• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

23 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Allah SWT menciptakan makhluk-Nya untuk berpasang-pasangan, hidup berdampingan, saling mencintai serta peduli, supaya melanjutkan keturunan mereka. Sebagaimana manusia adalah makhluk sosial yang bermoral, Allah menganugerahkan kepada suami istri makna “hidup berdampingan” dalam perkawinan yang terikat oleh hukum, guna mencari legalitas dan menyertai tanggung jawab. Seorang pria dan wanita yang akan menempuh kehidupan rumah tangga sebagai suami istri memasuki pintu kehidupan yang baru dan membuat keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Menurut literatur fiqh Bahasa Arab perkawinan atau pernikahan terdapat dua kata yaitu nikāh (حاَكِن) dan zawāj (جا َو َز). Kedua kata ini banyak digunakan orang arab dalam kehidupan sehari-hari dan tidak sedikit terdapat dalam Al-Qur’an serta hadits Nabi. Berdasarkan hukum Islam, menjelasakan beberapa definisi, sebagai berikut:1

جاوزلا هعضودقعوهاعرش عراشلا كلمدفيل عاتمتسا لجرلا لحوةأرملاب عاتمتسا لجرلابةأرملا

“Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’

untuk membolehkan bersenang senang antara laki-laki dengan

1 Ghozali, Abdul Rahman, fikqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2010), 7.

(2)

24

perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.”

Definisi menurut Zakariya Al-Anshary yaitu:

حاكنلا وهاعرش دقع نمضتي ئطوةحابا ظفلب حاكنلا هوحنوأ

“Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.”

لصلاا يف عاضبلاا رحتلا مي ىتح ءاج ليلد هلحب هزاوجو

“Pada asalnyanya kemaluan atau bersetubuh itu adalah haram, kecuali terdapat dalil yang menghalalkannya.”

Pengertian di atas merupakan hukum kebolehan pada saat berhubungan antara laki-laki dan wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan.2 Terdapat aspek hukum dalam melakukan perkawinan yakni saling menemukan hak, kewajiban serta bertujuan mengadakan ikatan pergaulan berlandaskan tolong- menolong. Sebab perkawinan tercantum penerapan agama, hingga di dalamnya terdapat tujuan/iktikad mengharapkan keridhaan Allah SWT.

Menurut Bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata

“kawin”, yang berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis dengan berhubungan kelamin atau bersetubuh.3 Arti nikah merupakan akad ataupun jalinan, sebab dalam sesuatu proses perkawinan ada ijab (statment penyerahan dari pihak wanita) serta kabul (penerimaan dari pihak lelaki).

2 Ghozali, Abdul Rahman, fiqh Munakahat, 7.

3 Ibid.

(3)

25

Ada pula bagi syara’: nikah merupakan akad serah terima di antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk memuaskan satu sama lain serta membentuk suatu bahtera rumah tangga yang sakinah dan bermasyarakat dengan sejahtera. Para pakar fikih mengatakan, zawwaj ataupun nikah merupakan akad yang secara totalitas di dalamnya memiliki kata: inkah ataupun tazwij. Demikian selaras dengan ungkapan yang ditulis oleh Zakiyah Darajat serta kawan-kawan yang membagikan definisi pernikahan yaitu sebagai berikut:

ٌ دْقَع ٌ نَّمَضَتَـي ٌَةَحاَبِإ ٌْوَأ ٌ ئْط َو ٌِظْفَلِب ٌِحاَكِ نلا ٌِوَأ ٌِجْيِو ْزَّـتلا اَمهاَنْعَموَأ

“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”4

Berdasarkan undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 tentang perkawinan, menyebutkan perkawinan merupakan ikatan lahir batin di antara laki-laki dan perempuan menjadi suami istri dengan tujuan membina keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Penjelasan di atas menerangkan bahwasannya negeri yang bersumber pada Pancasila di mana sila yang pertamanya yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, hingga pernikahan memiliki ikatan yang erat dengan agama maupun kerohanian, sehingga pernikahan bukan saja memiliki faktor lahir ataupun batin, namun faktor batin ataupun rohani memiliki

4 Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih munakahat: kajian fiqih nikah lengkap (Jakarta: P.T Rajagrafindo persada, 2010), 8.

5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(4)

26

peranan yang berarti. Dalam membina keluarga bahagia dekat hubunganya dengan keturunan, adalah tujuan dari perkawinan, pemeliharaan, serta pembelajaran menjadi hak serta kewajiban orang tua. Jalinan lahir berarti bilamana para pihak yang bersangkutan lantaran perkawinan, secara formil ialah suami istri, baik untuk mereka dalam hubungannya satu sama lain ataupun untuk mereka dalam hubungan masyarakat luas.

Maksud dari ikatan lahir adalah para pihak dalam perkawinan tersebut adalah suami istri yang resmi, baik untuk hubungan sesamanya maupun dengan pergaulan masyarakat yang luas. Ikatan batin dalam pernikahan berarti di dalam hati suami istri terdapat niat yang sungguh- sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, suami istri perlu adanya saling tolong-menolong dan saling melengkapi supaya dapat memainkan kepribadiannya secara penuh serta membantu kesejahteraan keluarga.

