• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. guna menemukan tersangkanya. 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. guna menemukan tersangkanya. 3"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Penyidikan

Dalam Pasal 1 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Penyidikan adalah “Serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” 3

Maka dari itu Penyidikan adalah sebuah proses yang dilakukan dalam keseluruhan rangkaian agenda pemeriksaan yang pelaksanaannya dilakukan setelah Proses Penyelidikan, apabila dalam Proses Penyelidikan dikenal subjek bernama “Penyelidik”

yang memiliki kewenangan untuk melakakuan Penyelidikan, maka Penyidikan juga mengenal istilah dalam hal subjek hukum yang berwenang melakukan proses Penyidikan. Hal ini diatur didalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi “Bahwa yang berwenang melakukan penyidikan adalah pejabat kepolisian republic Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”4

3 Pasal 1 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

4 Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(2)

Didalam Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPPOLRI) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana disebutkan bahwa “Kegiatan penyidikan tindak pidana terdiri atas a) Penyelidikan; b) Dimulainya Penyeidikan; c) Upaya Paksa; d) Pemeriksaan; e) Penetapan Tersangka; f) Pemberkasan; g) Penyerahan Berkas Perkara; h) Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti;dan i) Penghentian Penyidikan”5

Hal ini juga dilanjutkan Didalam Pasal 10 Ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPPOLRI) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana disebutkan bahwa “Dalam hal penyidikan tindak pidana ringan dan pelanggaran,kegiatan penyidikan, terdiri atas : a) Pemeriksaan; b) Memberitahukan Kepada Terdakwa Secara Tertulis Tentang Hari, Tanggal, Jam dan Tempat Sidang; c) Menyerahkan Berkas ke Pengadilan; dan d) Menghadapkan Terdakwa Beserta Barang Bukti ke Sidang Pengadilan ”6

Diperjelas kembali didalam Pasal 11 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPPOLRI) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana disebutkan bahwa

“Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)

5 Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPPOLRI) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

6 Pasal 10 Ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPPOLRI) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

(3)

huruf a, dilakukan apabila : a) Belum Ditemukan Tersangka dan/atau barang bukti; b) Pengembangan Perkara; dan/atau c) Belum Terpenuhi Alat Bukti” 7

Dijelaskan didalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPPOLRI) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana bahwa “Batas waktu penyelesaian perkara dihitung sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan meliputi : a) 120 hari untuk penyidikan perkara sangat sulit; b) 90 hari untuk penyidikan perkara sulit; c) 60 hari untuk penyidikan perkara sedang; d) 30 hari untuk penyidikan perkara mudah.”8

Berdasarkan Pasal 13 Ayat (1) hingga Pasal 13 Ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPPOLRI) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana disebutkan bahwa “Penyidikan dilakukan dengan dasar : a) Laporan Polisi; dan b) Surat Perintah Penyidikan. Surat Perintah Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit memuat: a) Dasar Penyidikan; b) Identitas Tim Penyidik; c) Perkara yang Dilakukan Penyidikan; d) Waktu dimulainya Penyidikan; dan e) Identitas Penyidik selaku Pejabat

7 Pasal 11 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPPOLRI) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPPOLRI) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

(4)

Pemberi Perintah. Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, dibuat SPDP”9

B. Tinjauan Tentang Saksi a) Saksi

Pada Pasal 1 butir 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Saksi adalah “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. 10

Pengertian tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana diperluas menjadi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.11

Keterangan saksi merupakan informasi atau keterangan yang diperoleh dari seseorang atau lebih (saksi) tentang suatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Keterangan saksi hanya akan menjadi alat bukti apabila disampaikan

9 Pasal 13 Ayat (1) hingga Pasal 13 Ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (PERKAPPOLRI) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

10 Pasal 1 butir 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

11 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

(5)

di depan persidangan, hal tersebut dijelaskan pada Pasal 185 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pada Pasal 185 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa “Keterangan seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya”

Apabila saksi memberikan keterangan bedasarkan pendapat maupun dugaanya sendiri maka keterangan tersebut tidak dapat diterima sebagai suatu pertimbangan hakim atau dengan kata lain , keterangan yang demikian tidak termasuk sebagai alat bukti.

