• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah dengan Calon Tunggal Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-XIII/2015

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan Kepala Daerah adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis. Dengan kata lain, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan melakukan perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dijalankan.

Otonomi daerah sangat erat kaitanya dengan demokrasi.

Konsekuensinya, harus ada tata cara dan mekanisme pengisian jabatan- jabatan secara demokratis, terutama pada jabatan-jabatan politik di tingkat daerah utamanya kepala daerah (Pantja Astawa, 2008 : 21). Pengisian jabatan kepala daerah tersebut dapat dilakukan dengan cara pemilihan. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi berhak memilih kepala daerah sendiri melalu pemilihan kepala daerah secara langsung yang menjunjung tinggi demokrasi. Pemilihan kepala daerah dalam hal ini merupakan salah satu implementasi dari pelaksanaan otonomi daerah (Wahyu Widodo, 2015 : 683).

Pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2015 merupakan

pemilihan kepala daerah yang dilakukan seerentak di Indonesia untuk

pertama kali. Terdapat hal-hal yang baru pertama kali terjadi dalam pemilihan

kepala daerah di Negara Indonesia, yaitu adanya satu pasangan calon atau

(2)

calon tunggal yang maju dalam pemilihan kepala daerah. Hal tersebut didasarkan atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang mengabulkan permohonan uji materiil oleh Pakar Komunikasi Universitas Indonesia, Effendi Gazali selaku penggugat atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terkait persyaratan calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah. Permohonan pengujian materiil diatas adalah bertujuan untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Fatkhurohman dkk, 2004 : 22).

Pengujian peraturan perundang-undangan pada hakikatnya bertujuan untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan agar tidak merugikan hak-hak konstitusional dari setiap warga negara, bahkan substansi dari undang-undang tersebut tidak boleh bertentangan dengan atau konstitusi. Dalam konteks hukum di Indonesia, hak untuk pengujian peraturan perundang-undangan ini dilakukan oleh lembaga kekuasaan kehakiman, baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Namun berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam hal ini terkait pengujian undang-undang pemilihan kepala daerah merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi karena menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.

Setelah melalui uji materiil yang dilakukan, Mahkamah Konstitusi pada

akhirnya memutuskan untuk mempersilahkan setiap daerah yang hanya

memiliki satu pasangan calon atau yang lebih dikenal dengan istilah calon

tunggal untuk tetap menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, dengan

mekanisme pemilihan yang tentunya berbeda dari pemilihan dengan dua

pasang calon atau lebih. Hal ini membuat ketiga daerah yang memiliki satu

(3)

pasang calon atau calon tunggal yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Timor Tengah Utara tetap dapat menyelenggarakan pemilihan kepala daerah karena pemilihan kepala daerah khususnya pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada daerah tersebut tidak perlu ditunda hingga tahun 2017. Pemilihan kepala daerah akan tetap dilaksanakan meskipun ketiga daerah tersebut hanya memiliki calon pasangan tunggal saja, tentunya dengan mekanisme pemilihan yang berbeda dan baru dari sebelumnya.

Beberapa daerah yang hanya memiliki calon tunggal untuk maju dalam pemilihan kepala daerah adalah Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Timor Tengah Utara provinsi Nusa Tenggara Timur.

Mengambil contoh di Kabupaten Tasikmalaya, calon tunggal yang maju dalam pemilihan kepala daerah adalah pasangan Uu Ruzhanul Ulum dan Ade Sugianto yang sebelumnya juga menjabat sebagai Bupati Kabupaten Tasikmalaya. Hingga akhir penutupan pendaftaran calon, hanya satu calon saja yang telah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Daerah Tasikmaya, yaitu pasangan Uu Ruzhanul Ulum dan Ade Sugianto. Hanya adanya satu pasang calon saja disaat penutupan pendaftaran, Komisi Pemilihan Umum pun melakukan perpanjangan waktu pendaftaran hingga tiga hari sesuai dengan aturan yang ada. Meskipun telah diperpanjang, tetap saja hanya ada satu pasangan calon saja yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten Tasikmalaya. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi, rencananya pemilihan kepala daerah di Kabupaten Tasikmalaya tersebut akan diundur pada tahun 2017 hingga mendapatkan lebih dari satu pasangan calon kepala daerah (http://news.okezone.com/read/2015/07/29/525/1187000/kabupaten-

tasikmalaya-hanya-punya-calon-tunggal-pilkada diakses pada tanggal 29 Maret 2015 pukul 19.45 WIB).

Konsekuensi yang timbul dengan adanya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor: 100/PUU-XIII/2015 yang memperbolehkan calon tunggal

untuk maju dalam pemilihan kepala daerah adalah munculnya sistem

(4)

pemilihan dengan mekanisme yang berbeda dari pemilihan dengan daerah yang memiliki lebih dari satu calon. Komisi Pemilihan Umum harus menanggung konsekuensi dengan tetap menyelenggarakan pemilihan kepala daerah di ketiga kabupaten tersebut meskipun jarak antara dikeluarkanya putusan dengan dihelatnya pemilihan kepala daerah hanya dua bulan saja.

Jarak dua bulan digunakan Komisi Pemilihan Umum untuk menata bagaimana pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah di ketiga daerah tersebut agar terlaksana sesuai dengan prinsip demokrasi.

Salah satu yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum pasca dikeluarkanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan calon tunggal untuk maju dalam pemilihan kepala daerah adalah dengan menyusun dan membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Calon Tunggal.

Penyusunan peraturan tersebut disusun oleh Komisi Pemilihan Umum dengan dibantu oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah guna memberikan usulan-usulan yang dapat dimasukan dalam peraturan tersebut. Setelah melalui proses penyusunan, akhirnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengesahkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon yang akan dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon saja / calon tunggal.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau

Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon tentunya

didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015

tanggal 29 September 2015 yang menyatakan Pasal 49 ayat (9) dan

Pasal 50 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(5)

Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian bahwa :

“termasuk menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 juga menyatakan Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian bahwa:

“menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, 1 (satu) Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota

dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon tersebut sejatinya terdiri

dari 33 pasal dimana pasal-pasal tersebut mengatur bagaimana pelaksanaan

pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal, mulai dari kampanye, cara

pencoblosan, penghitungan suara dan lain lain. Sebelum membahas

mekanisme pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal,

penulis akan menjelaskan tentang syarat-syarat calon tunggal dapat maju

dalam pemilihan kepala daerah apabila dalam kondisi sebagai berikut:

(6)

1. berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon, pasangan calon tunggal dapat maju dalam pemilihan kepala daerah apabila setelah dilakukan penundaan, dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar, dan berdasarkan hasil penelitian, pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat;

2. berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon, pasangan calon tunggal dapat maju dalam pemilihan kepala daerah apabila terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar, dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat, dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran, tidak terdapat pasangan calon yang mendaftar, atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon;

3. berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun

2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu

Pasangan Calon, pasangan calon tunggal dapat maju dalam

pemilihan kepala daerah apabila sejak penetapan pasangan calon

sampai dengan saat dimulainya masa kampanye, terdapat pasangan

calon yang berhalangan tetap, partai politik atau gabungan partai

politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti, atau

calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak

(7)

memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon;

4. berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon, pasangan calon tunggal dapat maju dalam pemilihan kepala daerah apabila sejak dimulainya masa kampanye sampai dengan hari pemungutan suara, terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, partai politik atau gabungan partai politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti, atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; atau 5. berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun

2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon, pasangan calon tunggal dapat maju dalam pemilihan kepala daerah apabila terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.