2. Hukum Perkawinan

Kebanyakan fuqoha berpandangan hukum perkawinan merupakan sunah namun terdapat pula yang berpandangan kalau hukum perkawinan merupakan kewajiban, sedangkan ulama Malikiyah berpandangan hukum perkawinan itu bisa wajib untuk sebagian orang, sunnah bahkan mubah.6 Buku Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, mengatakan hukum perkawinan bagi orang yang melakukan perkawinan ada lima, yakni wajib, mubah, sunah, haram, serta makruh. Sunnah, untuk orang yang menginginkan dan

6 Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, 16.

(5)

27

mampu dalam hal materi. Wajib untuk orang yang sanggup memberikan nafkah serta dia khawatir hendak tergoda pada perzinahan. Makruh untuk orang yang tidak sanggup membagikan nafkah, serta haram hukumnya untuk orang yang menikah semata-mata menyakiti pasangannya.

Ulama Syafi’iyyah berkata bilamana hukum asal dari perkawinan merupakan mubah, selain itu terdapat yang sunah, wajib, makruh serta haram.7 Terlepas dari pandangan imam-imam mazhab, bersumber pada nash-nash, baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, Islam sangat menyarankan kalangan Muslimin yang sanggup melakukan perkawinan. Tetapi, demikian apabila dilihat dari segi keadaan orang yang melakukan dan tujuan melaksanakannya, hingga melaksanakan perkawinan itu bisa dikenakan hukum wajib, sunah, haram, makruh maupun mubah.8 Berikut ini merupakan hukum dari pernikahan, ialah:

a. Perkawinan Hukumnya Wajib

Untuk orang yang sudah memiliki keinginan dan mampu untuk menikah serta dikhawatirkan hendak tergelincir pada perbuatan zina maka hukum melaksanakan perkawinan untuk orang tersebut merupakan wajib. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran hukum tiap muslim harus melindungi diri buat tidak berbuat yang terlarang. Bila penjagaan diri itu wajib dengan melaksanakan perkawinan maka hukum pelaksanaan perkawinan tersebut sesuai dengan kaidah:

7 Nastangin. “Urgensi Bimbingan Pra Nikah Bagi Calon Pasangan Pengantin Demi Terwujudnya keluarga Sakinah, Mawaddah, Rahmah: Studi Kasus di KUA Salatiga (Salatiga: LP2M.2020), 17”

8 Ghozali, Abdul Rahman, Fikih Munakahat, 18.

(6)

28

ام متيلا ولا بجا هبلاا وهف بجاو

“Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu hukumnya wajib juga.”

Kaidah lain mengatakan:

ولل اس لء مكح اقملا دص

“Sarana itu hukumnya sama dengan hukum yang dituju”

Penafsiran di atas bisa disimpulkan hukum melaksanakan perkawinan untuk orang tersebut ialah hukum sarana setara dengan hukum pokok ialah melindungi diri dari perbuatan maksiat. Tidak hanya itu hukum perkawinan akan menjadi wajib untuk seorang yang mempunyai kemampuan biaya menikah, sanggup menegakkan keadilan dalam pergaulan yang baik dengan istri yang dinikahinya.9

b. Perkawinan Hukumnya Sunah

Orang yang sudah memiliki keinginan serta kemampuan untuk melakukan perkawinan, namun jika tidak menikah tidak dikhawatirkan hendak berbuat zina, hukum melaksanakan perkawinan untuk orang tersebut merupakan sunnah. Penyebab ditetapkannya hukum sunnah yakni dari anjuran Alasan menetapkan hukum sunnah ialah dari anjuran Al-Qur’an dalam surah An-Nur ayat 32:

او حِكْنَا َو ى ٰماَيَ ْلاا

ٌْم كْنِم

ٌَنْي ِحِلّٰصلا َو

ٌْن ِم

ٌْم كِداَبِع

ٌ ْم كِٕىۤاَمِا َو

ٌْنِا ا ْو ن ْو كَّي

ٌَءۤا َرَق ف

ٌ مِهِنْغ ي

ٌ ّٰاللّ

ٌْن ِم هِلْضَف

ٌ ٖ

ٌ ّٰاللّ َو ٌ ٖ

ٌ عِسا َو

ٌ مْيِلَع

9 Muhammad Abdul Aziz dan sayyid Abdul Wahhab, Fikih Munakahat: khitbah, nikah dan talak (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), 7.

(7)

29

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orangyang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu perempuan.”

Ayat tersebut merupakan bentuk perintah, namun berdasarkan qorinah-qorinah yang ada, perintah nabi tidak memfaedahkan hukum

wajib, tetapi hukum sunah saja. 10 c. Perkawinan Hukumnya Haram

Untuk orang yang tidak memiliki kemauan serta tidak mempunyai kemampuan dan tanggung jawab buat melakukan kewajiban dalam rumah tangga apabila melakukan perkawinan akan terlantarlah dirinya serta istrinya, hingga hukum melaksanakan pernikahan untuk orang tersebut merupakan haram. Al- Qur’an surah Al- Baqarah ayat 195 melarang orang melaksanakan perihal yang hendak mendatangkan kehancuran:

ا ْو قِفْنَا َو

ٌْيِف

ٌِلْيِبَس

ٌِّٰاللّ

ٌَلا َو ا ْو قْل ت

ٌْم كْيِدْيَاِب ىَلِا

ٌِةَك لْهَّتلا ا ْو نِسْحَا َو ٌ ٖ

ٌ ٖ

ٌَّنِا

ٌَّٰاللّ

ٌ ب ِح ي

ٌَنْيِنِسْح مْلا

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berbuat baik.”

