• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TEORI PENUNJANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TEORI PENUNJANG"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TEORI PENUNJANG

2.1 Dasar Pemikiran Menabung dalam Islam

Menabung bukanlah kajian baru dalam dunia perekonomian, namun merupakan fitrah manusia, anjuran dan perintah dari Allah Swt untuk manusia pada umumnya, dan umat Islam pada khususnya. Islam menjelaskan didalam firman-firman Allah Swt dibawah ini:

“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al Isra (17):29)

Dari ayat diatas, maka dapat diartikan bahwa manusia tidak boleh kikir akan tetapi tidak juga berlebihan dalam mengeluarkan hartanya (boros).

Sehingga dikemudian hari tidak ada perasaan tercela dan menyesal.

Menabung merupakan fitrah dan kebaikan, dimana perilaku menabung telah dicontohkan pada zaman kenabian terdahulu, seperti terdapat kisah teladan yang dicontohkan oleh Nabi Yusuf dalam menta’wilkan tabir mimpi seorang raja pada jamannya mengenai pentingnya menyimpan gandum untuk masa yang akan datang jika terjadi kondisi yang sulit. Kisah ini kemudian diabadikan dalam Al Quran seperti dibawah ini:

(2)

“Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahui.” (QS.

Yusuf (12):46)

Nabi yusuf pada saat itu sedang berada didalam penjara, salah satu mantan narapidana yang pernah ditahan bersama yusuf menanyakan perihal mimpi raja, dan Yusuf pada saat itu menjelaskan tabir dan sekaligus nasihat dalam menghadapi akibat dari apa yang akan terjadi menurut mimpi raja tersebut.

“Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang hendak kamu tuai kamu biarkan ditangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan.”

(QS. Yusuf (12):47)

Maksud ayat diatas, dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an yakni selama tujuh tahun berturut-turut, tujuh tahun yang subur dilambangkan dengan sapi yang gemuk-gemuk. “...kemudian apa yang hendak kamu tuai kamu biarkan ditangkainya...” hal ini menjelaskan bahwa yang demikian ini dapat melindunginya dari dimakan ulat dan pengaruh udara. “...kecuali sedikit untuk kamu makan” maksudnya adalah bersihkan gandum dari tangkainya dan jagalah sisanya untuk tahun-tahun paceklik yang dilambangkan dengan sapi- sapi yang kurus.

“kemudian setelah itu akan datang masa tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk

(3)

menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan.” (QS.Yusuf (12):48)

Penjelasan ini adalah akan datang masa tujuh tahun yang amat sulit, dimana tidak ada tanaman sama sekali. Seakan-akan tahun ini sendirilah yang menghabiskan segala simpanan mereka yang dipersiapkan untuk menghadapi tahun-tahun sulit dan kelaparan ini, yakni sedikit dari sesuatu yang telah dijaga dan dipelihara agar tidak dimakan habis.

“Setelah itu akan datang tahun, dimana manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).”

(QS.Yusuf(12):49)

Maksud ayat diatas adalah akan selesai tahun-tahun sulit dan paceklik itu, yang menghabiskan apa yang disimpan pada tahun-tahun ketika banyak penghasilan, kemudian tahun-tahun sulit itu akan berakhir dan disusul tahun kemakmuran, dimana manusia mendapatkan pertolongan dengan tanaman dan air, serta anggur mereka tumbuh baik dan mereka memerasnya. Demikian pula biji-bijian, sayur mayur dan zaitun yang dapat mereka peras minyaknya.

Kesimpulan yang dapat diambil dari ayat 46 sampai dengan 49 dalam QS. Yusuf ini, yaitu Allah Swt telah memberikan solusi dalam hikmah kehidupan dimana ketika masa lapang dan melimpah ruah, apa yang dimiliki disimpan sebagian untuk masa sulit yang tidak dapat diduga datang dan lamanya, dengan kata lain melalui kisah nabi Yusuf ini, umat Islam hendaknya dapat menabung atau menyisihkan apa yang dimiliki untuk sesuatu yang tidak terduga, agar tidak mendapatkan kesulitan dikemudian hari.

Pada ayat selanjutnya, Allah Swt memberikan nasehat pada umatnya mengenai pentingnya bersedekah dan menabung untuk akhirat, berikut firmannya:

(4)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya

Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(QS.Al Hasyr (59):18)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Mundzir bin Jarir, dari ayahnya ia berkata: “kami pernah bersama Rasulullah Saw dipermulaan siang, lalu ada suatu kaum yang mendatangi beliau dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, membungkus diri dengan kulit macan atau sejenis mantel dengan menyandang pedang. Kebanyakan mereka berasal dari Mudharr. Maka raut wajah Rasulullah Saw pun berubah ketika melihat keadaan mereka yang demikian miskin itu. Kemudian beliau masuk, lalu keluar lagi dan memerintahkan Bilal mengumandangkan adzan. Maka Bilal mengumandangkan adzan, kemudian iqamah. Lalu beliau mengerjakan shalat, setelah itu beliau berkhutbah, beliau berkata:

“’Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu’, -sampai akhir ayat-. Lalu beliau membaca ayat yang ada pada surat Al Hasyr” ‘Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.’ Seseorang menyedekahkan sebagian dari dinar, dirham, pakaian satu sha’ kurma ... -hingga akhirnya beliau mengatakan-:’...meskipun hanya dengan satu belah kurma.’”

Kemudian ada seorang kaum anshar yang datang membawa satu kantong, hampir saja telapak tangannya tidak mampu mengangkatnya, bahkan memang tidak mampu. Lalu orang-orangpun mengikuti sehingga aku melihat dua tumpukan dari makanan dan pakaian, sehingga aku melihat wajah Rasulullah Saw berseri-seri bagaikan disepuh emas. Kemudian beliau bersabda:

“Barangsiapa yang memulai suatu sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahala sunnah yang baik itu sedikitpun. Dan barang siapa memulai suatu sunnah yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa sunnah yang buruk itu dan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun.”

Dengan demikian, firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah,” merupakan perintah untuk

(5)

senantiasa bertakwa kepada Nya, dan itu mencakup pelaksanaan semua perintahNya dan meninggalkan semua laranganNya.

