• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tentang Hak

A.1. Pengertian Hak

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah hak yang erat kaitannya dengan kewajiban yang dimiliki oleh setiap orang. Hak setiap orang merupakan fitrah yang ada sejak seseorang tersebut lahir bahkan sebelum ia dilahirkan atau masih dalam kandungan. Pengertian hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir.Menurut Kamus Bahasa Indonesia hak mempunyai makna atau pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.

Dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya, ketentuan mengenai hak setiap orang tersebut diatur dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, diantaranya mengatur hak sebagai berikut :

a. “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” (Pasal 28A).

(2)

b. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” (Pasal 28B ayat (2).

c. “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” (Pasal 28D ayat (1).

d. “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” (Pasal 28I ayat (2).

A.2. Konsep/Pengertian Anak

A.2.1. Pengertian Anak

Pengertian anak berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah terkait dengan status anak yang masih berada dalam kekuasaan orang tuanya yaitu anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Pengertian Anak berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, tertuang dalam Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) dan belum pernah kawin”.

(3)

Ditegaskan oleh R. Wiyono, bahwa berdasarkan pengertian anak yang disebutkan dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak tersebut, maka seseorang dapat dikategorikan sebagai anak apabila :

a. Belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun; dan

b. Belum pernah menikah/kawin.10

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pengertian anak adalah sebagai anak yang belum dewasa atau anak dibawah umur, yaitu anak yang umurnya belum mencapai 15 (lima belas) tahun.

Pengertian Anak menurut Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Right of the Child), Resolosi Nomor 109 Tahun 1990 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990, Pasal 1 Konvensi tentang Hak-Hak Anak menyebutkan bahwa : “Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.

R. Wiyono menjelaskan bahwa Pasal 1 Konvensi tentang Hak-hak Anak hendak memberikan pengertian tentang anak, yaitu semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali undang-unang menetapkan bahwa kedewasaan dicapai lebih awal . . . Untuk dapat disebut anak menurut Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak, tidak usah mempermasalahkan apakah anak tersebut sudah atau belum kawin.11

10 R. Wiyono. 2016. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Jakarta. Penerbit PT. Sinar Grafika. Hal. 11.

(4)

Pengertian Anak menurut Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa : “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. Pengertian Anak berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tertuang dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Pengertian Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, ditegaskan dalam Pasal 1 angka 2 yang menyebutkan bahwa : “Anak yang berhadapan dengan hukum adalah Anak yang berkonflik dengan hukum, Anak yang menjadi korban tindak pidana, dan Anak yang menjadi saksi tindak pidana”.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka 3, 4 dan angka 5 menjelaskan pengertian dan batasan umur Anak, Anak Korban dan Anak Saksi, sebagai berikut :

(5)

a. Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa : “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.

b. Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa : “Anak yang menjadi Korban tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana”. c. Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa : “Anak yang menjadi

Saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri”.

Lilik Mulyadi berpendapat bahwa batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke sidang Anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.12

(6)

A.2.2. Pengaturan Tentang Anak

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 47 menegaskan bahwa :

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala

perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa :

a. Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkemmbangan dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial;

(7)

b. Usaha Kesejahteraan Anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menempatkan kedudukan anak sebagai seseorang yang belum dewasa, yang mempunyai hak-hak khusus sehingga dipandang perlu mendapatkan perlindungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 287, Pasal 290, Pasal 294 dan Pasal 295 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Right of the Child), Resolosi Nomor 109 Tahun 1990 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990, mengemukakan tentang prinsip-prinsip umum perlindungan anak yaitu : Nondiskriminasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak. Disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah :

“seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

(8)

Ditegaskan dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa : “Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah”. Hal tersebut terkait dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa :“Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjamin hak-hak Anak yang berhadapan dengan hukum baik terhadap Anak, Anak Korban maupun Anak Saksi yang yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan peratauran perundang-undangan terkait lainnya, dan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa : “Sistem Peradilan

(9)

Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana”.

B. Pelaku Tindak Pidana

B.1. Konsep Pelaku Tindak Pidana

Pelaku tindak pidana merupakan subyek dari suatu tindak pidana yaitu seorang manusia atau beberapa orang manusia sebagai oknum yang telah melakukan suatu tindak pidana, dan menurut doktrin yang dimaksud pelaku tindak pidana (Dader) adalah barang siapa atau setiap orang yang melakukan semua unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau undang-undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subyek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum.Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subyek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda.13

B.2. Jenis/Macam Pelaku Tindak Pidana

Jenis/macam atau kualifikasi pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dikenal sebagai delik penyertaan dan delik pembantuan.