Pasal 185 Ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa “Dalam menilai kebenaran keterangan saksi, maka hakim harus dengan sungguh-sungguh memperlihatkan : a) Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lainnya; b) Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain; c) Alasan saksi mmberi keterangan tertentu; d) Cara hidup dan kesusilaan dan hal –hal lain yang pada umumnya dapat mempengaruhi apakah keterangan itu dapat dipercaya atau tidak”

b) Ahli

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu UU No.

8/1981 tidak menjelaskan secara spesifik tentang definisi keterangan ahli. Dalam Pasal 1 angka 28 disebutkan bahwa keterangan ahli

(6)

adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara piana guna kepentingan pemeriksaan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka jelas bahwa Ahli adalah “Seorang yag mempunyai pengetahuan dan keahlian khusus mengenai sesuatu yang menjadi sengketa yang emberikan penjelasan dan bahan baru bagi hakim dalam memutuskan perkara”12. Selain itu dalam Pasal 186 KUHAP yang menyatakan keterangan ahli adalah apa yang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. KUHAP hanya mengenal istilah “ahli” untuk menjelaskan subjek yang dapat memberikan keterangan di persidangan selain “saksi”.

Keterangannya disebut “keterangan ahli” dan menjadi alat bukti yang sah di pengadilan sebagaimana ketentuan pasal 183, pasal 184 dan pasal 186 KUHAP.

Keterangan ahli dapat diberikan oleh ahli atas permintaan penyidik, atau permintaan Jaksa, atau atas permintaan terdakwa/kuasa hukumnya. Ahli akan memberikan keterangan berdasarkan keahlian yang dimilikinya secara objektif dan tidak memihak. Keterangan ahli juga dapat dijadikan pertimbangan penyidik atau tidak dijadikan pertimbangan penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Demikian juga di

12 Remincel; Kedudukan Saksi Dalam Hukum Pidana;

(7)

pengadilan, keterangan ahli tidak mengikat bagi hakim dalam menentukan seseorang terdakwa secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Dengan berdasarkan kepada cita-cita bahwa dihadirkannya seorang Ahli adalah tidak lain tidak bukan untuk membantu membuat terang suatu perkara kepada Penyidik maka perlu adanya sebuah bentuk perlindungan hukum dengan tujuan untuk memberikan rasa aman kepada Ahli dalam memberikan keterangan sehingga Ahli didalam berbicara bisa lebih leluasa tanpa rasa takut, khawtir atau pun tertekan akan dampak dari keterangan yang telah diberikan. Hal ini juga menjadi perwujudan akan dibentuknya regulasi pada Undang-Undang No 31 Tahun 2014 yang menjadi perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bentuk perlindungan kepada Ahli dituangkan didalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berbunyi “Saksi dan Korban berhak : a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksisan yang akna,sedang atau telah diberikannya; b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c) memberikan keterangan tanpa tekanan; d) mendapat penerjemah; e) bebas dari

(8)

pertanyaan yang menjerat; f) mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g) mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h) mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i) dirahasiakan identitasnya; j) mendapat identitas baru; k) mendapat tempat kediaman sementara; l) mendapat tempat kediaman baru; m) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n) mendapat nasihat hukum; o) memperoleh bantuan biaya hidup sementara samai batas waktu Perlindungan berakhir;

dan/atau p) mendapat pendampingan” dijelaskan secara lebih spesifik didalam Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berbunyi “Selain kepada saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayar (2) dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan Ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana”

c) Saksi Mahkota

Saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana. Saksi mahkota bukanlah istilah yang dikenal dalam KUHAP. Namun istilah ini dapat ditemui dalam alasan

(9)

yang tertuang pada memori kasasi yang diajukan oleh kejaksaan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa: “Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota.

Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Menurut Prof. Dr. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.”

