• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SIFAT SUPERKONDUKTOR Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ DENGAN PENAMBAHAN DOPAN Al2O3 DAN MgO MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS SIFAT SUPERKONDUKTOR Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ DENGAN PENAMBAHAN DOPAN Al2O3 DAN MgO MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL TESIS"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SIFAT SUPERKONDUKTOR

Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ

DENGAN PENAMBAHAN DOPAN Al

2

O

3

DAN MgO MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL

TESIS

EKA FEBY RONAULI LUBIS 187026005

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Fisika pada Program Pascasarjana

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

EKA FEBY RONAULI LUBIS 187026005

PROGRAM STUDI MAGISTER FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(3)

PERNYATAAN ORSINALITAS

ANALISIS SIFAT SUPERKONDUKTOR Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ DENGAN PENAMBAHAN DOPAN Al2O3 DAN MgO

MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL

TESIS

Saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2021

Eka Feby Ronauli Lubis NIM. 187026005

(4)

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Eka Feby Ronauli Lubis

NIM : 187026005

Program Studi : Magister Fisika Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul :

ANALISIS SIFAT SUPERKONDUKTOR Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ DENGAN PENAMBAHAN DOPAN Al2O3 DAN MgO MENGGUNAKAN METODE SOL- GEL

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihkan media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, Juli 2021

Eka Feby Ronauli Lubis NIM. 187026005

(5)

Telah diuji pada Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Syahrul Humaidi, M.Sc

Anggota :1. Dr. Nono Darsono, M.Eng 2. Dr. Kurnia Sembiring, M.S 3. Prof. Dr. Zuriah Sitorus, M.S

(6)

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Eka Feby Ronauli Lubis S.Pd Tempat dan Tanggal Lahir : Banda Aceh, 5 Februari 1996

Alamat rumah : Jl. Murai Komp.Perumahan Pemda Kec. Stabat, Kab.langkat

Email : ekafebby8@gmail.com

No. Hp : 0822-7755-8729

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Swasta Samanhudi Tamat: 2007

SMP : SMP Negeri 2 Tanjung Pura Tamat: 2010

SMA : SMA Negeri 1 Stabat Tamat: 2013

Strata-1 : Universitas Negeri Medan Tamat: 2017

(7)

i

ANALISIS SIFAT SUPERKONDUKTOR Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ DENGAN PENAMBAHAN DOPAN Al2O3 DAN MgO

MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan dopan Al2O3 dan MgO terhadap suhu kritis superkonduktor Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ. Sampel BPSCCO dipreparasi dengan metode sol-gel dengan menggunakan bubuk yang berbasis nitrat dan kemudian diberikan penambahan nanopartikel Magnesium Oxide dan Aluminium Oxide. Proses sintering sampel dilakukan di dalam tungku pada suhu konstan 840 °C selama 60 jam. Pengamatan struktur fase dan Morfologi dilakukan masing-masing dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscope (SEM). Penentuan nilai suhu onset kritis (Tc-onset), dan suhu offset kritis (Tc-offset) menggunakan cryogenic magnet. Berdasarkan hasil karakterisasi XRD, fasa Bi-2212 masih dominan untuk semua sampel. Hasil karakterisasi SEM menunjukkan bahwa morfologi superkonduktor BPSCCO yang dihasilkan berbentuk lempengan yang berlapis. Berdasarkan hasil analisa hasil uji resistivity nilai Tc-onset terbaik ditemukan pada sampel tanpa penambahan yaitu sebesar 119.16 K dan Tc-offset 110.75 K.

Kata Kunci : BPSCCO, Sol-gel, Al2O3, MgO, Critical temperature

(8)

ANALYSIS OF SUPERCONDUCTOR PROPERTIES Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ

WITH ADDITION OF DOPANTS Al2O3 AND MgO USING THE SOL-GEL METHOD

ABSTRACT

This study aims to observe the effect of adding dopant Al2O3 and MgO to the critical temperature of superconductors Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ. The BPSCCO sample was prepared by the sol-gel method using a nitrate-based powder and then added with Magnesium Oxide and Aluminum Oxide nanoparticles. The sample sintering process was carried out in a furnace at a 840 °C for 60 hours. Phase structure and morphology was examined by X-Ray Diffraction (XRD) and Scanning Electron Microscope (SEM). Value determination of critical onset temperature (Tc-onset), and critical offset temperature (Tc-offset) using cryogenic magnets. XRD characterization showed, the Bi- 2212 phase was still dominant for all samples. The results of SEM characterization showed that the morphology of the BPSCCO superconductor was in the form of a layered plate. Based on the analysis of the resistivity result, the best Tc-onset value was found in the sample without addition, which was 119.16 K dan Tc-offset 110.75 K

Keyword : BPSCCO, Sol-gel, Al2O3, MgO, Critical temperature

(9)

iii PRAKATA

Bismillahirrohmanirrohim

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta'ala yang telah memberikan keberkahan-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat

diselesaikan dengan baik.

Teristimewa kepada kedua orang tuaku Ayah Zainuddin Lubis dan Ibunda Haira Salmah Aritonang untuk dukungan dan kasih sayangnya.

(10)

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada

1. Universitas Sumatera Utara, terkhusus Program Studi Magister (S2) Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

2. Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong, Tangerang Selatan

3. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara – Medan

4. Dr. Nursahara pasaribu, M.Sc, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara – Medan

5. Bapak Dr. Kurnia Sembiring, M.S dan Bapak Bapak Dr. Kerista Tarigan M.Eng.Sc selaku ketua dan wakil ketua Program Studi Magister (S2) Fisika 6. Bapak Dr. Syahrul Humaidi M.Sc, sebagai dosen pembimbing I dan Bapak Dr.

Nono Darsono, M.Eng selaku dosen pembimbing II dari Pusat Penelitian Metalurgi dan Material – LIPI yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam penulisan tesis ini.

7. Bapak Dr. Kurnia Sembiring, M.S, Bapak Dr. Kerista Tarigan M.Eng.Sc, dan Ibu Prof. Dr. Zuriah Sitorus, M.S. selaku dosen pembanding I,II dan III yang telah memberikan masukan dan saran-saran dalam penyusunan tesis ini.

8. Bapak Dr. Sigit Dwi Yudanto, S.T., M.Si yang telah membimbing penulis selama di laboratorium dan membantu penulis dalam menganalisis data hasil pengujian serta Bapak Septian Adi Chandra S.T yang telah membantu penulis dalam proses pengujian dan pemrosesan di laboratorium.

9. Teman fisika S2 Dini Rizqi Dwi Kunti Siregar S.Si., M.Si atas kesediaan waktu dan ilmu yang dibagikan kepada penulis, serta teman fisika S2 lainnya.

10. Saudara kandung penulis, M.Naufal Mubarak Lubis untuk dukungan kepada penulis

Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan masukan pembaca demi sangat diharapkan.

Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembanganilmu pengetahuan di Indonesia

Medan, Juli 2021

Eka Feby Ronauli Lubis NIM. 187026005

(11)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

PRAKATA iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR SINGKATAN xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

BAB I 1

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar belakang 1

1.2 Rumusan masalah 3

1.3 Tujuan penelitian 3

1.4 Batasan masalah 3

1.5 Hipotesis 3

1.6 Manfaat penelitian 4

BAB II 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Teori superkonduktor 5

2.2 Sifat dan karakteristik superkonduktor 6

2.2.1 Superkonduktivitas 7

2.2.2 Sifat kelistrikan superkonduktor 8

2.2.3 Sifat kemagnetan superkonduktor 9

2.3 Tipe-tipe superkonduktor 11

2.3.1 Tipe superkonduktor berdasarkan medan magnet kritis 11 2.3.2 Tipe superkonduktor berdasarkan suhu kritis 12

2.4 Superkonduktor BSCCO ( Bi-Sr-Ca-CuO) 13

2.4.1 Struktur kristal 13

2.4.2 Fasa BSCCO 15

2.5 Penambahan dopan pada superkonduktor BPSCCO 16

2.5.1 Dopan Pb (Timbal) 16

2.5.2 Dopan MgO (Magnesium Oxide) 16

2.5.3 Dopan Al2O3 (Alumunium Oxide) 17

(12)

