• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dewasa ini telah banyak ditemukan berkembang pesatnya pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan. Pesatnya pembangunan-pembangunan tersebut tidak terlepas dari kebutuhan manusia yang semakin tinggi. Manusia memiliki sifat yang selalu merasa tidak pernah puas, mereka cenderung ingin memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya, dan berusaha untuk memenuhinya dengan cara-cara yang beragam. Ada yang memenuhi kebutuhannya secara wajar dan ada juga yang berlebihan dalam pemenuhan kebutuhannya. Hal tersebut menyebabkan orang- orang untuk berperilaku konsumtif. Perilaku konsumtif seperti ini terjadi pada hampir semua lapisan masyarakat. Tidak hanya pada orang dewasa, perilaku konsumtif pun banyak melanda para remaja.

Perilaku konsumtif menurut Sumartono (dalam Ghifari, 2003) merupakan suatu perilaku yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang tercapai taraf yang tidak rasional lagi. Sedangkan menurut YLKI atau Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, memberikan batasan perilaku konsumtif sebagai kecenderungan manusia untuk menggunakan konsumsi tanpa batas dan lebih mementingkan faktor keinginan daripada faktor kebutuhan

Berdasarkan hasil penelitian Kumbasari (2008), mengenai “Hubungan Antara Kematangan Emosi Dengan Gaya Hidup Konsumtif Pada Remaja”

diketahui jika ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kematangan emosi dengan gaya hidup konsumtif. Artinya bila kematangan emosi tinggi maka akan diikuti oleh gaya hidup konsumtif yang rendah. Sebaliknya, jika kematangan emosi tingii maka gaya hidup konsumtifnya akan tinggi. Sedangkan kematangan emosi memberikan sumbangan yang efektif dengan koefisien determinan sebesar 15% terhadap gaya hidup konsumtif, sedangkan sisanya 85%

dipengaruhi oleh variabel lain. Oleh karena itu remaja dapat lebih bijak dalam mengkonsumsi barang-barang dan lebih berhati-hati dalam memilih teman

(2)

ataupun kelompok agar tidak terpengaruh dan terjerumus kedalam gaya hidup konsumtif.

Masa remaja merupakan masa yang penting dalam pencapaian identitas diri dimana seorang remaja cenderung untuk terlibat dalam pertemanan sebaya sebagai kelompok sosial. Pencapaian identitas ini melibatkan kecenderungan berkurangnya pengaruh ataupun kontrol dari orangtua dan komitmen untuk lebih mandiri.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Madjuk (2011), mengenai

“Perilaku Konsumtif Pada Remaja Putri Perantau”, dijelaskan bahwa gambaran perilaku konsumtif remaja perantau dapat dilihat dari beberapa hal antara lain:

alasan mereka berbelanja, jenis barang atau produk yang sering dibeli, membeli barang atau produk yang sejenis berkali-kali tetapi tidak digunakan sepenuhnya, dan saat sampai pada tempat berbelanja yang sering dikunjungi. Hal ini terjadi karena perilaku merupakan hasil belajar, kurang kontrol baik dari orang tua maupun diri sendiri, agar tidak diremehkan, kondisi perantauan, dan pendapatan besar (uang saku per bulan). Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku konsumtif remaja dapat didorong karena proses belajar yang salah, kurang mendapat pengawasan, dan supaya tidak diremehkan oleh teman sebayanya.

Banyak alasan yang mendorong para remaja untuk berperilaku konsumtif, sebagian besar karena untuk memenuhi gaya hidup modern yang saat ini hampir dialami oleh semua orang, untuk mengikuti perubahan cara pergaulan, makanan maupun berpakaian. Apa yang sedang “in” saat ini turut mendorong mereka untuk berperilaku konsumtif. Maraknya media televisi yang yang menampilkan artis sebagai idola masyarakat yang berpenampilan menarik dan cenderung “up to date” mendorong para remaja untuk meniru gaya-gaya artis tersebut tanpa memperhatikan kondisi ekonomi mereka, supaya tidak terlihat ketinggalan jaman.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Parma (2007), mengenai

“Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Perilaku Konsumtif Remaja Putri Dalam Pembelian Kosmetik Melalui Katalog di SMA NEGERI 1 Semarang” Semakin negatif konsep diri maka semakin tinggi perilaku konsumtif remaja putri dalam pembelian kosmetik melalui katalog di SMA Negeri 1 Semarang Efektifitas

(3)

regresi dalam penelitian ini adalah sebesar 0,122, artinya konsep diri mempengaruhi sebesar 12,2% terhadap perilaku konsumtif remaja putri dalam pembelian kosmetik melalui katalog, sedangkan 87,8% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diungkap dalam penelitian tersebut.

