4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jahe Emprit (Zingiber officinale var. amarum)
Jahe emprit (Zingiber officinale var. amarum) merupakan tanaman obat dan rempah yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya rimpangnya. Jahe merupakan tanaman rempah Asia Selatan yang kini telah menyebar ke seluruh dunia. Masyarakat Tionghoa telah menggunakan jahe sebagai bumbu masakan sejak abad ke-6 SM. dan pedagang Arab telah memperkenalkan jahe dan rempah- rempah lainnya sebagai bumbu masakan ke wilayah Mediterania sebelum abad ke-1 Masehi, dan kemudian diperkenalkan ke Eropa dalam bentuk buku masak menggunakan berbagai rempah-rempah (Aryanta, 2019). Di kawasan Asia, jahe telah dimanfaatkan sebagai bahan bumbu masakan dan bahan obat tradisional sejak ribuan tahun yang lalu. Diantara jenis rimpang jahe, terdapat tiga jenis yang telah dikenal secara umum, yaitu jahe gajah, jahe putih kecil atau jahe emprit dan jahe merah (Fathona, 2011). Karakteristik ketiga jahe dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Tiga Jenis Jahe
Bagian Tanaman Jahe Gajah Jahe Emprit Jahe Merah Struktur rimpang Besar berbulu Kecil berlapis Kecil berlapis Warna irisan Putih kekuningan Putih kekuningan Jingga muda
hingga merah Berat rimpang
(kg)
0,18-2,08 0,10-1,58 0,20-1,40
Diameter rimpang (cm)
8,47-8,50 3,27-4,05 4,20-4,26
Kadar minyak atsiri (%)
0,82-1,66 1,50-3,50 2,58-3,90
Kadar pati (%) 55,0 54,7 44,9
Kadar serat (%) 6,89 6,59 -
Kadar abu (%) 6,6 7,39-8,9 7,46
Sumber: Fathona (2011)
Tanaman jahe dapat tumbuh pada daerah tropis dengan ketinggian tempat antara 0-1,700 m di atas permukaan laut. Jahe membutuhkan suhu tinggi dan curah hujan yang cukup selama musim tanam. Suhu tanah yang ideal yaitu antara 25-30°C. Untuk hasil rimpang yang baik, tanah harus gembur agar akar dapat berkembang secara normal. Pengairan harus selalu diperhatikan karena tanaman ini tidak toleran terhadap genangan air (Hapsoh dan Hasanah, 2011). Jahe putih kecil atau jahe emprit dengan nama latin Zingiber officinale var. amarum
memiliki bobot rimpang berkisar antara 0,5-0,7 kg/rumpun. Struktur rimpangnya kecil dan berlapis-lapis. Daging rimpang berwarna putih kekuningan. Tinggi rimpang mencapai 11 cm dengan panjang antara 6-30 cm dan diameter antara 3,27-4,05 cm. Bagian ruas jahe ini kecil, agak pipih hingga agak melengkung.
Jahe ini dipanen setelah berumur tua sekitar 10-12 bulan dikarenakan pada saat umur tua kandungan minyak atsiri dan seratnya tinggi cocok untuk ramuan obat- obatan (Hapsoh dkk., 2010). Gambar untuk jahe emprit yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Famili Zingiberaceae ini terdapat disepanjang daerah tropis dan sub tropis terdiri atas 47 genus dan 1.400 spesies. Genus Zingiber meliputi 80 spesies yang salah satu diantaranya adalah jahe yang merupakan spesies paling penting dan paling banyak manfaatnya (Putri dkk., 2014). Tanaman jahe emprit atau jahe putih dalam dunia tanaman memiliki klasifikasi sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Zingiber
Species : Zingiber officinale var. amarum
Gambar 1. Rimpang Jahe Emprit (Dokumentasi Pribadi)
Tanaman jahe emprit mudah tumbuh dan telah banyak dibudidayakan di Indonesia. Jahe memiliki rasa dan aroma yang unik dan enak, sehingga banyak yang menyukainya. Karena itu, produk ini sangat populer. Jahe memiliki banyak keunggulan, salah satunya di bidang makanan dan minuman. Jahe dapat dibuat menjadi wedan jahe, secoten, manisan jahe, wedan kopi jahe, dan sebagainya
(Firdausni dkk., 2017). Jahe memiliki beberapa kandungan kimia yang berbeda.
Faktor yang dapat mempengaruhi kandungan kimia jahe yaitu jenis jahe, unsur tanah, umur panen, dan pengolahan rimpang jahe. Kandungan minyak atsirinya 1,5-3,3% (Santoso dkk., 2008). Rimpang jahe mengandung beberapa komposisi kimia antara lain pati, lemak, protein, vitamin, A, B, C, asam organik, asam malat, asam oksalat, oleoresin, dan minyak atsiri seperti gingerol, shogaol, zingerol, zingeron, zingiberin, zingeberol, borneol, sineol, seskuiterpen, bisabolena, sitral, dan felandren (Setyaningrum dan Saparinto, 2013). Komponen terbesar penyusun jahe segar adalah air. Komposisi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Rimpang Jahe per 100 gram
Sumber : Departemen Kesehatan RI, (2000)
Kandungan oleoresin dan minyak atsiri jahe menjadi nilai tambah dari produk olahan jahe. Secara umum senyawa yang terdapat pada jahe terdiri dari minyak menguap (volatile oil), dan ada minyak tidak menguap (non volatile oil), dan pati. Minyak atsiri jahe termasuk jenis minyak menguap dan merupakan suatu komponen yang memberi aroma yang khas, kandungan minyak tidak menguap disebut oleoresin, yakni suatu senyawa yang memberikan rasa pahit dan pedas (Setiawan, 2015). Oleoresin merupakan salah satu senyawa non volatil yang mengandung minyak atsiri 15-35% yang diekstraksi dari bubuk jahe. Semakin tinggi kandungan oleoresin maka semakin pedas rasa ekstrak jahe yang dihasilkan dan semakin tinggi efek antioksidannya (Firdausni dan Kamsina, 2018).