2.6 Metode sol-gel 17

2.7 Karakterisasi superkonduktor BPSCCO 18

2.7.1 X-Ray Diffraction (XRD) 18

2.7.2 Pengujian Scanning Electron Microscope (SEM) 20

2.7.3 Pengujian Cryogenic Magnet 22

BAB III 25

METODE PENELITIAN 25

3.1 Tempat dan waktu penelitian 25

3.2 Bahan dan alat penelitian 25

3.2.1 Bahan penelitian 25

3.2.2 Alat penelitian 26

3.3 Prosedur penelitian 27

3.3.1 Penimbangan sampel Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+ tanpa penambahan dan

penambahan Al2O3 dan MgO 27

3.3.2 Proses pembuatan sol-gel 28

3.3.3 Kalsinasi I 28

3.3.4 Kalsinasi II 29

3.3.5 Kompaksi 29

3.3.6 Sintering 29

3.4 Karakterisasi 29

3.5 Teknik analisa data 30

3.5.1 Pengujian XRD 30

3.5.2 Pengujian SEM-EDX 30

3.5.3 Pengujian Cryogenic Magnet 30

3.6 Diagram alir 31

BAB IV 32

HASIL DAN PEMBAHASAN 32

4.1 Analisa fasa sampel BPSCCO tanpa penambahan dan penambahan Al2O3

dan MgO 32

4.1.1 Sampel BPSCCO tanpa penambahan yang di sintesis menggunakan

metode sol-gel 32

4.1.2 Sampel penambahan Al2O3 pada superkonduktor BPSCCO 33 4.1.3 Sampel penambahan MgO pada superkonduktor BPSCCO 35 4.2 Pengamatan morfologi mikrostruktur sampel superkonduktor BPSCCO tanpa penambahan dan penambahan Al2O3 dan MgO 38

4.2.1 Sampel BPSCCO tanpa penambahan yang di sintesis menggunakan

(13)

vii

4.2.2 Sampel penambahan Al2O3 pada superkonduktor BPSCCO 40 4.2.3 Sampel penambahan MgO pada superkonduktor BPSCCO 41 4.3 Analisa uji resistivity sampel BPSCCO tanpa penambahan dan penambahan

Al2O3 dan MgO 42

4.3.1 Sampel BPSCCO tanpa penambahan yang di sintesis menggunakan

metode sol-gel 42

4.3.2 Sampel penambahan Al2O3 pada superkonduktor BPSCCO 43 4.3.3 Sampel penambahan MgOpada superkonduktor BPSCCO 45

BAB V 48

PENUTUP 48

5.1 Kesimpulan 48

5.2 Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49

(14)

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 2.1 Evolusi suhu kritis (Tc) superkonduktor (Matsumoto, 2010) 6 Gambar 2.2 Interpedensi dari suhu (T), medan magnet (B), dan kerapatan arus listrik (J). 7 Gambar 2.3 Grafik suhu kritis onset (Tconset) dan suhu kritis zero (TcZero) (Wang, 2012) 8 Gambar 2.4 Ilustrasi pasangan cooper bergerak melalui kisi (Flukiger, 2012) 9 Gambar 2.5 Ilustrasi pasangan cooper melalui interaksi phonon (Flukiger, 2012) 9

Gambar 2.6 Efek Meissner 10

Gambar 2.7 Superkonduktor mengalami levitasi (Huebener, 2015) 10 Gambar 2.8 Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal superkonduktor: (a) tipe I (b)

tipe II 12

Gambar 2.9 Struktur kristal superkonduktor BSCCO pada fase Bi-2201, Bi-2212 dan Bi-

2223 (Lehndroff,2001) 14

Gambar 2.10 Diagram fase superkonduktor BPSCCO (Lehndroff,2001) 15 Gambar 2.11 Difraksi sinar X oleh atom-atom pada bidang (Ismunandar, 2006) 19

Gambar 2.12 Gerakan elektron pada SEM 21

Gambar 2.13 Peralatan cryogenic magnet "Teslatron PT" buatan oxford (Imaduddin,

dkk.2015) 24

Gambar 3. 1 Diagram alir proses pembuatan superkonduktor dengan metode sol-gel dengan

penambahan Al2O3 dan MgO 31

Gambar 4.1 Pola difraksi sampel BPSCCO tanpa penambahan 32 Gambar 4.2 pola difraksi sampel BPSCCO tanpa penambahan (a) penambahan 0.3 wt %

Al2O3 (b) penambahan 1 wt % Al2O3 (c). 34

Gambar 4.3 pola difraksi sampel BPSCCO tanpa penambahan (a) penambahan 0.3 wt %

MgO (b) penambahan 1 wt % MgO (c) 36

Gambar 4.4 Pola difraksi sinar X pada puncak tertinggi Bi-2223 (a) dan Bi-2212 (b) untuk

seluruh sampel 37

Gambar 4.5 Morfologi sampel untuk BPSCCO tanpa penambahan perbesaran 5000 (a),

perbesaran 20000 (b) 39

Gambar 4.6 Morfologi sampel untuk BPSCCO tanpa penambahan (a), penambahan 0.3 wt%

Al2O3 (b) penambahan 1 wt% Al2O3 (c) 40

Gambar 4.7 Morfologi sampel untuk BPSCCO tanpa penambahan (a), penambahan 0.3 wt%

MgO (b) penambahan 1 wt% MgO (c) 41

Gambar 4.8 Hubungan antara resistivity terhadap suhu sampel BPSCCO tanpa penambahan

(15)

ix

Gambar 4.9 Hubungan antara resistivity terhadap perubahan suhu sampel BPSCCO tanpa penambahan (a), penambahan 0.3 wt% Al2O3 (b) penambahan 1 wt% Al2O3 (c) 44 Gambar 4.10 Hubungan antara resistivity terhadap suhu sampel BPSCCO tanpa penambahan (a), penambahan 0.3 wt% MgO (b) penambahan 1 wt% MgO (c) 46

(16)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 3.1 Bahan Penelitian 25

Tabel 3.2 Alat Penelitian 26

Tabel 3.3 Massa tiap perkursor 27

Tabel 3.4 Massa tiap perkursor penambahan Al2O3 dan MgO 28 Tabel 4.1 Nilai fraksi volume untuk sampel BPSCCO tanpa penambahan 33 Tabel 4.2 Nilai fraksi volume untuk sampel BPSCCO tanpa penambahan (B60), penambahan 0.3 wt % Al2O3 (BAl1), penambahan 1 wt% Al2O3 (BAl2) 35 Tabel 4.3 Nilai fraksi volume untuk sampel BPSCCO tanpa penambahan (B60), penambahan

0.3 wt % MgO (BMg1), penambahan 1 wt% MgO (BMg2) 37

Tabel 4.4 Nilai ukuran kristal dari sampel BPSCCO tanpa penambahan dan penambahan

Al2O3 dan MgO 38

Tabel 4.5 Nilai Tc-onset, Tc-offset dan ∆𝑇𝑐 untuk semua sampel 47 Tabel 4.6 Rangkuman hasil keseluruhan sampel superkonduktor BPSCCO tanpa

penambahan dan penambahan Al2O3 dan MgO 47

(17)

xi

DAFTAR SINGKATAN

BSCCO = Bi, Sr, Ca, Cu, O BPSCCO = Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O+

Al2O3 = Alumunium Oxide MgO = Magnesium Oxide

HTS = High Temperature Superconductor LTS = Low Temperature Superconductor Tc = Critical Temperature

Jc = Kerapatan Arus Kritis Hc = Medan Magnet Kritis FWHM = Full With Half Maximum SEM = Scanning Electron Microscopy EDS = Energy Dispersive Spectroscopy XRD = X-Ray Diffraction

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal Lampiran 1 Perhitungan Bahan Baku yang Digunakan 51 Lampiran 2 Perhitungan Fraksi Volume Bi-2223 dan Bi-2212 untuk semua 57

sampel

Lampiran 3 Perhitungan ukuran kristal dengan metode Debye Scherrer 59 Lampiran 4 Nilai Intensitas dan FWHM hasil uji XRD 67

Lampiran 5 Hasil SEM-EDS 73

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kebutuhan akan material yang memiliki sifat dan kemampuan menghantarkan listrik dengan tanpa kehilangan energi saat ini masih menjadi bidang telitian yang menarik perhatian para peneliti material di seluruh dunia. Terlebih saat ini, teknologi yang menuntut adanya efisiensi energi yang optimal menjadi sangat diperlukan untuk jadi alasan mengapa material ini penting untuk diteliti. Beberapa dekade terakhir, salah satu bahan keramik superkonduktor dari keluarga cupprate yakni BSCCO (Bi-Sr-Ca- CuO) masih memiliki daya tarik untuk diteliti secara ekstensif dikarenakan pengaplikasiannya dalam bidang teknologi dan industri.