Sebetulnya keharaman nikah pada keadaan tersebut, dikarenakan menikah disyariatkan dalam Islam buat menggapai kemaslahatan dunia serta akhirat. Hikmah kemaslahatan ini tidak hendak tercapai bila nikah dijadikan fasilitas menggapai bahaya, kehancuran, serta penganiayaan.

Menikah dalam keadaan tersebut harus ditinggalkan serta tidak

10 Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, 20.

(8)

30

memasukinya, dengan maksut melarang perbuatan haram serta inilah alternatif yang sangat utama, ialah harapan meninggalkan pernikahan.

d. Perkawinan Hukumnya Makruh

Untuk orang yang memiliki kemampuan melaksanakan perkawinan dan memiliki kemampuan menahan diri sehingga tidak terjerumus kedalam perbuatan zina sekiranya tidak menikah. Orang tersebut tidak memiliki kemauan yang kokoh supaya dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.

e. Perkawinan Hukumnya Mubah

Untuk orang yang memiliki kemampuan dalam melaksanakannya, namun apabila tidak melaksanakannya tidak takut hendak berbuat zina serta apabila melaksanakannya pula tidak hendak menelantarkan istri. Pernikahan orang tersebut didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan melindungi kehormatan agamanya serta membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini diperuntukan juga untuk orang yang pendorong serta penghambatnya perkawinan itu sama, sehingga memunculkan keraguan orang yang hendak melaksanakan perkawinan, semacam terdapat kemauan namun belum memiliki kemampuan, ada kemampuan untuk melaksanakan namun belum terwujud keinginan yang kokoh.

Pandangan ulama berkata apabila seorang meskipun dalam kondisi normal ataupun tidak hendak melaksanakan perbuatan maksiat zina.

Namun yang menjadikan wajib merupakan penjagaan terhadap dirinya

(9)

31

serta memeliharanya dengan menikah. Perkawinan dituntut dengan tuntutan yang kuat seperti halnya memandang aurat perempuan lain hukumnya haram, sebab terkadang hal tersebut dapat mendatangkan perbuatan-perbuatan zina. Dalam perihal ini hukumnya sama ialah fardhu ataupun wajib.11

Perkawinan yakni jalinan lahir batin antara seseorang laki-laki dengan seseorang perempuan selaku suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia serta kekal bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa.12 Perkawinan merupakan sah apabila dilaksanakan bagi hukum tiap-tiap agamanya serta kepercayaannya tersebut, masing-masing perkawinan dicatat berdasarkan perundang- undangan yang berlaku. Jadi perkawinan tersebut wajib dilakukan dengan syarat agama yang telah diyakini calon pengantin, dan dicatatkan dengan syarat dalam perundang-undangan, apabila menganut agama Islam lembaga yang diberi wewenang untuk mencatat perkawinannya adalah KUA. Sebaliknya untuk non-muslim perkawinannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS). Perihal ini bertujuan supaya pernikahan yang dilaksanakan sah dimata agama serta hukum yang berlaku di Indonesia, apabila terjalin kasus dalam rumah tangga, ataupun putusnya pernikahan tersebut, ada akibat hukum yang mengendalikan serta bisa diajukan ke Majelis hukum.13

11 Muhammad Abdul Aziz dan Sayyed Abdul Wahhab, Fikih Munakahat: khitbah, nikah, dan talak.

12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, pasal 1.

13 Nastangin, “Urgensi Bimbingan Pra Nikah Bagi Calon Pengantin Demi Terwujudnya Keluarga Sakinah, Mawaddah, Rahmah.”19.

(10)

32 3. Rukun dan syarat perkawinan

Rukun serta ketentuan memastikan sesuatu perbuatan hukum, paling utama yang menyangkut dengan sah ataupun tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.14 Rukun, ialah suatu yang mesti terdapat yang memastikan legal ataupun tidaknya sesuatu pekerjaan (ibadah), serta suatu itu tercantum dalam rangkaian pekerjaan itu, ialah terdapatnya calon pengantin pria serta wanita dalam pernikahan. Syarat, ialah suatu yang wajib terpenuhi saat sebelum pernikahan dilaksanakan. Sah, ialah pekerjaan (ibadah) yang penuhi rukun serta syaratnya.

Adapun rukun perkawinan diantaranya adalah:

1. Mempelai laki-laki.

2. Mempelai perempuan.

3. Wali.

4. Dua orang saksi.

5. Ijab qobul.

14 Ibid, 19.

(11)

33

Adapun syarat-syarat perkawinan yaitu sebagai berikut:

Syarat-Syarat Suami

1. Bukan mahram dari calon istri;

2. Tidak terpaksa atas kemauan sendiri;

3. Orangnya tertentu, jelas orangnya;

4. Tidak sedang berihram.

Syarat-Syarat Istri

1. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah.