Mangkunegara (2002) mengatakan jika remaja merupakan pembeli yang mudah terpengaruh oleh rayuan penjual, mudah terbujuk rayuan iklan, terutama pada kerapian bungkus (apalagi jika dihiasi dengan warna-warna yang menarik), pembeli remaja cenderung tidak berpikir hemat, kurang realistis, romantis, dan mudah terbujuk (impulsif). Dengan demikian, dapat dikatakan remaja merupakan konsumen paling rentan untuk berperilaku konsumtif.

Tambunan dalam (Abqary & Lengkana, 2001) mengatakan kelompok usia remaja merupakan salah satu pasar yang potensial bagi produsen karena belanja ternyata memiliki arti tersendiri bagi remaja itu. Alasanya karena pola konsumsi seseorang mulai terbentuk saat ia memasuki usia remaja. Disamping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, ikut-ikut teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Lebih lanjut dikatakannya, bahwa perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri.

Menurut Subakti (2009), perilaku konsumtif adalah salah satu dampak hedonisme, perilaku konsumtif adalah ketidakmampuan menahan diri untuk tidak menikmati “sesuatu”. Jika mentalitas konsumtif menjangkiti para remaja, mereka akan menjadi generasi yang tidak produktif, artinya lebih suka mengkonsumsi daripada memproduksi. Mereka tidak perduli bagaimana cara memproduksinya, melainkan hanya menikmati saja. Perilaku konsumtif mendorong para remaja menjadi remaja pasif, statis, dan malas berpikir. Lebih lanjut dikatakan, banyak remaja yang menghambur-hamburkan uang untuk menikmati pola hidup konsumtif dengan membeli apa saja tanpa memikirkan orang lain. Sebagai contoh, seorang remaja yang suka menghamburkan uang jajannya untuk membeli makanan apa saja, meskipun sebenarnya remaja tersebut tidak dalam keadaan lapar.

Remaja ingin diakui keberadaannya oleh masyarakat disekitarnya terutama oleh teman sebaya dengan menjadi bagian dari lingkungannya itu.

(4)

Kebutuhan untuk diterima dan diakui menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk membeli produk atau menggunakan produk yang sesuai dengan harapan dan “trend” yang ada disekitarnya.

Remaja sekarang mempunyai kebiasaan untuk berkumpul dengan teman- teman sebayanya. Acara “hang out” atau kegiatan “shopping” bareng dengan teman-teman merupakan agenda wajib para remaja untuk melepaskan rasa penat mereka terhadap rutinitas disekolah. Seperti yang diungkapkan salah satu remaja, dalam wawancara singkat mengenai seberapa sering melakukan pembelian barang yang diinginkan tetapi sebenarnya barang tersebut kurang dibutuhkan.

“Sering sih, karena saya suka jalan-jalan sama teman-teman. Saya suka kalau sudah berkumpul dengan teman-teman. Biasanya sih ke mall atau ke distro-distro. Kadang diajak teman juga. Jadi pas disana saya sering tertarik sama barang-barang yang lucu, jadi ya saya beli, padahal sebenarnya yang saya butuhkan bukan barang itu.”

Dimensi Big Five kebanyakan berasal dari pendekatan leksikal terhadap trait. Dengan kata lain, orang (baik penilai yang masih lugu atau psikolog profesional) mendeskripsikan, menguji, dan mengkategorisasikan orang lain, dan peringkat yang dihasilkan disederhanakan ke dalam lima dimensi.

Dari hasil penelitian Widhiarso (2004) mengenai “Evaluasi Faktor Dalam Big Five: Pendekatan Analisis Faktor Konfirmatori”, menunjukkan bahwa faktor yang memberikan sumbangan terbesar pada terbentuknya kepribadian adalah agreeableness (90%) yang dilanjutkan dengan neuroticism (25%), extrovert (17%) serta conscentiousness dan openess yang sama-sama menyumbang 16%.

Artinya dalam hal ini agreeableness atau keramahan merupakan faktor yang terbesar dalam membentuk kepribadian seseoarang.