Beberapa penelitian mengenai aspek sifat superkonduktivitas bahan berbasis bismuth ini menghasilkan kemajuan yang cukup besar dalam proses fabrikasi bahan- bahan tersebut. Sistem BSCCO merupakan salah satu High Temperature Superconductor (HTS) yang memiliki nilai suhu kritis (Tc), kepadatan arus kritis (Jc) dan daya dukung medan magnet yang tinggi (Özçelik et al., 2015). BSCCO diidentifikasi memiliki tiga fase utama yakni fase 2201(Tc ~ 10 K), 2212 (Tc ~ 80K) dan fase 2223 (Tc ~ 110K) ((Mohammed et al., 2012). Di antara fase-fase tersebut, Bi- 2223 adalah fase yang paling menjanjikan untuk pemrosesan tapes dan wires untuk aplikasi skala besar (Türk et al., 2014). Di sisi lain, permasalahan utama dalam penelitian superkonduktor BSCCO sampai saat ini adalah bagaimana menemukan bahan superkonduktor untuk membentuk fase tunggal Bi-2223 yang menghasilkan sifat superkonduktivitas yang baik (Zhao et al., 2019). Beragam upaya telah dilakukan untuk meningkatkan hal-hal tersebut salah satunya dengan substitusi bahan Pb kedalam superkonduktor BSCCO. Hasil laporan investigasi substitusi bahan Pb ke dalam superkonduktor BSCCO ialah terjadinya peningkatan nilai suhu kritis dan pembentukan fasa Bi-2223 (Qureshi et al., 2008)(Roumié et al., 2014).

Sifat superkonduktor dari bahan berbasis bismuth ini sangat bergantung pada beberapa variabel seperti metode preparasi, perlakuan panas selama proses sintesis, dan perhitungan komposisi yang tepat untuk peningkatan nilai suhu

(20)

superkonduktivitas bahan dan pembentukan fasa Bi-2223 (Fallah-Arani, 2018).

Variabel Parameter ini masih perlu dioptimalkan untuk meningkatkan reproduktifitas superkonduktor berbasis bismuth ini.

Salah satu metode preparasi yangpaling umum digunakan untuk menghasilkan superkonduktor berbasis keramik adalah metode solid state reaction karena proses preparasinya yang sederhana (Ghazanfari et al., 2007). Namun, metode tersebut masih memiliki kelemahan seperti homogenitas yang dihasilkan lebih rendah dan waktu perlakuan panas yang lama (Li et al., 2012). Metode preparasi lain yang memungkinkan untuk proses sintesis superkonduktor BPSCCO ialah dengan metode preparasi sol-gel (Arshad et al., 2007)(Darsono, 2016). Berdasarkan laporan penelitian sebelumnya metode sol-gel memiliki beberapa keuntungan diantaranya ukuran butir yang seragam, lebih homogen dan memiliki kemurnian yang tinggi (Raju & Yoon, 2014).

Selain itu, diperlukan material lain guna memperbaiki sifat konduktivitas superkonduktor BPSCCO. Salah satu upaya yang diharapkan mampu memperbaiki sifat superkonduktivitas bahan ialah pendopingan bahan dengan senyawa nanopartikel. Pendopingan senyawa nanopartikel dipilih berdasarkan sifat senyawa nanopartikel lebih mudah terjadi interaksi dengan butiran superkonduktor dikarenakan ukurannya yang nano (Çördük, 2017). Hal tersebut didukung berdasarkan beberapa hasil laporan penelitian sebelumnya melalui pendopingan senyawa nanopartikel Al2O3, dan MgO ke dalam superkoduktor BPSCCO. Pendopingan senyawa Al2O3

dinilai mampu meningkatkan nilai arus kritis (Jc) dan transformasi fasa Bi-2223 (Aftabi & Mozaffari, 2015). Penelitian lain mengenai dopan MgO kedalam superkonduktor BPSCCO dinilai mampu meningkatkan superconducting properties superkonduktor BPSCCO (Yahya & Abd-Shukor, 2014).

Perkembangan teknologi superkonduktor saat ini masih memungkinkan karakteristiknya untuk dioptimalkan kembali. Metode sol-gel dan pendopingan senyawa nanopartikel Al2O3 dan MgO diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan suhu kritis (Tc), memperbaiki kerapuhan mikrostruktur serta meningkatkan transformasi fasa Bi-2223 pada superkonduktor BPSCCO. Berdasarkan uraian diatas maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul “Sintesis

(21)

3

Superkonduktor BPSCCO menggunakan Metode Sol-Gel dengan variasi penambahan dopan Al2O3 dan MgO”.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sifat superkonduktor BPSCCO yang disintesis dengan metode sol-gel?

2. Bagaimana pengaruh penambahan Al2O3 dan MgO terhadap mikrostruktur, morfologi dan sifat superkonduktor BPSCCO?

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis sifat superkonduktor BPSCCO yang disintesis dengan metode sol-gel

2. Menganalisis pengaruh penambahan Al2O3 dan MgO terhadap mikrostruktur dan sifat superkonduktor BPSCCO

1.4 Batasan masalah

Pada penelitian ini akan diberikan batasan masalah sebagai berikut:

1. Proses sintesis superkonduktor BPSCCO dilakukan dengan metode sol-gel 2. Penambahan dopan Al2O3 dan MgO diberikan sebanyak 0.3 dan 1 wt%

3. Proses karakterisasi sampel dilakukan dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) untuk menganalisis mikrostruktur fasa yang terbentuk, cryogenic magnet untuk mengetahui nilai resitivity dan suhu kritis (Tc) dan Scanning electron microscopy (SEM) untuk analisa morfologi sampel.

1.5 Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah

1. Berdasarkan diagram fasa sistem BPSCCO dan hasil percobaan yang dilakukan peneliti sebelumnya, pembentukan mikrostruktur BPSCCO dan struktur kristal bergantung pada stoikiometri dan suhu pemanasan. Dengan

(22)

pertimbangan tersebut maka, mikrostruktur dan struktur kristal BPSCCO akan terbentuk.

2. Penambahan Al2O3 dan MgO akan memperbaiki mikrostruktur dan struktur kristal pada bahan superkonduktor BPSCCO.

1.6 Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi mengenai pembuatan superkonduktor BPSCCO denganpenambahan (wt%) Al2O3 dan MgO dengan metode sol-gel.

2. Memberikan informasi pengembangan material superkonduktor BPSCCO pada aplikasi superkonduktor dalam industri.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori superkonduktor

Penemuan superkonduktivitas merupakan fenomena yang terjadi saat aliran material terjadi tanpa disipasi energi yang nyata. Fenomena ini disertai dengan penurunan hambatan listrik bernilai 0 dengan pendinginan di bawah suhu kritis (Tc), yaitu suhu transisi terhadap hambatan listrik sebuah superkonduktor (Matsumoto, 2010). Pada prinsipnya, superkonduktor dapat memungkinkan arus listrik mengalir tanpa kehilangan energy (Lusiana, 2013). Dilihat dari Tc, bahan superkonduktor dibagi menjadi 2 kategori, pertama yaitu Low Temperatur Superconductors (LTS) atau superkonduktor suhu rendah dengan Tc lebih rendah dari Nitrogen yaitu Tc < 77 K, dan kategori kedua yaitu High Temperatur Superconductors (HTS) atau superkonduktor suhu tinggi dengan Tc > 77 K (Matsumoto, 2010). Pada penelitian ini fokus berpusat pada pada superkonduktor suhu tinggi.

Setelah superkonduktivitas dengan suhu kritis yang tinggi ditemukan oleh Bednorz dan M¨uller pada tahun 1986, banyak kegiatan penelitian dimulai di seluruh dunia. Ini bukan hanya karena keinginan untuk menemukan suhu kritis (Tc) yang lebih tinggi, tetapi kemungkinan pendinginan dengan nitrogen cair sebagai pengganti helium cair membuat penerapan superkonduktivitas dalam teknologi energi jauh lebih efisien secara ekonomi (Lehndroff, 2001). Pada tahun 1987 (Gambar 2.1) kelompok penelitian yang dikoordinasi oleh K. Wu dan Paul Chu menemukan superkonduktor Y1Ba2Cu3O7 dengan suhu kritis 92 K. Hal ini merupakan awal dari penemuan superkonduktor yang dapat menggunakan nitrogen cair (77K) sebagai pendinginnya.