2. Merdeka, atas kemauan sendiri.

3. Jelas orangnya; dan 4. Tidak sedang berihram.

Syarat-Syarat Wali 1. Laki-laki.

2. Baligh.

3. Waras akalnya.

4. Tidak dipaksa.

5. Adil; dan.

6. Tidak sedang berihram.

(12)

34 Syarat-Syarat Saksi

1. Laki-laki.

2. Baligh.

3. Waras akalnya.

4. Adil.

5. Dapat mendengar dan melihat.

6. Bebas, tidak dipaksa.

7. Tidak sedang mengerjakan ihram; dan

8. Memahami Bahasa yang dipergunakan untuk ijab Kabul.15 4. Tujuan Perkawinan

Adapun tujuan perkawinan ialah sebagai petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera serta bahagia.

Sebaliknya bagi Imam Al- Ghozali tujuan perkawinan adalah:

a. Memperoleh serta melangsungkan generasi.

b. Menjalankan kebutuhan manusia untuk menyelaraskan syahwat serta menumpahkan kasih sayang.

c. Menjalankan panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan serta kehancuran.

d. Meningkatkan intensitas untuk tanggung jawab menerima hak dan kewajiban serta mendapatkan harta kekayaan yang halal.

15 Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih munakahat: kajian fiqih nikah lengkap (Jakarta: P.T Rajagrafindo persada, 2010), 8.

(13)

35

e. Membangun rumah tangga dalam membentuk warga yang tentram atas dasar cinta serta kasih sayang.16

B. Bimbingan Perkawinan

1. Pengertian Bimbingan Perkawian

Bimbingan serta konseling keluarga (perkawinan) merupakan pemberian bimbingan serta upaya mengganti ikatan dalam keluarga dalam menggapai keharmonisan.17 Bimbingan perkawinan Islami merupakan suatu wujud proses bimbingan untuk menolong tiap individu supaya dalam melaksanakan perkawinan serta kehidupan rumah tangga dapat selaras dengan syarat serta petunjuk Allah SWT, sehingga bisa menggapai kebahagiaan hidup di dunia serta akhirat.

Bimbingan merupakan arti dari Bahasa Inggris ialah “Guidance”.

Guidance berasal dari kata “to guidance” yang berarti menampilkan,

membimbing ataupun menuntun orang lain ke jalur yang benar. Year Book Education (1995) mengungkapkan bahwasannya “bimbingan merupakan

proses dorongan terhadap orang supaya memahami diri yang diperlukan dalam melaksanakan penyesuaian diri secara optimal kepada sekolah, keluarga, dan warga”.

Bimbingan (kursus) ialah ilmu pengetahuan tentang suatu keahlian yang yang diberikanidalam waktu pendek. Dalam pasal 26 ayat 5 Undang-

16 Ibid, 8.

17 Ahmad, Zaini. “Memebentuk Keluarga Sakinah Melalui Bimbingan dan Konseling pernikahan”.

Jurnal bimbingan konseling Islam. STAIN Kudus, Vol 6. No. 1. (2015), 94.

(14)

36

Undang Nomor 20 iTahun 2003 mengatakan penafsiran bimbingan dalam perkawinan pengantin dalam kursus serta pelatihan merupakan:

“Kursus serta pelatihan merupakan wujud pembelajaran berkepanjangan demi meningkatkan keahlian partisipan didik dengan penekanan pada kemampuan keahlian, standari kompetisi, pengembangan perilaku kewirausahaan dan pengembangan karakter handal”.18

2. Dasar Hukum Bimbingan Perkawinan

Adapun dasar hukum bimbingan perkawinan yang dilaksanakan melalui Kementerian Agama Kabupaten Madiun adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait Perkawinan

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, terkait Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

c. Keputusan Kementerian Agama No 3 Tahun 1999 terkait Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah.

d. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 terkait Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.

e. Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 terkait Pencatatan Nikah pasal 18 menyatakan bahwa dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum penghulu atau pembantu penghulu meluluskan akad nikah.

Calon suami istri diharuskan mengikuti kursus calon pengantin dari

18 Departemen Pendidikan Nasional, Undang-Undang Sisdiknas No 20/2003, 5.

(15)

37

badan penasehat, pembinaan dan pelestarian perkawinan (BP-4) setempat.

f. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Nomor DJ.II/491 Tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin.

g. Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Nomor DJ.II/542 Tahun 2013 terkait Pedoman Penyelenggaraan Kursus calon pengantin.

h. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Nomor DJ.II/373 Tahun 2017 tentang Juknis Bimbingan Perkawinan Bagi Calon Pengantin.

3. Materi Bimbingan Perkawinan

Materi yang disampaikan dalam kursus calon pengantin merujuk kepada Peraturan Dirjen Bimas Islam tentang kursus calon pengantin No.

