, namun penelitian yang dilakukan oleh Lucchinetti dkk menekankan fakta bahwa cincin tertutup pun dapat ditemui pada lesi tumefaktif demielinisasi. Walaupun beberapa studi menyatakan bahwa lesi tumefaktif demielinisasi selalu memberikan penyangatan pada lesi, namun penelitian Lucchenetti dkk memberikan hasil sekitar 5% kasus tidak memberikan gambaran penyangatan pada potongan T1W dengan kontras, tanpa memperhatikan apakah kasus tersebut dengan penggunaan terapi steroid ataupun imunoterapi. Penyangatan bergantung pada beberapa faktor, yaitu waktu dari disuntikkan kontras hingga muncul pada gambar pencitraan, dosis kontras, seberapa berat abnormalitas sawar darah otak, akumulasi volume, dan sekuens MRI yang digunakan. Hal ini penting untuk mengenali bahwa penyangatan yang sedikit tidak berarti mengeksklusi patologi demielinisasi.6
Abses mempunyai persentase tertinggi memberikan gambaran berbentuk lingkaran komplit yang hipointens, dimana metastasis dan glioma lebih sering memberikan gambaran setengah lingkaran
yang hipointens dan lesi MS dapat memberikan gambaran lingkaran dan setengah lingkaran sama banyak persentasenya. Sebanyak 92% lesi MS mempunyai gambaran homogen di bagian tengah lesi pada MRI potongan T2 bila dibandingkan dengan abses. Sebanyak 56% abses memberikan gambaran homogen di bagian tengah lesi dan 44% heteregon di bagian tengah lesi.6
Penelitian lain yang bertujuan untuk
mengidentifikasi gambaran khas lesi tumefactive demielinisasi dengan menggunakan data MRI 3Tesla dan MRS dilakukan oleh Akimoto dkk.10 Sebanyak 5 pasien dengan diagnosis tumefaktif demielinisasi di RS Universitas Tokyo Medical memberikan gambaran lesi dengan diameter maksimal >2cm yang menunjukkan intensitas sinyal yang rendah (hipointens) pada potongan T1W1 dan hiperintens pada potongan T2W1 dan fluid attenuated inversion
recovery (FLAIR). Diffusion-weighted imaging (DWI) menunjukkan sinyal berintensitas tinggi atau terang pada daerah sekitarnya dan sinyal berintensitas rendah pada bagian tengah lesi. Pencitraan apparent
diffusion coefficient (ADC) menunjukkan sinyal berintensitas tinggi pada bagian tengah lesi. MRI dengan kontras menunjukkan penyangatan kontras ireguler yang menggambarkan batas lesi dengan daerah sekitarnya. Penyangatan terlihat intens di daerah substansia alba dalam dengan penyangatan berbentuk cincin terbuka menghadap ke permukaan otak. Gambaran ini disebut dengan tanda cincin terbuka. Pencitraan T2 bintang dan pencitraan dengan kontras menunjukkan sinyal vaskuler yang menunjukkan adanya keterlibatan vena yang melewati bagian tengah lesi, dengan penyangatan di daerah sekitarnya. Meskipun tampak ada edema di substansia alba berderajat sedang di sekitar lesi, efek massa pada struktur di sekitar lesi tampak relatif ringan bila dibandingkan dengan ukuran lesi.10
Pada pemeriksaan MRS didapatkan sedikit peningkatan puncak kolin, menurunnya puncak NAA, dan adanya puncak laktat/lipid pada bagian tengah lesi. Pada daerah sekitar lesi, tampak sedikit penurunan puncak NAA dan ratio kolin/NAA lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi.
Pada bagian tengah dan tepi lesi, puncak β, γ-GLX
(glutamat/glutamin) sedikit berpindah ke frekuensi
resonansi yang lebih tinggi (2,2-2,4ppm) dari puncak NAA. Hal ini tidak tampak pada otak normal,10 sehingga Akimoto dkk membuat kesimpulan bahwa lesi tumefaktif demielinisasi memberikan gambaran khas pada MRI berupa lesi besar suprantentorial dengan diameter maksimum >2cm di daerah mulai dari paraventrikuler hemisfer serebri hingga ke permukaan otak; kebanyakan berupa lesi soliter, namun ada juga yang mempunyai lesi multifokal; efek massa di daerah sekitar lesi relatif ringan bila dibandingkan ukuran lesi dengan edema substansia alba sekitar lesi berderajat sedang.
