• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Vannamei

2.1.1 Klasifikasi

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang vannamei

(Litopenaeus vannamei) sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Metazoa

Filum : Artrhopoda

Sub filum : Crustacea Kelas : Malascostraca Sub kelas : Eumalacostraca Super ordo : Eucarida

Ordo : Decapoda

Sub ordo : Dendrobrachiata Infra ordo : Penaeidea Super famili : Penaeioidea

Famili : Penaeidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei 2.1.2 Morfologi

Haliman dan Adijaya (2005), tubuh udang vanamei dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik

(2)

5

(moulting). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi, sehingga

dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut :

1. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing). 2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas. 3. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula. Kepala (thorax).

Selanjutnya, kepala udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang dihubugka oleh coxa. Morfologi udang Vannamei dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Morfologi udang vannamei (Warsito, 2012)

Bentuk periopoda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5). Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut disebut basis,

(3)

6

ischium, merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies penaeid dalam taksonomi (Haliman dan Adijaya, 2005)

2.1.3 Habitat dan Siklus Hidup

Risaldi (2012) menyatakan bahwa udang vannamei adalah udang asli dari perairan Amerika Latin yang kondisi iklimnya subtropics. Di habitat alaminya suka hidup pada kedalaman kurang lebih 70 meter. Udang vannamei bersifat

nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada malam hari. Proses perkawinan pada

udang vannamei ditandai dengan loncatan betina secara tiba-tiba. Pada saat meloncat tersebut, betina mengeluarkan sel-sel telur. Pada saat yang bersamaan, udang jantan mengeluarkan sperma, sehingga sel telur dan sperma bertemu. Proses perkawinan berlangsung kira-kira satu menit. Sepasang udang vannamei berukuran 30-45 gram dapat menghasilkan telur sebanyak 100.000-250.000 butir.

Selanjutnya dinyatakan siklus hidup udang vannamei sebelum ditebar di tambak yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia post larva. Pada stadia naupli larva berukuran 0,32-0,59 mm, sistim pencernaanya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur. Stadia zoea terjadi setelah larva ditebar pada bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm dan pada stadia ini benur mengalami 3 kali moulting. Pada stadia ini pula benur sudah bisa diberi makan yang berupa artemia. Siklus hidup udang Vannamei dapat di lihat pada Gambar 2 berikut.

(4)

7

Gambar 2. Siklus Hidup Udang Vannamei (Warsito, 2012)

Stadia mysis, benur udang sudah menyerupai bentuk udang. Yang dicirikan dengan sudah terluhatnya ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Selanjutnya udang mencapai stadia post larva, dimana udang sudah menyerupai udang dewasa. Hitungan stadianya sudah menggunakan hitungan hari. Misalnya, PL1 berarti post larva berumur satu hari. Pada stadia ini udang sudah mulai bergerak aktif (Haliman dan Adijaya, 2005)

2.2. Fisiologi Udang Putih (Litopenaeus vannamei)

Hendrajat (2003) menyatakan bahwa udang putih ( Litopenaeus vannamei) semula digolongkan kedalam hewan pemakan segala macam bangkai (omnivorusscavenger ) atau pemakan detritus. Usus udang menunjukkan bahwa udang ini adalah merupakan omnivora, namun cenderung karnivora yang memakan crustacea kecil dan polychaeta. Adapun sifat yang dimiliki udang putih

(5)

8

1. Nocturnal

Secara alami udang merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam substrat atau lumpur.

2. Kanibalisme

Udang putih suka menyerang sesamanya, udang sehat akan menyerang udangyang lemah terutama pada saat Moulting atau udang sakit. Sifat kanibal akan muncul terutama bila udang tersebut dalam keadaan kekurangan pakan pada padat tebar tinggi.

3. Omnivora

Udang putih termasuk jenis hewan pemakan segala, baik dari jenis tumbuhan maupun hewan (omnivora), sehingga kandungan protein pakan yang diberikan lebih rendah dibandingkan dengan pakan untuk udang windu yang bersifat cenderung karnivora, sehingga biaya pakan relatif lebih murah.