Salah satu contoh pasangan calon tunggal dalam pemilihan kepala

daerah yang lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum adalah pasangan calon

Bupati dan Wakil Bupati Tasikmalaya yaitu Uu Ruzhanul Ulum dan Ade

Sugianto. Berdasarkan data yang penulis peroleh dari Radar Tasikmalaya,

Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Tasikmalaya telah

memverifikasi syarat-syarat pencalonan terkait dokumen yang disampaikan

oleh pasangan calon kepala daerah baik secara pribadi maupun politik

(http://www.radartasikmalaya.com/berita/baca/2010/uu-ade-resmi-jadi-calon-

tunggal-di-pilkada-tasik.html diakses pada tanggal 29 Februari 2016 pukul

20.30 WIB). Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten

Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum dan Ade Sugianto merupakan pasangan

(8)

calon yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pasangan tersebut tidak memiliki lawan tandingan lagi dalam pemilihan bupati di Tasikmalaya dikarenakan calon pasangan lainya dinyatakan tidak lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Tasikmalaya.

Pemilihan kepala daerah merupakan rekruitmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam kehidupan politik di daerah. Disetiap menjelang pemilihan adalah masa saatnya kampanye dimana setiap partai politik atau pasangan calon melakukan pendekatan pada massa untuk menarik dukungan. Kampanye adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan secara terlembaga (Antar, 2004 : 12). Sehingga penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kampanye yaitu kegiatan-kegiatan penyampaian visi, misi, dan program pada waktu tahapan kampanye pemilihan umum, bisa pemilihan legislatif hingga pemilihan kepala daerah.

Kegiatan kampanye dalam pemilihan kepala daerah tentu bertujuan untuk menarik simpati masyarakat agar tertarik memilih salah satu pasangan calon kepala daerah. Biasanya, pasangan calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah berlomba-lomba mengadakan kampanye, bersaing antara satu calon dengan yang lainya untuk meyakinkan masyarakat agar memilih mereka. Kampanye dapat dilakukan dengan memasang baliho-baliho bertuliskan slogan, hingga debat terbuka yang diikuti oleh beberapa pasangan calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah. Beberapa calon tersebut berdebat satu sama lain, saling adu argumen terkait visi misi yang mereka sampaikan.

Kampanye dalam pemilihan kepala daerah sewajarnya diikuti dua pasang calon atau lebih. Tetapi, setelah disahkanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-XIII/2015 yang memperbolehkan calon tunggal untuk mengikuti pemilihan kepala daerah, kampanye politik dalam pemilihan kepala daerah tentu saja hanya akan dilakukan oleh satu pasangan calon saja.

Kampanye yang hanya diikuti satu pasang calon saja tentu merupakan

(9)

mekanisme yang baru, yang berbeda dari kampanye-kampanye sebelumnya.

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon, pelaksanaan kampanye untuk pemilihan kepala daerah dengan satu pasang calon saja dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum tingkat provinsi apabila pemilihan tersebut merupakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur atau Komisi Pemilihan Umum tingkat kabupaten apabila pemilihan tersebut merupakan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, dan Pasangan Calon itu sendiri dengan dibantu oleh tim sukses atau tim kampanye yang telah dibentuk oleh Pasangan Calon tersebut.

Pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah adalah dengan metode sebagai berikut :

1. Debat Publik

Debat publik dalam kampanye kali ini hanya diikuti oleh satu

pasangan calon saja, tidak seperti biasanya yang diikuti dua

pasangan calon atau lebih. Menurut Peraturan Komisi Pemilihan

Umum Nomor 14 Tahun 2015, debat publik itu sendiri

dilaksanakan dalam bentuk pemaparan visi misi pasangan calon

yang dipandu oleh moderator dan dilakukan pendalaman materi

oleh panelis sebanyak tiga kali dalam masa kampanye. Pemaparan

visi misi tersebut hanya dilakukan oleh satu pasangan calon saja,

sehingga pasangan tersebut tidak memiliki lawan dalam melakukan

debat. Moderator dan Panelis dapat ditunjuk sendiri oleh

masyarakat dengan syarat syarat tertentu yang telah diatur oleh

Komisi Pemilihan Umum. Masyarakat juga berperan serta untuk

mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Komisi Pemilihan

Umum Daerah agar dalam debat tersebut pasangan calon tunggal

dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh

(10)

masyarakat, sehingga agar tidak terkesan debat satu arah karena hanya ada satu pasangan calon saja.

2. Penyebaran Bahan Kampanye Kepada Umum;

3. Pemasangan Alat Peraga Kampanye;

4. Iklan di Media Massa atau Cetak.

Pelaksanaan kampanye dengan cara seperti yang telah penulis sebutkan diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah yang diikuti lebih dari satu calon pasangan.

Sejatinya yang menjadi pembeda adalah dalam proses debat publik itu sendiri, untuk pemilihan kepala daerah hanya diikuti oleh satu pasang calon saja, tidak dengan dua kontestan yang saling diadu untuk berdebat memaparkan visi dan misinya. Pada intinya, seluruh kegiatan kampanye tersebut hanya diikuti satu pasang calon saja, tujuanya meyakinkan para pemilih untuk setuju dan memilih calon pasangan tersebut.

Pemilihan kepala daerah dengan model terbaru, yaitu dengan hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja membawa dampak perubahan terhadap sistem pemilihan kepala daerah itu sendiri. Pemilihan kepala daerah yang biasanya diikuti oleh dua pasang calon atau lebih, sekarang bisa diikuti oleh satu pasangan calon saja. Dampaknya, model pemilihan dan pemungutan suara pun menjadi berbeda dari sebelumnya. Dalam pemilihan kepala daerah yang diikuti lebih dari dua pasangan calon, model pemilihan dilakukan dengan cara mencoblos gambar/foto salah satu pasangan calon yang akan dipilih. Dalam surat suara tersebut disediakan dua foto pasangan calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah yang selanjutnya akan dipilih masyarakat salah satunya dengan cara mencoblos foto tersebut sehingga dapat dikatakan sah.