13 Wirjono Prodjodikoro. 2014. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung. Penerbit Refika Aditama. Hal. 59.

(10)

Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menyebutkan bahwa :

(1) Dipidana sebagai pembuat delik :

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan;

2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja

dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibatnya. Pasal 56 KUHP, menyebutkan dipidana sebagai pembantu

kejahatan :

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan”.

Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut diatas maka pelaku tindak pidana dapat dikualifikasikan menjadi 5 (lima) golongan, yaitu: 1. Yang melakukan perbuatan atau tindak pidana (pleger);

2. Yang menyuruh melakukan perbuatan atau tindak pidana (doen pleger);

3. Yang turut melakukan perbuatan atau tindak pidana (mede pleger); 4. Yang membujuk atau menganjurkan supaya melakukan perbuatan

atau tindak pidana (uit lokken);

5. Yang membantu sebelum atau pada saat tindak pidana dilakukan oleh orang lain (medeplichtig zijn, medeplichtige).

(11)

C. Tindak Pidana Kekerasan

C.1. Konsep/Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana atau dalam bahasa Belanda disebut strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, dan ada istilah dalam bahasa asing yaitu delict. “Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subyek tindak pidana”.14

Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan pidana.Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.15

Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.

2. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

3. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan 14 Ibid.

15 Tri Andrisman. 2009. Hukum Pidana Asas-Asas Dan Aturan Umum Hukum Pidana di

(12)

kejadian itu ada hubungan erat pula. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

C.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Untuk mengetahui adanya tindak pidana maka dapat dilihat dari wujud perbuatan yang merupakan unsur suatu tindak pidana, wujud perbuatan ini pertama-tama harus dilihat pada perumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana. Misalnya dalam tindak pidana pencurian, perbuatan dirumuskan sebagai “mengambil barang” yang merupakan perumusan secara formal yaitu benar-benar disebutkan wujud suatu gerakan tertentu dari badan seorang manusia bagaimana cara mengambil barang tersebut. Sedangkan perumusan secara material memuat penyebutan suatu akibat yang disebabkan oleh perbuatannya, misalnya tindak pidana penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan perbuatan kekerasan terhadap Anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, dirumuskan sebagai “mengakibatkan luka, luka berat atau matinya orang lain”.

Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa Perbedaan perumusan formal dan material ini tidak berarti bahwa dalam perumusan formal tidak ada suatu akibat sebagai unsur tindak pidana, dalam tindak pidana dengan rumusan formal selalu ada akibat yang merupakan alasan diancamkannya hukuman

(13)

pidana, baik akibat suatu kerugian pada kepentingan orang lain atau kepentingan negara.16

Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah : - Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak

berbuat atau membiarkan).

- Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld). - Melawan hukum (onrechtmatig).

- Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand). - Oleh orang yang mampu bertanggung jawab(toerekeningsvatoaar

person).

C.3. Konsep Tindak Pidana Kekerasan

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada penjelasan yang kongkrit mengenai pengertian kekerasan, Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjelaskan bahwa : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 15a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara lebih jelas disebutkan bahwa :

“Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum”.

(14)

C.4. Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan

Kejahatan kekerasan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diantaranya, sebagai berikut :

1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain diatur dalam Pasal 338 sampai dengan pasal 350 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2. Kejahatan penganiayaan diatur dalam Pasal 351 sampai dengan

Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3. Kejahatan kekerasan terhadap orang atau barang (pengroyokan) diatur dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 4. Kejahatan pencurian dengan kekerasan (perampokan) diatur

dalam Pasal 365 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Larangan untuk melakukan kekerasan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur dalam pasal 76C yang berbunyi : “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak”. Sedangkan sanksi hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap Anak diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut :

(15)

(1)Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus dua juta rupiah).

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

D. Penuntutan

D.1. Pengertian Penuntutan

Pengertian Penuntutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu :“Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.

Pengertian penuntutan juga ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa :

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.