Komponen Gizi Jumlah
Energi (kal) 51
Protein (g) 1,5
Lemak (g) 1
Karbohidrat (g) 10,1
Serat (g) 7,53
Kalsium (mg) 21
Fosfor (mg) 39
Besi (mg) 4,3
Kalium (mg) 57,0
Vitamin A (SI) 30
Vitamin C (mg) 4
Thiamin (mg) 0,02
Niasin (mg) 0,8
Air (g) 86,2
Komponen yang paling utama pada jahe adalah gingerol yang bersifat antikoagulan, yaitu mencegah pengumpalan darah dan melancarkan aliran darah sehingga dapat mencegah penyakit stroke, jantung dan penyakit degeneratif lainnya (Herawati dkk., 2020). Zingiberol, zingiberen, n-nonyl aldehida, dcamphen, d-bphellandren, methyl heptanon, sineol, stral, borneol, linalool, asetat, kaprilat, phenol, dan chavicol merupakan minyak atsiri jahe (Handayani dkk., 2015). Gingerol dan shogaol dapat bertindak sebagai antioksidan utama melawan radikal lipid. Gingerol dan shogaol mengandung aktivitas antioksidan karena mengandung cincin benzena dan gugus hidroksil. Kandungan antioksidan jahe emprit sebesar 5,75 µg/ml (Andriyani dkk., 2015). Kandungan gingerol dan shogaol jahe emprit sebesar 9,055 mg/g lebih tinggi dibandingan dengan jahe gajah yaitu 3,735 mg/g (Fathona, 2011). Menuurt Herawati, dkk. (2020) dengan adanya kandungan senyawa aktif tersebut yang mempunyai manfaat kesehatan, maka jahe berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber pangan fungsional.
Jahe mempunyai prospek yang cerah untuk peluang pengembangan produk dengan dibuat menjadi permen jelly.
2.2 Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.)
Kayu secang (Caesalpinia sappan L.) merupakan tumbuhan tropis yang mengandung komponen kromofor yang dapat memberikan warna apabila dilarutkan dalam air (Failisnur dkk., 2019). Kayu secang merupakan tanaman yang biasanya tumbuh di daerah tropis dan di tempat terbuka sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut seperti di pegunungan tetapi tidak berada disuhu yang terlalu dingin. Ketinggian pohon secang memiliki tinggi sekitar 5-10 m, biasanya tumbuhan secang dimanfaatkan pada bagian batangnya. Batang kayu secang berbentuk bulat, mempunyai warna hijau kecoklatan yang memberikan warna merah jika serutan kayu secang tersebut direbus (Astina, 2010). Batang secang memiliki permukaan yang kasar dan berduri. Daun secang berbentuk majemuk menyirip, setiap sirip memiliki 10 – 20 pasang anak daun berhadapan, serta mempunyai daun penumpu. Perbungaan tersusun tandan, bunganya berwarna kuning terang. Buah berupa polong berwarna hitam, berisi 3 – 4 biji yang bulat memanjang. Akar secang adalah akar tunggang berwarna coklat kotor.
Panenan kayu dapat dilakukan mulai umur 1-2 tahun (Azmi dan Eric, 2017).
Tanaman secang dapat dilihat pada Gambar 2. Kayu secang serut yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2. Pohon Secang (Azmi, 2017) Gambar 3. Kayu Secang Serut (Dokumentasi pribadi) Klasifikasi kayu secang (Tjitrosoepomo, 1994 dalam Fadliah, 2014) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Klas : Dicotyledonae Sub klas : Aympetalae Ordo : Rosales Famili : Leguminosae Genus : Caesalpinia
Spesies : Caesalpinia sappan L.
Secang merupakan salah satu spesies tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai obat tradisional (Sari dan Suhartati, 2016). Secang mengandung senyawa fenolik, seperti flavonoid, yang memiliki aktivitas antioksidan guna menangkal radikal bebas (Rahmawati, 2011). Kayu secang dikenal dapat membantu melancarkan peredaran darah dan mengobati berbagai macam penyakit seperti diare, TBC, sebagai antiseptik, antiinflamasi dan penawar racun (Azmi dan Eric, 2017).
Senyawa antioksidan dari bahan alam atau tumbuhan ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan bahan artifisial karena akan menghasilkan residu yang lebih mudah terdegradasi. Kayu ini memiliki kandungan senyawa brazilin (C16H14O5), sappanin (C12H12O4) dan brazilein. Brazilin adalah kristal berwarna kuning yang merupakan pigmen warna pada secang. Brazilein termasuk golongan flavonoid
sebagai isoflavonoid. Senyawa isoflavonoid merupakan golongan yang mempunyai kerangka C3-C6-C3. Brazilein pada tumbuhan umumnya terikat dengan gula membentuk glikosida (Andarwulan dan Faradilla, 2012). Adapun sifat fisik dan kimia brazilein secara ringkas disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik Fisik dan Kimia Brazilein
Variabel Sifat Fisik dan Kimia Karakteristik
Kelarutan 1. Sedikit larut dalam air dingin
2. Mudah larut dalam air panas 3. Larut dalam alkohol dan eter 4. Larut dalam larutan alkali hidroksi
Titik leleh 150°C
Rapat optik (∞)D ± 122°C
Temperatur peruraian > 130°C
Bau Aromatik
pH 4,5 – 5,5
Warna Kuning – merah
Sumber: Andarwulan dan Faradilla (2012)
Kayu secang dapat menghasilkan warna merah cerah pada makanan atupun minuman. Warna merah secang disebabkan karena senyawa brazilein yang hasil oksidasi dari senyawa brazilin (berwarna kuning) yang teroksidasi dalam air.