Dan firman Allah Ta’ala: “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” Maksudnya, hisablah diri kalian sebelum dihisab oleh Allah. Dan lihatlah apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sendiri berupa amal shalih untuk hari kemudian dan pada saat bertemu dengan Rabb kalian.

“Dan bertakwalah kepada Allah,” merupakan penegasan kedua.

“Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Maksudnya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mengetahui seluruh perbuatan dan keadaan kalian. Tidak ada sedikitpun yang tersembunyi dariNya, baik perkara kecil maupun besar.

Berdasarkan tafsir tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa umat Islam harus senantiasa menyadari akan pengawasan Allah Swt atas setiap kegiatan yang dilakukan, dan menyadari bahwa setiap tindakan akan di hisab oleh Allah Swt. Oleh karena itu perlu kiranya umat Islam mempersiapkan apa yang akan terjadi pada hari esok dengan menabung amal shalih. Dimana dalam kaitannya dengan tesis ini, mencari nafkah merupakan ibadah dan menjadi amal shalih ketika hasil nafkah diberikan pada keluarga, kerabat dan lainnya merupakan bentuk tabungan yang akan diperhitungkan oleh Allah untuk hari esok agar tidak menyesal.

Rasulullah Saw pernah bersabda: “Simpanlah sebagian dari pada harta kamu untuk kebaikan masa depanmu, karena itu jauh lebih baik bagimu.” (HR. Bukhari). Dari hadits tersebut dapat diambil hikmahnya, yaitu sebagai seorang muslim penting untuk merencanakan secara ekonomi kondisi masa depannya, hal ini dikarenakan Rasulullah Saw memerintahkan umatnya untuk tidak meninggalkan keturunannya dalam kondisi kesusahan. Seperti pada sabda beliau: “Kamu lebih baik meninggalkan anak keturunanmu kaya

daripada miskin dan bergantung kepada belas kasih orang lain.”

(HR. Bukhari Muslim).

2.2 Perilaku Menabung dalam Islam Menurut Abul Khair M. Jalaluddin

Jalaluddin (1992), menulis tentang perilaku menabung dalam kerangka pemikiran Islam. Pada umumnya, tabungan diartikan sebagai pengeluaran

(6)

yang dilakukan selain konsumsi. Dimana besarnya jumlah tabungan adalah pengeluaran dari total pendapatan pada satu waktu tertentu dikurangi dengan konsumsi. Sedangkan pengertian menabung adalah sumber daya yang disimpan untuk kebutuhan konsumsi yang akan datang sesuai dengan Al Quran dan Assunnah.

Allah Swt telah menganjurkan umatnya untuk menabung, seperti pada firmanNya “Dan janganlah kau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan pula (engkau) terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS, Al Isra (17):29).

Dari ayat ini, dinyatakan bahwa akibat dari seseorang karena tidak mempersiapkan kehidupan masa depan adalah kemelaratan pribadi yang akan berdampak pada perkembangan ekonomi secara nasional, karena secara teori, pertumbuhan ekonomi akan meningkat seiring dengan tingkat tabungan masyarakat. Sehingga hal ini juga terkait dengan perilaku konsumsi yang tidak boleh berlebihan, karena membawa dampak pada jumlah tabungan. Allah swt mengingatkan “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan, Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS. An-Nisa (4):5). Pengertian harta dalam ayat ini menandakan bahwa harta milik bersama dan oleh karena itu perlu dijaga. Sehingga mengeluarkan harta secara rasional adalah kewajiban bagi setiap muslim.

Menabung adalah kebutuhan manusia, karena naluri manusia yang ingin menyimpan harta bendanya didunia. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam perilaku menabung seorang muslim, sehingga ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan , yaitu:

1. Seluruh kegiatan ekonomi berjalan dengan mengacu pada kerangka Islam.

2. Penabung adalah seorang muslim, dan mereka menjalankan norma dan nilai dalam islam secara menyeluruh.

(7)

3. Motivasi menabungnya adalah untuk dirinya sendiri dan perbaikan sosial.

4. Mereka memiliki kecukupan dalam pengeluarannya.

5. Pengeluarannya juga bertujuan untuk sosial dengan niat mencapai falah.

6. Bunga tidak diberlakukan.

7. Institusi zakat telah diketahui dalam ilmu ekonomi, sehingga memiliki pengaruh yang positif terhadap jumlah tabungan.

Motivasi menabung seorang muslim adalah menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim dan harapan untuk memperbaiki perekonomian. Selain itu untuk berjaga-jaga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di masa yang akan datang.

Dalam tabungan ini, perilaku konsumsi seorang muslim juga perlu untuk diperhatikan sesuai dengan aturan Islam yang berlaku. Karena, konsumsi membawa dampak yang sangat erat kaitannya dengan tingkat tabungan seseorang.

2.3 Teori Perilaku Konsumen

2.3.1 Pengertian perilaku konsumen

Menurut Engel (1994) perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa-jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini. Sedangkan Schiffman dan Kanuk mendefinisikan bahwa perilaku konsumen merupakan proses yang dilalui oleh seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya (Prasetijo & Ihalaw, 2005).

Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat proses pencarian seorang konsumen, membelinya, menggunakan dan mengevaluasi terhadap komoditi yang dikonsumsinya. Mengkonsumsi berarti menggunakan jasa, dimana ada unsur yang harus dikorbankan oleh konsumen dalam rangka memenuhi kebutuhannya.

(8)

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen

Bagan 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen

Keputusan pembelian dari pembeli sangat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, sosial, personal dan psikologi dari pembeli. Sebagian besar adalah faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh pemasar, tetapi harus benar-benar diperhitungkan. Oleh karena itu akan dibahas setiap faktor terhadap perilaku pembelian konsumen.

Faktor kebudayaan:

Kebudayaan merupakan faktor penentu yang paling dasar dari keinginan dan perilaku seseorang, karena perilaku manusia umumnya dihasilkan dari proses pembelajaran. Menurut Solomon (2004), kebudayaan mempengaruhi perilaku pembelian karena budaya menyerap dalam kehidupan sehari-hari yang mengimplikasikan suatu cara hidup yang dipelajari secara total dan diwariskan. Hal ini mengandung arti bahwa kebudayaan tidak hanya mencakup tindakan yang berdasar naluri, tetapi juga dipelajari.