Berbeda dengan model tersebut, pemilihan kepala daerah dengan calon

tunggal tentunya hanya dihiasi satu foto pasangan saja. Tidak seperti

pemilihan kepala daerah dengan dua pasangan calon atau lebih yang dihiasi

foto / gambar calon kandidat lainya. Oleh karena itu, model pencoblosanya

(11)

pun berbeda dari pencoblosan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal.

Model pencoblosan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal menggunakan model dan sarana prasarana yang baru. Mulai dari sarana, model surat suara, hingga metode mencoblosnya memiliki perbedaan dari metode mencoblos sebelumnya. Dikutip dari Republika, dengan adanya model baru ini, Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di setiap wilayah atau daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal sudah diberi kewenangan untuk melakukan sosialiasi mengenai tata cara pemilihan dimaksud. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kebingungan masyarakat atas model pemilihan

yang baru yang berlaku di daerahnya (http:

//nasional.republika.co.id/berita/nasional/pilkada/15/11/09/nxj8ux335-

pilkada-calon-tunggal-punya-cara-pencoblosan-berbeda diakses pada tanggal 29 Februari 2016 pukul 21.35 WIB).

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan satu pasangan calon, sarana yang digunakan untuk memberikan suara pada Pemilihan kepala daerah dengan satu Pasangan Calon adalah dengan menggunakan surat suara yang memuat foto pasangan Calon, nama Pasangan Calon dan kolom untuk memberikan pilihan “setuju” atau “tidak setuju”. Kolom tersebut merupakan hal yang baru dimana dalam pemilihan kepala daerah sebelumnya belum pernah diberlakukan model seperti itu. Penulis berpendapat, pemilihan kepala daerah lebih tepat dipadankan dengan pemungutan dengan cara "setuju atau

"tidak setuju" dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat untuk menentukan pilihanya terhadap calon tunggal tersebut.

Pemungutan suara dengan cara “setuju” atau “tidak setuju”

menggunakan desain surat suara yang baru, dimana surat suara tersebut telah

didesain oleh Komisi Pemilihan Umum khusus untuk pemilihan kepala

daerah dengan calon tunggal. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan

(12)

Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan satu pasangan calon, desain surat suara dibuat dengan ketentuan sebagai berikut :

1. latar belakang foto pada kolom pasangan calon berwarna merah putih;

2. foto pasangan calon dibuat berpasangan;

3. tidak memakai ornamen, gambar atau tulisan selain yang melekat pada pakaian yang dikenakan pasangan calon;

4. tidak memakai ornamen, gambar atau tulisan yang dilarang berdasarkan peraturan perundang-undangan;

5. memuat tulisan yang menanyakan pilihan setuju atau tidak setuju terhadap pasangan calon untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota; dan

6. kolom pilihan setuju atau tidak setuju.

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini penulis mencantumkan contoh desain surat suara pada pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal yang bersumber Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 907/KPU/XII/2015:

Gambar 3.1. Model Surat Suara

(13)

Desain surat suara di atas merupakan model surat suara yang baru, dimana baru pertama kali diterapkan di Negara Indonesia pada pemilihan kepala daerah tahun 2015. Seperti yang telah kita ketahui, pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal juga mendorong perubahan desain surat suara yang semula terdapat dua foto atau lebih pasangan calon, sekarang hanya ada satu foto pasangan calon saja dengan mekanisme memilih yang berbeda pula yaitu mencoblos tanda “setuju” atau “tidak setuju”. Penulis berpendapat, model pemungutan suara dengan cara “setuju” dan “tidak setuju” merupakan jalan untuk memenuhi hak konstitusional warga negara dalam pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal.

Berdasarkan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor:

907/KPU/XII/2015, surat suara dalam pemungutan suara pemilihan kepala daerah dapat dikatakan sah apabila :

1. suara setuju dapat dikatakan sah apabila pemilih mencoblos pada kolom setuju satu kali atau lebih;

2. suara tidak setuju dapat dikatakan sah apabila pemilih mencoblos pada kolom tidak setuju atau garis kolom tidak setuju satu kali atau lebih;

3. suara setuju dapat dikatakan sah apabila pemilih mencoblos satu kali atau lebih pada kolom photo pasangan calon dan kolom setuju;

4. suara tidak setuju dapat dikatakan sah apabila pemilih mencoblos satu kali atau lebih pada kolom photo pasangan calon dan kolom tidak setuju.

Untuk lebih jelasnya, penulis menggambarkan penjelasan diatas pada gambar

di bawah ini:

(14)

Sumber: Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor:

907/KPU/XII/2015

Gambar 3.3. Surat Suara Sah

(15)

Selanjutnya, surat suara dapat dikatakan tidak sah apabila :

1. pemilih mencoblos pada kolom setuju, dan pada kolom tidak setuju;

2. pemilih mencoblos di luar kolom setuju dan tidak setuju;

3. pemilih mencoblos pada kolom photo pasangan calon saja.

Untuk lebih jelasnya, penulis menggambarkan penjelasan diatas pada gambar di bawah ini:

Gambar 3.4. Surat Suara Tidak Sah

(16)

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah kerap terjadi perselisihan ataupun sengketa-sengketa terkait hasil pemilihan tersebut. Setelah selesainya masa penghitungan suara, banyak sengketa-sengketa yang diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal sendiri merupakan hal yang baru setelah dikeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Perselisihan Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah. Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut menjelaskan bahwa pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan dengan perolehan suara oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota dapat diajukan oleh para pasangan calon peserta pemilihan dan dapat diajukan juga oleh Pemantau Pemilihan.

Pengajuan perkara perselisihan hasil pemilihan harus memiliki objek dan subjek. Objek dalam perkara perselisihan hasil pemilihan adalah keputusan dari termohon tentang penetapan perolehan suara hasil pemilu yang mempengaruhi terpilihnya pemohon dan terpenuhinya hak konstitusional pemohon. Subjek atau para pihak yang memiliki legal standing dalam perkara persilihan hasil pemilihan kepala daerah meliputi Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait dalam pemilihan kepala daerah. Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Perselisihan Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah adalah :

1. pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur peserta pemilihan;

2. pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati atau calon Walikota dan Wakil Walikota peserta pemilihan;

3. pemantau pemilihan dalam negeri yang terdaftar dan memperoleh

akreditasi dari Komisi Pemilihan Umum Provinsi untuk pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur;

(17)

4. pemantau pemilihan dalam negeri yang terdaftar dan memperoleh akreditasi dari Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota.