(Dapson dan Bain, 2015). Struktur kimia brazilin dan brazilein dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Kimia Brazilin (A) dan Brazilein (B) (Ohama dan Yumpat, 2014)
Brazilin merupakan senyawa antioksidan dengan struktur katekol dan memiliki fungsi mencegah tubuh dari keracunan radikal bebas kimiawi. Komposit brazilin adalah senyawa subtipe brazilin yang terdapat dalam kayu secang antara lain brazilin, brazilein dan 3’-O-metilbrazilin. Brazilin merupakan konstituen utama dari ekstrak kayu secang, sedangkan brazilein diisolasi dalam jumlah besar saat ekstrak dipaparkan terhadap udara dan cahaya menghasilkan reaksi oksidasi
gugusan hidroksil brazilin menjadi gugus karbonil (Astina, 2010). Terjadinya warna merah disebabkan oleh terbentuknya brazilein. Brazilin jika teroksidasi menghasilkan senyawa brazilein yang berwarna merah kecokelatan dan dapat larut dalam air (Indriani, 2003). Asam tidak berpengaruh terhadap larutan brazilin, tetapi alkali dapat membuatnya bertambah merah. Eter dan alkohol menimbulkan warna kuning pucat terhadap larutan brazilin. Brazilin cepat membentuk warna merah jika terkena sinar matahari. Pigmen brazilein memiliki warna berbeda-beda tergantung tingkat keasaman lingkungannya. Warna ekstrak yang disebabkan oleh brazilin dipengaruhi oleh kadar keasaman atau nilai pH seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perubahan Warna Ekstrak Kayu Secang Sesuai Nilai Kadar pH
pH Warna
2 - 5 Kuning orange
6 - 7 Merah cerah
>7 Merah keunguan
Sumber: Rina dkk (2012)
Warna merah tajam dan cerah didapat pada kondisi pH netral (pH 6-7).
Warna ini kemudian bergeser ke arah merah keunguan dengan semakin meningkatnya pH. Sebaliknya, pada pH rendah (pH 2-5) brazilein memiliki warna kuning (Azmi dan Eric, 2017). Brazilin memberikan serapan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 254 dan 280 nm (Adawiyah, 2012), sedangkan brazilein memberikan serapan spektrofotometer visible pada panjang gelombang 541 nm (Wetwitayaklung dkk., 2005).
Diyakini bahwa Brazilin memiliki efek anti-inflasi dan antibakteri (Staphylococcus aureus dan Escherichia coli). Miksusanti, dkk (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa secang (Caesalpinia sappan L.) dapat menghambat aktivitas Bacillus cereus dengan kadar fenol 590,428 mg/g. Sari dan Suhartati (2016) juga menyatakan bahwa ekstrak etanol kayu secang mampu merangsang sel osteoblast dan menghambat pembentukan sel osteoclast.
Kandungan brazilin pada kayu secang dapat menghambat protein inhibitor apoptosis survivin dan berpartisipasi dalam aktivasi caspase 3 dan caspase 9 yang dapat mengobati kanker. Komponen kimia yang terkandung di dalam kayu secang, seperti brazilin dapat juga dijadikan pewarna alami makanan ataupun minuman. Pewarna makanan adalah benda berwarna yang memiliki afinitas kimia
terhadap makanan yang diwarnainya. Tujuan pemberian warna adalah agar makanan terlihat lebih berwarna sehingga menarik perhatian konsumen (Fadliah, 2014).
2.3 Permen Jelly
Permen adalah makanan ringan yang disukai banyak masyarakat terutama anak-anak, permen memiliki rasa manis di lidah ketika dihisap dan dikunyah.
Permen adalah sejenis gula-gula (confectionary) yang banyak disukai oleh anak- anak hingga dewasa. Permen yang banyak beredar di pasaran sangat beragam bentuk, jenis, maupun rasanya, antara lain permen karet (gum), permen lolipop, permen kenyal (jelly), permen keras (hard candy), permen berbahan dasar coklat (bounty), caramel, caramel kacang kunyah, nougat, dan permen jahe (Yustina dan Antarlina, 2013). Badan Standarasisai Nasional (2008) mengemukakan bahwa permen jelly adalah kembang gula bertekstur lunak, yang diproses dengan penambahan komponen hidrokoloid seperti agar, gum, pektin, pati, karagenan, gelatin dan lain-lain yang digunakan untuk modifikasi tekstur sehingga menghasilkan produk yang kenyal. Syarat mutu permen lunak (jelly) menurut SNI terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5. Syarat Mutu Permen Lunak SNI 3547.02-2008
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2008)
No. Kriteria Persyaratan
1. Keadaan
- Rasa Normal
- Bau Normal
2. Kadar Air % fraksi massa Max 20
3. Kadar Abu % fraksi massa Max 3
4. Gula Reduksi % fraksi massa Max 25
5. Sukrosa % fraksi massa Min 27
6. Cemaran Logam
- Timbal mg/kg Max 2
- Tembaga mg/kg Max 2
- Timah mg/kg Max 4
- Raksa mg/kg Max 0,03
7. Cemaran Arsen mg/kg Max 1
8. Cemaran Mikroba
- Bakteri colifrom APM/g Max 20
- E. Coli APM/g <3
- Salmonella Negatif/25 g
- Staphiloccocus aureus Koloni/g Max 1x102 - Kapang dan khamir Koloni/g Max 1x102
Permen jelly merupakan permen yang terbuat dari campuran sari buah- buahan, bahan pembentuk gel atau dengan penambahan perisa untuk menghasilkan berbagai macam rasa dengan bentuk fisik jernih dan transparan (Atmaka dkk., 2013). Permen jelly yang ideal mempunyai sifat transparan, tekstur yang empuk dan mudah dipotong, tetapi cukup kaku untuk mempertahankan bentuknya, tidak lengket dan tidak berlendir, mempunyai permukaan yang lembut dan halus serta tidak pecah. Salah satu faktor yang mempengaruhi mutu permen jelly adalah adanya bahan pembentuk gel. Kekerasan dan tekstur permen jelly banyak tergantung pada bahan gel. yang digunakan. Jelly gelatin mempunyai konsistensi yang lunak dan bersifat seperti karet; jelly agar-agar lunak dengan tekstur rapuh. Pektin menghasilkan tekstur yang sama dengan agar-agar, tetapi gelnya lebih baik pada pH yang cenderung rendah, sedangkan karagenan menghasilkan gel yang kuat (Koswara, 2009).