Faktor-faktor Sosial:

Kelompok referensi seseorang terdiri dari seluruh kelompok yang mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sikap atau

Kebudayaan - Kultur - Sub Kultur - Kelas Sosial

Sosial - Kelompok

Referensi - Keluarga - Peran &

status - Sosial

Personal - Usia - Tahap

daur hidup.

- Jabatan - Keadaan

ekonomi - Gaya

hidup - Kepribadian

dan

Psikologi - Motivasi - Pengetahuan - Sikap dan

kepercayaan

Sumber: Philip Kotler, Marketing Management, “An Asian Perspective”, Second Editioon (Prentice Hall: Singapore), 1999 p.186

(9)

perilaku seseorang. Sebagian merupakan kelompok primer yang cenderung bersifat informal, seperti kelompok keagamaan, profesi dan kelompok asosiasi perdagangan cenderung bersifat lebih formal dan memiliki interaksi yang tidak begitu rutin.

Anggota keluarga merupakan kelompok primer yang paling berpengaruh. Hal ini dilatarbelakangi bahwa seseorang mendapatkan pandangan tentang agama, politik, ekonomi, serta ambisi pribadi, penghargaan pribadi dan cinta pertama kali dari orang tua. Sedangkan keluarga prokreasi seseorang (pasangan dan anak-anak) akan memberikan pengaruh yang lebih langsung dalam mempelajari perilaku konsumen. Posisi seseorang dalam kelompoknya dapat diidentifikasikan dalam peran dan status. Namun demikian, simbol status berbeda-beda menurut kelas sosial dan lokasi geografis.

Faktor Kepribadian:

Pembelian barang/jasa akan berbeda sepanjang hidupnya. Konsumsi seseorang juga dibentuk oleh tahapan siklus hidup keluarga. Orang-orang dewasa biasanya mengalami perubahan atau transformasi tertentu pada saat mereka menjalani hidupnya. Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi perilaku/pola konsumsinya karena kebutuhan seseorang akan menyesuaikan dengan jenis pekerjaannya.

Faktor keadaan ekonomi terdiri dari pendapatan yang dapat dibelanjakan (tingkatnya, stabilitas, dan polanya), tabungan hartanya, kemampuan untuk meminjam dan sikap mengendalikan pengeluaran.

Faktor-faktor itu mempengaruhi seseorang dalam pembelian. Gaya hidup seseorang adalah pola hidup didunia yang diekspresikan oleh kegiatan, minat, pendapat seseorang. Gaya hidup juga mencerminkan sesuatu dibalik kelas sosial seseorang. Sedangkan yang dimaksud kepribadian adalah karakteristik psikologis yang berbeda dari setiap orang yang memandang responnya terhadap lingkungan yang relatif konsisten. Kepribadian dijelaskan dengan ciri-ciri bawaan seperti kepercayaan diri, dominasi, otonomi, perbedaan, kondisi sosial, keadaan pembelaan diri dan kemampuan

(10)

beradaptasi dan merupakan suatu variabel yang sangat berguna untuk menganalisa perilaku konsumen.

Faktor-faktor Psikologis

Suatu kebutuhan akan menjadi motif/dorongan bila telah mencapai tingkat intensitas yang cukup dan akan mendorong seseorang untuk bertindak atau berperilaku. Sedangkan persepsi didefinisikan sebagai proses dimana seseorang memilih, mengorganisasikan, mengartikan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran secara keseluruhan yang berarti. Persepsi tidak hanya tergantung pada stimuli fisik, tetapi juga stimuli/ rangsangan yang berhubungan dengan sekitar dan keadaan individu tersebut. Faktor pengetahuan menjelaskan perubahan dalam perilaku seseorang yang berasal dari pengalaman. Faktor kepercayaan merupakan suatu gagasan deskriptif yang dimiliki seseorang dan terhadap sesuatu.

Sedangkan faktor sikap merupakan cara konsumen menyikapi informasi yang diterimanya, sehingga menentukan keputusan untuk memilih atau tidak memilih suatu produk.

2.3.3 Perilaku Konsumen Muslim

Seperti yang telah dipaparkan diatas, bahwa perilaku konsumem merupakan proses mencari, membeli dan mengevaluasi terhadap komoditi yang digunakannya. Perilaku konsumen muslim akan dibahas tersendiri, karena secara substansi berbeda denga perilaku konsumen yang pada umumnya telah diketahui.

Hal yang paling mendasar dalam menelaah mengenai konsumen muslim adalah mengenai pengertian “kebutuhan” dan “keinginan” yang menjadi pembeda mendasar dengan konsumen non muslim.

Muhammad (2004) menyatakan bahwa Kebutuhan adalah senilai dengan keinginan. Dalam rasionalitas ekonomi beranggapan bahwa para konsumen berusaha memaksimumkan ‘kepuasan’ mereka. Akan tetapi dalam pandangan Islam menurut Chapra, kebutuhan ditentukan oleh konsep

(11)

maslahah.. Pembahasan kebutuhan tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku konsumen dari kerangka maqashid syariah (Muhammad, 2004).

Siddiqi menjelaskan bahwa persoalan utama yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sifat konsumen muslim sangat erat kaitannya dengan corak permintaan dalam ekonomi Islam, adapun corak permintaan dalam Islam adalah sebagai berikut:

1. Permintaan untuk minuman keras, barang dan jasa yang haram harus ditiadakan;

2. Islam dengan tegas melarang kehidupan yang boros karena ia dianggap asing dengan cara hidup Islam. Membanjirnya penggunaan barang- barang mewah secara berlebihan akan diteliti terlebih dahulu dan secara keseluruhan permintaan terhadap barang-barang tersebut akan menurun.

Hal ini berlawanan dengan keadaan yang berlaku saat ini. Selanjutnya beberapa bagian dari barang mewah tersebut tidak langsung terwujud dalam proses permintaan.

3. Dengan adanya kewajiban zakat bagi konsumen muslim yang telah mencapai nisabnya, maka permintaan untuk barang-barang kebutuhan dan sebagian dari barang mewah akan bertambah akibat terciptanya pemerataan kekayaan dan pendapatan yang lebih memadai;

4. Kepentingan sosial seperti pertahanan dan pendidikan yang semakin maju akan mengakibatkan semakin berkurangnya permintaan untuk barang mewah dan bertambahnya permintaan untuk barang dan jasa yang berkaitan dengan kepentingan sosial ini;

5. Permintaan akan aktivitas kebudayaan dan saat-saat beristirahat akan bertambah dan akan memberikan kesan yang sebaliknya terhadap permintaan barang-barang mewah tersebut.