Setahun setelahnya, Maeda berhasil menemukan superkonduktor berbasis bismuth (Bi2Sr2Ca2Cu3O10 )dengan suhu kritis sebesar 110 K. Ditahun yang sama, ditemukan pula superkonduktor Tl-Ba-Ca-Cu-O, yang memiliki suhu kritis lebih tinggi sebesar 125 K. Suhu kritis tertinggi suatu bahan menjadi superkonduktor saat ini adalah 138 K (pada September 1993), yaitu suatu bahan yang memiliki rumus Hg0.8Tl0.2Ba2Ca2Cu3O8.33 (Parinov, 2003).

(24)

Gambar 2.1 Evolusi suhu kritis (Tc) superkonduktor (Matsumoto, 2010)

Pada prinsipnya superkonduktor suhu tinggi selain memiliki suhu transisi tinggi juga memiliki medan kritis atas yang sangat tinggi (hingga 100 T untuk superkonduktor bismuth) dan dengan demikian dapat membawa arus tinggi pada medan yang jauh lebih tinggi dari pada superkonduktor logam konvensional. Selain aplikasi dalam energi teknologi, hal ini menawarkan kemungkinan untuk membentuk magnet medan sangat tinggi yang akan menghasilkan bidang lebih dari 20 T yang merupakan batas yang diberlakukan oleh superkonduktor konvensional saat ini (Lehndroff, 2001). Hingga saat ini perkembangan superkonduktor terus mengalami inovasi guna menghasilkann sifat dan jenis bahan superkonduktor terbaik.

2.2 Sifat dan karakteristik superkonduktor

Superkonduktor adalah bahan yang memiliki nilai hambatan listriknya sama dengan nol dan menjadi diamagnetik di bawah suhu tertentu. Beberapa sifat dan karakteristik yang dimiliki oleh bahan superkonduktor akan dijelaskan sebagai berikut.

(25)

7

2.2.1 Superkonduktivitas

Suatu bahan dapat dibedakan berdasarkan sifat konduktivitas elektrik atau resistivitasnya. Ada empat kelompok bahan berdasarkan resistivitasnya, yaitu: isolator (106 –1020 Ωm), semikonduktor (10-4 – 106 Ωm), konduktor (10-8 – 10-4 Ωm), dan superkonduktor (resistivitasnya nol). Superkonduktivitas merupakan keadaan kesetimbangan termodinamika yang mempengaruhi sifat listrik dan sifat magnetik bahan. Apabila arus yang besar dialirkan pada superkonduktor maka akan berubah ke dalam keadaan normalnya, walaupun di bawah Tc. Kekuatan medan magnet meningkat dengan menguatnya arus pada kawat. Jika medan magnetnya mencapai titik kritis maka superkonduktor akan kembali ke keadaan normal. Nilai maksimum medan magnet pada suhu tertentu dinamakan medan magnet kritis (Hc). Oleh karena itu, akan ada arus maksimum yang dapat dibawa superkonduktor dinamakan kerapatan arus kritis (Jc). Fenomena superkonduktivitas ditentukan oleh tiga parameter yang saling ketergantungan satu sama lain yaitu Tc, Hc, dan Jc. Ketika ketiga sifat kritis, Tc, Hc, dan Jc diplot pada grafik tiga dimensi akan terbentuk sebuah permukaan yang dikenal sebagai critical surface, seperti terlihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Interpedensi dari suhu (T), medan magnet (B), dan kerapatan arus listrik (J).

Karakteristik signifikan superkonduktivitas adalah pengamatan resistivitas bernilai nol di bawah Tc dibandingkan dengan logam biasa yang mempertahankan beberapa sisa resistivitas pada suhu rendah. Resistivitas dari bahan superkonduktor di keadaan normal sebanding dengan atau lebih tinggi dari resistivitas logam.

(26)

Superkonduktor memiliki suhu kritis onset (Tc-onset) dan suhu kritis zero (TcZero). Tconset

adalah titik dimana pada suhu tertentu resistivitas bahan akan turun, sedangkan Tczero

adalah titik dimana pada suhu tertentu resistivitas bahan bernilai 0 (nol). Berikut merupakan Grafik suhu kritis onset (Tconset) dan suhu kritis zero (TcZero) dapat dilihat pada Gambar 2.3

Gambar 2.3 Grafik suhu kritis onset (Tconset) dan suhu kritis zero (TcZero) (Wang, 2012) 2.2.2 Sifat kelistrikan superkonduktor

Bahan logam tersusun dari kisi-kisi dan basis serta elektron bebas. Ketika medan listrik diberikan pada bahan, elektron akan mendapat percepatan. Medan listrik akan menghamburkan elektron ke segala arah dan menumbuk atom-atom pada kisi.

Hal ini mengakibatkan adanya hambatan listrik pada logam konduktor (Pikatan, 1989).

Pada bahan superkonduktor terjadi juga interaksi antara elektron dan inti atom. Namun elektron dapat melewati inti tanpa mengalami hambatan dari atom kisi. Efek ini dapat dijelaskan oleh teori BCS yang dikembangkan pada tahun 1957 oleh Bardeen, Cooper dan Schrieffer, teori BCS adalah teori asal mikroskopis superkonduktivitas untuk konvensional suhu rendah superkonduktor yang menerangkan bahwa elektron- elektron dalam superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada dalam keadaan kuantum yang sama. Pasangan-pasangan elektron ini disebut pasangan cooper. Ketika elektron melewati kisi, inti yang bermuatan positif menarik elektron yang bermuatan negatif dan mengakibatkan elektron bervibrasi/bergetar. Ilustrasi pasangan cooper bergerak melewati kisi dapat dilihat pada Gambar 2.4 sebagai berikut:

(27)

9

Gambar 2.4 Ilustrasi pasangan cooper bergerak melalui kisi (Flukiger, 2012)

Pada Gambar di atas merupakan ilustrasi pasangan cooper bergerak melalui kisi. Jika ada dua buah elektron yang melewati kisi, elektron kedua akan mendekati elektron pertama karena gaya tarik dari inti atom-atom kisi lebih besar. Gaya ini akan melebihi gaya tolak-menolak antar elektron sehingga kedua elektron bergerak berpasangan. Ilustrasi pasangan cooper melalui interaksi phonon dapat dilihat pada Gambar 2.5 sebagai berikut:

Gambar 2.5 Ilustrasi pasangan cooper melalui interaksi phonon (Flukiger, 2012) Pada Gambar di atas merupakan ilustrasi pasangan cooper melalui interaksi phonon. Ketika elektron pertama pada pasangan cooper melewati inti atom kisi.

Elektron yang mendekati inti atom kisi akan bergetar/bervibrasi memancarkan phonon, sedangkan elektron lainnya menyerap phonon. Pertukaran phonon ini mengakibatkan gaya tarik menarik antar elektron. Pasangan electron ini akan melalui kisi tanpa gangguan dengan kata lain tanpa hambatan.

2.2.3 Sifat kemagnetan superkonduktor

Sifat lain dari superkonduktor yaitu bersifat diamagnetisme sempurna. Pada tahun 1933, Walther Meissner dan kolaboratornya Robert Ochsenfel di Berlin-

(28)

Charlottenburg membuat penemuan penting yang berpengaruh terhadap perkembangan superkonduktor selanjutnya. Jika bahan superkonduktor ditempatkan di atas sebuah medan magnet, maka superkonduktor akan menghasilkan medan magnet yang arahnya berlawanan dengan medan magnet luar yang diberikan.

Fenomena ini disebut sebagai efek Meissner (gambar 2.6) (Huebener, 2015). Pada dasarnya Efek Meissner bekerja dengan prinsip elektromagnet. Namun yang membedakan, Efek Meissner melibatkan superkonduktor bukan konduktor biasa.

Melalui material superkonduktor inilah, medan magnet dapat dimanipulasi, mengakibatkan terjadinya pelayangan (magnetic levitation) (gambar 2.7).

Gambar 2.6 Efek Meissner

Gambar 2.7 Superkonduktor mengalami levitasi (Huebener, 2015).

Jika bahan superkonduktor yang berada di atas suhu kritisnya (T > Tc) diletakkan di atas suatu medan magnet, maka medan magnet akan menerobos ke dalam bahan, sehingga terjadi induksi magnet di dalam bahan. Sebaliknya, jika bahan superkonduktor yang berada di bawah suhu kritisnya (T < Tc) dikenai medan magnet, maka superkonduktor akan menolak medan magnet yang mengenainya.

(Pikatan, 1989). Keadaan penolakan medan luar ini disebut diamagnetis sempurna, sedangkan peristiwa tersebut disebut dikenal sebagai Efek Meissner.

(29)

11

2.3 Tipe-tipe superkonduktor

Berdasarkan sifat superkonduktivitasnya superkonduktor terbagi atas 2 tipe, yaitu berdasarkan medan magnet kritis dan berdasarkan suhu kritis.