Termohon dalam hal ini tentu saja adalah Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota. Selanjutnya, untuk pihak-pihak terkait berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstiusi Nomor 4 Tahun 2015 adalah pihak yang mempunyai kepentingan langsung terhadap permohonan yang diajukan oleh pemohon, yaitu :

1. pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak “setuju” berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon dalam hal permohonan diajukan oleh pemohon;

2. pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota yang memperoleh suara terbanyak “setuju” berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon dalam hal Permohonan diajukan oleh pemohon.

Salah satu contoh perselisihan hasil pemilihan dengan calon tunggal yang terjadi adalah di Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari Tribun News, Forum Komunikasi Masyarakat Tasikmalaya menggugat hasil pemilihan kepala daerah di Kabupaten Tasikmalaya ke Mahkamah Konstitusi. Forum Komunikasi Masyarakat Tasikmalaya sebagai pemantau pemilihan tersebut menggugat hasil dimana pada dasarnya Uu-Ade mendapatkan suara “setuju” sebanyak 488.845 suara atau 67,42 persen, sedangkan suara “tidak setuju” sebesar 236.240 suara atau 32,58 persen. Gugatan tersebut didasarkan dengan alasan Bupati Tasikmalaya tersebut sudah pernah dilaporkan atas dasar penipuan dan/atau pengggelapan uang dalam proyek pembangunan jalan tahun 2011 sebesar 700 juta rupiah.

Seharusnya, calon bupati dan calon wakil bupati Tahun 2015-2020 dibatalkan

(18)

karena cacat syarat, karena telah bertentangan dengan Undang-Undang yang

mengatur tentang Pemilihan Kepala Daerah

(http://www.tribunnews.com/nasional/2016/01/18/tidak-punya-legal-

standing-mk-tolak-permohonan-forum-masyarakat-tasikmalaya diakses pada tanggal 4 Maret 2016 pukul 19.00 WIB).

Dasar gugatan yang lain adalah adanya alat peraga kampanye berbentuk kalender yang di dalamnya terdapat foto calon bupati dan calon wakil Bupati Tasikmalaya yang merupakan petahana bersama dengan logo Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tasikmalaya dan logo Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Dapat dikatakan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya menggiring para pejabat dan rakyat berpihak kepada salah satu calon, hanya calon tunggal karena lambang pemerintah adalah simbol publik bukan milik calon bupati dan wakil bupati, atau partai politik pengusung, atau juga bukan milik Komisi Pemilihan Umum Daerah. Dasar gugatan tersebut menjadi pertimbangan hakim mahkamah konstitsui untuk kemudian memproses gugatan tersebut.

Gugatan tersebut pada akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan pemohon tidak memiliki legal standing. Pemohon hanya memiliki legalitas sebagai pemantau pada pemilihan kepala daerah tahun 2012 bukan pemilihan yang terakreditasi dalam pemilihan kepala daerah tahun 2015, sehingga perkara Nomor 68/PHP.BUP-XIV/2016 tidak dapat dilanjutkan sesuai dengan peraturan yang ada meski pemerian berkas perkara sudah sesuai dengan tenggat waktu yang diberikan. Berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka pasangan calon tunggal, yaitu UU Rhuzanul Ulum dan Ade Sugianto dapat segera ditetapkan menjadi pasangan calon terpilih oleh KPU Kabupaten Tasikmalaya dan dapat dilanjutkan ke pemerintah daerah provinsi.

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal merupakan

hal baru dalam sistem pemilihan di Indonesia. Berdasarkan tulisan diatas,

penulis menyimpulkan bahwa terjadi perubahan mekanisme sistem pemilihan

kepala daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-

(19)

XIII/2015. Pemilihan kepala daerah yang biasanya diikuti oleh dua pasang calon atau lebih, sekarang diperbolehkan untuk diikuti hanya satu pasang calon saja. Konsekuensinya adalah apabila pemilihan kepala daerah dengan satu pasang calon akan dilakukan sistem pemilihan dengan mekanisme yang baru berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan satu pasangan calon.

Peraturan tersebut memuat hal-hal yang baru dalam mekanisme pemilihan kepala daerah. Hal-hal baru tersebut antara lain pada model kampanye, model debat, dan model pemungutan suara. Model baru tersebut muncul lantaran terdapat satu pasang calon atau calon tunggal yang maju dalam pemilihan kepala daerah sehingga mekanisme yang digunakan berbeda dari sebelumnya. Penulis berpendapat, mekanisme tersebut sudah layak untuk digunakan seterusnya karena tetap menjunjung tinggi demokrasi dan kedaulatan rakyat. Pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan partisipasi dan aspirasi masyarakat.

B. Analisis Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dengan Calon Tunggal Ditinjau Dari Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara untuk Memilih

Pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2015 merupakan pemilihan kepala daerah yang dilakukan seerentak di Indonesia untuk pertama kalinya. Terdapat hal-hal baru yang baru pertama kalinya terjadi dalam pemilihan kepala daerah di Negara Indonesia yaitu adanya satu pasangan calon atau calon tunggal yang maju dalam pemilihan kepala daerah.

Calon tunggal yang maju dalam pemilihan kepala daerah tersebut didasarkan

atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-XIII/2015 yang

mengabulkan permohonan uji materiil oleh Pakar Komunikasi Universitas

Indonesia, Effendi Ghazali selaku penggugat atas Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

(20)

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terkait persyaratan calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah. Sebelum dikeluarkan putusan mahkamah konstitusi tersebut, pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal sebenarnya tidak dibenarkan dalam Undang-Undang dan apabila pasangan calon yang maju kurang dari dua pasang pelaksanaan pemilihan kepala daerah akan ditunda hingga pemilihan kepala daerah serentak periode selanjutnya.

Ketiga daerah yang memiliki calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah yakni Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Timor Tengah akan diundur hingga periode selanjutnya yaitu tahun 2017 dikarenakan hanya terdapat satu pasangan calon saja. Rencana penundaan tersebut memunculkan pro dan kontra salah satunya adalah terkait hilangnya hak pilih warga negara yaitu hak untuk memilih dan dipilih di ketiga daerah tersebut. Rakyat akan kehilangan hak nya untuk memilih, begitu juga calon pasangan kepala daerah juga akan kehilangan hak nya untuk dipilih. Penulis berpendapat, bahwa kehilangan hak untuk memilih dan dipilih jelas merupakan kerugian yang sangat besar mengingat hak memilih warga negara merupakan hak konstitusional yang melekat pada warga negara.