Mengapa permintaan konsumsi pada seorang muslim berbeda dengan non-muslim? Menurut Kahf menjelaskan terdapat tiga prinsip dasar yang menjadi fondasi bagi teori perilaku konsumsi, yaitu keyakinan akan hari kiamat dan kehidupan akhirat, konsep sukses, serta fungsi dan kedudukan harta (Anto, 2003). Berikut akan dijelaskan satu persatu:

(12)

1. Seorang muslim harus meyakini dengan keimanan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat. Pada hari kiamat manusia akan dibangkitkan dari kematiannya, kemudian menerima kalkulasi pahala dan dosa akibat perilakunya di dunia (yaum al mizan). Setelah itu manusia akan menjalani kehidupan di surga atau neraka, sesuai dengan pahala dan atau dosa yang dimilikinya, yang bersifat kekal dan abadi.

Dengan demikian cakrawala waktu kehidupan menjadi lebih panjang, tidak hanya kehidupan didunia tetapi juga menjangkau kehidupan setelah mati. Keyakinan ini membawa dampak mendasar pada perilaku konsumsi, yaitu pertama, pilihan jenis konsumsi akan diorientasikan pada dua bagian, yaitu yang langsung dikonsumsi untuk kepentingan didunia dan untuk kepentingan akhirat. Kedua, jumlah jenis pilihan konsumsi kemungkinan menjadi lebih banyak, sebab mencakup jenis konsumsi untuk kepentingan akhirat. Jenis konsumsi terakhir ini tidak dicakup dalam rasionalitas Max Weber, kecuali jika memiliki dampak seketika bagi kepuasan manusia.

2. Sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai.

Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan perilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta menjauhkan diri dari kejahatan.

Ketakwaan kepada Allah dicapai dengan menyandarkan seluruh kehidupan hanya karena (niat, motivasi) dan hanya untuk (tujuan) Allah Swt, dan dengan cara (metode) yang telah pula ditentukan oleh Allah.

3. Harta merupakan anugerah Allah Swt dan bukan merupakan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup jika diusahakan dan dimanfaatkan secara benar. Sebaliknya, harta juga dapat menjerumuskan kehidupan manusia kedalam kehinaan jika diusahakan dan dimanfaatkan tidak sejalan dengan ajaran Islam.

(13)

Karim (2007) juga menegaskan bahwa dalam konsep Islam yang haram telah jelas dan yang halal telah jelas. Sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw “Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, di antara keduanya terdapat yang syubhat, namun tidak banyak orang mengetahuinya. Siapa orang yang menghindari yang syubhat berarti telah menjaga kesucian agama dan dirinya, dan siapa yang terjerumus kepada barang yang syubhat akhirnya akan terjerumus kepada yang haram” (HR, Bukhari Muslim)

Secara logika, konsumen muslim dihadapkan pada dua pilihan, yaitu barang halal dan barang haram, sehingga solusinya, konsumen muslim akan mengalokasikan seluruh pendapatan untuk mengkonsumsi barang halal.

Sehingga dari pernyataan tersebut telah jelas bahwa konsumsi konsumen muslim memiliki batasan jika dibandingkan dengan non-muslim. Hal ini mengakibatkan alokasi pengeluran untuk konsumsi yang sifatnya memenuhi kebutuhan hidup didunia seorang muslim lebih sedikit dibandingkan dengan non-muslim.

2.4 Religious Commitment (Komitmen Beragama)

Belum ada definisi atau pengertian tentang religious yang diterima secara umum, meskipun banyak pakar yang mencoba memberikan pengertian seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.1 (Tjahjono, 2007).

Wilkes, Burnet dan Howell (1986, hal 53) menyatakan there is no generally accepted theory of religion. (Tidak ada satupun teori yang secara universal menjelaskan tentang agama).

Pada tabel 2.1, Taylor memberikan definisi bahwa “agama merupakan keyakinan ruhani yang dimiliki seseorang”. Sedangkan Durkheim “ Seperti yang telah banyak dibahas mengenai apa yang berhubungan dengan agama memiliki hubungan erat sebagai makhluk sosial dan perbedaan antara

“kesucian“ dan “kekotoran”. Kemudian Eister menambahkan bahwa “hasil kesepakatan ilmu sosial dan “kemungkinan tidak dapat didefinisikan dengan penjelasan yang umum”. Dan yang terakhir Geertz, menjelaskan bahwa “agama merupakan sistem pada simbol-simbol perbuatan untuk

(14)

menghasilkan kekuatan, menembus dan bertahan lama terhadap keinginan dan motivasi seseorang yang disusun oleh konsep pada permintaan umum untuk menunjukkan keberadaannya dan membungkus penampakan yang ada dengan aura yang nyata, dimana keinginan dan motivasi tampak unik dan nyata”.

Tabel 2.1 Definisi Religious Commitment

Nama Definisi/ Pengertian

Taylor Religion as the belief in spiritual beings.

Durkheim Seems the real topic of religious though as human social relations and as the distinction between “sacred” and

“profane”.

Eister Social scientific consensus and “may not be definable in general terms”.

Geertz A system of symbols which acts to produce powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by formulating conceptions of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.

Sumber: dikutip dari Tjahjono (2007; diolah dari Wilkes, Burnett dan Howell (1986, hal 53))

Berdasarkan penelitian diatas, maka sulit untuk dapat mengukur bagaimana tingkat religius seseorang, karena tidak ada parameter yang mampu menilai apakah seseorang memiliki tingkat religius yang tinggi atau tidak. Akan tetapi dalam melakukan penelitian ini, perlu kiranya parameter yang dapat mengukur religious commitment. Menurut Iannaccone (1995, hal.77) perilaku dapat dipengaruhi oleh norma-norma yang ada didalam ajaran agama tersebut. Serta kekonsistenan seseorang baik ditempat umum maupun dalam kesendirian, tidak dapat diukur dengan faktor tekanan sosial.