(16)

D.2. Pengaturan Tentang Penuntutan

Disebutkan dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya Institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.17

D.2.1. Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 6 huruf a menyebutkan bahwa :“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk 17 Kejaksaan Republik Indonesia.Pengertian Kejaksaan. Dalam https://www.kejaksaan.go.id. Access 4 Oktober 2017.

(17)

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, makna yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Dalam Pasal 1 angka 6 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, disebutkan bahwa : “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.

D.2.2. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, diatur bahwa dibidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum di limpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik.

(18)

Di dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan pra penuntutan. Pra penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur wewenang Penuntut Umum, yang menyatakan bahwa :

Penuntut Umum mempunyai wewenang :

a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. mengadakan pra penuntutan apabila ada

kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. membuat surat dakwaan;

e. melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

(19)

g. melakukan penuntutan;

h. menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

j. melaksanakan penetapan hakim.

D.2.3. Serah Terima Tanggung Jawab Atas Tersangka dan Barang Bukti Dari Penyidik Kepada Penuntut Umum

Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa :

“Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”.

Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 140 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pendapat penuntut umum menyatakan:

“Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, diberitahukan kepada penyidik dengan permintaan agar penyidik segera menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum”.

D.2.4. Surat Dakwaan

Surat dakwaan merupakan penataan kontruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang terungkap sebagai hasil penyidikan dengan cara merangkai perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur-unsur tindak pidana sesuai ketentuan undang-undang pidana yang bersangkutan.

(20)

Kewenangan penuntut umum membuat surat dakwaan diatur dalam Pasal 14 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi : “Penuntut umum mempunyai wewenang membuat surat dakwaan”. Kemudian dalam Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Scara Pidana, juga disebutkan bahwa :

Penuntut umum dalam membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani dan berisi :

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.

Dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, dijelaskan bahwa ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi surat dakwaan dapat dikategorikan : a. Bagi pengadilan/hakim, surat dakwaan merupakan dasar

dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan;

b. Bagi penuntut umum, surat dakwaan merupakan dasar pembuktian/analisa yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;

(21)

c. Bagi terdakwa/penasehat hukum, surat dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Pembuatan Surat Dakwaan tersebut juga menegaskan bahwa undang-undang tidak menetapkan bentuk surat dakwaan dan adanya berbagai bentuk surat dakwaan dikenal dalam praktek, yaitu : dakwaan tunggal, dakwaan alternatif, dakwaan subsidair, dakwaan kumulatif, dan dakwaan kombinasi.

Dalam surat dakwaan alternatif terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan apabila belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Misalnya Dakwaan pertama : pencurian (Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), atau Kedua penadahan (Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsidair juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya.Sistimatik disusun secara berurut dimulai dari tindak pidana yang

(22)

diancam dengan pidana tertinggi sampai tindak pidana yang diancam pidana terendah.Pembuktiannya dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti. Misalnya Dakwaan Primair : pembunuhan berencana (Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Subsidair : pembunuhan (Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Lebih subsidair : penganiayaan yang menyebabkan matinya orang (Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

D.2.5. Pelimpahan Perkara ke Pengadilan

Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan memberikan wewenang kepada penuntut umum, yakni : “Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”.

Kemudian Pasal 143 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidanamenyebutkan bahwa : “Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”.

(23)

D.2.6. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Disebutkan dalam Pasal 155 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa pada permulaan sidang hakim ketua sidang menanyakan dan memeriksa identitas terdakwa.

Kemudian ayat (2) menyatakan bahwa :

a. Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan.

b. Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabiala terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.

Terkait pemeriksaan saksi dan terdakwa di sidang pengadilan penunnut umum mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu : “Penuntut umum atau penasehat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan terdakwa”.

Terkait wewenang penutut umum mengajukan tuntutan pidana dan jawaban atas pembelaan diatur dalam Pasal 182 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagai berikut :

a. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penutut umum mengajukan tuntutan pidana;

(24)

b. Selanjutnya terdakwa atau penasehat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir;

c. Tuntutan dan pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.