2.3.1 Tipe superkonduktor berdasarkan medan magnet kritis Berdasarkan medan magnet kritis superkonduktor terbagi atas 2 yaitu:

a) Superkonduktor tipe I

Bahan superkonduktor tipe-I memiliki diagram fase yang jelas, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8 (a). Keadaan superkonduktor terletak di bawah kurva H / T, sedangkan keadaan normal atau keadaan non-konduktor terletak di atas kurva.

Diagram fase ini merupakan diagram karakteristik tipe-I dari bahan superkonduktor.

Dalam keadaan superkonduktor, bahan superkonduktor tipe-I menunjukkan dua sifat yang berbeda yaitu konduktivitas sempurna (resistivitas nol), dan diamagnetisme sempurna (efek Meissner) (wang, 2014). Contoh yang termasuk bahan superkonduktor tipe-I termasuk logam seperti Hg, Al, Sn, In, La, Pb, Nb dll. Nilai suhu kritis superkonduktor tipe I tergolong rendah (Poole, 2014).

Meskipun material superkonduktor tipe-I memiliki konduktivitas yang baik, namun medan magnet kritisnya sangatlah rendah sehingga penggunaanya tidak dapat diaplikasikan untuk magnetisasi yang tinggi. Disamping itu, arus hanya dapat mengalir pada permukaan superkonduktor tipe-I material yang menyebabkan sebagian wilayah tidak dapat digunakan secara efektif. Untuk ini alasannya, bahan superkonduktor tipe- I tidak memiliki nilai praktis untuk aplikasi skala besar.

b) Superkonduktor tipe II

Tidak seperti bahan superkonduktor tipe-I, bahan superkonduktor tipe-II memiliki dua medan magnet kritis yaitu HC1 medan magnet kritis rendah HC2 medan magnet kritis tinggi. Antara HC1 dan HC2 terdapat sebuah fase dikenal sebagai daerah campuran. Diagram fase bahan superkonduktor tipe-II ditunjukkan pada Gambar 2.8 (b). Daerah campuran terletak di antara kurva fase HC1-T dan HC2-T, di mana fluks magnet masuk superkonduktor dalam bentuk fluks magnet. Apabila nilai medan magnet yang diterima lebih kecil dari medan magnet kritis (H < Hc1) maka superkonduktor tipe II akan bersifat seperti superkonduktor tipe I sebaliknya Apabila nilai H > Hc2 maka bahan akan kembali ke keadaan normal. Perbandingan sifat

(30)

magnetik pada keadaan normal superkonduktor tipe I dan superkonduktor tipe II dapat dilihat pada Gambar 2.8. Beberapa contoh superkonduktor tipe II banyak dijumpai dalam bentuk logam campuran, diantaranya NbTi (9.6 K), Nb3Sn (18 K), BSCCO (Bi- 2212) (89 K), YBCO (91 K) dll. Jika dibandingkan dengan superkonduktor tipe I, maka suhu kritis pada tipe II lebih tinggi daripada tipe I.

Gambar 2.8 Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal superkonduktor: (a) tipe I (b) tipe II

2.3.2 Tipe superkonduktor berdasarkan suhu kritis Berdasarkan suhu kritis superkonduktor terbagi atas 2 yaitu:

a) Superkonduktor suhu rendah

Superkonduktor suhu rendah merupakan superkonduktor yang memiliki suhu kritis di bawah suhu nitrogen cair (77 K). Sehingga untuk memunculkan superkonduktivitasnya digunakan helium cair sebagai pendingin. Beberapa contoh superkonduktor suhu rendah diantaranya Hg (4.2 K), Nb3Sn (18.1 K), Nb3Ga (20.3 K), BaxLa5-xCu5Oy (30-35 K) dan (La0.9Ba0.1)2CuO4-δ (52 K) (Poole, 2014).

b) Superkonduktor suhu tinggi

Mencapai TC yang lebih tinggi menjadi tujuan utama di bidang superkonduktivitas sejak penemuan material keramik cuprate-perovskite yang ditemukan oleh Johannes Georg Bednorz dan Karl Alex Müller pada tahun 1986, yang membuat mereka memenangkan Penghargaan Nobel dalam Fisika pada tahun berikutnya. Penemuan superkonduktor suhu-tinggi mereka La-Ba-Cu-O, dengan suhu transisi 35 K, menyebabkan banyak kekaguman karena sebelumnya superkonduktivitas pada suhu 'tinggi' tersebut dianggap banyak orang tidak mungkin

(31)

13

terjadi. Ditahun 1987, kelompok di Universitas Alabama dan Houston oleh M. K.

Wu dan P. W. Chu, ditemukannya superkonduktor Y-Ba-Cu-O pada suhu 93 K.

Ditahun 1988 Bi-TI basis superkonduktor ditemukan memiliki suhu kritis Tc = 110 dan 125 K. Tahun 1993 Hg-sebagai basis superkonduktor dengan suhu kritis Tc = 135 K (ketika tekanan diperbesar maka suhu kritis Tc dapat mencapai 164 K) (Poole, 2014). Superkonduktor suhu tinggi yang paling terkenal adalah yang berbahan cuprate, seperti La1.85Ba0.15CuO4, YBCO (Yttrium-Barium-Copper-Oxide), BSCCO (Bismuth- Strontium-Calcium-Copper-Oxide) dan bahan sejenis. Superkonduktor suhu tinggi umumnya adalah hal yang mempertunjukan superkonduktivitas pada suhu diatas suhu nitrogen cair, atau -196°C (77 K), karena ini merupakan suhu cryogenic yang mudah dicapai.

2.4 Superkonduktor BSCCO ( Bi-Sr-Ca-CuO)

Superkonduktor BSCCO merupakan jenis High Temperature Superconduktor (HTS) yang artinya superkonduktor yang memiliki suhu kritis di atas suhu nitrogen cair (77 K) (Shamray et al., 2009). Bahan superkonduktor berbasis bismuth ini (BSCCO) pertama kali ditemukan pada tahun 1988 oleh Maeda. Kemudian seiring berjalan superkonduktor BSCCO mengalami perkembangan. Penyelidikan pada struktur kristal fase superkonduktor suhu tinggi di Sistem Bi-Sr-Ca-Cu-O dimulai tak lama setelah penemuan oleh Maeda. Investigasi terkait menemukan struktur fase murni Bi-2223 masih menghadapi kendala sampai ditemukannya stabilisasi fasa oleh Pb yang memungkinkan untuk menghasilkan fase tunggal 2223. Secara umum komposisi nominal sistem BSCCO adalah Bi2Sr2Cam-1CumO2m+4+x dimana n merupakan jumlah lapisan Cu-O yang melibatkan tiga fase superkonduktor yaitu Bi- 2201 (m = 1), Bi-2212 (m = 2) dan Bi-2223 (m = 3) dengan Tc secara berurutan yakni

~ 10K, 80K dan 110K (Mohammed et al., 2012).

2.4.1 Struktur kristal

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa superkonduktor berbasis bismuth memiliki tiga fasa superkonduktor yakni fasa Bi-2201, Bi-2221, dan Bi- 2223.

Ketiga fase superkonduktor tersebut disajikan pada gambar 2.9 berikut.

(32)

Gambar 2.9 Struktur kristal superkonduktor BSCCO pada fase Bi-2201, Bi-2212 dan Bi-2223 (Lehndroff, 2001)

Pada sistem ini terdapat pengelompokan lapisan CuO2 yang masing-masing dipisahkan oleh atom Ca tanpa oksigen. Lapisan CuO2 terikat bersama oleh lapisan intervensi BiO dan SrO. Dari gambar dapat terlihat bahwa fasa Bi-2201 yang tersusun oleh bidang (BiO)/SrO/CuO/SrO/(BiO) dimana piramida Cu memiliki koordinat oktahedral berada diantara dua bidang SrO.Anggota kedua dari keluarga ini dengan dengan formula 2212 dengan satu lapisan Ca disusun oleh bidang senyawa (BiO)/SrO/CuO/CaO/CuO/SrO/(BiO) dimana ada dua lapisan (CuO2-) yang dipisahkan satu sama lain oleh lapisan (--Ca). Jarak antara CuO ke Ca adalah 1,66 A.

Bidang BiO berada pada bagian ujung struktur dan atom Cu dihubungkan dengan 6 atomoksigen.