Menurut penulis, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-

XIII/2015 merupakan suatu jalan untuk mencegah terjadinya penundaan

pemilihan kepala daerah guna menjaga hak konstitusional warga negara tetap

terpenuhi. Seperti yang dijelaskan pemohon dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor: 100/PUU-XIII/2015 apabila pada saat itu penundaan

pemilihan kepala daerah dimungkinkan terjadi, rakyat indonesia yang berada

di 3 kabupaten tersebut akan kehilangan hak konstitusionalnya. Penulis

menjelaskan, hal-hal yang dirugikan terkait hilangnya hak konstitusional

warga negara untuk memilih dan dipilih jika pemilihan kepala daerah dengan

calon tunggal tidak disahkan adalah sebagai berikut :

(21)

1. rakyat selaku warga negara yang tinggal di daerah yang pemilihan kepala daerahnya hanya memiliki satu pasangan calon saja tidak akan mendapatkan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum, dibandingkan dengan warga negara yang tinggal di daerah yang pemilihan kepala daerahnya memiliki lebih dari satu pasangan calon. Begitu juga sebaliknya, calon pasangan yang maju pun juga tidak mendapatkan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum, dibandingkan dengan calon didaerah lain. Hal ini akan menimbulkan perlakuan diskriminatif dibandingkan rakyat yang tinggal di daerah yang pemilihan kepala daerahnya memiliki lebih dari satu pasangan calon. Menurut penulis, hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sejalan dengan Pasal 28I ayat (2) yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.

2. rakyat selaku warga negara yang tinggal di daerah yang pemilihan

kepala daerahnya hanya memiliki satu pasangan calon saja akan

mengalami kerugian dimana warga negara tersebut akan kehilangan

hak untuk memilih nya dikarenakan terjadi penundaan pemilihan

kepala daerah. Penundaan tersebut bisa tidak hanya tertunda satu kali

saja, namun bisa tertunda berkali kali apabila daerah tersebut tidak

segera mendapatkan calon pasangan lainya. Begitu juga sebaliknya,

calon pasangan yang maju pun juga akan kehilangan hak untuk

dipilihnya. Menurut penulis, hal tersebut tidak sejalan dengan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

yang di Pasal 43 menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak

dipilih dan memilih dalam pemilu.

(22)

3. rakyat Warga negara yang tinggal di daerah yang pemilihan kepala daerahnya hanya memiliki satu pasangan calon saja jelas mengalami kerugian apabila pemilihan kepala daerah harus ditunda hingga pemilihan serentak selanjutnya. Kerugian yang dapat diterima adalah warga daerah tersebut akan dipimpin oleh pelaksana tugas yang secara umum atau secara psikologis tidak dapat atau tidak mau membuat keputusan strategis dan penting dalam pembangunan daerah. Pembangunan daerah di daerah tersebut tidak dipimpin oleh kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, yang jelas visi-misinya, jelas legitimasinya, dan yang jelas programnya. Ketidaksinambungan pembangunan yang dapat dirasakan dapat secara fisik maupun psikologis, padahal Hak Konstitusional Warga Negara harus berlangsung berkelanjutan serta tidak boleh mengalami perlambatan dan diskriminasi. Jelas sekali hal tersebut tidak sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Selain itu dalam Pasal 28C menjelaskan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Berdasarkan penjelasan diatas, pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang tidak memiliki kepastian hukum, bersifat diskriminatif, dan berpotensi menyebabkan tidak hanya kehilangan hak pilih warga negara tetapi juga memperlambat pembangunan suatu daerah untuk terus berkembang dan membangun daerahnya.

Penulis berpendapat bahwa salah satu alasan disahkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-XIII/2015 adalah agar hak

konstitusional warga negara untuk memilih tidak hilang, atau setidaknya tetap

(23)

dilindungi. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal merupakan jalan untuk tetap terpenuhinya hak memilih warga negara karena hak memilih merupakan hak konstitusional yang diberikan negara kepada setiap warga nya, karena pada dasarnya hak konstitusional juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Menurut penulis, sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bangsa ini selalu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Sikap tersebut nampak dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang memuat beberapa ketentuan-ketentuan tentang penghormatan Hak Asasi Manusia warga negara. Sehingga pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau penjaminan terhadap Hak Asasi Manusia dan hak konstitusional warga Negara dapat terlaksana.

Hak Konstitusional (constitutional rights) dapat diartikan sebagai hak asasi manusia yang telah tercantum dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga juga telah resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara. Perbedaan antara hak konstitusional dengan hak legal, bahwa hak konstitusional adalah hak- hak yang dijamin di dalam dan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan hak-hak hukum (legal right) timbul berdasarkan jaminan Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya (subordinate legislations) (Jimly Asshidiqie, 2006 : 134).

Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak

dasar (basic right) setiap individu atau warga negara yang telah dijamin

pemenuhannya oleh Negara. Hak politik warga negara salah satunya

mencakup hak untuk memilih, jaminan hak memilih secara tersurat diatur

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mulai

Pasal 27 ayat (1); Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (1) ayat (2)

dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2). Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat

jelas bahwa setiap warga Indonesia berhak turut serta dalam pemerintahan

tanpa adanya pembedaan atau diskriminasi yang didasarkan atas asas

kepastian hukum. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa salah satu contoh

(24)

nyata warga negara turut serta dalam pemerintahan adalah ketika menggunakan hak pilihnya untuk memilih dalam suatu pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.

Pemilihan kepala daerah merupakan instrumen penting dalam sebuah negara demokrasi konstitusional. Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Dalam sebuah negara demokrasi konstitusional, rakyat merupakan pemegang kedaulatan (sovereignty). Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu, hak untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati oleh setiap penyelenggara negara.

Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak konstitusional warga negara dan secara lebih khusus lagi berkaitan dengan hak memilih dan dipilih setiap warga negara dalam setiap pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah di indonesia. Menurut penulis, negara mau tidak mau harus memenuhi hak memilih warga negara karena apabila tidak terpenuhi maka sudah dipastikan Negara Indonesia tidak dapat menjamin hak konstitusional warga negaranya. Meskipun pemilihan kepala daerah hanyalah pemilihan di tingkat lokal saja, tetapi pemilihan kepala daerah merupakan tonggak demokrasi di tingkat lokal. Apabila hak memilih warga negara untuk memilih kepala daerah hilang dikarenakan tidak diperbolehkanya calon tunggal untuk maju dalam pemilihan maka hal tersebut sangat merugikan warga negara yang tinggal di daerah tersebut.

Tidak hanya rakyat saja yang dirugikan, pasangan calon yang maju

dalam pemilihan kepala daerah pun juga ikut dirugikan. Hal ini nampak pada

hilangnya hak untuk dipilih dari pasangan calon apabila pemilihan kepala

(25)

daerah dengan satu pasang calon saja tidak dilaksanakan atau ditunda hingga periode berikutnya. Kepala daerah merupakan seorang yang penting untuk mengatur dan memimpin suatu daerah dalam pemerintahan. Jadi sangat dirugikan sekali apabila hak dipilih calon tunggal tidak terpenuhi maka akan terjadi kekosongan pemerintahan di suatu daerah. Selain kerugian konstitusional dari calon, daerah pun juga akan dirugikan karena pembangunan daerah menjadi terhambat karena terjadi kekosongan kepemimpinan.