DJ.II/ 491 Tahun 2009 yang menyebutkan SUSCATIN diselenggarakan dengan durasi 24 jam pelajaran yang meliputi:19

1. Tata cara dan prosedur perkawinan selama 2 jam.

2. Pengetahuan agama selama 5 jam.

3. Peraturan perundangan di bidang perkawinan dan keluarga selama 4 jam.

4. Hak dan kewajiban suami istri selama 5 jam.

5. Kesehatan reproduksi.

6. Manajemen keluarga selama 3 jam.

19 Ibid.

(16)

38

7. Psikologi perkawinan dan keluarga selama 2 jam.

Meningkatkan kesejahteraan dan kekuatan keluarga, maka diperlukan ilmu pengetahuan tentang berbagai aspek yang menyangkut kehidupan keluarga, baik interaksi pola antar individu dalam keluarga maupun pola interaksi antar keluarga dalam sistem sosial yang lebih besar.

Adapun beberapa pemaparan terkait materi yang disampaikan yaitu:

a. Mempersiapkan Keluarga Sakinah b. Membangun Hubungan dalam Keluarga c. Memenuhi Kebutuhan Keluarga

d. Menjaga Kesehatan Reproduksi e. Mempersiapkan Generasi Berkualitas.

4. Urgensi Bimbingan Perkawinan

Program ini diadakan supaya membagikan bekal kepada calon pengantin terkait pengetahuan berkeluarga serta reproduksi sehat supaya calon pengantin mempunyai kesiapan pengetahuan, raga serta mental dalam merambah jenjang pernikahan demi membentuk keluarga sakinah, mawaddah warahmah, sehingga bisa meminimalisir angka perceraian

serta perselisihan dalam rumah tangga. Perihal tersebut sudah terdapat pada Adz- Dzariyat (51): 55 yang berbunyi:

ٌْرِ كَذ َو

ٌَّنِاَف ى ٰرْكِ ذلا

ٌ عَفْنَت

ٌَنْيِن ِم ْؤ مْلا

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin.”

(17)

39

Allah SWT menarangkan bahwasannya di antara karakteristik orang yang tidak merugi merupakan mereka yang tetap silih menasehati yaitu terdapat dalam Al- Ashr (3): 1-3:

ٌَّنِا ِِۙرْصَعْلا َو

ٌَناَسْنِ ْلاا

ٌْيِفَل

ٌَّلاِا ِۙ رْس خ

ٌَنْيِذَّلا ا ْو نَمٰا او ل ِمَع َو

ٌِت ٰحِلّٰصلا ا ْوَصا َوَت َو

ٌِ قَحْلاِب

ٌِۙە

ا ْوَصا َوَت َو

ٌِرْبَّصلاِب

“Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran”.

Dari uraian di atas bisa kita amati bahwasannya bimbingan pernikahan/perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga, sebab untuk menjalankan sebuah rumah tangga baik istri maupun suami tidak hanya sekedar terikat halal ataupun haram untuk berhubungan intim, akan tetapi membutuhkan ilmu pengetahuan dalam menempuh kehidupan rumah tangga supaya tidak menggampangkan kewajiban serta haknya, dengan terdapatnya pembekalan Binwin ini diharapkan pendamping calon pengantin bisa menguasai serta menempuh kehidupan dalam berkeluarga terkait dengan ilmu pengetahuan yang diberikan pada saat Binwin.

(18)

40 C. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian bagi Bahasa Indonesia berasal dari kata cerai yang berarti perpisahan, Mengenai berpisah (di antara suami serta istri), perpecahan perbuatan menceraikan. Sebaliknya perceraian dalam sebutan pakar fikih diucap talak ataupun furqah. Talak berarti membuka jalinan, membatalkan perjanjian furqah berarti berpisah lawan dari usyrah yang berarti berkumpul. Setelah itu kedua perkataan ini dijadikan sebutan oleh pakar fikih yang berarti perceraian antara suami istri.20

Berdasarkan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam merupakan‚

Perceraian hanya bisa dilakukan di depan persidangan Majelis hukum Agama sesudah Majelis hukum Agama tersebut berupaya serta tidak sukses mendamaikan kedua belah pihak.21

Pada dasarnya hukum talak ataupun perceraian merupakan makruh, tetapi memandang kondisi tertentu dalam suasana tertentu,

sehingga hukum talak itu terdapat empat:

1. Sunah ialah kondisi rumah tangga telah tidak bisa dilanjutkan serta apabila dipertahankan kemudharatan yang lebih banyak menimpa.

2. Mubah ataupun boleh dilakukan apabila perceraian benar-benar diperlukan, dan tidak ada pihak yang dirugikan oleh perceraian tetapi terdapat manfaat, maka diperbolehkan untuk melakukan hal tersebut.

20 Nur, Aida dan Hermanto, Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Di Majelis Agama Islam Petani, Selatan Thailand). UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, 2019.

21 Kompilasi Hukum Islam, Buku I

(19)

41

3. Wajib ialah perceraian yang harus dilakukan oleh hakim pada seseorang yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya untuk jangka waktu tertentu, dan apabila ia (suami) tidak ingin membayar kaffarah supaya dia bisa menggauli istrinya. Tindakan tersebut membuat kemudaratan istrinya.

4. Haram yaitu apabila dilakukan dengan tanpa alasan sebaliknya istri dalam kondisi haid ataupun suci yang dalam masa itu dia sudah digauli.