Sistem Bi- 2223 memiliki sebuah struktur berbentuk tetragonal, dalam system ini, tiga lapisan dari CuO2 disisipi oleh dua lapisan Ca. Pada lapisan tengah CuO2, Cu(2) merupakan koordinat planar sebanyak empat kali lipat. Lapisan CuO2 / Ca / CuO2 / Ca / CuO2 ini dijepit diantara lapisan alkali tanah, SrO dan oleh dua lapisan dari atom-atom BiO. Awalnya fase 2223 ini sangat tidak stabil sehingga Timbal (Pb) disubstitusi kedalam struktur BSCCO untuk menstabilkan fasa tersebut. Di sini lapisan BiO bertindak sebagai lapisan reservoir muatan yang mengatur densitas muatan di dalam Lapisan CuO2.

(33)

15

2.4.2 Fasa BSCCO

Diagram fase merupakan bentuk merepresentasikan kesetimbangan fase termodinamika dari sistem multikomponen heterogen sebagai dasar untuk sintesis material tingkat lanjut misalnya pemrosesan dan reaksi dengan substrat atau bahan wadah selama pemrosesan dan dapat dilakukan dengan studi tentang hubungan fase.

Berikut ini merupakan gambar diagram fase pembentukan superkonduktor BSCCO dopan Pb.

Gambar 2.10 Diagram fase superkonduktor BPSCCO (Lehndroff, 2001)

Dengan meningkatnya n dalam Bi2Sr2Cam-1CumO2m+4+x suhu leleh dan wilayah stabilitas menurun. Fase Bi-2201 sangat stabil dari suhu 650◦C sampai 910◦C. Untuk n = 2 Bi-2212 stabil sampai suhu 895◦C, dimana itu meleleh secara tidak selaras. Dari diagram, Bi-2212 dapat diperoleh di suhu di atas 650◦C. Fase Bi-2223 memiliki stabilitas fase yang sangat kecil diantara suhu 840-890◦C. Apabila terdapat fase cair dalam sampel multiphase maka proses kristalisasi Bi-2223 akan semakin cepat.

Substitusi timbal memiliki peran untuk menghasilkan pipa kalsium cair yang bertujuan untuk mendukung terbentuknya fasa Bi-2223. Pemilihan suhu pemanasan yang tepat tentunya akan berpengaruh dalam pembentukan fasa Bi-2223.

(34)

2.5 Penambahan dopan pada superkonduktor BPSCCO

Dopan yang dapat diberikan pada struktur superkonduktor BSCCO dapat berupa substitusi atau penambahan (adisi). Subtitusi berupa mengganti atom asli pada struktur superkonduktordengan atom dopan dimana ukuran atom tersebut tidak jauh berbeda dengan ukuran atom aslinya, sedangkan penambahan artinya menambahkan atom- atom dopan kedalam struktur atom-atom asli superkonduktor. Superkonduktor BSCCO sering diberikan dopan baik itu berupa substitusi maupun penambahan.

Tujuan dari pemberian dopan ini tentunya untuk memperbaiki sifat superkonduktivitas dari superkonduktor BSCCO.

2.5.1 Dopan Pb (Timbal)

Unsur yang sering dijumpai untukmendoping superkonduktor BSCCO adalah unsur Timbal (Pb). Substitusi Pb2+ dapat meningkatkan kerapatan lubang dan dapat menggeser lubang kerapatan terpisah dari doping optimal yang penting untuk meningkatkan nilai suhu kritis (Mohammed et al., 2012). Berdasarkan laporan Khalil adisi unsur Pb memberikan peningkatan fraksi volume sehingga memungkinkan terbentuk fase tunggal Bi-2223 (Khalil, 2001)selain itu penggantian sebagian Bi oleh Pb juga menyebabkan peningkatan sifat superkonduktor seperti Jc, Hc dan sifat mekaniknya (Qureshi et al., 2008).

2.5.2 Dopan MgO (Magnesium Oxide)

MgO merupakan senyawa nanopartikel yang banyak digunakan sebagai dopan dalam pembuatan superkonduktor. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penambahan MgO pada superkonduktor BPSCCO merupakan metode yang efisien untuk meningkatkan proporsi fasa Bi-2223 (Lu et al., 2016), kepadatan arus kritis serta membuktikan bahwa penambahan partikel MgO memungkinkan untuk meningkatkan flux pinning secara signifikan (Guilmeau et al., 2003). Density sampel yang diperoleh dengan teknik Archimedes meningkat disertai dengan penambahan nano-MgO yang berada dalam kisaran 79, 95–83, 02% dari nilai teoritis. Hasil ini sesuai dengan struktur porous (porositas) keramik superkonduktor. Substitusi nano MgO juga memberikan efek terhadap mikrostruktur, bahwa baik jumlah maupun ukuran rongga berkurang dengan meningkatnya substitusi nano MgO, hal tersebut

(35)

17

2.5.3 Dopan Al2O3 (Alumunium Oxide)

Aluminium merupakan salah satu logam yang cukup luas penggunaannnya mulai dari kebutuhan rumah tangga, otomotif hingga pesawat terbang. Hal ini disebabkan karena logam Al memiliki kelebihan yaitu ringan, tahan terhadap korosi, konduktifitas panas dan listrik yang baik mudah dibentuk serta tidak bersifat magnetik.

Ikatan antar atom yang dimiliki Alumina bersifat ion kuat yang mampu menimbulkan karakteristik material yang diinginkan. Fase α-alumina adalah keramik dengan kekerasan yang tinggi, sifat dielektrik yang baik, keras dan memiliki ketahanan panas yang tinggi sehingga membuat keramik ini menjadi keramik pilihan yang digunakan dalam aplikasi yang luas (Lee, 1994). Aluminium dapat digunakan sebagai dopan pada superkonduktor BSCCO karena memiliki sifat termal yang baik sehingga diharapkan dapat menaikkan suhu kritis BSCCO. Berdasarkan laporan aftabi, Penambahan nano Al2O3 dapat meningkatkan transformasi fasa Bi-2223 dan meningkatkan rapat arus kritis secara signifikan (Aftabi & Mozaffari, 2015). Penambahan komposisi 2% Al2O3

juga dapat meningkatkan nilai Jc sampel (Ghattas, 2008)

2.6 Metode sol-gel

Metode sol-gel merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk proses preparasi superkonduktor jenis keramik. Pierre menerangkan didalam bukunya bahwa proses sol-gel itu sendiri merupakan jalur koloid yang digunakan untuk mensintesis keramik dengan tahap perantara termasuk sol dan / atau keadaan gel. Sol adalah suspensi stabil partikel padat koloid dalam sebuah cairan sedangkan gel merupakan zat padat berpori yang saling berhubungan yang mengembang secara stabil di seluruh media cair dan hanya dibatasi oleh ukuran wadah (P.C., 1998). Langkah awal dalam proses sol-gel selalu dimulai dengan pemilihan prekursor bahan. Selanjutnya, seluruh precursor bahan digabungkan dan dilakukan proses sintesis kimiawi yang menyebabkan seluruh precursor bereaksi membentuk koloid atau gel. Partikel koloid yang diperoleh kemudian dapat diendapkan dan diolah melalui teknik pemrosesan konvensional, seperti cold pressing, hot-pressing dan sintering, untuk menghasilkan keramik yang diinginkan.

(36)

Proses sintesis kimia pada langkah awal selalu dilakukan pada suhu rendah sehingga mampu meminimalisir terjadinya interaksi kimiawi antara material dan lingkungan. Hal ini tentunya memberikan keuntungan karena dapat menghasilkan superkonduktor dengan kemurnian yang lebih tinggi dibandingkan dengan sintesis keramik konvensional (P.C., 1998). Selain itu metode sol-gel memiliki kelebihan lain yakni ukuran butir yang lebih kecil dan homogenitas yang lebih baik (Raju & Yoon, 2014) dikarenakan campuran awal kation pada skala atom dalam larutan dapat meningkatkan reaksinya (P.E. Kazin, 2003). Penggunaan metode sol-gel paling banyak adalah pada alat pelapis seperti pada pelapis antipantul dengan indeks gradasi, lapisan penyerap optik atau infra merah, pelapis konduktif listrik dan pelapis yang melindungi dari goresan, oksidasi dan erosi pada semua jenis bahan (P.C., 1998).

2.7 Karakterisasi superkonduktor BPSCCO 2.7.1 X-Ray Diffraction (XRD)

Sinar-X ditemukan oleh Wilhelm Conrad Roentgen pada tahun 1895.