Cosgel dan Minkler (2004), menyatakan bahwa ada kesamaan antara kejujuran dengan komitmen, sehingga dapat disamakan antara kejujuran dengan religius commitment.

Penulis dalam mengukur variabel ini, mengacu pada parameter yang juga digunakan oleh Godo Tjahjono (2007), dalam mengukur pengaruh nilai merek dalam persepsi nasabah terhadap preferensi merek bank muamalat.

(15)

Tjahjono (2007) memaparkan bahwa jika religious commitment ditinjau dari sudut pandang teori psikologi, pembahasan ini merupakan bagian dari topik pembahasan nilai kemanusiaan yang universal dan diakui sebagai salah satu kekuatan sosial paling penting dalam sejarah umat manusia, sehingga menjadi penentu perilaku individu dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

McDaniel dan Burnet (1990, hal 101) menyatakan bahwa religiosity is a sub-category of human values and relates specifically to a person’s relationship with a supreme being and how an individual expresses that relationship in society. It is recognized as one of the most important social forces in history as well as being a key force in individual behavior (tingkat keberagamaan sesesorang merupakan sub kategori pada nilai kemanusiaan dan sangat erat kaitannya dengan hubungan seseorang dengan penciptanya, dan bagaimana dirinya menunjukkan hubungannya tersebut pada masyarakat. Hal ini dikenal sebagai salah satu kekuatan yang cukup penting dalam kehidupan sosial sebagaimana juga kekuatan inti pada perilaku seseorang) dan mengutip sejumlah sumber kemudian menyatakan bahwa terdapat hubungan antara religious commitment dengan karakteristik individu (Tjahjono, 2007). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh mereka, individu-individu yang memiliki tingkat religious commitment yang tinggi cenderung untuk berperilaku sebagai berikut:

• Lebih bermoral;

• Lebih conscientious (berhati-hati dan bersungguh-sungguh) dan konsisten;

• Lebih disiplin dan bertanggung jawab;

• Lebih independen (tidak bergantung) dan berjiwa sosial;

• Lebih berempati;

• Lebih konservatif dan traditional;

• Lebih submissive (patuh) dan dipercaya;

• Kurang dominan;

• Kurang kecenderungan menempatkan diri pada posisi “feminist”;

• Lebih pengertian dan dewasa;

• Lebih positif terhadap kualitas hidup mereka.

(16)

Karakteristik yang dikemukakan diatas, memberikan indikasi bahwa manusia dalam berperilaku maupun memiliki kecenderungan dalam melakukan sesuatu hal. Tidak terlepas dari unsur pemikiran agama yang dianutnya. Meskipun agama dianggap sebagai sesuatu pemikiran yang tradisional dan lebih menghindari risiko, namun diduga bahwa faktor agama merupakan faktor yang membawa seseorang untuk memilih produk dan mencobanya (Tjahjono, 2007).

Burnett dan Howell (1986, hal 49) menetapkan empat hal yang dapat digunakan untuk mengukur religious commitment, yakni kehadiran ke tempat atau kegiatan peribadatan, pentingnya nilai-nilai religious dalam pandangan seseorang, keyakinan akan nilai religious dan persepsi religious terhadap diri sendiri (Tjahjono, 2007).

Nudelman (1976), menyatakan bahwa terdapat dua metode pertanyaan dalam mengukur tingkat religius seseorang, yaitu dengan membedakan agama yang bersifat tertutup dan bersifat umum. Dimana pertanyaan yang bersifat umum bisa menggambarkan bahwa seberapa besar pengaruh agama terhadap kehidupannya sehari-hari.

2.5 Pendapatan, Konsumsi dan Tabungan

Dalam pandangan konvensional, pendapatan adalah penjumlahan konsumsi dan tabungan, atau secara matematis ditulis:

DI = C+S (2.1)

Dimana: DI = Pendapatan seseorang C = Konsumsi

S = Tabungan

Karim, memberikan ilustrasi bahwa jika pendapatan terdapat dua periode, dimana alokasi pendapatan adalah sesuai dengan rumus diatas, maka jika konsumsi pada periode pertama lebih kecil dari pendapatan, maka akan terjadi saving dan konsumsi di periode kedua semakin besar. Apabila pendapatan dari sejumlah nominal uang didefinisikan ke dalam dua kelompok yaitu konsumsi dan saving. Maka berdasarkan persamaan diatas

(17)

dapat diketahui bahwa semakin besar konsumsi maka semakin kecil tabungannya (Karim, 2007).

2.5.1 Pendapatan, Konsumsi dan Tabungan menurut Monzer kahf

Dalam ekonomi Islam merujuk pada pemikiran Kahf membuat asumsi sebagai berikut (Karim, 2007):

1. Islam dilaksanakan oleh masyarakat.

2. Zakat hukumnya wajib.

3. Tidak ada riba dalam perekonomian.

4. Mudarabah wujud dalam perekonomian.

5. Pelaku ekonomi bersikap rasional dengan memaksimalkan kemaslahatan.

Rasulullah Saw bersabda, “yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan.” Oleh karena itu, persamaan pendapatan menjadi:

DI = (C+Infak)+S (2.2)

Kahf (1992) membuat parameter dalam mengukur bahwa konsumsi merupakan alat dalam memaksimalkan pencapaian falah, kahf memperkenalkan final spending (fs) sebagai variabel standard dalam melihat kepuasan maximum yang diperoleh seorang konsumen muslim, didalamnya terdapat variabel zakat yang harus ada dalam perekonomian Islam. Kahf berasumsi bahwa zakat merupakan sebuah keharusan dari para muzakki (golongan yang hartanya mencapai nisab, sehingga wajib membayar zakat).

Dengan demikian zakat tidak termasuk dalam final spending. Final spending bagi seorang individu muslim dalam analisa dua periode manurut Kahf adalah sebagai berikut:

FS = (DI-S) + (S-Sz) (2.3)

FS = (DI – sDI) + (sDI – zsDI), atau; (2.4)

FS = DI(1 – zs) (2.5)

(18)

Consumption of essentials (daruriyyat)

Consumption of whatever complements the essential

(hajiyatt)

Consumption of whatever improves on essential

(tahsiniyyat) Third level of choice

Second level of choice First level of choice

Spending for wordly needs Spending for the cause of Allah

Future consumption Present consumption

CHOICES FACED BY CONSUMER

Dimana FS adalah final spending, DI adalah pendapatan seseorang, S adalah total tabungan, s adalah persentase DI yang di tabung dan z adalah persentase zakat. Dari formula diatas, maka dapat digambarkan bahwa terdapat korelasi negatif antara s dan FS, semakin tinggi s semakin kecil FS.