Perceraian menurut hukum Islam merupakan suatu perbuatan halal yang memiliki prinsip dilarang oleh Allah SWT. Bersumber pada hadis Nabi iMuhammad SAW, yaitu:

اَنَثَّدَح

ٌ ريِثَك

ٌ نْب

ٌْيَب ع

ٌ ي ِصْم ِحْلا ٌ د

،

ٌَلاَق اَنَثَّدَح :

ٌ دَّمَح م

ٌ نْب

ٌ دِلاَخ

ٌْنَع ،

ٌِدْيَب ع

ٌَِّاللّ

ٌِنْب

ٌِديِل َوْلا

ٌِ يِفاَّص َوْلا

ٌْنَع ،

ٌِب ِراَح م

ٌِنْب

ٌ راَثِد

ٌْنَع ،

ٌِدْبَع

ٌَِّاللّ

ٌِنْب

ٌَرَم ع

،

ٌَلاَق

ٌَلاَق :

ٌ لو س َر

ٌَِّاللّ

ىَّلَص

ٌ َّاللّ

ٌِهْيَلَع

ٌَمَّلَس َو

ٌ ضَغْبَأ :

ٌِل َلََحْلا ىَلِإ

ٌَِّاللّ

ٌ ق َلََّطلا

“Telah menceritakan kepada kami katisr bin Ubaid al khimsy, ia berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalib dari Ubaidaallah bin walid al watsofi, dari muharib bin niisar, dari ‘abdullah bin umar, ia berkata rasulluallah SAW bersabda:

sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”

Bersumber pada hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan Oleh Ibn Majah hadist ke 2018, Juz 3, taman 426, menyampaikan bahwasannya apabila hubungan perkawinan tidak dapat dijaga keutuhan dan kesinambungannya maka perceraian adalah pilihan terakhir yang dapat dilalui oleh suami istri. Pilihan lain terakhir adalah bahwa melalui Langkah-langkah dan metode yang diajarkan oleh para hakim (arbiter) kedua belah pihak atau Al-Qur’an dan sunnah, berbagai metiode dan

(20)

42

metode telah ditempuh untuk mencari kedamaian diantara kedua belah pihak. Terdapat dalam Al-Qur’an yang membahas terkait perceraian.

Diantaranya, kitab suci yang menjadi dasar hukum perceraian adalah firman Allah SWT:

ٌْنِاَف

ٌِٖ

اَهَقَّلَط

ٌَلََف

ٌ ل ِحَت هَل

ٌ ْن ِم ٌ ٖ

ٌ دْعَب ىّٰتَح

ٌَحِكْنَت اًج ْو َز ه َرْيَغ

ٌ ٖ

ٌ ٖ

ٌِاَف اَهَقَّلَط ٌْن

ٌَلََف

ٌَحاَن ج

ٌ اَمِهْيَلَع

ٌْنَا

ٌ اَعَجا َرَتَّي

ٌْنِا

ٌ اَّنَظ

ٌْنَا اَمْيِق ي

ٌَد ْو د ح

ٌِّٰاللّ

ٌَكْلِت َو ٌ ٖ

ٌ د ْو د ح

ٌِّٰاللّ

اَه نِ يَب ي

ٌ م ْوَقِل

ٌَن ْو مَلْعَّي

"Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum- hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui". (Q.S. Al-Baqarah ayat 230)

2. Rukun dan Syarat Talak (Perceraian)

Rukun talak yaitu faktor pokok yang wajib terdapat dalam talak serta terwujudnya talak tergantung terdapat kelengkapanya unsur-unsur diartikan. Rukun talak terdapat empat, ialah:

1. Suami.

Suami mempunyai hak talak serta yang berhak menjatuhkannya, tidak hanya suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh sebab itu talak bertabiat melenyapkan jalinan pernikahan, hingga talak tidak bisa terwujud kecuali sehabis terdapatnya akad pernikahan yang sah.

(21)

43 2. Istri

Setiap suami berhak menceraian istrinya, istri yang diceraikan oleh suaminya mensyaratkan bahwa peran istri yang diceraikan harus didasarkan pada akad nikah yang sah, dan istri masih dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri dalam masa iddah talak raj’i dari suami menurut hukum Islam masih dianggap dalam perlindungan kekuasaan suami, sehingga apabila suami menceraikan lagi pada waktu itu, maka talak tersebut dianggap gugur, sehingga itu meningkatkan jumlah perceraian yang diturunkan dan menurunkan hak talak yang dimiliki oleh suami.

3. Sighat Talak

Sighat talak adalah kata cerai yang diucapkan oleh suami kepada istrinya, baik itu sarih (jelas) atau kinayah (sindirian) disampaikan kepada suami yang diam dalam bentuk tulisan, syarat, syarat dan gerak tubuh.

4. Qashdu (Kesengajaan)

Maksudnya apabila dengan perkataan talak itu memanglah dimaksudkan oleh yang mengucapkannya buat talak, bukan buat ktikad lain. Dalam ilmu fikih buat sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:

a. Berakal, suami yang memiliki gangguan kejiwaan tidak berhak menjatuhkan talak.

(22)

44

b. Baligh, tidak ditatap jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum berusia.

c. Atas kemauannya sendiri, dimaksudkan perihal ini yakni terdapatnya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak serta dicoba atas opsi sendiri, bukan sebab dituntut orang lain.

