LAPORAN KASUS
“PENANGANAN ABSES PADA DIGITI I DENGAN METODE
ONYCHECTOMY”
Oleh :
I WAYAN NICO FAJAR GUNAWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
2.6.2 Operasi Dengan Metode Onychectomy... 6
2.6.3 Pasca Operasi... 8
2.7. Terapi ... 9
3.2.3 Pasca Operasi... 14
iii
4.1 Hasil ... 15
4.2 Pembahasan ... 21
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25
5.1. Kesimpulan ... 25
5.2. Saran ... 25
DAFTAR PUSTAKA ... 26
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Tabel 3.1.1.C. Hasil Pemeriksaan Fisik Anjing Lokal Mix German Shepperd Pada Kasus “Penanganan Abses Pada Digiti 1 Menggunakan Onychectomy”...11 2. Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Pra Operasi, Operasi, Pasca Operasi Pada
Anjing Lokal Mix German Shepperd Pada Kasus “Penanganan Abses Pada Digiti 1 Dengan Metode Onychectomy”...22
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anjing merupakan mamalia karnivora hasil hasil domestikasi dari serigala yang dapat hidup berdampingan dengan manusia. Sejarah menunjukkan bahwa bukti domestikasi tersebut dapat dilihat dari penemuan fosil yang berkaitan dengan anjing serta bukti genetik berupa DNA, dan dalam kesehariannya, anjing memiliki peranan yang cukup penting bagi kehidupan manusia di seluruh dunia (Beck, 2000). American Pet Products Manufacturer Association (1999) merilis laporan survey berkenaan dengan pemeliharaan anjing di dunia. Di banyak negara, sebanyak 95% orang menyatakan bahwa tujuan dari memelihara anjing adalah sebagai companion animal dan hampir 50% menyatakan anjing sangat baik untuk kesehatan, sementara tiga perempat koresponden menyatakan bahwa anjing sebagai anggota keluarga, dan 64% diantaranya menyebutkan anjing sebagai penjaga.
Anjing – anjing yang digunakan untuk membantu kegiatan manusia dalam kehidupan sehari – hari memiliki kriteria fisik yang berbeda – beda,
tergantung pada kegunaan dari anjing tersebut. Pada umumnya setiap anjing memiliki struktur kerangka dan perototan yang sama, dimana anjing memiliki 5 jari pada kaki depan dan 4 jari pada kaki belakang (Puja, 2011). Sebagai anjing penjaga, riwayat kesehatan dari anjing tersebut pun tidak boleh luput dari perhatian si pemilik, karena jika anjing penjaga tersebut sampai jatuh sakit, tugas – tugas yang biasanya dilakukan oleh si anjing pun akan terbengkalai. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan fisik khususnya pada struktur rangka karena dalam kesehariannya anjing penjaga umumnya memiliki kemampuan berlari cepat dan mempunyai daya jelajah jarak yang jauh, hal ini disebabkan karena anjing berjalan di atas jari kaki (toes) (Puja, 2011).
2
pada digiti 1. Abses pada digiti ini ditemukan sebanyak 1,3% yang berasal dari anjing yang dibawa ke klinik hewan di negara Spanyol (Verde, 2005). Sampai saat ini belum ada data lengkap yang dipublikasikan mengenai penyakit abses digiti 1 ini pada anjing penjaga di Bali, sehingga perlu dilakukan pembedahan dan pengamatan pasca operasi guna melengkapi informasi penyakit abses pada digiti 1.
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui cara mendiagnosa, prosedur operasi dari saat pre operasi maupun pasca operasi dan rencana terapi pada kasus “Penanganan Abses Pada Digiti 1 Menggunakan Metode Onychectomy”.
1.3 Manfaat Penulisan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abses
Abses merupakan pus yang terlokalisir akibat adanya infeksi dan supurasi jaringan. Abses bisa terjadi pada semua jaringan atau struktur anatomi pertulangan. Abses pada kuku anjing merupakan abses yang paling sering terjadi. Abses pada kuku anjing ini dapat timbul karena adanya infeksi dari berbagai bakteri, yaitu : Staphylococcus pyogenes, Streptococcus pyogenes, Corynebacterium pyogenes, Pseudomonas aeruginosa, Actinomyces bovis, dan E. coli.