2.3. Kualitas Benur

Kualitas benur memang berperan penting pada keberhasilan budidaya udang vannamei karena akan menentukan kualitas setelah dipanen. Bila kualitas benurnya bagus kemungkinan hasil panennya juga bagus. Benur vannamei untuk dibudidayakan harus dipilih yang terlihat sehat. Kriteria benur sehat dapat diketahui dengan melakukan observasi berdasarkan pengujian visual mikroskopik dan ketahanan benur. Hal tersebut dapat dilihat dari warna ,ukuran panjang dan bobot sesuai umur PL. Kulit dan tubuh bersih dari organisme parasit dan patogen,

(6)

9

tidak cacat tubuh, tidak pucat, gesit, merespon cahaya, bergerak aktif, dan menyebar di dalam wadah (Haliman dan Adijaya 2005).

Hendrajat dan Erfan (2003), menyatakan bahwa kriteria benur yang sehat dapat diketahui dengan melakukan observasi berdasarkan :

a. Pengujian visual

Pengujian visual (kasat mata) benur meliputi aktivitas, kondisi sirip dan ekor, kecepatan pertumbuhan serta keseragaman. Benur yang baik berwarna benig memanjag kecoklatan, benur yang tidak sehat dicirikan dengan warna putih coklat, hitam dan kemerahan pada bagian tertentu. b. Pengujian mikroskopis

Secara mikroskopis benur berkualitas baik pada seluruh permukaan kulitnya terlihat bersih. Hal tersebut menunjukan bahwa benur mengalami moulting secara periodik. Benur yang berkualitas jelek terlihat lemah dan pada permukaan kulitnya berwarna coklat keputihan. Hal tersebut disebabkan infeksi jamur yang menempel pada permukaan kulit benur vannamei.

Selanjutnya, sebelum benur ditebar kedalam tambak perlu dilakukan aklimitisasi (adaptasi), terhadap lingkungan baru. Secara umum ada 2 aklimitasi yanng bisa dilakukan yaitu :

a. Aklimatisasi suhu

Aklimatisasi suhu air petakan udang vannamei dilakukan dengan cara meletakan plastik pengemas yang berisi benur ke dalam tambak. Tindakan tersebut dilakukan hingga suhu air dalam kemasan plastik mendekati atau

(7)

10

sama dengan suhu air petakan yang dicirikan dengan munculnya embum di dalam plastik.

b. Aklimatisasi salinitas

Aklimatisasi salinitas air petakan tambak dilakukan setelah aklimatisasi suhu selsai. Aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara air tambak dimasukan sebanyak 1-2 liter ke dalam kemasan plastik benur udang vannamei. Aktivitas tersebut dihentikan hingga salinitas air dalam kemasan plastik mendekati sama dengan salinitas air di petakan (Hendrajat dan Erfan, 2003)

2.4. Pengangkutan Benur Udang

Sutaman (1993), trasportasi udang hidup sistem basah dengan media air dapat dilakukan dengan dua sistem, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup merupakan sistem transportasi udang hidup yang menggunakan wadah tertutup dimana di dalamnya disediakan semua kebutuhan hidup udang dalam jumlah yang cukup selama pengangkutan. Cara yang paling umum dengan sistem tertutup ini adalah dengan menggunakan wadah kantong plastik yang diisi air dan oksigen kemudian diikat atau ditutup rapat.

Selanjutnya Berka (1986) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi transportasi ikan hidup dengan sistem tertutup adalah kualitas ikan, oksigen terlarut, suhu, pH, amoniak, kepadatan dan aktivitas metabolisme ikan selama di transportasikan. Untuk pengangkutan jarak jauh diantara kantong benur diletakkan kantong es dengan tujuan untuk menurunkan suhu sehingga

(8)

11

tingkat metabolisme udang menurun, karena mengurangi aktifitas dan kanibalisme sesamanya.

Pengemasan, pengangkutan dan jarak dari lokasi pembenuran ke lokasi tambak sering kali menimbulkan masalah serius, terutama banyaknya benur yang mati selama pengangkutan. Jarak angkut tanpa memperhitungkan kepadatan benur dalam kemasan akan menimbulkan efek samping. Kasus yang paling banyak muncul adalah banyaknya benur yang mati sebelum ditebarkan di tambak. Kandungan oksigen terlarut sangat erat kaitannya dengan kepadatan serta lama pengangkutan karena jika oksigen sedikit maka padat tebar benur yang ditampung juga harus sedikit dengan jarak tempuh yang relatif dekat. Sebaliknya jika

kepadatan benur cukup tinggi maka diperlukan oksigen yang memadai (Murtidjo 2003).