Makna dari ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur tentang pemilihan khususnya pemilihan kepala daerah yang mengatur tentang hak pilih warga negara, seharusnya membuka kesempatan yang luas bagi setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak untuk memilih dalam pemilihan, sebab pembatasan hak untuk memilih warga negara merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Meskipun pemilihan kepala daerah sudah bukan merupakan rezim pemilihan umum, tetapi pemilihan kepala daerah tetap menjadi tonggak kedaulatan rakyat di tingkat lokal. Sehingga hak pilih warga negara dalam pemilihan kepala daerah harus tetap dilundungi tanpa adanya diskriminasi.

Jaminan hak konstitusional warga negara untuk memilih dipertegas dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 011- 017/PUU-I/2003 yang menjelaskan:

“Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.”

Penulis berpendapat, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi diatas,

penundaan pemilihan kepala daerah dikarenakan adanya calon tunggal

merupakan suatu penyimpangan, peniadaan, dan pengahapusan hak untuk

(26)

memilih bagi warga negara. Hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi oleh negara terhadap warga negara. Dengan kata lain, pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal selain untuk pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memilih juga merupakan pencegahan pelanggaran hak asasi yang dilakukan negara terhadap warga negara.

The Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia juga mengatur mengenai hak-hak politik setiap orang, secara tegas menjelaskan dalam Pasal 21 yang terkait dengan hak setiap orang yang berbunyi:

Ayat (1) : “Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil- wakil yang dipilih dengan bebas.”

Ayat (2) : “Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.”

Ayat (3) : “Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah;

kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”

Menurut penulis, Ketentuan Pasal 21 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tersebut dapat dimaknai bahwa setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam pemerintahan (jabatan-jabatan pemerintahan) dan hal ini dilakukan dapat dilakukan melalui suatu pemilihan kepala daerah yang demokratis berlangsung secara umum, langsung, bebas dan rahasia meskipun hanya terdapat satu pasangan calon tunggal saja.

Kedudukan dalam pemerintahan yang diperoleh melalui suatu pemilihan kepala daerah sifatya tidak diskriminatif artinya setiap orang (warga negara) mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa adanya penundaan.

Salah satu prinsip utama dalam Hak Asasi Manusia adalah indivisibility

dan inalienability (Flowers, 2000 : 130). Dalam prinsip indivisibility suatu

hak tidak bisa dipisah-pisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini

terkait dengan pandangan yang menyesatkan tentang membeda-bedakan atau

(27)

pengutamaan hak-hak tertentu dibandingkan hak-hak lain. Hak sipil dan politik, sangat tidak mungkin dipisahkan dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya, karena keduanya satu kesatuan, tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya. Sementara itu, prinsip inalienability menjelaskan bahwa pemahaman prinsip atas hak yang tidak bisa dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal tertentu, agar hak-hak tersebut bisa dikecualikan. Misalnya, hak pilih dalam pemilihan kepala daerah, tidak bisa dihilangkan hanya dengan terjadi penundaan pemilihan yang akan meniadakan hak memilih bagi rakyat dan hak dipilih bagi calon kepala daerah.

International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR 1966) berkaitan dengan hak pilih warga negara menegaskan dalam Pasal 25 yang menyebutkan bahwa:

“Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tanpa pembedaan apapun tanpa pembatasan yang tidak wajar baik untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan untuk mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan.”

Ketentuan International Covenant On Civil And Political Rights

(ICCPR 1966) di atas ditujukan untuk menegaskan bahwa hak pilih

merupakan bagian dari hak asasi. Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan

penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga

negara. Pembatasan, peniadaan, dan penghapusan hak pilih dikarenakan tidak

diperbolehkanya calon tunggal untuk maju dalam pemilihan kepala daerah

merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia khususnya Hak

Konstitusional (constitusional rigths). Meskipun Pembatasan, peniadaan, dan

penghapusan hanya bersifat sementara, atau dalam arti lain ditunda hingga

ada lawan pasangan calon tetap saja hal merupakan suatu penghapusan hak

pilih. Warga negara berhak memilih meskipun hanya ada satu pasangan

(28)

calon, memilih setuju ataupun tidak setuju sudah merupakan pemenuhan hak pilih warga negara di tingkat daerah.

Penulis menegaskan, berdasarkan Ketentuan International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR 1966) diatas, pemilih dalam pemilihan berhak menyatakan kehendak mereka secara bebas agar mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri. Dengan adanya pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal, pemilih dapat menyatakan kehendak mereka dengan cara memilih “setuju” atau “tidak setuju” terhadap calon kepala daerah. Terpenuhinya hak memilih tersebut akan menjamin rakyat mendapatkan pelayanan umum, karena jabatan kepala daerah akan segera diisi setelah pemilihan kepala daerah selesai diselenggarakan. Apabila pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal tidak dilaksanakan dengan ditunda pada pemilihan berikutnya maka rakyat tidak akan mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah daerah karena jabatan kepala daerah masih belum terisi.

Konsekuensi Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan tentang Hak- hak Sipil dan Politik melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) adalah Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memenuhi pelaksanaan hak sipil dan politik setiap warga negara terutama hak memilih dalam pemilihan kepala daerah.

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal merupakan contoh tanggung jawab dan pemenuhan pemerintah memenuhi hak konstitusional warga negara untuk memilih agar tidak terjadi perampasan hak sipil politik warga negara dalam pemilihan kepala daerah dikarenakan terjadi penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

juga secara nyata memberikan pengakuan terhadap Hak-hak konstitusional

warga negara yang meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga dan

melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan,

hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak

(29)

turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Atas dasar hak-hak tersebut, Negara memberikan pengakuan kepada setiap warga Negara untuk ikut serta dalam pemerintahan. Menurut penulis, pemerintahan dalam arti ini bisa dikatakan dengan turut serta dalam kegiatan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah merupakan hak konstitusional warga negara baik dalam hal hak memilih maupun dipilih.

Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa:

“Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”.

Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa:

“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Menurut penulis, kedua ketentuan pasal tersebut jelas menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga Negara Indonesia itu sendiri untuk melaksanakan hak memilihnya dalam setiap gelaran pemilihan.