Permen jelly dibuat dengan memasak gula sampai mencapai padatan yang diinginkan, kemudian dilakukan penambahan bahan-bahan pembentuk gel (gelatin, agar, pektin dan karagenan) lalu ditambah cita rasa dan warna dan akhirnya dicetak. Permen jelly umumnya dimasak sampai menghasilkan padatan 75 persen (Koswara, 2009). Permen jelly tergolong sebagai pangan semi basah.
Pangan semi basah adalah produk pangan yang memiliki tekstur lunak, diolah dengan satu atau lebih perlakuan, dapat dikonsumsi secara langsung tanpa penyiapan dan stabil (mengawetkan dengan sendirinya) selama beberapa bulan tanpa perlakuan panas, pembekuan, ataupun pendinginan (Muchtadi, 2011).
Permen jelly memiliki kecendrungan menjadi lengket karena sifat higroskopis dari gula pereduksi yang membentuk permen, sehingga perlu ditambahkan bahan pelapis. Permen jelly umumnya memerlukan bahan pelapis berupa campuran tepung tapioka dengan tepung gula. Pelapisan ini berguna untuk membuat permen tidak melekat satu sama lain dan juga untuk menambah rasa manis (Koswara, 2009).
2.4 Gelling Agent
Gelling agent adalah bahan tambahan yang digunakan untuk mengentalkan dan menstabilkan berbagai macam bahan pangan. Beberapa bahan penstabil dan pengental juga termasuk dalam kelompok bahan pembentuk gel. Jenis-jenis bahan
pembentuk gel biasanya merupakan bahan berbasis polisakarida atau protein.
Contoh dari gelling agent antara lain gelatin, agar-agar, karagenan, metil selulosa, asam alginate, sodium alginate, kalium alginat, kalsium alginat, locus bean gum, dan pektin (Ningrum, 2012). Gelling agent merupakan komponen polimer dengan bobot molekul tinggi yang merupakan gabungan molekul-molekul dan lilitan- lilitan dari molekul primer yang akan memberikan sifat kental dan gel yang diinginkan. Molekul polimer berikatan melalui ikatan silang membentuk struktur jaringan tiga dimensi dengan molekul pelarut terperangkap dalam jaringan (Trisnayanti dkk., 2015).
Menurut Sulaiman dan Kuswahyuning (2008) gelling agent digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain:
a. Golongan protein, contohnya : kolagen dan gelatin.
b. Golongan polisakarida, contohnya : alginat, karagen, agar, pektin, amilum, xantan gum, gellan gum dan guar gum.
c. Golongan polimer semi sintetik atau turunan selulosa, contohnya: metil selulosa.
d. Golongan polimer semi sintetik, contohnya : polaxomer, polyacrylamide, polyvinyl alcohol dan karbopol.
e. Golongan anorganik, contohnya : aluminium hidroksida, smectite dan bentonite.
2.4.1 Agar-agar
Agar-agar merupakan salah satu produk hasil olahan dari rumput laut.
Agar-agar diekstraksi dari ganggang laut yang berasal dari kelompok ganggang merah (Rhodophyceae). Molekul agar-agar terdiri dari senyawa ester asam sulfat dari senyawa galaktan yaitu polimer dari galaktosa, yang tidak larut dalam air dingin, namun larut dalam air panas dengan membentuk gel. Berdasarkan kemampuannya memproduksi agar-agar maka ganggang merah digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu Agarophyte dan Agaroidophyte. Agarophyte adalah kelompok rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan agar-agar. Sedangkan Agaroidophyte merupakan kelompok ganggang merah yang mempunyai sifat seperti agar-agar, tetapi dengan gaya gelasi dan viskositas yang berbeda (Winarno, 2008).
Jenis rumput laut yang banyak digunakan sebagai bahan baku untuk pengolahan agar-agar tepung adalah Gelidium sp., Gracillaria sp., Hypnea sp., Plerodadia sp., Acanthopelus sp., dan Ceramium sp. Jenis rumput laut yang sering sekali digunakan dalam pembuatan agar-agar adalah rumput laut jenis Gracilaria sp. Rumput laut ini sangat kaya akan mineral yang diperlukan oleh tubuh. Kandungan dalam 100 g rumput laut adalah 54,3%-73,7% karbohidrat dan 0,3%-5,9% protein. Selain itu juga terkandung beberapa mineral yaitu kalsium, natrium, larutan ester, vitamin A, vitamin B, vitamin C, vitamin D, vitamin E, serta iodium (Ariyadi, 2004).