2.5.2 Pendapatan, Konsumsi dan Tabungan menurut Fahim Kahn

Dalam kerangka Islam, yang membedakan konsumsi dengan konsep lainnya adalah konsumen menggunakan nilai-nilai Islam dalam mengkonsumsi komoditi. Pengertian “keinginan” dan “kebutuhan” menjadi pembeda konsumen muslim dalam menentukan kepuasan, “keinginan”

dalam konvensional akan dibatasi oleh kepuasan konsumen, atau biasa dikenal dengan utility. Dalam konsep Islam “kebutuhan” akan dibatasi oleh maslahah dalam rangka memenuhi tujuan syari’ah, dimana tujuan syari’ah adalah memberikan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Maslahah menurut shatibi adalah bagaimana kekayaan dapat melindungi lima elemen penting bagi manusia, yaitu: jiwa, harta, agama, kehormatan dan keturunan.

Menurut Kahn, konsumen muslim akan menghadapi empat tingkat pilihan dalam melakukan konsumsi, yang akan digambarkan sebagai berikut:

Bagan 2.2

(19)

Lanjutan bagan 2.2

Sumber: Kahn (1995) hal 39-40

Dari kerangka diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kahn memberikan pengertian bahwa manusia ketika menerima pendapatan akan dihadapi empat tingkat pilihan, pada tahap pertama, harta yang dimilikinya akan digunakan untuk kebutuhan yang sifatnya duniawi (memenuhi kebutuhan hidup manusia didunia) dan penggunaan dijalan Allah swt. Akan tetapi dalam kerangka Islam dinyatakan bahwa keduanya harus dalam kondisi yang seimbang, seperti yang tertera dalam firman Allah swt:

“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal” (QS. Al-Isra (17):29)

Pada level kedua, manusia dihadapkan pada pilihan konsumsi untuk saat ini dan yang akan datang (menyimpannya), sekali lagi ekonomi Islam mengedepankan keseimbangan diantara keduanya. Mengapa penting untuk memperhitungkan pengeluaran konsumsi dimasa yang akan datang? Ada dua alasan menurut kahn yang penting untuk diketahui bagi konsumen muslim, yaitu:

a. Sesuai dengan perintah Allah swt dan juga sabda Rasulullah saw, bahwa lebih baik meninggalkan sesuatu bagi keluarganya ketika seseorang

Fourth level of choice

Choice between subtitutes

Choice between subtitutes

Choice between subtitutes

(20)

meninggal dunia, dibandingkan meninggalkan keluarganya dalam kondisi yang miskin. Hal ini diperkuat dengan firman Allah swt:

“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, diantara keduanya secara wajar.” (QS. Al Furqan (25):67)

b. Mengharapkan tingkat pengembalian dari menabung/saving, karena seorang muslim memiliki kewajiiban untuk membayar zakat, maka tabungannya akan berkurang setiap tahunnya untuk membayar zakat.

Akan tetapi, ada pengaruh positif yang secara makro dapat memberikan keuntungan bagi muzakki (golongan yang mencapai nisab untuk membayar zakat) dalam memenuhi kebutuhannya tanpa harus mengurangi simpanannya tersebut.

Pada tingkat yang ketiga, manusia menghadapi pilihan yang merupakan prioritas dalam memenuhi kebutuhannya, ada tiga tingkatan dalam pemenuhan kebutuhan yang setiap tingkatnya merupakan prioritas utama yang harus dipenuhi sebelum manusia akan mencukupi kebutuhan ditingkat selanjutnya, yaitu sebagai berikut:

a. Tingkatan dimana lima kebutuhan fundamental manusia (jiwa, kekayaan, agama, akal dan keturunan) hampir terpenuhi (daruriyyat).

b. Tingkatan dimana lima kebutuhan dasar manusia sudah terpenuhi (hajiyyat).

c. Tingkatan dimana lima kebutuhan dasar manusia tidak hanya terjamin telah terpenuhi, namun juga memperindah dalam menopang kebutuhan tersebut. (tahsiniyyat).

Pada level empat, tahapan dimana konsumen dapat memilih apa yang akan dikonsumsi ketika ketiga level telah dipertimbangkan dan konsumen bisa memilih pilihan konsumsi subtitusi.

Kahn membagi konsumen muslim memiliki dua tipe pengeluaran, yaitu pengeluaran yang ditujukan untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya,

(21)

yang diberi lambang dengan E1. Tipe yang kedua adalah kebutuhan yang lain, yaitu pengeluaran dijalan Allah Swt dengan simbol E2, sehingga total pengeluaran diberi simbol E, maka formulanya adalah sebagai berikut:

E = E1 + E2 (2.6)

Dimana E1 terdiri dari konsumsi saat ini (C1) dan tabungan/ investasi untuk konsumsi yang akan datang (S1). Sedangkan E2 terdiri dari konsumsi penerima bantuan untuk saat ini (C2), dan investasi untuk kebutuhan sosial atau apa yang disimpan oleh penerima bantuan untuk investasi dirinya (S2).

Apa yang dikonsumsi oleh konsumen muslim lebih sedikit jika dibandingkan dengan konsumen non-muslim, karena hanya yang diperbolehkan dalam aturan Islam yang akan dikonsumsi oleh konsumen muslim.

Alokasi besarnya pengeluaran E1 dan E2 ditentukan oleh perilaku

“rational” konsumen seperti yang terjadi pada ekonomi konvensional. (akan tetapi asumsinya pada konsumen muslim tidak kikir dan tidak berlebihan dalam melakukan konsumsi, dan tidak akan menimbun untuk kepentingan kesejahteraan dirinya). Parameter lainnya yaitu tingkat ketakwaan seseorang, dimana tingkat ketakwaan konsumen muslim ini berlandaskan pada firman Allah swt:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali Imran (3): 102)

“...Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.” (QS. Al-Hujurat (49):13)

(22)

“ Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah (2):2-3)

Seorang muslim dianjurkan untuk melakukan penyimpanan terhadap hartanya, dan sebagian besar hartanya sebisa mungkin untuk diinvestasikan agar harta yang disimpan tidak habis hanya untuk membayar zakat, namun juga dapat menerima keuntungan dari penyimpanan tersebut.