Rakyat berhak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan kepala daerah

untuk memilih kepala daerah sesuai dengan hati nurani sesuai dengan

keyakinan politiknya. Apabila pemilihan kepala daerah ditunda dikarenakan

adanya calon tunggal kepala daerah, hal tesebut akan berakibat hilangnya

persamaan hak memilih negara untuk memilih dalam pemilihan khususnya

pemilihan kepala daerah yang sudah dijamin Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

(30)

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal dapat menjamin hak konstitusional warga negara karena pada dasarnya setiap warga negara bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya masing masing seperti yang dijamin Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Apabila warga negara setuju dengan pasangan calon yang maju sebagai kepala daerah, itu merupakan pilihan dari warga negara itu sendiri. Rakyat sebagai warga negara berhak memilih pasangan calon tersebut tanpa campur tangan siapapun. Sebaliknya, apabila rakyat berkeyakinan lain dengan pasangan calon tunggal yang maju dalam pemilihan kepala daerah, maka rakyat juga berhak untuk memilih tidak setuju terhadap pasangan calon tersebut. Rakyat dapat memilih setuju maupun tidak setuju dikarenakan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal menggunakan model dan mekanisme yang berbeda dari pemilihan dengan dua pasang calon.

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal di beberapa daerah merupakan jalan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak konstitusional kepada rakyat sebagai warga negara. Pemerintah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi menjamin hak konstitusional warga negara tetap dilindungi dengan memperbolehkan calon tunggal untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat, maka pemilihan kepala daerah tidak boleh mengabaikan bahkan meniadakan hak dipilih dan memilih masyarakat hanya karena terjadi munculnya calon tunggal yang akan menyebabkan penundaan pemilihan kepala daerah.

Penulis menegaskan, penundaan pemilihan kepala daerah ke pemilihan

kepala daerah pada periode berikutnya dapat mengakibatkan hilangnya hak

konstitusional rakyat untuk memilih. Penundaan pemilihan kepala daerah

belum tentu terdapat jaminan bahwa pada pemilihan kepala daerah periode

(31)

berikutnya hak rakyat untuk memilih akan dapat dipenuhi. Bisa saja penundaan tersebut tetap saja akan diikuti oleh satu pasangan calon atau calon tunggal. Oleh karena itu, pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat demi terpenuhinya hak konstitusional warga negara untuk memilih maupun dipilih.

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon, sarana yang digunakan untuk memberikan suara pada pemilihan kepala daerah dengan satu pasangan calon adalah dengan menggunakan surat suara yang memuat foto pasangan calon, nama pasangan calon dan kolom untuk memberikan pilihan setuju atau tidak setuju. Kolom tersebut merupakan hal yang baru dimana dalam pemilihan kepala daerah sebelumnya belum pernah diberlakukan model seperti itu. Menurut penulis, pemilihan kepala daerah lebih tepat dipadankan dengan pemungutan dengan cara "setuju atau "tidak setuju" dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat untuk menentukan pilihanya terhadap calon tunggal tersebut.

Hakim mahkamah konstitusi dalam pertimbangan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor: 100/PUU-XIII/2015 menjelaskan bahwa pemilihan kepala

daerah yang hanya diikuti satu pasangan calon saja kontestasinya lebih tepat

apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat atau pemilih untuk

menentukan pilihanya apakah “setuju” atau “tidak setuju”. Apabila ternyata

suara rakyat lebih banyak memilih “setuju” maka pasangan calon yang

dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah. Sebaliknya, apabila ternyata

suara rakyat lebih banyak memilih “tidak setuju” maka dalam keadaan

demikian pemilihan ditunda sampai pemilihan kepala daerah serentak

berikutnya. Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi

sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui

pemberian suara “tidak setuju”.

(32)

Penulis berpendapat bahwa surat suara dengan model yang baru seperti itu sudah cukup untuk memenuhi hak konstitusional warga negara untuk memilih maupun dipilih. Warga negara telah dihadapkan dengan pilihan

“setuju” atau “tidak setuju” untuk memilih kepala daerah sesuai dengan hati nurani mereka masing-masing. Rakyat sebagai warga negara yang tinggal di daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon saja dapat menggunakan hak pilihnya melalui kolom setuju atau tidak setuju sehingga hak konstitusional mereka tetap terpenuhi. Begitu pun sebaliknya, calon kepala daerah pun berhak dipilih masayarakat melalui pemungutan suara dengan model setuju ataupun tidak setuju. Apabila hasil pemilihan kepala daerah dimenangkan dengan pilihan “tidak setuju”, maka pemilihan akan ditunda hingga pemilihan kepala daerah berikutnya.

Beberapa daerah yang telah melaksanakan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal adalah Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Penulis dalam hal ini telah mendapatkan data perolehan hasil suara masing-masing kabupaten yang didapatkan dari website Komisi Pemilihan Umum masing-masing daerah. Berikut data yang penulis sajikan dalam bentuk tabel:

Tabel 3.1. Hasil Perolehan Suara Pemilihan Kepala Daerah di Daerah yang memiliki Calon Tunggal

Kabupaten Daftar Pemilih Tetap

Suara Setuju

Suara Tidak Setuju

Tasikmalaya 1.340.727 500.908 242.865

Blitar 964.928 428.075 76.121

Timor Tengah Utara

107.235 75.025 18.890

Keterangan:

Di Kabupaten Tasikmalaya, perolehan suara "setuju" terhadap peserta

tunggal adalah sebanyak 500.908 suara dari jumlah daftar pemilih tetap

(33)

1.340.727 orang. Suara "setuju" meraih 500.908 suara, "tidak setuju" meraih 242.865 suara. Sedangkan untuk suara tidak sah hanya 66.895 suara (http://kpud-tasikmalayakab.go.id/ diakses tanggal 4 Maret 2016 pukul 20.10 WIB). Di Kabupaten Blitar, perolehan suara "setuju" terhadap peserta tunggal sebanyak 428.075 suara dari jumlah daftar pemilih tetap 964.928 orang. Suara

"setuju" meraih 428.075 suara, "tidak setuju" meraih 76.121 suara (http://kpu.blitarkab.go.id/ diakses pada tanggal 4 Maret 2016 pukul 20.30 WIB). Sedangkan di Kabupaten Timor Tengah Utara, dari 107.235 pemilih perolehan suara "setuju" terhadap peserta tunggal adalah sebanyak 75.025 suara, dan "tidak setuju" adalah sebanyak 18.890 suara (https://ttukab.kpu.go.id/index.php diakses pada tanggal 4 Maret 2016 pukul 20.45).