E. Sistem Peradilan Pidana Anak

E.1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak sesuai dengan yang diatur dalam pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah :“Keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana”. Dari pengertian tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut di atas maka secara lengkap dapat dijelaskan bahwa keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, pelaksanaan putusan pengadilan dan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

E.1.1. Hukum Acara Peradilan Pidana Anak

Hukum acara pidana yang diberlakukan dalam pelaksanaan proses penyelesaian perkara Anak yang

(25)

berhadapan dengan hukum memedomani ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan hukum acara pidana yang belum diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak maka hukum acara pidana yang diatur dalam Kitan Hukum Acara Pidana masih berlaku dalam proses penyelesaian perkara Anak, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b jo Pasal 16 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

E.1.2. Asas-Asas Sistem Peradilan Pidana Anak

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, diatur ketentuan bahwa :

Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas :

a. Perlindungan; b. Keadilan;

c. Nondiskriminasi;

d. Kepentingan terbaik bagi Anak; e. Penghargaan terhadap pendapat Anak;

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; g. Pembinaan dan pembimbingan Anak;

h. Proporsional;

i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai

upaya terakhir;dan

j. Penghindaran pembalasan.

Lilik Mulyadi menegaskan bahwa konsekuensi kontek asas-asas Sistem Peradilan Pidana Anak mendeskripsikan bahwa SPPA bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat Anak, kemudian Anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan, oleh

(26)

karena itu SPPA tidak hanya menekankan pada aspek penjatuhan sanksi pidana bagi Anak pelaku tindak pidana, melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan Anak pelaku tindak pidana.18

E.1.3. Hak-Hak Anak Dalam Proses Peradilan Pidana

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 3 mengatur bahwa :

Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:

a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;dipisahkan dari orang dewasa;

b. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

c. melakukan kegiatan rekreasional;

d. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

e. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

f. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

g. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

h. tidak dipublikasikan identitasnya;

i. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;

j. memperoleh advokasi sosial; k. memperoleh kehidupan pribadi;

l. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

m. memperoleh pendidikan;

n. memperoleh pelayananan kesehatan; dan

o. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(27)

E.2. Penuntutan Sebagai Bagian Dari Sistem Peradilan Pidana Anak

Proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, meliputi tahapan-tahapan : tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan di sidang pengadilan, tahap pelaksanaan putusan pengadilan, dan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Dari tahapan-tahapan tersebut sangat jelas bahwa penuntutan merupakan bagian dari proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, dan sebagai bagian dari proses maka dalam pelaksanaannya tentu diatur kewenangan dan kewajiban Penuntut Umum Anak dalam tahap penuntutan termasuk dalam tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.

E.2.1. Pengertian Penuntut Umum Anak

Bahwa dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa : “Dalam undang-undang ini yang dimaksud Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak”.

Pasal 41 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa :

(1) Penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.

(28)

(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. Telah berpengalaman sebagai penuntut umum;

b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan

c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.

(3) Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Maidin Gultom menegaskan bahwa apabila penuntutan Anak dilakukan oleh yang bukan Penuntut Umum Anak dikhawatirkan sasaran-sasaran perlindungan Anak diabaikan, apabila Penuntut Umum yang bersangkutan tidak memahami masalah Anak dikhawatirkan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan dalam penuntutan tidak mencerminkan prinsip-prinsip perlindungan Anak.19

E.2.2. Kewajiban Penuntut Umum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Kewajiban penuntut umum erat hubungannya dengan hak-hak Anak yang harus dipenuhi oleh Penuntut Umum Anak, kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Penuntut Umum Anak pada tingkat penuntutan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, adalah sebagai berikut :

a. Melaksanakan asas-asas Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak;

(29)

b. Memenuhi hak-hak anak dalam proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak;

c. Mengutamakan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak; d. Melaksanakan Diversi sebagaimana yang diwajibkan

dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak;

e. Memberikan perlindungan khusus bagi Anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak;

f. Memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak; g. Tidak memakai toga atau atribut kedinasan lainnya dalam memeriksa Anak, Anak Korban dan/atau Anak

(30)

Saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak;

h. Mengupayakan Anak diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pemeriksaan tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak; i. Mengupayakan Anak Korban dan/atau Anak Saksi yang

dihadirkan untuk memberikan keterangan dipersidangan didampingi oleh orang tua dan/atau orang lain yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak; j. Membuat register perkara Anak dan Anak korban secara

khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak;

k. Tidak melakukan penahanan terhadap Anak dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana sebagaimana dimaksud

(31)

dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak;

l. Tidak melakukan penahanan terhadap Anak dalam hal Anak belum berumur 14 (empat belas) tahun dan tindak pidana yang diduga dilakukannya diancam pidana kurang dari 7 (tujuh) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dan bUndang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak;

m. Dalam hal melakukan penahanan wajib memberitahukan kepada Anak dan orang tua/wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

E.2.3. Diversi Pada Tingkat Penuntutan

Pengertian Diversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan : “Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana”.Pasal 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa :

(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.