Roentgen menemukan sejenis radiasi yang keluar dari sebuah tabung muatan (discharge tube) yang karena misteriusnya diberi nama sinar-X. Sinar-X pada tabung muatan ini terbentuk dengan cara pemberian beda tegangan pada elektroda-elektroda tabung yang menghasilkan sinar elektron yang ditumbukkan ke bahan tertentu (Nisa, 2016). Teknik difraksi X-Ray Diffraction (XRD) sangat penting untuk mengetahui sifat-sifat bahan seperti logam, paduan logam, keramik, polimer, dan sebagainya.

Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fase-fase pada sampel, ukuran butir, tekstur dan struktur kristal. Informasi yang dapat diperoleh berupa posisi puncak- puncak difraksi, intensitas dan bentuk puncak difraksi.

Posisi spasial dari sinar-X yang didifraksikan oleh sampel mengandungsemua informasi geometri dari kristal. Intensitas sinar-X berhubungan dengan jenisatom dan susunannya dalam kristal. Ketajaman sinar-X yang didifraksikan merupakan ukuran dari kesempurnaan kristal. Setiap bahan memiliki pola difraksi tertentu dengan intensitas dan sudut difraksi (2θ) yang berbeda-beda. Suatu kristal dapat mendifraksikan sinar-X karena panjang gelombang sinar-X berada di sekitar jarak antar bidang kristal. Sinar-X yang digunakan untuk difraksi memiliki panjang gelombang dalam range 0,3 - 2,5 Å. Difraksi terjadi jika interaksi antara sinar-X

(37)

19

dengan kisi pada bidang kristal menghasilkan interferensi konstruktif berupa puncak- puncak intensitas. Interferensi konstruktif terjadi jika panjang gelombang dan sudut difraksi memenuhi hukum Bragg (Van Vlack, 1991). Hukum Bragg memenuhi persamaan berikut:

𝑛 𝜆 = 2 𝑑 sin 𝜃 (2.1)

Dengan:

𝜆 = panjang gelombang sinar x 𝑑= jarak antar kisi kristal 𝜃 = sudut datang sinar

n = orde difraksi (1, 2, 3 dan seterusnya) (Triaminingsih, 1988)

Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X di jatuhkan pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi.

Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak- puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material.

Gambar 2.11 Difraksi sinar X oleh atom-atom pada bidang (Ismunandar, 2006) Pendekatan ukuran butiran partikel (grain size) dari hasil difraksi sinar- X dapat diukur berdasarkan hasil nilai full width at half maximum (FWHM) dengan menggunakan persamaan Scherrer. Hasil modifikasi persamaan Debye Scherrer digunakan untuk menentukan satu nilai ukuran kristal (Monshi, 2012). Persamaan modifikasi Debye Scherrer dirumuskan sebagai berikut :

(38)

𝑘𝜆

𝐷 = 𝛽 cos 𝜃 (2.2)

ln𝑘𝜆

𝐷 = ln 𝛽 cos 𝜃 (2.3)

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑝 = ln 𝛽 cos 𝜃 (2.4) Dengan mensubstitusi persamaan kedalam persamaan didapatkan :

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑝 = ln𝑘𝜆𝐷 (2.5)

𝑒𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑝 = 𝑘𝜆

𝐷 (2.6)

𝐷 = 𝑘𝜆

𝑒𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑝 (2.7)

Dimana nilai intersep didapatkan dari persamaan grafik antara ln 𝛽 dengan ln 1/𝑐𝑜𝑠𝜃.

Dengan,

D = ukuran kristal (nm)

k = Faktor bentuk dari kristal (0,9-1) λ = Panjang gelombang sinar X

β = nilai dari Full Width at Half Maximum (FWHM) θ = sudut difraksi (derajat)

2.7.2 Pengujian Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan alat yang dapat membentuk bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda uji dapat dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur permukaan itu secara langsung (Ginting. E.M et al., 2014). SEM terdiri dari sebuah senapan elektron yang memproduksi berkas elektron pada tegangan yang dipercepat sebesar 2 - 30 kV.

Berkas elektron tersebut dilewatkan pada beberapa lensa elektromagnetik untuk menghasilkan gambar berukuran ~10nm pada sampel yang ditampilkan dalam bentuk film fotografi. SEM sangat cocok digunakan untuk mendapatkan hasil pengamatan permukaan kasar dengan pembesaran berkisar antara 20 sampai 500.000 kali. Hasil scan ini tersinkronisasi dengan tabung sinar katoda dan gambar sampel akan tampak. Tingkat kontras yang tampak pada tabung sinar katoda timbul karena hasil refleksi yang berbeda-beda dari tiap sampel. Sewaktu berkas elektron menumbuk

(39)

21

permukaan sampel sejumlah elektron direfleksikan sebagai backscattered electron (BSE) dan yang lain membebaskan energi rendah secondary electron (SE). Emisi radiasi elektromagnetik dari sampel timbul pada panjang gelombang yang bervariasi tapi pada dasarnya panjang gelombang yang lebih menarik untuk digunakan adalah daerah panjang gelombang cahaya tampak (cathodoluminescence) dan sinar-X.

Gambar 2.12 Gerakan elektron pada SEM

Cara terbentuknya gambar pada SEM yaitu gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut discan dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi. Gelap -terang pada layar monitor CRT (cathode ray tube). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah diperbesar bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi (Ginting. E.M et al., 2014).

EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) digunakan untuk mengenali jenis atom pada permukaan yang mengandung multi atom. Sebagian besar alat SEM dilengkapi dengan kemampuan ini, namun tidak semua SEM memiliki fitur ini. Informasi yang dihasilkan EDS didapatkan dari sinar-X karakteristik, yaitu sinar-X yang dihasilkan ketika elektron dari kulit luar berpindah ke kulit yang lebih dalam. Setiap kulit atom memiliki energi tertentu, untuk memenuhi aturan tersebut maka elektron dari kulit luar

(40)

harus melepaskan sebagian energi untuk dapat berpindah ke kulit atom yang lebih dalam.

Energi yang dilepas dipancarkan dalam bentuk sinar-X. Energi pancaran elektron dalam bentuk sinar X akan dideteksi dan dihitung oleh energy-dispersive spectrometer (EDS) dan akan dihasilkan keluaran berupa grafik puncak–puncak tertentu yang mewakili unsur yang terkandung. EDS juga memiliki kemampuan untuk melakukan elemental mapping (pemetaan elemen) dengan memberikan warna berbeda–beda dari masing – masing elemen di permukaan bahan. EDS juga dapat digunakan untuk menganalisa secara kuantitatif dari persentase masing–masing elemen (Ginting. E.M et al., 2014).

Tahapan dalam proses uji SEM dimulai dari melapisi (coating) sampel yang akan diuji menggunakan alat auto fine coater. Bahan pelapis yang digunakan adalah bahan yang terbuat dari emas. Proses coating dimaksud untuk mencegah terjadinya akumulasi dari medan elektrik statis pada sampel sehubungan dengan electron irradiasi sewaktu proses penggambaran sampel. Selanjutnya sampel yang telah dicoating, diuji menggunakan alat uji SEM. Analisis kualitatif pada uji SEM dilakukan dengan beberapa kali perbesaran. Perbesaran dalam skala kecil digunakan untuk mengetahui morfologi dan penyebaran distribusi penyebaran partikel, sedangkan perbesaran dalam skala besar untuk mengetahui topografi dan porositas partikel.

2.7.3 Pengujian Cryogenic Magnet

Penentuan besar suhu kritis dari superkonduktor BSCCO dilakukan dengan pengujian Cryogenic Magnet. Dalam fisika, cryogenic merupakan studi tentang produksi dan perilaku bahan pada suhu yang sangat rendah (Darsono, 2015).

Cryogenic magneti adalah teknologi vakum dan pemampatan/ekspansi gas (pulse tube probe) berdasarkan prinsip Four Point Probe (FFP) berguna dalam menurunkan suhu gas Helium. Dengan menggunakan metoda pulse tube probe, suhu helium gas turun sekitar 7K, kemudian dengan metoda VTI (penurunan tekanan gas Helium) suhunya turun sampai 1,5K, namun kekuatan pompa VTI alat cryogenic menurun, sehingga hanya dapat menurunkan suhu menjadi sekitar 5K. Metode pengukuran ini merupakan salah satu metode untuk mengukur resistivitas atau metode yang dilakukan untuk

(41)

23

cryogenic ini bertujuan untuk analisa resistivitas listrik pada sampel superkonduktor.

Berdasarkan data keluaran didapatkan grafik hubungan antara (hambat jenis listrik terhadap perubahan suhu, dimana dari grafik tersebut dapat diketahui nilai suhu kritisnya (Tc).