Abses terbentuk karena terjadinya migrasi leukosit dengan inti polymap dari kapiler menuju daerah yang bebas kuman, kemudian adanya membrane yang lisis dari elemen – elemen jaringan akan menghasilkan ruangan (Sudisma et al., 2006). Sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan ifeksi bakteri bergerak ke dalam rongga tersebut, setelah memakan bakteri sel arah putih akan mengalami kematian. Sel darah putih yang telah mati ini yang kemudian disebut dengan abses yang mengisi rongga tersebut (Green, 2014). Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan
disekitarnya terdorong. Jaringan yang pada akhirnya tumbuh di sekitar tempat terjadinya abses ini disebut dengan dinding abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Karena abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya sehingga diperlukan tindakan medis secepatnya, dan agar abses tidak menyebar ke bagian tubuh lain diperlukan tindakan penyembuhan dengan cara operasi untuk penanganan dalam penyakit abses ini (Jaeger et al., 2008).
2.2 Etiologi
4
bahwa untuk penyakit abses pada kuku ini pun dapat dialami oleh anjing dengan rentang umur dari 6 bulan – 11 tahun, dengan rata – rata umur yang dilaporkan terkena penyakit ini yaitu berkisar dari 4-5 tahun.
Abses yang terjadi pada kuku anjing dalam kasus ini diperkirakan terjadi karena adanya infeksi dari luka terbuka maupun tertutup yang menyebabkan terjadinya penimbunan cairan dalam jaringan yang kemudian membentuk rongga yang secara anatomis sebelumnya tidak ada dengan jaringan fibrotik di sekitarnya sebagai respons tubuh terhadap adanya infeksi bakteri (PetMD, 1999). Infeksi bakteri ini sendiri dapat menyebar dengan sangat cepat baik secara lokal maupun sistemik dalam aliran darah sehingga dapat menimbulkan sepsis (Anonymous, 2005).
Adapun akibat yang ditimbulkan dari infeksi bakteri ini adalah sebagai berikut : radang diikuti dengan warna kemerahan di sekitar lokasi abses, bengkak dan terasa panas pada saat di palpasi, timbul rasa nyeri dan terdapat gangguan fungsi terhadap lokasi timbulnya abses. Fase akhir dari penyakit abses ini adalah terbentuknya dinding abses, atau terbentuk kapsul oleh sel – sel sehat yang berada di sekeliling abses sebagai upaya pencegahan pus menginfeksi struktur lain yang ada di sekitar tempat terjadinya abses tersebut (Anonymous, 2005).
2.3 Tanda Klinis
Abses yang sudah matang dapat ditandai dengan adanya tonjolan pada kulit, berdinding tipis, lunak, elastis, biasanya berwarna orange kemerahan mengkilat, terdapat elevasi kulit, terkadang terjadi kerontokan rambut di sekitar tempat terjadinya abses. Menurut Sudisma et al., (2006), abses dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Abses Dangkal (Superfisial)
merupakan abses yang pada fase pertumbuhannya menuju permukaan tubuh dengan cara menyatukan diri dengan jaringan diatasnya.
2. Abses Dingin (Cold Abses)
5 3. Abses Steril
yaitu abses bebas kuman, namun disertai dengan rasa sakit. Abses steril dapat terjadi karena adanya perlakuan kepada hewan ataupun karena penyakit.
2.4 Diagnosis
Diagnosa dalam penyakit abses pada digiti 1 ini dapat ditegakkan melalui anamnese hasil wawancara dengan pemilik hewan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan inspeksi dan melakukan palpasi terhadap lokasi terjadinya abses, dimana dalam kasus ini lokasi yang dilakukan palpasi adalah kuku pada digiti 1 extremitas sinister anjing mix German Shepperd berumur +/-4 tahun. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya tonjolan berwarna merah di sekitar kulit di digiti 1 extremitas sinister, kerontokan rambut pada daerah terjadinya abses, terdapat peradangan yang disertai dengan rasa sakit pada saat mempalpasi abses tersebut. Hal – hal yang ditemukan pada saat melakukan pemeriksaan fisik ini sesuai dengan yang ditulis oleh Doni, 2012 dimana dalam jurnalnya ditulis bahwa dalam pemeriksaan fisik senantiasa ditemukan organ atau jaringan infeksi, massa eksudat, peradangan, abses superficial dengan ukuran bervariasi, terdapat
rasa sakit dan bila di palpasi akan terasa fluktuatif.