Berdasarkan data di atas, penulis berpendapat bahwa masyarakat sudah menggunakan hak pilihnya dengan baik meskipun dalam hal ini terdapat mekanisme baru dan asing yang baru pertama kalinya digunakan dalam pemilihan kepala daerah di daerahnya masing-masing. Masyarakat menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih kepala daerah dengan cara mencoblos “setuju” ataupun “tidak setuju”. Dari ketiga daerah tersebut, kesemuanya dimenangkan dengan suara setuju. Artinya, masyarakat mendukung penuh calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah tersebut untuk memimpin daerahnya. Meskpiun begitu, masih juga terdapat suara tidak setuju dari masyarakat. Suara tidak setuju pun sudah termasuk pilihan dari masyarakat, masyarakat memilih untuk tidak setuju dengan pasangan calon tersebut meskipun pada akhirnya suara setuju lebih banyak dari suara tidak setuju. Dengan kata lain, pemilihan kepala daerah tidak perlu ditunda ke periode selanjutnya dikarenakan pemungutan suara dimenangkan suara

“setuju”.

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal di beberapa daerah di atas menandakan pemilihan yang sejalan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memperlihatkan pelaksanaan dan jaminan hak memilih dan dipilih warga negara seutuhnya.

Dari hasil pemilihan kepala daerah diatas, penulis berpendapat bahwa:

1. masyarakat yang memilih setuju pada pemilihan tersebut pasti

mengenal, menyukai. Mengakui, dan telah merasakan Visi, Misi,

(34)

serta program yang pernah calon laksanakan dikarenakan ketiga calon tersebut merupakan kepala daerah di periode sebelumnya.

Selain itu dengan adanya masyarakat yang memilih setuju, pasangan calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah juga tidak kehilangan hak konstitusionalnya untuk dipilih.

2. masyarakat yang menggunakan hak pilihnya dengan memilih tidak setuju pada pemilihan tersebut bisa dipastikan tidak mengenal, tidak menyukai, dan tidak merasakan visi misi ataupu program yang di programnkan oleh pasangan calon tunggal tersebut. Hal tersebut berarti bahwa popularitas maupun keunggulan pasangan calon hanyalah hasil pencitraan .

3. masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya berarti memang belum memiliki kesadaran untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih. Kesadaran dalam berdemokrasi perlu ditanamkan lebih lanjut kepada masyarakat untuk meminimalisir banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Penulis menegaskan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia adalah media rakyat untuk memberikan hak suaranya atas calon kepala daerah melalaui pemilihan yang berdasarkan pada asas langsung, umum, bebas, rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil). Konsep ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk menggunakan hak memilihnya yaitu memilih langsung calon kepala daerah untuk periode lima tahun. Pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal di sisi lain juga memberikan kesempatan yang kepada rakyat yang memenuhi syarat untuk dipilih menjadi kepala daerah meskipun hanya dengan satu pasang calon saja.

Artinya prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sepenuhnya dipegang teguh oleh

bangsa Indonesia dalam tatanan demokrasi konstitusional yang menjunjung

tinggi kemerdekaan dan kebebasan atas hak-hak pribadi individu selaku

manusia Indonesia.

(35)

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tungggal sebenarnya tidak di setujui oleh salah satu hakim Mahkamah Konstitusi yaitu Patrialis Akbar. Dalam desenting opinion, Hakim Patrialis Akbar menjelaskan bahwa:

“Pemilihan yang dilakukan untuk memilih kepala daerah adalah subjek hukum, dimana subjek hukum tersebut adalah orang orang yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu calon kepala daerah sebagai subjek hukum disandingkan dengan non- subjek hukum (pernyataan setuju atau tidak setuju/referendum). Pemilihan kepala daerah bukan merupakan referendum akan tetapi pemilihan dari beberapa pilihan atau lebih dari satu untuk dipilih.

Apabila calon tunggal dibenarkan dalam pemilihan kepala daerah, maka bisa jadi suatu saat akan terjadi penyelundupan hukum. Hal tersebut dikhawatirkan akan melahirkan liberalisasi yang dilakukan oleh para pemilik modal untuk „membeli‟ partai politik untuk hanya mencalonkan 1 (satu) pasangan saja sehingga kesempatan untuk menang bagi calon independen tipis. Agar adanya pasangan calon lain seyogyanya persyaratan calon independen dipermudah. Walaupun sesungguhnya keberadaan calon tunggal juga tidak tertutup kemungkinan disebabkan oleh petahana yang sulit dikalahkan oleh pasangan calon baru, namun inilah saatnya untuk masuk pada proses pendidikan politik bagi partai politik yang mempunyai peluang untuk mencalonkan pasangan calon lainya secara lebih sungguh-sungguh.”

Menurut penulis, desenting opinion yang dikatakan Hakim Patrialis Akbar ada benarnya juga. Tapi dalam hal ini, penulis berpendapat pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal adalah terkait dengan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memilih (right to vote). Ditengah rekruitmen politik yang buruk, dan konflik antar partai yang dapat memunculkan pasangan calon tunggal, putusan mahkamah konstitusi nomor: 100/PUU-XIII/2015 adalah solusi bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Dalam hal ini, penulis berharap selain memperhatikan hak konstitusional warga negara untuk memilih, pemerintah juga harus mencegah lahirnya lebralisasi yang dilakukan oleh para pemilik modal untuk „membeli‟

partai politik untuk hanya mencalonkan 1 (satu) pasangan saja.

Pemenuhan Hak Konstitusional warga negara untuk memilih maupun

dipilih melalui pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal adalah bagian

dari upaya bangsa dan negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti berinteraksi langsung dengan anak-anak yang menjadi populasi penelitian, peneliti juga memperhatikan seperti apa interaksi yang terjadi antar siswa.

Pela keras itu timbul karena terdjadinja suatu peristiwa jang sangat penting, biasanja sehubungan dengan peperangan seperti pentjurahan darah, peperangan jang tak membawa

Peubah penjelas yang digunakan adalah umur ibu, pendidikan, pekerjaan, besar keluarga, pendapatan, pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi yang terlampir pada

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap laporan keuangan Puskopdit Handriya Sanggraha SumSel selama periode 2015- 2019 dengan menggunakan 7 aspek penilaian

Banyaknya produk atau jasa yang ada memiliki beranekaragam jenis logo, logo tidak hanya dirancang dengan cara amatiran sebab logo adalah unsur visual sebuah perusahaan agar dikenali

kenaikan saham – saham pertambangan dalam jangka menengah dan panjang. Sejumlah pengamat ekonomi memberikan pandangan bahwa perekonomian global akan melakukan

Ada beberapa analisis tentang penyebab kurang dapat berbahasa santun di kalangan remaja. Pada umumnya para pakar berpendapat, bahwa ketidak santunan dalam berbahasa disebabkan

Sistem basisdata terdistribusi yang baik mensyaratkan transparansi fragmentasi di mana user tidak perlu mengetahui bagaimana data difrag- mentasikan, transparansi replikasi di