3. Sebab-Sebab Perceraian

Perceraian bisa terjalin sebab pemicu yang bermacam-macam, di antara lain merupakan sebagaimana yang dipaparkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 disebutkan terdapat 3 perihal yang jadi karena putusnya pernikahan, ialah:22

5. Kematian

Salah satu penyebab kematian sebagai putusnya perkawinan adalah apabila salah satu pihak, yaitu suami atau istri meninggal dunia, maka perkawinan tersebut dengan sendirinya akan berpisah. Jika seorang suami atau istri yang masih hidup ingin menikah lagi sampai mereka dapat menikah lagi, selama mereka memenuhi semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam.

6. Perceraian sebagaimana ketentuan dari Undang-Undang Perkawinan pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwasannya “perceraian dilakukan di depan persidangan majelis hukum sehabis majelis hukum yang bersangkutan berupaya serta tidak sukses mendamaikan kedua belah pihak” (Undang- Undang iNomor 1 iTahun 1974 Pasal 39 ayat 1).

22 Ibid.

(23)

45 7. Putusan Pengadilan

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39 dinyatakan bahwasannya: Perceraian dapat dilaksanakan di depan persidangan majelis hukum, sehabis majelis hukum yang bersangkutan berupaya serta tidak sukses mendamaikan kedua belah pihak.

b. Pelaksanakan perceraian wajib terdapat berbagai alasan, apabila antara suami istri tidak hendak bisa hidup rukun selaku suami istri.

c. Metode perceraian di depan persidangan majelis hukum diatur dalam peraturan perundangan-undangan tertentu.

Berkaitan dengan pasal di atas hingga berikutnya dipaparkan pemicu terbentuknya perceraian ialah pada Putusan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 dinyatakan perceraian bisa terjalin sebab alasan-alasan berikut:23

a. Salah satu pihak berbuat zina ataupun jadi pemandat, penjudi, pemabuk serta lain sebagainya yang sukar dipulihkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain sepanjang 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain serta tanpai alibi yang sah ataupun sebab perihal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak memperoleh hukuman penjara 5 (lima) tahun ataupun hukuman yang lebih berat setelah pernikahan berlangsung.

23 Putusan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. pasal 19.

(24)

46

d. Salah satu pihak melaksanakan kekejaman ataupun penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak menemukan cacat tubuh ataupun penyakit dengan akibat tidak bisa melaksanakan kewajibannya selaku suami istri.

D. Implikasi Perceraian

Perceraian tidaklah jalur keluar yang baik buat untuk permasalahan rumah tangga. Sebab bukan cuma suami istri yang menanggung sakit lahir maupun batin. Namun anak-anak dari hasil perkawinan tersebut. Keluarga sangat berarti untuk kehidupan anak, oleh karena itu bapak ataupun ibu tidaklah menjadikan perceraian jalur yang terbaik buat penyelesaian permasalahan pernikahan. Sebab perceraian ialah perihal yang sangat membuat menderita dan luka khususnya menyangkut psikologis anak.

Butuh kita fahami bahwa perceraian ialah suatu alternatif akhir dalam menggapai pemecahan supaya kita tidak tersesat dalam memahaminya. Sebab realitas yang ada dalam masyarakat memanglah memunculkan kecemasan atas nasib kanak-kanak serta keluarga yang berpisah. Undang- Undang No 1 Tahun 1974 pasal 41 tentang Pernikahan mengatakan bahwassannya akibat dari putusnya sesuatu pernikahan sebab perceraian ialah:

a. Baik ibu ataupun ayah senantiasa berkewajiban memelihara serta mendidik anak-anaknya, sekedar bersumber pada kepentingan anak, bilamana terdapat perselisihan menimpa kemampuan kanak- kanak, majelis hukum berikan keputusannya.

(25)

47

b. Ayah yang bertanggungjawab atas seluruh bayaran pemeliharaan serta pembelajaran yang dibutuhkan anak itu, bilamana ayah dalam realitasnya tidak bisa berikan kewajiban tersebut majelis hukum bisa memastikan kalau bunda turut memikul bayaran tersebut.

c. Majelis hukum bisa mengharuskan kepada sisa suami buat membagikan bayaran penghidupan serta ataupun memastikan suatu kewajiban untuk sisa istri.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan menyebutkan akibat dari hukum perceraian antara lain sebagai berikut:

1. Terhadap Anak

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan walaupun sudah terjalin perceraian, bukan berarti kewajiban suami istri selaku ayah serta ibu terhadap anak hendak berakhir. Bagi suami yang menjatuhkan talak pada istrinya harus membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu membelikan keperluan belanja untuk memelihara serta keperluan pembelajaran anak- anaknya, selaras dengan peran suami. Kewajiban memberikan nafkah anak wajib selalu dilaksanakan hingga anak-anak tersebut baliqh serta berakal dan memiliki pemasukan sendiri. Baik sisa suami ataupun sisa istri senantiasa berkewajiban memelihara serta mendidik anak-anaknya bersumber pada kepentingan anak. Suami serta istri bersama bertanggungjawab atas seluruh bayaran pemeliharaan serta pembelajaran anak-anaknya. Apabila suami tidak sanggup, hingga majelis hukum bisa menetapkan bahwasannya ibu yang memikul bayaran anak-anak.