2.5 Prognosis
Prognosa dari penyakit abses pada digiti 1 ini adalah fausta. Namun prognosa ini sangat bergantung dari kondisi hewan, tingkat keparahan abses, lokasi tempat terjadinya abses, dan kerjasama dari owner dalam memberikan terapi kepada pasien yang baru saja menjalani operasi.
2.6 Metode Penanganan 2.6.1 Pre Operasi
6
tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan dilakukan dengan melakukan incisi pada daerah asbes utuk kemudian dilakukan pembersihan abses dari jaringan yang mati dengan menggunakan NaCl dan kemudian ditutup dengan jahitan.
2.6.2 Operasi Dengan Metode Onychectomy
Istilah "onychectomy" berasal dari bahasa Yunani yaitu onycho,kuku + ektome, eksisi dan "declawing" yang mempunyai arti penghapusan cakar ke- 5 (cakar lebih) pada hewan, tetapi deskripsi yang lebih tepat digunakan dalam laporan bedah kasus ini adalah onychectomy.
7
Gambar 2.6.2.B. Posisi Pemotongan Kuku (Sumber : Swaim, 2015)
8
Onychectomy merupakan suatu tindakan pembedahan untuk menghilangkan kuku pada hewan (Schwartz, 2011). Pembedahan dilakukan dengan cara amputasi dari seluruh atau sebagian dari falang distal, atau mengakhiri tulang dari jari kaki hewan, karena kuku berkembang dari jaringan germinal dalam barisan ketiga, amputasi tulang diperlukan untuk sepenuhnya menghilangkan kuku hewan (Swaim, 2015).
Onychectomy ini biasanya dilakukan dalam kasus tumor, proses inflamasi kronis, gangren, adanya infeksi baik persisten maupun parah dan abses yang terbatas falang distal. Prosedur pembedahan yang dilakukan pada kasus ini biasanya terbatas pada kuku yang terinfeksi sakit, dan akan meninggalkan kuku yang sehat (jika ada) utuh. Dan dalam pelaksanaannya, onychectomy membutuhkan anestesi umum dan manajemen terapi yang baik sebelum, selama, dan setelah operasi.
2.6.3 Pasca Operasi
Setelah operasi dalam kasus bedah penanganan abses pada digiti 1 ini dapat diberikan antibiotika dan vitamin (Sudisma et al., 2006). Dimana untuk obat – obatan yang akan diberikan, baik antibiotika maupun vitamin yang diberikan harus disesuaikan dengan riwayat pasien, apakah
sebelumnya pernah mengalami keluhan alergi obat.
Dalam sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2001 terhadap 276 pemilik kucing, 34% dilaporkan ketidaknyamanan pasca bedah onychectomy pada kucing mereka sementara 78% melaporkan terutama nyeri. Waktu pemulihan mengambil dari tiga hari sampai dua minggu. Peningkatan kekuatan menggigit atau frekuensi dilaporkan di 4% dari kucing, tapi secara keseluruhan, 96% dari pemilik puas dengan operasi. Beberapa penelitian lain menemukan ketimpangan setelah onychectomy berlangsung > 3 hari, > 1 minggu, 8 hari, > 12 hari, hingga 180 hari, bahkan sampai 96 bulan.
9
53% (Martinez 1993), 1,4% (Pollari 1996), 82,5% untuk blade dan 51,5% untuk teknik geser (Tobias 1994), dan 80% (Yeon 2001).
2.7 Terapi
10
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi 3.1.1 Hewan
A. Sinyalement
Pada tanggal 3 November 2015 telah dilakukan pemeriksaan klinis terhadap seekor anjing lokal mix German Shepperd berjenis kelamin jantan yang bernama brownie, berumur +/- 4 tahun dengan berat 30 kg dan rambut berwana coklat. Pemilik bernama William yang beralamat di Jl. Gunung Salak 27B , Kerobokan – Kuta Utara.