Mangkunegara (2002) dikatakan bahwa kepribadian seorang konsumen sangat ditentukan oleh faktor internal dirinya seperti (motif, IQ, emosi, cara berpikir, persepsi) dan faktor eksternal dirinya yakni (lingkungan fisik, keluarga, masyarakat, sekolah, lingkungan alam), kepribadian konsumen sangat mempengaruhi persepsi dan pengambilan keputusan dalam membeli. Dengan keadaan yang seperti ini tidak menutup kemungkinan para remaja rentan

(5)

terhadap perilaku konsumtif. Serta kepribadian para remaja yang beragam menyebabkan mereka lebih senang membeli produk berdasarkan kepribadiannya.

Lebih lanjut dijelaskan dalam (Setiadi, 2010) bahwa perilaku itu merupakan suatu bentuk kepribadian yang dapat diartikan sebagai bentuk sifat- sifat yang ada pada diri individu yang ditentukan oleh faktor internal yang terbentuk dalam dirinya, dan faktor eksternal yang juga membentuk perilaku.

Menurut penelitian yang dilakukan Tsao dan Chang (2010) yang berjudul

“Exploring the impact of personality traits on online shopping behavior”

diperoleh suatu hasil jika motivasi pembelian hedonis dipengaruhi oleh tiga dimensi kepribadian, yakni neuroticism, extraversion, dan openness to experience. Artinya, seseorang yang dominan pada tiga sifatkepribadian tersebut adalah pencari kesenangan saat berbelanja online.

Perilaku konsumtif ialah perilaku membeli yang tidak didasari oleh kebutuhan seseorang dalam membeli suatu produk, melainkan karena keinginan semata. Terdapat berbagai faktor pembentuk perilaku konsumtif, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Kepribadian merupakan salah satu faktor internal yang mendorong seseorang berperilaku konsumtif. Big five personality merupakan salah satu bentuk kepribadian berupa dimensi-dimensi yang tergolong menjadi lima, yakni openness to experience, conscientiousness, ekstraversion, agreeableness, dan neuroticism.

Faktor internal pembentuk perilaku konsumtif bisa didasari karena kepribadian seseorang khususnya para remaja yang beragam. Penelitian ini menarik dikarenakan, menggunakan pendekatan Big five personality sebagai salah satu variabel penelitiannya, dimana peneliti ingin meninjau apakah terdapat perbedaan perilaku konsumtif jika ditinjau dari kepribadian, khususnya berdasarkan Big five personality. Diantara lima dimensi Big Five Personality, yakni openness to experience, conscientiousness, ekstraversion, agreeableness, dan neuroticism tersebut mungkinkah terdapat perbedaan perilaku konsumtifnya.

Dibandingkan dengan tipe kepribadian lainnya seperti introvert dan ekstrovert, tipe kepribadian big five ini dirasa lebih dapat menyempurnakan tipe kepribadian lain. Menurut Friedman & Schustack (2008) big five personality merupakan pendekatan kepribadian yang didukung oleh sejumlah besar

(6)

penelitian dan berpendapat bahwa kepribadian pada umumnya dapat diwakili oleh lima dimensi yakni: openness to experience, conscientiousness, ekstraversion, agreeableness, dan neuroticism. Sehingga dengan demikian pendekatan big five personality lebih mampu mengungkap lebih banyak perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan dimensi yang dimilikinya.

Mengingat kelima dimensi tersebut memiliki karakteristik tinggi dan rendah yang berbeda-beda, sehingga kemungkinan terjadi perbedaan perilaku konsumtif diantara dimensi big five tersebut bisa terlihat. Maka peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan perilaku konsumtifnya, apakah dimensi opennes to experience yang tinggi memiliki kecenderungan untuk berperilaku konsumtif lebih tinggi dibandingkan yang opennes to experience rendah, dikarenakan dimensi opennes to experience yang tinggi memiliki karakteristik seperti kreatif, imajinatif, penuh rasa penasaran, terbuka, dan lebih memilih variasi, sedangkan opennes to experience yang rendah memiliki karakteristik seperti biasanya konvensional, rendah hati, konservatif, dan tidak terlalu penasaran terhadap sesuatu, sehingga rentan untuk berperilaku konsumtif lebih tinggi.