C. Hak Saksi

a) Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah serta berhak diberitahukan alasan pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1) KUHAP);

b) Berhak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika memang saksi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik (Pasal 113 KUHAP);

(10)

c) Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);

d) Saksi berhak menolak menandatangani berita acara yang memuat keterangannya dengan memberikan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP);

e) Berhak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada saksi (Pasal 166 KUHAP);

f) Berhak atas juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat (1) KUHAP);

g) Berhak atas seorang penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178 ayat (1) KUHAP)

D. Kewajiban Saksi

a) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP);

b) Saksi wajib untuk tetap hadir di sidang setelah memberikan keterangannya (Pasal 167 KUHAP);

c) Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).

(11)

E. Tinjauan Tentang Sumpah

Secara Pidana, Sumpah memang diatur secara sederhana dan ringkas didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disebutkan dalam Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa “Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai tatacaranya.”

Dilanjut dengan Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum.”

Perihal sumpah juga dimungkinkan untuk tidak dilakukan, pengaturan tersebut dipaparkan dalam Pasal 116 ayat (1) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa “Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.”

“Sumpah” yang sama juga diperlakukan tidak hanya kepada saksi namun juga kepada ahli seperti yang dipaparkan didalam Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa “Ahli tersebut mengangkat sumpah atau

(12)

mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta”

Disambung kembali didalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa “Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya” dan diperjelas dalam Pasal 160 ayat (4) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa “Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah sakasi atau ahli itu selesai memberi keterangan”

Apabila yang bersangkutan menolak maka sesuai dengan Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa “Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.” Serta didalam Pasal 161 ayat (2)

(13)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa “Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.”

F. Teori

i. Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)

Teori ini didalam Hukum Pidana secara tidak langsung memiliki pengertian bahwa masing-masing alat bukti harus bersesuaian dan apabila timbul sebuah ketidaksesuaian berdasarkan kepada Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan “alat bukti yang sah ialah (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; (e) keterangan terdakwa” maka apabila dari tata urutan hirarki alat bukti tersebut bertentangan antar keterangan saksi maka akan turun kepada hirarki berikutnya yaitu keterangan Ahli

ii. Teori Performatif (Equity)

Teori ini berdasarkan Hukum Pidana adalah ketika terpenuhinya unsur tindak pidana yang mengakibatkan realitas atau kebenaran dalam artian harus mencipatakan sebuah fakta yang

(14)

membentuk sebuah fakta hukum dimana fakta tersebut benar terjadi dan memenuhi kaidah serta unsur dari Hukum

iii. Teori Kepatutan

Teori ini berdasarkan Hukum Pidana adalah penerapan yang timbul bagi sebuah individu hukum dalam mengimplementasikan keadilan yang berguna untuk menertibkan hubungan antara individu dan masyarakat atau negara sesuai dengan kaidah dan unsur Hukum.

.

Referensi

Dokumen terkait

a) Mahasiswa dapat mencari judul-judul yang sudah pernah diajukan oleh mahasiswa lain sehingga dapat mengurangi tingkat plagiarisme atau sebagai referensi dalam

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan penyelesaiannya, dan menurut penulis, Bagian Prodi Kampus STMIK Bina Sarana Global perlu mengembangkan suatu

Analisa data dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu Univariat yaitu distribusi frekwensi dengan menentukan persentase untuk masingmasing kategori pada tiap-tiap sub

Data pada Tabel 5,menunjukkan bahwa interaksi bokashi limbah pada kelapa sawit dan NPK Organik memberikan pengaruh terhadap jumlah buah tanaman terung, dengan perlakuan

Hasil penelitian ini dimana peran orang tua (ibu) yang mayoritas ibu dari anak dengan perkembangan sosial baik sudah mampu memberikan perhatian dan kasih sayang

Membantu Kepala Sekolah dalam mengembangkan rencana dan kegiatan lanjutan yang berhubungan dengan pelaksanaaan kepada masyarakat sebagai akibat dari komunikasi

Dalam penelitian ini, peneliti memilih lokasi penelitian di SMA N 1 Ngemplak Boyolali, yang terletak di Jl. Embarkasi Haji Donohudan, Kecamatan Ngemplak,