Pencitraan dengan kontras gadolinium memberikan gambaran penyangatan kontras ireguler pada daerah sekitar lesi, dan penyangatan intens di daerah substansia alba dalam dengan penyangatan berbentuk cincin terbuka yang menghadap ke permukaan otak disebut dengan tanda cincin terbuka. Pada bagian tengah lesi, tidak tampak adanya sinyal. Namun daerah tersebut disertai dengan penyangatan di daerah sekitarnya. Hal ini menunjukkan adanya keterlibatan vena. Gambaran DWI menunjukkan sinyal berintensitas tinggi atau terang di daerah sekitar lesi dan sinyal berintensitas rendah di bagian tengah lesi. Pencitraan ADC menunjukkan sinyal berintensitas tinggi pada bagian tengah lesi.10 Untuk gambaran MRS, Akimoto dkk membuat kesimpulan bahwa tumefactive demielinisasi akan menunjukkan peningkatan puncak kolin, laktat, dan lipid, dengan sedikit penurunan puncak NAA dan menunjukkan
puncak β,γ-GLX (glutamat/glutamin) yang tidak
tampak pada otak normal pada kisaran 2,1-2,4ppm. Neovaskularisasi yang berkaitan dengan adanya perbaikan jaringan diamati kemungkinan mempunyai peran dalam memberikan intensitas sinyal edema di sekitar lesi, sehingga memberikan efek penyangatan kontras. Lebih lanjut lagi, penyempitan ruang interseluler akibat proliferasi astrosit yang reaktif menunjukkan penurunan penyebaran molekul air. Pada bagian tengah lesi demielinisasi, ditemukan peningkatan pada ADC, hal ini mengindikasikan adanya pelebaran ruang interseluler yang berkaitan dengan demielinisasi meningkatkan kelarutan molekul air. Tidak tampak adanya sinyal pada bagian tengah lesi menunjukkan adanya keterlibatan vena. Hal ini penting untuk membedakan lesi demielinisasi
dengan tumor intraaksial. Pada lesi tumefaktif demielinisasi, daerah sekitar pembuluh darah juga
menyangat, yang menunjukkan adanya tanda infiltrasi
limfosit sebagai respons terhadap demielinisasi di area perivaskuler.10
Penurunan konsentrasi NAA mengindikasikan adanya disfungsi dan hilangnya sel-sel saraf dan aksonal akibat proses demielinisasi. Ratio NAA terhadap kreatin merupakan penanda biomarker yang penting, karena NAA hanya ditemukan pada sel-sel saraf. Peningkatan kolin pada MS selama proses
demielinisasi dan inflamasi terjadi sebagai akibat dari proliferasi sel dan infiltrasi astrositoma dan limfosit
yang reaktif. Puncak laktat dan lipid diangap sebagai hasil dari proliferasi makrofag.1.2,10 Puncak β,γ-GLX dianggap signifikan, dan oleh Grossman dkk disebut
sebagai ‘marker peaks’.10 Ciafoni dkk melaporkan ketika glutamat dikeluarkan sebagai hasil dari demielinisasi ofrapid, astrosit yang sebenarnya berfungsi mengendalikan pengeluaran glutamat juga mengalami kerusakan parah sehingga astrosit tidak dapat merubah glutamat menjadi glutamin oleh glutamin sintetase.11 Sebagai hasil akibat dari peningkatan rasio glutamat menjadi glutamin, penanda glutamat/glutamin menjadi tampak.