Apakah jika dimensi Conscientiousness yang tinggi, perilaku konsumtifnya akan rendah dibanding yang Conscientiousness rendah, karena Conscientiousness yang tinggi memiliki karakteristik seperti pekerja keras, berhati-hati, tepat waktu, dan mampu bertahan. Sebaliknya mereka yang mempunyai Conscientiousness rendah cenderung tidak teratur, ceroboh pemalas serta tidak memiliki tujuan dan lebih mungkin menyerah saat mulai menemui kesulitan dalam mengerjakan sesuatu.

Dimensi Extraversion yang tinggi memiliki perilaku konsumtif yang tinggi dibanding Extraversion yang rendah, dimana Extraversion yang tinggi memiliki karakteristik seperti cenderung penuh kasih sayang, ceria, senang berbicara, senang berkumpul, dan menyenangkan. Sebaliknya mereka yang memiliki Extraversion yang rendah biasanya tertutup, pendiam, penyendiri, pasif, dan tidak mempunyai cukup kemampuan untuk mengekspresikan emosi yang kuat. Dimensi Agreeableness yang tinggi memiliki perilaku konsumtif yang juga tinggi karena memiliki karakterisktik cenderung mudah percaya, murah hati, pengalah, mudah menerima, dan memiliki perilaku yang baik.dibanding. Mereka

(7)

yang memiliki Agreeableness dengan arah sebaliknya, cenderung pencuriga, pelit, tidak ramah, mudah kesal, dan penuh kritik terhadap orang lain.

Dan dimensi Neuroticism yang tinggi memiliki perilaku konsumtif tinggi jika dibandingkan Neuroticism yang rendah, karena Neuroticism yang tinggi memiliki karakteristik seperti cenderung penuh kecemasan, tempramental, mengasihi diri sendiri, sangat sadar akan dirinya sendiri, emosional, dan rentan terhadap gangguan yang berhubungan dengan stress, serta yang memiliki Neuroticism yang rendah biasanya tenang tidak tempramental, puas terhadap dirinya sendiri, dan tidak emosional, hal tersebut yang menyebabkan seseorang yang memiliki dimensi Neuroticism yang tinggi, perilaku konsumtifnya akan tinggi dibanding dengan Neuroticism rendah.

Hal-hal tersebut yang akan diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini.

Sehingga berdasarkan penjelasan dan fenomena yang telah dipaparkan, maka peneliti termotivasi untuk mengambil judul “Perilaku Konsumtif Ditinjau Dari Big Five Personality Pada Remaja”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada perbedaan perilaku konsumtif remaja berdasarkan dimensi Big five personality?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui, apakah ada perbedaan perilaku konsumtif remaja berdasarkan dimensi Big five personality.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dalam ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam bidang Psikologi Industri Organisasi.

(8)

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kapada remaja dalam memahami perilaku konsumtif berdasarkan tipe kepribadian Big Five Personality.

a. Bagi penelitian berikutnya yang berhubungan dengan perilaku konsumtif.

Referensi

Dokumen terkait

Jasa Rumah sakit pada tindakan medik non Operatif sebesar 80% dari tarif tindakan

Oleh karena itu, pengwujudan dari nilai-nilai dan norma-norma kultural ini mempunyai kecenderungan untuk mengubah secara imanen (terus-menerus), karena dunia saat ini dan yang

Demi mendalami data faktual di atas, penulis melakukan wawancara terhadap 3 (tiga) orang hakim yang berkapasitas sebagai ketua majelis(pemimpin

Investasi Bidang Panjang 2010 2011 2012 2013 2014 Total 2010-2014 Anggaran Kuala Kapuas Kapuas - Palingkau - Dadahup - Lamunti P Pemda Provinsi A. Pulang Pisau Pulang

Iklan Baris Iklan Baris Serba Serbi PERLNGKPN MOBIL PRIVAT LES JAKARTA BARAT Rumah Dijual BODETABEK JAKARTA PUSAT.. DIJUAL RMH / TOKO

Bapak Ahmad Zanin Nu’man selaku guru mata pelajaran al-Qur’an Hadis yang dengan sabar meluangkan waktu pada saat observasi berlangsung, kepada keluarga besar SMK

Auga, perawat harus waspada bahwa setiap kondisi atau penanganan yang oleh pasien yang dapat berbi+ara harus waspada bahwa setiap kondisi atau penanganan yang oleh pasien yang

Untuk mengukur dan mengetahui hasil belajar anak didik, guru perlu mengembangkan alat evaluasi yang efektif. Guru juga perlu mengetahui aspek yang