Agar-agar adalah polisakarida kompleks yang menyusun dinding sel beberapa jenis rumput laut, khususnya rumput laut merah (red algae). Agar merupakan polimer agarobiosa. Agarobiosa adalah suatu disakarida yang terdiri dari D- galaktosa dan 3,6-anhidro-L-galaktosa. Agar murni digunakan untuk media kultur bakteri, jaringan seluler, dan untuk DNA fingerprinting (Muchtadi, 2011).
Beberapa industri yang memanfaatkan kemampuan membentuk gel dari agar-agar adalah industri makanan, farmasi, kosmetik, kulit, fotografi dan sebagai media penumbuh mikroba. Industri produksi agar-agar di Indonesia menggunakan metode yang melibatkan ekstraksi rumput laut dengan pelarut asam pada suhu tinggi. Agar digunakan dalam berbagai macam produk pangan sebagai bahan pembentuk gel (gelling agent). Agar-agar memiliki daya gelasi (kemampuan membentuk gel), viskositas (kekentalan), gelling point (suhu pembentukkan gel) dan melting point (suhu mencairnya gel) (Murdinah dan Sinurat, 2011). Agar-agar mempunyai sifat mencair pada suhu 85°C (saat dimasak) dan memadat dengan membentuk gel pada suhu 32-40°C. Agar-agar dengan tingkat kemurnian yang tinggi tidak dapat larut air pada suhu 25°C. Gel agar-agar bersifat reversibel terhadap suhu, yaitu pada suhu di atas titik leleh maka fase gel akan berubah menjadi fase sol dan sebaliknya, tetapi fase transisi dari gel ke sol atau sebaliknya tidak berada pada suhu yang sama. Gel terbentuk karena pada saat dipanaskan di air, molekul agar-agar dan air bergerak bebas. Ketika didinginkan, molekul- molekul agar-agar mulai saling merapat, memadat dan membentuk kisi-kisi yang mengurung molekul-molekul air, sehingga terbentuk sistem koloid padat-cair (Rosulva, 2008). Adapun standar mutu pada agar-agar dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Standar Mutu Agar-agar
Spesifikasi Persyaratan
SII(a) FCC(b)
Kadar air maks. (%) 15-21 -
Kadar abu maks. (%) 4 6,5
Abu tak larut asam maks. (%) - 0,3
Gelatin - Negatif
Pati - Negatif
Karbohidrat (galaktosa) (%) 30 -
Logam berat maks. (ppm) Negatif 10
Arsen maks. (ppm) Negatif 3
Bahan asing tidak larut maks. (%) - 1
Timah maks. (ppm) - 10
Susut pengeringan maks. (%) - 20
Penyerapan air -
Zat warna tambahan Food grade -
Sumber: (a) Departemen Perindustrian (1978); (b) Food Chemical Codex III (1981)
Fungsi utama agar-agar adalah sebagai pengontrol, penstabil, serta sebagai emulsi bagi industri permen serta jenis makanan lainnya. Agar-agar dapat membentuk gel dalam larutan yang mengandung 1% agar-agar. Sifat gel agar-agar bersifat rigid, rapuh, mudah dibentuk, dan memiliki titik cair tertentu serta mudah mengalami sineresis (Necas dan Bartosikova, 2013). Sineresis adalah peristiwa keluarnya air dalam gel. Hal ini akan mengakibatkan susut bobot selama penyimpanan produk gel. Penyebabnya adalah gel mengalami kontraksi akibat terbentuknya ikatan-ikatan baru antara polimer dari struktur gel. Agar merupakan polisakarida yang dibentuk oleh satu kesatuan struktur yang hanya memiliki gugus sulfat semiester yang berikatan dengan galaktosa hidroksil. Agar terbentuk dari dua polisakarida yaitu agarosa dan agaropektin. Rantai galaktan yang netral disebut agarosa, sedangkan yang tersubstitusi dengan gugus sulfat disebut agaropektin. Agarosa adalah fraksi agar yang pada dasarnya merupakan gel.
Agarosa merupakan suatu polisakarida netral yang terdiri dari rangkaian D- galaktosa dengan ikatan β-1,3 dan L-galaktosa dengan ikatan α-1,4. Struktur dari agarosa dan agaropektin dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Agarosa (a) dan Agaropektin (b) (Kusuma dkk., 2013) . Agarosa tidak mengandung sulfat dan persentase agarosa dalam ekstrak agar berkisar antara 50% sampai 80% serta memiliki berat molekul 100.000-150.000.
Agarosa memiliki kekuatan gel lebih tinggi dibandingkan agaropektin. Agarose memiliki struktur double helix, struktur tersebut beragregasi membentuk rangka tiga dimensi, yang berikatan dengan molekul air sehingga menghasilkan gel yang thermoreversible (Venugopal, 2009). Sedangkan pada agaropektin adalah polimer sulfat dan bersifat lebih kompleks, mengandung residu sulfat 3-10%, asam glukuronat dan asam piruvat serta mempunyai berat molekul 14.000-20.000.
Agaropektin memiliki rantai yang hampir sama dengan rantai agarosa, tetapi beberapa residu 3,6- anhidro-L-galaktosa digantikan oleh L-galaktosa sulfat dan sebagian residu Dgalaktosa digantikan oleh asetal asam piruvat (Mauli, 2018).
Kandungan sulfat pada agar-agar yaitu 5-8% sedangkan pada karagenan sebanyak 24-53% atau paling sedikit 17% (Phillips dan Williams, 2009). Konsentrasi sulfat dalam agar-agar dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan asal rumput laut, metode ekstraksi, serta umur panen. Peningkatan umur panen dapat memberikan respon terhadap kandungan sulfat (Mauli, 2018).