Pada penelitian Majos dkk, puncak β,γ-GLX
tidak ditemukan pada pasien dengan tumor intraaksial yang dianalisis dengan menggunakan MRS. Oleh karena itu, puncak β,γ-GLX dapat digunakan untuk
membedakan antara lesi tumefaktif demielinisasi dengan tumor intrakasial termasuk glioma.10,11 Selain itu, pada tumor sel glia menghasilkan kolin berlebihan dengan penekanan kadar relatif NAA terhadap keratin dan juga tampak peningkatan dua kali lipat laktat yang sangat jelas. Terbalik dengan keganasan, lesi demielinisasi kronik akan menunjukkan peningkatan awal lipid dan laktat mencapai puncaknya dalam 3-4 minggu yang diikuti dengan penurunan persisten kadar NAA.5
Beberapa studi menyatakan pasien dengan MS tumefaktif mempunyai perjalanan penyakit yang jinak bila dibandingkan dengan bentuk lain dari MS. Meskipun demikian, perkiraan kesintasan Kaplan-Meier menunjukkan bahwa waktu median untuk menjadi episode klinis kedua MS-definite dari serangan episode akut lesi demielinisasi cukup lama
(4,8 tahun). Pada studi controlled high risk avonex multiple sclerosis prevention study (CHAMPS), 50% pasien plasebo dengan clinically isolated demielinitating syndrome berubah menjadi MS
definite secara klinis terjadi dalam 3 tahun, sedangkan studi early treatment of multiple sclerosis (ETOMS) dinyatakan 45% berubah dalam 2 tahun. Pada studi yang lebih besar mengenai riwayat asal dari MS pada 1215 pasien, waktu median mengalami episode klinis kedua adalah 1,9 tahun.6
Pasien dengan lesi tumefaktif demielinisasi mengalami perbaikan gejala klinis dan abnormalitas
yang tampak pada radiografi menghilang setelah
pemberian terapi steroid.6,12 Namun perlu dipikirkan pergantian plasma pada pasien yang tidak berespons baik terhadap steroid.6 Pada beberapa kasus dimana gambaran MRI tidak dapat membantu dalam membedakan lesi tumefaktif demielinisasi dengan lesi lain, maka penegakkan diagnosis dengan cara melakukan biopsi tetap diperlukan.6
KESIMPULAN
Menegakkan diagnosis MS tumefaktif sulit, namun pemeriksaan radiologi berupa MRI dan khususnya MRS dapat membantu untuk membedakannya dengan lesi desak ruang intrakranial
lainnya dengan puncak β,γ-GLX (glutamat/glutamin) disebut sebagai marker peaks. MRI meningkatkan kemampuan kita untuk mengetahui lesi tumefaktif demielinisasi tersebut, namun MRI juga dapat gagal untuk menegakkan diagnosis sehingga biopsi dapat dilakukan jika diperlukan. Selain itu, pemberian kortikosteroid akan memberikan respons yang baik secara klinis maupun radiologis pada kasus MS tumefaktif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaeser MA, Scali F, Lanzisera FP, Bub GA, Kettner NW. Tumefactive multiple sclerosis: an uncommon diagnostic challenge. J Chiropr Med. 2011;10(1):29-35.
2. Haritanti A, Karathanasi E, Potsi S. Tumefactive multiple sclerosis: diagnostic study considering the differential diagnosis from other brain lesions. Aristotle University Medical J. 2009;36(2):65-9. 3. Jitawatanarat P, Tingpej B, Deringer P. Tumefactive
multiple sclerosis. British J Medical Practitioners. 2011;4(2):419-20.
4. Kalanie H, Harandi AA, Bakhshandehpour R, Heidari D. Multiple large MS tumefactive plaques in a young man: a diagnostic enigma and therapeutic challenge. Hindawi Publising Coorporation; 2012.
5. Fallah A, Banglawala S, Ebrahim S, Paulseth JE, Jha NK. Tumefactive demyelination lesions: a diagnostic challenge. Canadian J Surg. 2010;53(1):69-70.
6. Lucchinetti CF, Gavrilova RH, Metz I, Parisi JE,
Scheithauer BW, Weigand S, dkk. Clinical and
radiographic spectrum of pathologically confirmed tumefactive multiple sclerosis. Brain. 2008:131(Pt 7):1759-75.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Pedoman diagnosis dan tatalaksana multipel sklerosis di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.
8. Gavra M, Boviatsis E, Stavrinou LC, Sakas D. Pitfalls in The Diagnosis of A Tumefactive Demyelinating Lesion: A Case Report. J Med Case Reports.
2011;5(1):217.
9. Aboul-Enein F. MR Spectroscopy in multiple sclerosis-a new piece of the puzzle or just a new puzzle. Dalam: Kim D, editor. Magnetic resonance spectroscopy. Europe: In Tech; 2012. hlm. 47-72. 10. Akimoto J, Suda T, Hashimoto R, Fukuhara H, Kohno
M. Magnetic resonance imaging characteristics of tumefactive demyelinating lesions. J. Biomedical Sci Engineering. 2015;8(5):321-6.
11. Ciafoni A, Niku S, Imbesi SG. Metabolite findings in tumefactive demyelinating lesions utilizing short echo time protonmagnetic resonance spectroscopy. Am J Neuroradiol. 2007;28(2):272–7.
12. Killic AK, Tuncer Kurne A, Karmi Oguz K, Soylemezoglu F, Karabudak R. Mass lesions in the brain: tumor or multiple sclerosis? clinical and imaging characteristics andcourse from a single reference center. Turkish Neurosurg. 2013;23(6);728-35.