B. Anamnese
Berdasarkan keterangan dari pemilik anjing tersebut, brownie yang awalnya terlihat lincah mulai lemas, nafsu makan menurun, dan selama 2 hari diperhatikan brownie terlihat susah berjalan. Kaki Depan yang sebelah kanan terlihat seperti pincang pada waktu berjalan. Sistem pemeliharaan anjing ini tidak
dikandangkan, melainkan dibiarkan berkeliaran bebas begitu saja, sehingga menyulitkan pemilik untuk melakukan penanganan awal sebelum absesnya menjadi matang dan pecah.
C. Pemeriksaan Fisik
11 terdapat massa berupa nanah pada abses tersebut
8. Otot Normal
9. Sirkulasi Normal
10. Pernafasan Normal
11. Pencernaan Normal
12. Urogenital Normal
13. Mata Normal
14. Telinga Normal
15. Saraf Normal
16. Limfonodus Normal
17. Mukosa Normal
Tabel 3.1.1.C. Hasil Pemeriksaan Fisik Anjing Lokal Mix German Shepperd Pada Kasus “Penanganan Abses Pada Digiti 1
Menggunakan Onychectomy” (Sumber : Penulis)
3.1.2 Alat-alat
12 3.1.3 Bahan-bahan
Bahan – bahan yang dipersiapkan adalah antiseptik (iodine), alkohol 70%, lactat ringer, NaCl, benang absorable chromic catgut 3,0, gloves, masker, dan obat – obatan yang dipersiapkan yaitu atropin sulfat untuk premedikasi, ketamine xlyazine untuk anastesi, vitamin K, epinepherin, antibiotik, dan anti inflamasi. Adapun dosis obat yang diberikan pada pembedahan ini, adalah sebagai berikut :
1. Atropin sulfat sebagai premedikasi dengan sediaan 0,25 mg/ml (Walter, 2008) : = Dosis Anjuran x Berat Badan
2. Ketamine sebagai anasthesi dengan sediaan 100 mg/ml (Reynoldson, 1997) : = Dosis Anjuran x Berat Badan
13 3.2 Metode
3.2.1 Preoperasi
A. Persiapan Ruang Operasi
Ruang operasi dibersihkan dari kotoran debu dengan menggunakan sapu kemudian meja operasi disterilisasi dengan alkohol 70%. B. Persiapan Alat Bedah
Meliputi sterilisasi pada alat-alat bedah menggunakan alat sterilisasi yang ada di ruangan bedah selama 45 menit yang bertujuan untuk menghilangkan seluruh mikroba yang terdapat pada alat-alat bedah, agar jaringan yang steril atau pembuluh darah pada pasien yang akan dibedah tidak terkontaminasi.
C. Persiapan Hewan
1. Anjing yang akan dioperasi dilakukan signalemen, anamnesa, dan pemeriksaan klinik. Sebelum dilakukan operasi, hewan dipuasakan selama 12 jam agar hewan tidak muntah pada waktu teranaesthesia.
2. Pertama-tama diinjeksi dengan premedikasi yaitu atropin sulfat sebanyak 3,6 ml secara subkutan (dosis terlampir). 3. Setelah 30 menit, kemudian di anestesi menggunakan
xylazine sebanyak 3 ml secara intramuskuler (dosis terlampir) dan setelah 10 menit disuntikkan ketamin dengan jumlah pemberian anestesi sebanyak 3,5 ml secara intramuskuler (dosis terlampir).
4. Setelah teranestesi, anjing ditempatkan pada posisi lateral recumbency.
14
7. Kemudian diberi antiseptik untuk menjaga kondisi aseptis.
D. Persiapan Perlengkapan Operator dan Asisten
Perlengkapan yang dibutuhkan operator dan asisten adalah masker, penutup kepala dan sarung tangan serta menggunakan pakaian khusus operasi. Perlengkapan-perlengkapan tersebut disterilisasi dengan menggunakan ozone selama 15 menit.