Sifat gel dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi agar-agar, pH, gula, dan ester sulfat. Gel akan bersifat reversible terhadap suhu, semakin meningkat konsentrasi agar-agar maka kekuatan dan kekerasan gel akan semakin meningkat.
Peningkatan kandungan gula menghasilkan gel yang lebih keras tetapi teksturnya kurang melekat. Pengaruh pH terhadap kekuatan gel yaitu jika semakin turun pH hingga pH 2,5 akan meghasilkan kekuatan gel yang semakin lemah. Pengaruh ester sulfat yaitu semakin tinggi kandungan ester sulfat akan dapat menurunkan kekuatan gel agar-agar (Santoso dkk., 2019). Jenis rumput laut juga mempengaruhi sifat gel dari agar-gar. Perbandingan agarosa dan agaropektin pada genus Gracilaria sekitar 20:1, jauh lebih besar daripada genus Gelidium yang
mempunyai perbandingan 1:5. Oleh karena itu umumnya gel agar-agar dari Gracilaria lebih kuat dan kokoh (Ramadhan, 2011). Mekanisme pembentukan gel agar-agar adalah tiga buah atom hidrogen pada residu 3,6-anhidro-L-galaktosa memaksa molekul membentuk struktur heliks. Interaksi antar struktur heliks inilah yang menyebabkan pembentukan gel. Penggantian senyawa L-galaktosa sulfat oleh senyawa 3,6-anhidroL-galaktosa mengakibatkan kekakuan pada struktur heliks, dari sinilah gel mulai terbentuk. Perlakuan alkali dapat mengkonversi gugus sulfat yang ada pada posisi C-6 menjadi 3,6-anhidro-L-galaktosa sehingga dapat memberikan kekuatan gel yang lebih tinggi (Mauli, 2018).
2.4.2 Karagenan
Karagenan merupakan senyawa polisakarida galaktosa. Senyawa-senyawa polisakarida mudah terhidrolisis dalam larutan yang bersifat asam dan stabil dalam suasana basa. Karagenan adalah polisakarida dengan berat molekul yang tinggi dan merupakan campuran dari galaktan-galaktan linier yang mengandung sulfat dan larut dalam air. Galaktan-galaktan tersebut terhubung oleh 3-β-D- galaktopiranosa (G-unit) dan 4-α-D-galaktopiranosa (D-unit) atau 4-3,6- anhidrogalaktosa (DA-unit) membentuk unit pengulangan disakarida dari karagenan. Galaktan yang mengandung sulfat diklasifikasikan berdasarkan adanya 4-3,6-anhidrogalaktosa serta posisi dan jumlah golongan sulfat pada strukturnya (Imeson, 2010). Karagenan komersia memiliki kandungan sulfat 22-38%.
Karagenan dijual dalam bentuk bubuk, warnanya bervariasi dari putih sampai kecoklatan bergantung dari bahan mentah dan proses yang digunakan. Di pasaran karagenan ditemukan dalam 2 tipe, yaitu refined karagenan dan semirefined karagenan (Saputra dkk., 2020). Semirefined karagenan dibuat dari spesies rumput laut Euchema yang banyak terdapat di Indonesia dan Filipina.
Karagenan semirefined mengandung lebih banyak bahan yang tidak larut asam (8-15%) dibandingkan refined karagenan (2 %) (Rahmawati, 2017). Gel yang kuat dan tekstur yang kenyal pada permen jelly dapat dihasilkan dengan adanya penambahan bahan yang mengandung pembentuk gel seperti karagenan yang banyak terkandung dalam rumput laut. Adanya kandungan karagenan rumput laut secara fungsional dapat berfungsi sebagai penstabil, pengental dan pembentukan
gel sehingga dapat mempengaruhi karakteristik produk pangan khususnya permen jelly (Sari dkk., 2018).
Karagenan berasal dari sejumlah rumput laut kelas Rhodophyceae (alga merah). Jenis rumput laut ini umumnya ditemukan di Samudera Atlantik dekat Inggris, Eropa dan Amerika Utara dan mengandung banyak selulosa. Eucheuma cottoni merupakan rumput laut dari kelompok Rhodophyceae yang mampu menghasilkan karagenan. Rumput laut Eucheuma cottonii merupakan tumbuhan tingkat rendah yang mempunyai kandungan nilai gizi yang tinggi. Salah satu kandungan rumput laut Eucheuma cottonii yang berperan dalam pembentukan tekstur adalah karagenan (Saputra dkk., 2020). Rumput laut Eucheuma cottonii tidak hanya mengandung karagenan, namun juga mengandung serat pangan, zat besi, iodium, protein, lemak, abu dan beberapa vitamin terutama vitamin C (Sari dkk., 2018). Eucheuma dikelompokkan menjadi beberapa spesies yaitu Eucheuma edule, Eucheuma spinosum, Eucheuma cottoni, Eucheuma cupressoideum dan masih banyak lagi yang lain. Kelompok Eucheuma yang dibudidayakan di Indonesia masih sebatas pada Eucheuma cottoni dan Eucheuma spinosum.
Eucheuma cottoni dapat menghasilkan kappa karagenan dan telah banyak diteliti baik proses pengolahan maupun elastisitasnya. Sedangkan Eucheuma spinosum mampu menghasilkan iota karagenan. Perbedaan dari ketiga karagenan tersebut ialah komposisi dan struktur kimiawi, struktur yang berbeda terletak pada 3,6- anhidro-L-galaktosa dan gugus sulfat (Imeson, 2010).