2.4.1 Kemasan

Kemasan yang baik dalam pengangkutan sistem tertutup adalah menggunakan plastik jenis polietilen (PE) dengan ketebalan plastik 0,03 mm, karena ringan, mudah didapat, dan murah (Liviawaty dan Afrianto, 1990). Lebih lanjut dinyatakan, penggunaan kantong plastik pada pengangkutan jarak jauh sebaiknya diletakkan dalam kotak styrofoam untuk mengurangi kontak yang terjadi antara air di dalam kantong dengan temperatur lingkungan yang relatif lebih panas.

Selanjutnya Gerbhards (1965) menyatakan bahwa penggunaan wadah plastik yang diletakkan pada kotak styrofoam meningkatkan kelangsungan hidup sebesar 99,99%. Kotak styrofoam yang digunakan sebagai kemasan primer dalam

(9)

12

pengangkutan komoditas perikanan hidup untuk menghindari penetrasi panas yang dapat merubah suhu di dalam kotak pengemas.

2.4.2 Padat Tebar Benur Saat diTransportasikan

Padat penebaran merupakan jumlah (biomassa) benur yang ditebarkan per satuan luas atau volume. Peningkatan padat penebaran dapat dilakukan sampai batas tertentu bergantung pada jenis organisme yang dibudidayakan yaitu berdasarkan umur dan ukuran masing-masing individu serta metode atau sistem budidaya yang digunakan. Tingkat kepadatan ini ada batasannya, karena bila kepadatan yang terlalu tinggi maka kadar glikogen dalam plasma meningkat dan akan mempengaruhi kondisi ikan (Murtidjo,2003).

Kepadatan benur dalam kantong plastik disesuaikan dengan stadia benur dan lamanya waktu pengiriman. Kepadatan benur dalam kantong plastik pada pemanenan stadia PL 10 keatas berkisar antara 2000 – 4000 ekor /liter dengan

ukuran minimal 8 mm, dengan lama waktu pengiriman 1 – 4 jam (Rusmiyati, 2010).

Lama pengangkutan, kepadatan, ratio air dan oksigen serta suhu dalam pengemasan udang pada sarana angkutan darat menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut

(10)

13

Tabel 1 Lama pengangkutan, kepadatan, ratio air dan oksigen serta suhu dalam pengemasan benur udang pada sarana angkutan darat

Lama pengangkutan Ukuran Benur Kepadatan (ekor/ liter) Suhu air (oC) Perbandingan air dan oksigen < 6 jam Benur 2 000 – 3 000 26 – 28 1 : 2 Tokolan 800 – 1 000 22 – 25 6 jam s/d 12 jam Benur 500 – 2 000 20 – 24 1 : 2 Tokolan 650 – 700 22 – 25 12 jam s/d 24 jam Benur 1 000 20 – 22 1 : 3 Tokolan 450 – 500 20 – 22 2.5 Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup merupakan persentase organisme yang hidup pada akhir pemeliharaan dari jumlah seluruh organisme awal yang dipelihara dalam suatu wadah (Effendie, 1985). Selanjutnya Royce (1973), menyatakan bahwa kelangsungan hidup sebagai salah satu parameter uji kualitas benur adalah peluang hidup suatu individu dalam waktu tertentu, sedangkan mortalitas adalah kematian yang terjadi pada sesuatu populasi organisme yang dapat menyebabkan turunnya populasi.

Peningkatan kepadatan mempengaruhi proses fisiologis dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologis ikan sehingga pemanfaatan makan, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup mengalami penurunan (Handajani dan Hastuti 2002).

Respon stres terjadi dalam 3 tahap yaitu stres, bertahan, dan kelelahan. Ketika ada stres dari luar ikan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari stres. Selama proses bertahan ini pertumbuhan dapat menurun dan selanjutnya terjadi kematian (Wedemeyer, 1996).