Kahn, membuat persamaan pengeluaran seorang muslim terbagi menjadi dua, yaitu golongan yang membayar zakat dan golongan yang menerima zakat. Sehingga formulanya adalah sebagai berikut:

CL = YL + E2 (2.7)

E2 = F(a,Yu) a=F(T) (2.8)

Yu=E1+E2 (2.9)

E1=Cu+S (2.10)

Cu=(1-β)F(E1) β=G(T) (2.11)

Keterangan untuk rumusan diatas adalah sebagai berikut:

CL = Konsumsi untuk golongan yang mencapai nisab membayar zakat.

YL = Pendapatan golongan yang mencapai nisab membayar zakat.

E2 = Pengeluaran muzaki untuk mustahik

a = Besarnya nilai yang dikeluarkan untuk mustahik F(T) = Tingkat ketakwaan

Yu = Pendapatan mustahik

E1 = Pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan konsumen didunia.

Cu = Konsumsi untuk golongan penerima zakat (mustahik).

S = Saving.

β = Besarnya nilai yang diterima mustahik G(T) = Tingkat ketakwaan

(23)

2.6 Penelitian-Penelitian Terdahulu

2.6.1 Penelitian Empiris tentang pengaruh tingkat religius, pendapatan dan konsumsi terhadap perilaku menabung.

Abdullah dan Majid (2002), mengaitkan antara kekonsistenan dan ketaatan dalam ibadah sebagai parameter tingkat religius seorang muslim.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat religius dengan aktivitas ekonomi terutama pada perilaku menabung seorang muslim.

Dalam penelitiannya, Abdullah dan Majid (2002), mengaitkan pendapatan dan konsumsi sebagai variabel yang berpengaruh pada perilaku menabung seseorang (telah diteliti oleh banyak peneliti dan hasilnya signifikan). Unsur ajaran Islam dimasukkan untuk menjawab tujuan penelitian diatas, diasumsikan bahwa seseorang yang memiliki tingkat religius lebih tinggi adalah mereka yang menjalankan ibadah secara konsisten, sehingga perbuatan religius atau dengan kata lain ibadah yang bersifat vertikal dijadikan sebagai parameter dari pengukuran tingkat religius. Pada penelitian ini keberagamaan seseorang diukur dengan perbuatan ibadah, dimana perbuatan ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu perbuatan wajib yang mengacu pada rukun iman dan Islam; kedua perbuatan yang diharamkan mengacu pada bagaimana sikap terhadap hal-hal yang dilarang oleh Al Qur’an dan As’sunnah; dan yang terakhir adalah perbuatan sunnah, artinya ibadah tambahan yang dilakukan mempunyai hukum sunnah (dikerjakan mendapat pahala dan jika tidak dikerjakan tidak mendapatkan sangsi). Perbuatan-perbuatan religius ini disusun dalam kuesioner, sehingga formula dari index religius sebagai berikut:

RIi=[(ODi+PDi+CDi)/2404] x 100 (2.12) Keterangan:

RIi = Religius Index

ODi = Perbuatan Wajib (Obligatory Deeds) PDi = Perbuatan Haram (Prohibited Deeds) CDi = Perbuatan Sunnah (Commended Deeds)

(24)

Perbuatan wajib direfleksikan dengan bagaimana seseorang mengerjakan secara konsisten sholat dan puasa, serta seberapa penting seorang muslim memandang arti syahadat, zakat dan pergi haji, serta rukun iman. Sedangkan perbuatan haram mengacu pada seberapa penting seseorang menilai sikap tidak memakan babi, meminum minuman keras, tidak mencuri, tidak berzina, tidak melawan orangtua. Sedangkan perbuatan sunnah dapat diukur melalui pentingnya seseorang menilai memberikan sumbangan dijalan Allah Swt (Infaq & sedekah), tidak berlebih-lebihan, menjaga silaturahim dengan kerabat dan keluarga, sholat sunnah yang dilakukan dalam satu hari, puasa sunnah dalam satu bulan dan membaca Al- Qur’an dalam satu hari.

Dari formula diatas, maka dapat dibuat fungsi tabungan dalam model ekonometri dibawah ini:

Si =

α

0+

α

1RIi+

α

2Yi+

α

3Ci+

ε

i (2.13) Keterangan:

Si = Tabungan (Saving) RIi = Religius Index

Yi = Pendapatan

Ci = Konsumsi

α

0 = Konstanta

α

1,

α

2, dan

α

3 = Estimasi Parameter

ε

i = Error

i = Responden

Penelitian yang dilakukan Abdullah dan Majid, (2002) dilakukan pada mahasiswa International Islamic University Malaysia (IIUM), Jurusan Economics and Management Sciences (KENMS) dan jurusan Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences (KIRKHS). Dari 180 kuesioner yang dibagikan, hanya ada 160 kuesioner yang dikembalikan atau 88.9%.

Pendapatan mahasiswa bersumber pada beasiswa dan pendapatan lainnya dari hasil usaha kerja sampingannya, sedangkan konsumsi diukur dari seseorang mengeluarkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya didunia (seperti membeli pakaian, makanan, tempat tinggal (sewa), dan sebagainya). Sedangkan zakat, infaq dan sedekah masuk pada kategori index religius.

(25)

Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut, dikemukakan bahwa secara statistik hubungan antara tingkat religius dan tabungan signifikan, namun sifat hubungannya tidak kuat. Sedangkan untuk pendapatan dan konsumsi menggambarkan bahwa kenaikan tingkat pendapatan akan memberikan dampak kenaikan pada tabungan, sedangkan kenaikan pada tingkat konsumsi akan mengakibatkan tingkat tabungan yang rendah, hal ini didukung dengan hasil statistik yang siginifikan terhadap hubungan tersebut.