Karagenan secara komersial terdiri dari kappa karagenan, iota karagenan dan lambda karagenan. Perbedaan utama yang mempengaruhi sifat jenis karagenan adalah jumlah dan posisi kelompok ester sulfat serta kandungan 3,6-anhidro-L- galaktosa. Karagenan memiliki kandungan ester sulfat sekitar 25% sampai 30%
dan kandungan 3,6 anhidro galaktosa sekitar 28% sampai 35%. Karagenan diberi nama tersebut berdasarkan persentase kandungan ester sulfatnya, kappa: 25-30
%, iota: 28-35 %, dan lambda: 32-38 % (Phillips dan Williams, 2009). Struktur kappa karagenan, iota karagenan dan lambda karagenan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur Kappa, Iota dan Lambda Karagenan (Imeson, 2010) Kandungan sulfatnya akan mempengaruhi kekuatan gel, tekstur, kelarutan, suhu leleh dan sineresis. Kappa karagenan terdapat 3,6- anhidrogalaktosa dengan hanya satu gugus ester sulfat, sedangkan iota karagenan terdapat 3,6- anhidrogalaktosa dengan dua gugus ester sulfat. Lamda karagenan tidak memiliki gugus 3,6-anhidrogalaktosa namun memiliki tiga gugus ester sulfat (Venugopal, 2011). Kappa dan iota larut dalam air panas (70°C), sedangkan lambda bisa larut dalam air dingin. Menurut Abdillah dan Hasta (2021), kappa karagenan memiliki sifat yaitu kemampuan untuk membentuk gel lebih baik dibandingkan tipe iota dan lambda, sehingga kappa karagenan sering dimanfaatkan di dalam proses industri pangan maupun non pangan. Kappa karagenan sensitif terhadap ion kalium dan membentuk gel kuat dengan adanya garam kalium. Gugus hidroksil dan sulfat pada karagenan bersifat hidrofilik, sedangkan gugus 3,6 anhidro D- galaktosa lebih hidrofobik. Karagenan jenis kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6 anhidro D-galaktosa. Karagenan jenis iota bersifat lebih hidrofilik karena adanya gugus 2 sulfat dapat menetralkan 3,6 anhidro D- galaktosa yang kurang hidrofilik, sedangkan lambda karagenan mudah larut pada semua kondisi karena tanpa unit 3,6 anhidro D-galaktosa dan mengandung gugus sulfat yang tinggi. (Susilowati, 2018).
Iota karagenan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D- glukosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6-anhidro-D-galaktosa.
Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali
seperti kappa karagenan. Iota karagenan sering mengandung beberapa gugusan 6- sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan pemberian alkali (Fathmawati dkk., 2014). Iota karagenan akan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion . Iota-karagenan memiliki tekstur sangat mirip dengan gelatin yang digunakan dalam formulasi gel untuk makanan pencuci mulut. Iota-karagenan memiliki keunggulan dibandingkan gel gelatin karena titik lelehnya lebih tinggi, membuatnya lebih cocok di iklim tropis. Iota-karagenan ini tidak meleleh di mulut, seperti gelatin. Namun, memiliki keuntungan bahwa gel iota mempertahankan struktur empuknya saat mengalami penyimpanan, sedangkan gelatin cenderung mengeras (Necas dan Bartosikova, 2013).
Karagenan tidak memiliki nilai gizi dan merupakan polisakarida non kalori yang sering disebut dietary fiber (serat makanan) yang sangat baik untuk pencernaan karena kandungan serat kasarnya yang cukup tinggi (Susilowati, 2018). Karagenan biasanya dimanfaatkan sebagai pembentuk gel, pengental, dan bahan penstabil di berbagai industri seperti pangan, farmasi, kosmetik, percetakan, dan tekstil. Karagenan memiliki kemampuan untuk membentuk gel secara thermo-reversible (Distantina dkk., 2010). Biasanya digunakan pada produk berbasis susu (dairy product). Standar mutu karagenan menurut Food Chemical Codex (FCC), Food and Drugs Administration (FDA), dan Food and Agriculture Organization (FAO) dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Standar Mutu Karagenan
Spesifiksi FCC FDA FAO
Kadar air(%) Maks.12 Maks.12
Sulfat (%) 18-40 20-40 15-40
Abu (%) Maks.35 - 15-40
Abu tak larut asam (%) Maks.1 - Maks.1
Bahan tak terlarut asam (%) - - Maks.2
Timbal (%) Maks.4 - Maks.10
Viskositas 1,5% sol (cP) Min.5 Min.5 Min.5
Sumber : Skurtys (2010) dalam Susilowati (2018)
Fungsi karagenan dalam berbagai aplikasi sangat bergantung pada sifat reologisnya. Setiap jenis karagenan memiliki sejumlah karakteristik yang unik, termasuk kekuatan gel, viskositas, stabilitas suhu, sinergisme, dan daya larut.
Masing-masing tipe mempunyai sifat yang berbeda. Secara fisika sifat karagenan
meliputi viskositas, kekuatan gel dan rendemen (Peranginangin dkk., 2011).
Viskositas adalah tingkat kekentalan karagenan pada konsentrasi dan suhu tertentu (Wenno, 2009). Menurut Maghfiroh (2016) menyatakan bahwa semakin kecil kandungan sulfat, maka nilai viskositasnya juga semakin kecil, tetapi konsistensi gelnya semakin meningkat, adanya garam-garam yang terlarut dalam karagenan menurunkan muatan sepanjang rantai polimer. Penurunan muatan ini menyebabkan penurunan gaya tolakan (repulsion) antar gugus-gugus sulfat, sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah dan menyebabkan viskositas larutan menurun. Priastami (2011) juga menambahkan bahwa larutan karagenan akan menurun seiring dengan peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan.