Untuk memulai uji cryogenik dimulai dengan pemasangan sampel yang sudah disintesis pada holder pcb dengan pemasangan sampel pada holder pcb, alat ukur didasarkan pada 4 buah probe dengan 2 probe berfungsi untuk mengalirkan arus listrik dan 2 probe lainya untuk mengatur tegangan listrik. Satu holder pcb tersebut mempunyai 8 titik yakni titik 1-8 yang bisa dibuat untuk menguji 2 sampel sekaligus, titik 1-4 untuk menguji sampel ke 1 dan titik 5-8 untuk menguji sampel ke 2. Holder pcb disambungkan dengan kawat tembaga (Cu) menggunakan kawat timah (Sn) dan solder, kemudian sampel direkatkan pada holder pcb dengan menggunakan perekat epoxy hardener dan kawat tembaga (Cu) yang sudah terhubung dengan holder pcb tersebut dihubungkan ke sampel dengan menggunakan perekat pasta perak (Ag).

Cryogenic ini memakai sistem pulse tube cryocooler untuk mendinginkan gas helium.

Sistem pendinginan ini tidak memerlukan penanganan cairan Helium yang dipersiapkan untuk pendinginan. Namun hanya memerlukan gas Helium yang akan diekspan/dimampatkan oleh kompresor sehingga suhu gas Helium akan turun.

Komponen uji ini terdiri dari unit utama cryogenic magnet yang merupakan tempat dimasukkannya sampel, circulation pump merupakan sistem pompa sirkulasi untuk mengurangi tekanan gas Helium sehingga suhu dapat diturunkan hingga 1.5 K.

Kompresor gas Helium yang apabila tanpa ciculation pump hanya dapat menurunkan suhu sampel hingga 4.5 K. Temperature and magnet controller merupakan controller untuk suhu dan medan magnet, serta alat ukur resistivity.

(42)

Gambar 2.13 Peralatan cryogenic magnet "Teslatron PT" buatan oxford (Imaduddin, 2015)

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan. Keseluruhan tahapan penelitian ini dilaksanakan padda bulan Agustus 2020-Desember 2020.

3.2 Bahan dan alat penelitian

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

3.2.1 Bahan penelitian

Bahan yang digunakan disajikan pada tabel 3.2 Tabel 3.1 Bahan Penelitian

No Nama Bahan Spesifikasi

1 Bismuth (III) Nitrate (Bi5O(OH)9(NO3)2)

98%

2 Timbal (II) Nitrate (Pb(NO3)2) 96%

3 Strontium Nitrate (Sr(NO3)2) 99%

4 Calsium Nitrate (Ca(NO3)2) 99%

5 Copper (II) Nitrate (Cu(NO3)2) 97%

6 Alumunium Oxide (Al2O3) 7 Magnesium Oxide (MgO) 8 Nitrate Acid (HNO3) 9 Citrit Acid (C6H8O7) 10 Ammonia (NH4OH) 11 Ethanol Teknis 12 Aquadest 13 Nitrogen Cair

(44)

3.2.2 Alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini sebagai beikut Tabel 3. 2 Alat Penelitian

No Nama Alat Spesifikasi Jumlah

1 Neraca Analitik KERN EW 220-3

NM

1 Unit

2 Beaker Glass 100 ml 9 Buah

500 ml 1 Buah

3 Spatula 2 Buah

4 Mortar Agate 1 Set

5 Cawan crussible 30 ml 5 Buah

6 Combustion boat 77 mm 4 Buah

7 Cetakan pellet 10 mm 1 Set

8 Jangka Sorong Nst = 0,05 1 Buah

9 Pipet Tetes 3 Buah

10 Alumunium Foil 1 Rol

11 Hot Plate and Stirrer 1 Set

12 Magnetic Stirrer 1 buah

13 Pinset 1 buah

14 PH meter 1 Set

15 Muffle Furnace Bamstead

Thermolyne 47900

1 Set

16 Mesin Press BMI Simon

Machinery MFG Co. Indonesia (Max 100 ton)

1 Set

16 XRD(X-Ray Diffraction XRD PAN analytical EMPYREAN

1 Unit

17 SEM – EDS JEOLtype JSM –

6390A

1 Unit 18 Cryogenic Magnet Cryotron FR Oxford 1 Unit

(45)

27

3.3 Prosedur penelitian

Penelitian Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+ ini menggunakan perkursor dengan bahan Bi5O(OH)9(NO3)2 (Bismuth (III) Nitrate), Sr(NO3)2 (Strontium Nitrate), Ca(NO3)2

(Kalsium Nitrate), Cu(NO3)2 (Copper (II) Nitrate), dan Pb(NO3)2 (Timbal (II) Nitrate) dengan pendopingan Al2O3 dan MgO sebanyak 0.3 dan 1 dari wt%. Proses dalam penelitian ini diawali dengan penimbangan tiap perkursor sesuai stoikiometri, kemudian dilanjutkan dengan proses pembuatan sol-gel, kalsinasi I, kalsinasi II, kompaksi dan sintering. Sampel yang telah selesai di sintering kemudian dilanjutkan ke tahap karakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan diantaranya adalah XRD (X-ray diffraction), SEM-EDX (Scanning Electron Microscopy- Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy Analysis), dan Cryogenic magnet.

3.3.1 Penimbangan sampel Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+ tanpa penambahan dan penambahan Al2O3 dan MgO

Pada tahapan awal dilakukan penimbangan perkursor untuk pembuatan Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+ murni. Penimbangan dilakukan berdasarkan perhitungan stoikiometri Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+ dengan massa 6 gr yang akan dicetak menjadi pellet.

Tabel 3. 3 Massa tiap perkursor

No Nama Bahan Massa (gr)

1 Bi5O(OH)9(NO3)2 2.7709

2 Pb(NO3)2 0.7847

3 Sr(NO3)2 2.5068

4 Ca(NO3)2 2.7973

5 Cu(NO3)2 4.2928

Selanjutnya pada tahapan kedua dilakukan penimbangan sampel untuk pembuatan Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+ dengan penambahan Al2O3 dan MgO sebanyak 0.3 dan 1 wt%.

(46)

Tabel 3. 4 Massa tiap perkursor penambahan Al2O3 dan MgO No %wt Kode

Sampel

Massa BPSCCO

(gram)

Massa AL2O3

(gram)

Massa MgO (gram)

Total Massa

1 - B60 1 - - 1

2 0.3 BAl1 1 0.003 - 1.003

3 1 BAl2 1 0.01 - 1.01

4 0.3 BMg1 1 - 0.003 1.003

5 1 BMg2 1 - 0.01 1.01

3.3.2 Proses pembuatan sol-gel

Proses pembuatan superkonduktor BPSCCO menggunakan metode sol-gel diawali dengan melarutkan seluruh prekursor bahan yang telah ditimbang kedalam aquades. Langkah awal dimulai dengan melarutkan Bi5O(OH)9(NO3)2, kedalam 20 ml aquades di dalam beaker glass kemudian ditetesi asam nitrat sampai larutan homogen.

Selanjutnya perkursor lain Pb(NO3)2, Sr(NO3)2, Ca(NO3)2, dan Cu(NO3)2 dilarutkan ke dalam 10 ml aquades menggunakan magnetic stirrer sampai menjadi larutan sempurna. Kemudian campurkan tiap perkursor yang telah dilarutkan kedalam beaker glass 500 ml dan aduk menggunakan magnetic stirrer sampai seluruh larutan homogen lalu tambahkan citric acid. Selanjutnya ammonia diteteskan kedalam larutan hingga ph larutan kembali netral (PH ≈ 7). Setelah ph larutan netral, larutan ditutup menggunakan aluminium foil yg diberi lubang udara. Pemberian lubang udara ini bertujuan agar uap air dapat keluar melalui celah lubang. Kemudian larutan dipanaskan menggunakan hotplate pada suhu 80 oC dengan proses stirring tetap berlanjut hingga larutan menjadi serbuk.

3.3.3 Kalsinasi I

Serbuk bahan superkonduktor yang telah diperoleh di kalsinasi selama 2 jam dengan suhu 300oC, kemudian suhu ditingkatkan menjadi 500 oC dan kembali ditahan selama 5 jam di dalam muffle furnace. Proses kalsinasi ini bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terkadung di dalam serbuk BPSCCO. Selanjutnya dilakukan proses pendinginan serbuk bahan di dalam muffle furnace dalam keadaan tertutup sampai suhu suhu ruang (~ 30oC).

Referensi

Dokumen terkait