(11)

14 2.6 Kualitas Air

Litopenaeus vanamei berasal dari Pantai Barat Pasifik Amerika Latin,

mulai dari Peru di Selatan hingga Utara Meksiko. Udang ini adalah spesies asli Pantai Pasifik Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan Peru, di daerah dimana suhu air normal berada di atas 200C, sepanjang tahun (Wyban dan Sweeney, 1991).

Menurut Briggs, et al., (2004), salah satu keunggulan udang vanamei adalah toleransinya yang sangat luas terhadap parameter lingkungan perairan. Udang putih vanamei dapat hidup pada kisaran salinitas 0 – 45 ppt, namun tumbuh baik pada 15 – 25 ppt. Udang ini juga memiliki toleransi suhu yang luas yaitu berada pada kisaran 15 – 330C. Selanjutnya Wyban dan Sweeney (1991), udang vanamei memiliki toleransi salinitas optimal yang luas yaitu 15 – 35 ppt.

Derajat keasaman (pH) air tambak yang baik untuk budidaya udang vanamei adalah 7,5 – 8,5. Salah satu keunggulan udang vanamei adalah memiliki kemampuan pengaturan osmoregulasi (pengaturan keseimbangan kepekatan cairan tubuh dan air tambak) yang cukup tinggi sehingga memudahkan pemeliharaan (Haliman dan Adijaya, 2005).

Menurut Raharjo,dkk, (2003), konsentrasi oksigen terlarut pada tambak yang baik untuk budidaya udang vanamei adalah 3,5 – 7,5 mg/l. Level oksigen terlarut (DO) minimum yang dapat ditolerir ikan dengan aman bergantung pada suhu hingga batas – batas tertentu untuk tiap spesies. Kelarutan oksigen dalam air naik sejalan dengan penurunan suhu. Pada kolam, DO dapat berubah secara dramatis selama periode 24 jam.

(12)

15 2.7 Hipotesis Penelitian

Kaidah pengambilan keputusan didasarkan pada :

1) Jika FHitung > FTabel 0,05 H1 di terima Ho di tolak, Perlakuan memberikan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup udang vannamei.

2) Jika FHitung < FTabel 0,05 H1 di tolak Ho di terima, Perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup udang vannamei.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Terima Ho jika perlakuan perbedaan tingkat kepadatan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup benur yang ditransportasikan secara tertutup.

2. Terima H1 jika perlakuan perbedaan tingkat kepadatan berpengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup benur yang ditransportasikan secara tertutup.

Gambar

Gambar 1. Morfologi udang vannamei (Warsito, 2012)
Gambar 2. Siklus Hidup Udang Vannamei (Warsito, 2012)
Tabel  1  Lama  pengangkutan,  kepadatan,  ratio  air  dan  oksigen  serta  suhu  dalam  pengemasan benur udang pada sarana angkutan darat

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membuat histogram mula-mula data disusun mulai dari yang terkecil hingga yang paling besar dan grafik histogram yang dibuat memuat kode laboratorium vs hasil analisis,

Metode Liquid Penetrant Test merupakan metode NDT yang paling sederhana. Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di permukaan terbuka dari komponen solid,

Hubungan antara Derajat Hipertensi dengan Derajat Retinopati Hipertensi di RS Mata Undaan Surabaya, Karya Tulis Akhir, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah

Berbagai jenis pengisi digunakan dalam polimer alam dan polimer sintetik adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan sifat-sifat fisik bahan.. pengisi bertujuan mengurangkan

Diagram ini dibuat untuk menggambarkan tahapan proses yang ada di dalam Diagram Konteks, yang penyebarannya lebih terperinci. Tahapan proses tersebut

Berdasarkan uraian mengenai kategori biaya kualitas, dapat disimpulkan bahwa biaya pengendalian dikeluarkan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan yang sesuai

Berdasarkan hasil analisis CRD yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa tidak ada beda nyata antar perlakuan (transplanting dan non transplanting) terhadap banyaknya jumlah daun

Berbeda dengan beberapa penelitian mengenai utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi yang dlakukan oleh Pattillo et al (2011) yang mencoba untuk menjelaskan berbagai