3.2.2 Operasi
Setelah tahapan preoperasi selesai dan hewan telah teranestesi kemudian hewan dibaringkan pada posisi lateral. Insisi dilakukan pada daerah abses, setelah abses berhasil di insisi dilakukan pembersihan menggunakan NaCl di sekitar jaringan yang berisi nanah. Pemilik anjing mengatakan bahwa abses ini sudah sangat sering terjadi sehingga abses ini dirasa sangat mengganggu gerak gerik dari anjing tersebut, maka dilakukan pengamatan terhadap akar akar yang ada di sekitar kuku anjing. Dan ditemukan ada penumpukan nanah di bawah kuku digiti 1 anjing tersebut yang mengakibatkan kuku anjing ini patah sebagian, sehingga operator memutuskan untuk mencabut kuku anjing dari bagian phalanx distal 3. Perlu
diperhatikan adanya pembuluh darah pada daerah digiti anjing tersebut, apabila terjadi perdarahan dapat dilakukan ligasi pada daerah tersebut atau dapat diberikan epinephrine pada pendarahan lokal. Setelah kuku berhasil dicabut, dilakukan penyemprotan antibiotik dan penjahitan kulit dengan pola jahitan subkurtikuler menerus menggunakan benang absorbable chromic catgut 3,0. Daerah operasi dan bekas luka insisi dibersihkan dengan antiseptic betadine lalu diolesin antibiotik salep dan terakhir ditutup dengan kain kasa untuk diperban.
3.2.3 Pasca Operasi
15
Sabtu, 24 Oktober 2015
Pemilik anjing melaporkan kepada penulis dengan cara mengirimkan gambar, bahwa hewan peliharaannya
sakit pada kukunya.
2.
Minggu, 25 Oktober 2015
Keesokan harinya, penulis melakukan inspeksi ke lokasi, palpasi pada daerah yang sakit dan melakukan anamnese dengan si pemilik anjing tersebut. Dan hewan didiagnosa abses pada kuku
digiti 1.
3.
Jumat, 30 Oktober 2015
Hewan pada saat dibawa ke RSH untuk diskusi dengan dosen pembimbing
kasus. Terlihat kuku anjing sudah hampir patah namun abses masih terlihat kemerahan dan masih mengeluarkan darah.
4.
Senin, 2 November 2015
H-1 sebelum operasi, pemilik
16 5.
Selasa, 3 November 2015
Pada gambar ini brownie terlihat sudah teranathesi dan team bedah sedang melakukan pemeriksaan status present,
seperti : pulsus, respirasi, suhu, CRT.
6.
Selasa, 3 November 2015
Dilakukan pencukuran rambut di sekitar lokasi abses untuk persiapan operasi.
7.
Selasa, 3 November 2015
Hewan diletakkan diatas meja operasi dengan posisi Lateral Recumbency.
8.
Selasa, 3 November 2015
17 9.
Selasa, 3 November 2015
Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) untuk memasang anasthesi inhalasi (isofluerant).
10.
Selasa, 3 November 2015
Dilakukan pemasangan kateter urine guna memenuhi skill lab di dalam lab bedah dan radiologi.
11.
Selasa, 3 November 2015
Pada gambar ini dilakukan pembersihan di sekitar daerah abses tempat akan melakukan insisi menggunakan antiseptik supaya lokasi yang akan di insisi tetap aseptis.
12.
Selasa, 3 November 2015
18 13.
Selasa, 3 November 2015
Pada saat pembersihan abses, ditemukan bahwa posisi kuku anjing tersebut tumbuh melukai daging,
sehingga diputuskan untuk mencabut (mengamputasi) kuku dari phalanx distal 3 hingga ke ujung kuku pada digiti 1. Gambar disamping menunjukkan setelah kuku diamputasi.
14.
Selasa, 3 November 2015
Dilakukan penjahitan dengan pola subkurtikuler menggunakan benang absorable chromic catgut 3,0.
16.
Selasa, 3 November 2015
19 17.
Selasa, 3 November 2015
Setelah operasi selesai, bekas pembedahan ditutup dengan menggunakan kasa dan plester dibalut
menjadi perban.
18.
Hari ke-2 pasca operasi, Kamis 5 November 2015.