(32)

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :

a. Diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memuat klausula yang mendorong anak-anak tidak perlu menjalani proses pidana dengan tanpa menihilkan penanaman rasa tanggungjawab anak dalam proses diversi. Proses diversi ini berguna bagi anak yang menghadapi kasus hukum untuk menghindari efek negatif dari proses-proses peradilan selanjutnya dalam administrasi peradilan anak semisal labelisasi atau stigmatisasi akibat pernyataan bersalah maupun vonis hukuman.20

Selain itu, ICJR dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa proses diversi ini merupakan salah satu terobosan dalam meminimalisir penggunaan pemidanaan yang sangat berat, karena temuan ICJR memperlihatkan banyak kasus anak yang diancam pidana penjara 7 tahun atau lebih.21Hal ini kemudian

bergantung pada pandangan aparat penegak hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan anak dan bagaimana mereka memanfaatkan instrumen yang ada dalam UU SPPA.22

“R. Wiyono menegaskan bahwa dengan demikian perkara anak yang tindak pidananya diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau merupakan pengulangan tindak pidana maka tidak wajib diupayakan Diversi”.23

20 Fachrizal Afandi. 2015. Problematika Pelaksanaan Diversi Dalam Penyidikan Pidana

Dengan Pelaku Anak di Kepolisian Resort Malang.Malang. Jurnal ARENA HUKUM.Vol.8. No.1.

Fakultas Hukum. Universitas Brawijaya. Hal. 24.

21 Sufriadi Pinim Erasmus A. T. Napitupulu. 2013. Studi Atas Praktik Peradilan Anak di

Jakarta. Institute for Criminal Justice Reform. Hal. 29.

22 Ibid. Hal. 66.

(33)

Pasal 42 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa :

(1) Penuntut umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik.

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. (3) Dalam proses Diversi berhasil mencapai

kesepakatan, penuntut umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. (4) Dalam hal Diversi gagal, penuntut umum wajib

menyampaikan Berita Acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.

E.2.4. Kewenangan Penuntut Umum Dalam Sistem PeradilanPidana Anak

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, diatur kewenangan Penuntut Umum Anak, diantaranya :

a. Kewenangan melakukan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 41 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak; b. Kewenangan melakukan penahanan untuk kepentingan

penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak;

c. Kewenangan membuat surat dakwaan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang berdasarkan Pasal 5 ayat (2)

(34)

a Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak berlaku pula dalam penanganan perkara Anak;

d. Kewenangan melimpahkan perkara Anak ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak;

e. Kewenangan dalam pemeriksaan di pengadilan yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menegaskan bahwa ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan dalam undang-undang ini.

E.2.5. Serah Terima Tanggung Jawab Anak dan Barang Bukti Dari Penyidik Kepada Penuntut Umum

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, diaturbahwa :

(1) Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik berkoordinasi dengan Penuntut Umum.

(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak dimulai penyidikan.

Penjelasan pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bahwa :“Koordinasi dilakukan untuk kepentingan memberi petunjuk dan visi agar

(35)

kelengkapan berkas dapat segera terpenuhi secara formal dan materiil”.

Ketentuan Pasal 140 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga berlaku dalam penanganan perkara anak, yang berbunyi : “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, yang dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan”.Pendapat Penuntut Umum Anak tersebut secepatnya diberitahukan kepada penyidik dengan permintaan agar Penyidik Anak segera menyerahkan tanggung jawab perkara Anak dan barang bukti kepada Penuntut Umum Anak.

E.2.6. Penahanan Anak Pada Tingkat Penuntutan

Disebutkan dalam Pasal 34 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa :

(1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari.

(2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan penuntut umum dapat diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari.

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.

Penahanan terhadap Anak dalam tingkat penuntutan harus memperhatikan syarat-syarat yang ditegaskan dalam

(36)

pasal 32 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu :

(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.

(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut :

a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan

b. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun atau lebih.

(3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.

(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi.