Kekuatan gel (gel strength) merupakan parameter utama karagenan, berfungsi untuk mengubah bentuk cair menjadi padat atau mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat irreversible (Wenno, 2009). Kemampuan ini yang menyebabkan karagenan banyak digunakan baik dalam bidang pangan maupun non pangan.
Mekanisme pembentukan gel terdiri dari dua tahap yaitu dimulai dengan perubahan konformasi intramolekuler yang tidak berhubungan dengan ion-ion, kemudian diikuti oleh pembentukan ikatan silang yang tergantung pada adanya ion-ion spesifik (kation) yang menyebabkan struktur gel terbentuk (Maghfiroh, 2016). Menurut Winarno (1990) dalam Susilowati (2018), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.
Struktur kappa dan iota karagenan memungkinkan bagian dari dua molekul masing-masing membentuk double helix yang mengikat rantai molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel. Lamda karagenan tidak mampu membentuk double helix tersebut. Sifat ini dapat terlihat bila larutan dipanaskan kemudian diikuti dengan pendinginan sampai di bawah suhu tertentu, kappa dan iota karagenan akan membentuk gel dalam air yang bersifat reversible yaitu akan mencair kembali pada saat larutan dipanaskan. Proses pemanasan dengan suhu
yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karagenan dalam larutan menjadi acak. Ketika suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan, polimer-polimer ini akan terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang menyebabkan terbentuknya gel yang kuat jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air. Proses melepaskan air ini disebut sineresis (Susilowati, 2018).
2.5 Antioksidan
Senyawa fitokimia adalah komponen alami yang terdapat pada tumbuhan yang memberikan rasa, aroma dan warna yang unik. Sifat tertentu dari komponen ini dapat berperan sebagai antioksidan, memperkuat sistem kekebalan tubuh, mengatur tekanan darah, menurunkan kolesterol, dan mengatur kadar gula darah.
Secara biologis, antioksidan adalah senyawa yang dapat mengimbangi atau mengurangi efek negative dari oksidan. Secara kimiawi, antioksidan adalah senyawa penyumbang elektron (donor elektron). Prinsip kerja antioksidan adalah dengan mendonasikan elektron pada senyawa pengoksidasi, sehingga dapat menghambat aktivitas senyawa pengoksidasi tersebut (Winarti, 2010). Tubuh membutuhkan antioksidan untuk dapat melindungi tubuh dari serangan radikal bebas. Antioksidan dalam jumlah tertentu dapat mengurangi atau memperlambat kerusakan akibat proses oksidasi. Senyawa fenolik memiliki berbagai efek biologis, termasuk agen pereduksi, penangkal radikal bebas, agen pengkelat logam, donor elektron, dan penyerap pembentukan oksigen tunggal. Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa fenolik yang terdapat pada buah dan sayur. Beberapa tahun terakhir, flavonoid dibuktikan memiliki potensi yang cukup besar untuk memerangi penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas (Sayuti dan Yenrina, 2015).
Radikal bebas adalah salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif dan sering disebut sebagai senyawa dengan elektron tidak berpasangan. Menurut Winarti (2010), radikal bebas merupakan atom, molekul atau senyawa independen dengan elektron tidak berpasangan, sehingga sangat reaktif dan tidak stabil. Elektron yang tidak berpasangan selalu berusaha mencari pasangan yang baru, sehingga dapat
dengan mudah bereaksi dengan zat lain di dalam tubuh (protein, lemak atau DNA). Di dalam tubuh manusia mengandung molekul oksigen yang tidak stabil dan yang stabil. Molekul oksigen yang stabil memiliki peran yang sangat penting untuk menjaga kehidupan sel. Radikal bebas dalam jumlah tertentu diperlukan untuk kesehatan namun ketika berlebihan radikal bebas dapat bersifat merusak dan sangat berbahaya. Kerusakan sel akibat radikal bebas disebabkan dengan tiga cara yaitu (Sayuti dan Yenrina, 2015):
1. Peroksidasi komponen lipid dalam membran sel dan sitoplasma, menyebabkan serangkaian asam lemak menurun (autokatalisis), yang merusak membran sel dan organ sel.
2. Kerusakan DNA, Kerusakan DNA ini dapat menyebabkan mutasi DNA bahkan kematian sel.
3. Modifikasi protein teroksidasi karena pembentukan ikatan silang (cross linking) protein, dan dioksidasi melalui mediator thionyl dari asam amino yang tidak stabil (seperti sistein, metionin, lisin dan histidin).
Pembentukan radikal bebas terjadi melalui proses metabolisme seluler normal, defisiensi nutrisi, proses inflamasi, dan respons terhadap radiasi gamma, radiasi ultraviolet (UV), asap rokok, dan proses inflamasi. Winarti (2010) menambahkan bahwa terdapat beberapa factor yang menyebabkan radikal bebas di dalam tubuh antara lain sinar X, asap mobil, bahan kimia dalam makanan (pengawet, pewarna sintetis, residu pestisida dan bahan tambahan makanan lainnya) serta bahan kimia termasuk obat-obatan. Pola makan juga dapat memicu pembentukan radikal bebas. Pada bidang kesehatan dan kecantikan, antioksidan berfungsi untuk mencegah dan menghambat penyakit kanker dan tumor, penyempitan pembuluh darah, penuaan dini, dan lain-lain (Werdhasari, 2014).
Antioksidan memiliki fungsi untuk menghambat reaksi radikal bebas penyebab penyakit kanker, kardiovaskular, dan penuaan. Tubuh manusia membutuhkan antioksidan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem pertahanan antioksidan yang memadai. Oleh karena itu, jika terlalu banyak terpapar radikal bebas, tubuh manusia membutuhkan antioksidan eksternal (Muchtadi, 2013).