Sedangkan pada tingkat tabungan berdasarkan persentasi yang dialokasikan oleh mahasiswa, hasil statistik menyatakan bahwa pendapatan menunjukan hubungan yang tidak signifikan sedangkan konsumsi dan indeks religius signifikan. Abdullah & Majid (2002), memasukkan unsur gender untuk melihat apakah ada hubungan antara gender dengan tingkat menabung, dan hasilnya adalah signifikan. Dan hasil yang terakhir menunjukkan bahwa model diasumsikan normal, dimana distribusi dilakukan dengan distribusi normal.

Kesimpulannya, tabungan, tingkat religius, konsumsi, pendapatan dan jenis kelamin, menjelaskan bagaimana mahasiswa IIUM mengalokasikan pendapatannya. Berdasarkan hasil statistik, menunjukkan bahwa tingkat religius sangat mempengaruhi perilaku menabung.

2.6.2 Penelitian Empiris tentang motif menabung

Horioka dan Watanabe (1997), melakukan penelitian terhadap kehidupan rumah tangga di jepang, dengan melihat kontribusi tabungan pada setiap tujuan menabung yang dibagi menjadi 12 motif dan dikelompokkan menjadi 3 motif dengan menggunakan data mikro dari survey yang dilakukan pemerintah jepang. Tiga kategori yang terbentuk yaitu:

a. life-cycle motives (motif daur hidup), yang dapat diartikan sebagai tujuan yang timbul dari ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran dalam berbagai tahap kehidupan, dimana terdapat perbedaan waktu pada saat menerima pendapatan dan arus pengeluaran. Misalnya seperti

(26)

tabungan untuk rekreasi, pernikahan, dan beban biaya pada saat berhenti bekerja, pembelian barang-barang tahan lama serta rumah beserta isinya, pendidikan anak dan pernikahan anak.

b. Precautionary motives (motif berjaga-jaga), didefinisikan sebagai motif yang timbul dari ketidakpastian pendapatan dimasa yang akan datang dan atau pengeluaran. Contohnya meliputi fluktuasi pendapatan, pengangguran, kesehatan, kecelakaan, bencana alam, dan risiko jangka panjang.

c. The bequest motives (motif warisan), merupakan motif yang timbul karena adanya keinginan untuk meninggalkan hartanya kepada anak- anaknya dan ahli waris lainnya.

Data yang digunakan merupakan hasil analisa dari “Survey on the Financial Asset Choice of Households (Kakei ni okeru Kin’yu Shisan Sentaku ni kansuru Chosa)”. Yang diambil pada bulan november tahun 1994 oleh Institute for post and telecommunications policy of the ministry of posts and telecomunications of the government of japan. Telah disurvey dengan menghasilkan 3,924 observasi (tingkat respon yang diterima 65,4%).

Pada penelitian tersebut dihasilkan bahwa dari 12 motif yang diberikan pilihan, ditemukan motif untuk membiayai beban hidup pada saat tidak bekerja dan 2 motif berjaga-jaga (yaitu kesehatan dan ketenangan diri), semuanya konsisten dengan model daur hidup yang paling dominan penting dan total tabungan bersih untuk warisan hanya menghasilkan 3,23% dari seluruh motif. Hal ini menunjukkan bahwa model daur hidup sebagai tujuan memiliki tingkat peminat yang cukup tinggi di jepang. Selain itu, ditemukan juga bahwa motif menabung dijepang sangat dipengaruhi oleh usia dan mereka menabung untuk tujuan pengeluaran dalam tahap kehidupan yang dijalani.

2.7 Penerapan Teori dalam Pemecahan Masalah

Berdasarkan teori dan penelitian terdahulu yang telah dipaparkan, maka dalam penelitian yang dilakukan saat ini, mengacu pada referensi apa yang telah dikemukakan dan diujikan dalam kaitannya dengan penelitian

(27)

perilaku menabung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dan Majid (2002) mengenai pengaruh tingkat religius, pendapatan dan konsumsi terhadap perilaku menabung; maka dalam tesis ini kembali akan dibuktikan dengan ditambah faktor demographi, yaitu usia, jenis kelamin dan status pernikahan. Selain itu, akan di kaji kembali mengenai motif utama dalam menabung dengan mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Horioka dan Watanabe (1997) dengan tambahan motif ibadah sebagai salah satu pilihan.

Dalam mengukur tingkat religius, referensi yang digunakan adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Tjahjono (2007) dan Nudelman (1976) yaitu religious commitment dengan standar pengukuran adalah menurut pandangan dirinya sendiri. Sedangkan teknik analisis data berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu menggunakan multinomial logit, uji wald dan descriptive frequencies untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Gambar

Tabel 2.1 Definisi Religious Commitment

Referensi

Dokumen terkait

apakah citra Kereta Api Prambanan Ekspres dimata Komunitas Pramekers Joglo sudah sesuai dengan citra yang diharapkan perusahaan mengenai Kereta Api Prambanan Ekspres

Miftakhul Jannah 931310216 Strategi Usaha Home Industry Dalam Meningkatkan Pendapatan Karyawan Perspektif Ekonomi Islam (Studi Kasus di UD. Rahayu Desa Bogem Kecamatan Gurah

Kolej RISDA Kelantan Sijil Kemahiran Malaysia Kursus Pembuat Pakaian Wanita Tahap 2 12 Bulan 0 57 0. Kolej RISDA Semporna Sijil Kemahiran Malaysia Kursus Kejuruteraan Sistem

Akan tetapi jika ketahanan rotan tersebut dinilai berdasarkan persentase jumlah bubuk yang hidup (Lampiran 3), maka dari 16 jenis rotan yang diamati, sebanyak 4 jenis (25%),

terlampir dalam dokumen tersebut, surat pernyataan kesediaan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang ditandatangani oleh Ketua Koperasi

Creswell, ahli psikologi pendidikan dari University of Nebraska, Lincoln (Creswell, 1994:150-1) metode pendekatan kualitatif merupakan sebuah proses.. Untuk mengungkapkan

Pemisahan senyawa atau unsur-unsur yang dikandung sehingga didapatkan berat endapan dapat dilakukan melalui cara pengendapan pada analisis gravimetrik.. Kadar klorida dapat

Harga ini lebih murah dari variabel total tanpa menggunakan Preventive Maintenance (PM) sebesar Rp.445,632,- sehingga dapat dilakukan penekanan biaya sebesar 11,65% atau Rp.51,929,-