(5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Sebagaimana persyaratan yang ditegaskan dalam pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diatas, diperkuat dengan pendapat ahli hukum yakni :

Menurut Lilik Mulyadi, dalam hal Penuntut Umum Anak melakukan penahanan, hanya boleh dilakukan apabila Anak tidak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.24

Penuntut umum dalam melakukan penahanan terhadap Anak harus mempertimbangkan AsasdalamUndang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 2 huruf i 24 Lilik Mulyadi. Op.Cit. Hal. 206.

(37)

yaitu :“Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir”, serta Pasal 3 huruf g Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menegaskan bahwa : “Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat”. “Maidin Gultom menegaskan bahwa menurut hukum acara pidana, menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan”.25

E.2.7. Surat Dakwaan Anak

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak belum diatur secara khusus mengenai kewenangan penuntut umum untuk membuat surat dakwaan, oleh karena itu didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak maka ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terkait kewenangan pembuatan surat dakwaan dapat diterapkan dalam penanganan perkara anak.

Maidin Gultom menegaskan bahwa apabila penuntut umum sudah selesai mempelajari berkas perkara hasil penyidikan, dan penuntut umum berpendapat bahwa tindak pidana yang disangkakan dapat dituntut, maka menurut ketentuan UU SPPA sejalan dengan ketentuan pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.26

25 Maidin Gultom. Op. Cit. Hal. 122. 26 Ibid. Hal. 143.

(38)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Syarat formil surat dakwaan meliputi :

a. Surat Dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan penuntut umum pembuat surat dakwaan; b. Surat Dakwaan harus memuat secara lengkap

identias Terdakwa/Anak yang meliputi : nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Syarat materiil surat dakwaan meliputi :

a. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan;

b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Uraian secara cermat berarti penuntut umum harus teliti dalam mempersiapkan surat dakwaan yang akan diterapkan kepada terdakwa/anak.

Uraian secara jelas berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam surat dakwaan, sehingga terdakwa/anak dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaan dengan sebaik-baiknya. Uraian secara lengkap berarti surat dakwaan itu memuat semua unsur (elemen) tindak pidana yang didakwakan, unsur-unsur tersebut harus terlukis di dalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam surat dakwaan.

(39)

E.2.8. Pelimpahan Perkara Anak ke Pengadilan

Kewenangan yang sekaligus merupakan kewajiban penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan diatur dalam Pasal 42 ayat (4)Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyatakan bahwa : “Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan”. Dalam melimpahkan perkara ke pengadilan penuntut umum juga harus menyertakan surat dakwaan, sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. “Maidin Gultom menegakan bahwa dalam surat pelimpahan perkara dilampirkan surat dakwaan, berkas perkara dan surat permintaan agar pengadilan negeri yang berwenang segera mengadilinya”.27

E.2.9. Pemeriksaan Perkara Anak di Sidang Pengadilan

Ketentuan beracara dalam peradilan pidana Anak yang belum diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak berlaku ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagaimana bunyi pasal 16 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu : “Ketentuan

(40)

beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.

Pasal 53 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bahwa :

(1) Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak;

(2) Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa;

(3) Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa.

Pasal 54 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, menegaskan bahwa : “Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan”.

Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anakmenegaskan bahwa :

“Setelah surat dakwaan dibacakan, Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain”.

Maidin Gultom menegaskan bahwa Perlakuan khusus dalam persidangan Anak, antara lain :

a. Sidang dibuka dan dinyatakan tertutup untuk umum;

b. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilakukan dalam suasana kekeluargaan, oleh karena itu hakim, jaksa, dan petugas lainnya tidak memakai toga/pakaian, atribut/tanda kepangkatan masing-masing;

(41)

c. Adanya keharusan pemisahan persidangan denan orang dewasa baik bestatus sipil mapun militer;

d. Turut sertanya Bapas membuat Laporan Penelitian Kemasyarakatan terhadap Anak; e. Hukuman lebih ringan.28

Terkait wewenang Penuntut Umum Anak mengajukan tuntutan pidana dan jawaban atas pembelaan diatur dalam Pasal 182 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, berlaku juga dalam penanganan perkara Anak.

Pasal 61 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, menegaskan bahwa : “Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh Anak”.

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indinesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran

Adapun hak didampingi advokat atau penasehat hukum diatur dalam pasal 54 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “guna kepentingan pembelaan

Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 5 yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan

Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang

8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47041/uu-no-8-tahun-1981 Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946