(26)

48

Berdasarkan pasal 105 serta pasal 106 Instruksi Presiden RI No 1 tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Islam dipaparkan bahwa terbentuknya perceraian merupakan:

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam

1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz ataupun belum berusia 12 tahun merupakan hak ibunya.

2) Pemeliharaan anak yang telah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara bapak ataupun ibunya selaku pemegang hak pemeliharaannya.

3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh bapaknya.

Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam

1) Orang tua berkewajiban menjaga serta meningkatkan harta anaknya yang belum berusia ataupun di dasar pengampuan, serta tidak diperbolehkan memindahkan ataupun menggadaikannya kecuali sebab keperluan yang menekan bila kepentingan serta kemaslahatan anak itu menghendaki ataupun sesuatu realitas yang tidak bisa dihindarkan lagi.

2) Orang tua bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan sebab kesalahan serta kelalaian dari kewajiban yang tersebut pada Ayat (1).

2. Terhadap Harta Bersama

Pasal 1 butir f Kompilasi Hukum Islam menarangkan bahwasannya yang diartikan dengan Harta kekayaan dalam pernikahan ataupun syirkah merupakan harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri ataupun bersama suami istri sepanjang dalam jalinan pernikahan berlangsung serta berikutnya

(27)

49

diucap harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa juga.

Menimpa pengaturan tentang harta kekayaan dalam pernikahan secara tegas diatur dalam Pasal 85 hingga dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam selaku berikut:24

Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam

Terdapatnya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan terdapatnya harta kepunyaan tiap-tiap suami ataupun istri.

Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam:

1) Pada dasarnya tidak terdapat percampuran antara harta suami serta harta istri sebab pernikahan.

2) Harta istri senantiasa jadi hak isteri serta dipahami penuh olehnya, demikian pula harta suami senantiasa jadi hak suami serta dipahami penuh olehnya.

Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam

1) Harta bawaan dari tiap-tiap suami serta istri serta harta yang diperoleh tiap-tiap selaku hadiah ataupun peninggalan merupakan di dasar kemampuan tiap-tiap, sejauh para pihak tidak memastikan lain dalam perjanjian pernikahan.

2) Suami serta istri memiliki hak seluruhnya buat melaksanakan perbuatan hukum atas harta tiap-tiap berbentuk hibah, hadiah, sedekah, ataupun yang lain.

24 Kompilasi Hukum Islam, Buku I, Pasal 85-87.

(28)

50 3. Terhadap Nafkah

Pendapat masyarakat yang beranggapan bahwa sampai saat ini pengeluaran suami bukan lagi menjadi tanggungjawab suami atas pengeluaran istri yang diceraikan oleh suami, apalagi dalam hal perceraian, yang bersalah adalah istri. Namun jika istri tidak bersalah, selama masih dalam masa iddah kurang lebih 90 (sembilan puluh) hari, maka jumlah paling tinggi yang dapat diterimanya dari segi biaya hidup adalah biaya hidup. Namun selesai masa iddah, suami tidak lagi membiayai mantan istri. Apalagi setelah masa iddah,

jika mantan istri masih tinggal di rumah yang disediakan oleh suami, dia harus meninggalkan rumah suami. Oleh karena itu, terlepas dari apakah seorang wanita masih dalam masa iddah nya atau masa iddah nya telah berakhir, selagi dia tidak bersalah pada saat perceraian, maka dia berhak atas biaya hidup.

Ketentuan ini dapat dilakukan secara damai dengan persetujuan mantan suami dan besarnya biaya hidup, atau dapat juga secara bersahabat jika mantan suami tidak memberikan biaya hidup secara sukarela. Pasal 41C "UU Perkawinan

"mengatur kemungkinan pembiayaan setelah perceraian, dan isinya adalah bahwa "Pengadilan bisa menginstruksikan mantan suami supaya menyediakan biaya hidup dan memastikan kewajiban mantan istri"

Referensi

Dokumen terkait

Juga disebutkan dalam Kisah Para Rasul 22:3 "Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti

(3) rata-rata persentase jumlah siswa yang melakukan aktivitas yang diharapkan mencapai 100% dan hal ini berarti aktivitas siswa telah mencapai kriteria aktif (4) angket respon

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan menguji kembali pengaruh tax planning, tunneling incentive, intangible assets, leverage, dan profitabilitas terhadap keputusan

Berdasarkan hasil pelatihan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Guru SD Se Kecamatan Gunungpati telah mampu membuat rancangan pokok po-

Untuk dapat meraih prestasi tersebut, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk berusaha memberikan hasil terbaik dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada,

Secara teknis, pengunaan faktor produksi benih, pupuk kandang, pupuk NPK dan tenaga kerja sudah efisien, sedangkan penggunaan faktor produksi lahan belum efisien

Jika suatu produk dibeli dengan percobaan ternyata memuaskan atau lebih memuaskan dari merek sebelumnya, maka konsumen berkeinginan untuk membeli ulang, tipe pembelian semacam ini

PT. Semen Tonasa Kabupaten Pangkep, dalam menjalankan kegiatan produksi semen selama ini maka perusahaan menggunakan anggaran statis sebagai alat pengendalian