Bekas operasi terlihat membengkak akibat terjadinya inflamasi pasca operasi dan luka menjadi sedikit basah dikarenakan luka terkena air hujan.
19.
Hari ke-3 pasca operasi, Jumat 6 November 2015.
Dilakukan penggantian perban secara berkala yang bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan.
20.
Hari ke-5 pasca operasi, Minggu 8 November 2015.
20 21.
Hari ke-6 pasca operasi, Senin 9 November 2015.
Obat bekerja dengan baik, luka sudah tidak benyek seperti sebelumnya tapi
hewan masih merasakan sakit ketika bekas operasinya dicoba untuk disentuh.
22. Hari ke-7 pasca operasi, Selasa 10
November 2015.
Bengkak pada bekas operasi sudah mulai mengecil.
23. Hari ke-8 pasca operasi, Rabu 11
November 2015.
Bekas jahitan mulai terlihat mengering.
24. Hari ke-10 pasca operasi, Jumat 13
November 2015.
21
25. Hari ke-19 pasca operasi, Minggu 22
November 2015.
Pasien amputasi kuku ini menghilang selama 8 hari, sehingga selama 8 hari
sebelumnya tidak dapat dilakukan pengamatan proses kesembuhan. Pada hari ke-19 ini bekas jahitan sudah terlihat mengering.
26. Hari ke-20 pasca operasi, Senin 23
November 2015.
Rambut di sekitar bekas operasi sudah mulai tumbuh seperti semula.
27. Hari ke-21 pasca operasi, Selasa 24
November 2015.
22
28. Hari ke-23 pasca operasi, Kamis 26
November 2015.
Pasien amputasi kuku sudah sembuh, bekas jahitan sudah tertutup dengan
sempurna dan sudah kering. Rambut sudah tumbuh seperti sebelum operasi dilakukan.
Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Pra Operasi, Operasi, Pasca Operasi Pada Anjing Lokal Mix German Shepperd Pada Kasus “Penanganan Abses Pada Digiti 1 Dengan Metode Onychectomy”
(Sumber : Penulis)
4.2 Pembahasan
23
25
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pasien dalam kasus ini bernama Brownie, seekor anjing campuran anjing lokal degan German Shepperd. Owner dari anjing tersebut mengeluhkan ahwa brownie terlihat sulit untuk berjalan, setelah dilakukan inspeksi palpasi dan menayakan riwayat brownie kepada si pemilik, brownie didiagnosa abses pada digiti 1. Abses dalam kasus ini disebabkan oleh masuknya potongan kuku ke dalam daging pada extremitas sinister yang mengakibatkan penanganan asbes pada kasus ini dilakukan dengan metode onychectomy. Onychectomy merupakan proses pencabutan kuku dari phalanx distal 3, dimana kuku yang dicabut ialah kuku pada digiti 1 extremitas sinister. Setelah dilakukan pembedahan, insisi luka dijahit dengan pola jahitan subkurtikuler menggunakan benang absorable chromic catgut 3,0. Pemberian obat – obatan, vitamin, dan pakan kaya protein terus dilakukan pasca operasi guna membantu proses penyembuhan baik di jaringan sekitar abses maupun di insisi luka.
5.2 Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
Anjing dari Wikipedia Indonesia, Ensklopedia Bebas (2015). Diperoleh dari http//id.wikipedia.org.wiki.Anjing. Tanggal akses 10 November 2015.
American Pet Products Manufacturer Association (APPMA) : National Pet Owners Survey. 1999. APPMA. Greenwich, Connecticut.
Anonymous. 2005. Abses Pada Hewan Kecil. Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Beck, M. A. 2000. The Human – Dog Relationship : A Tale of Two Species. In Dogs, Zoonoses, and Public Health. C. N. L. Macpherson. F. X. Meslin., and A. I. Wandeler. Cromwell Press. USA.
Doni. 2012. Abses Pada Hewan Kecil. Petkartini.comxa.com Tanggal akses 10 November 2015.
Fletcher, T. F., A. F. Weber. 2013. Veterinary Developmental Anatomy. Embryo
Lect Notes. USA.
Green. 2014. Konsep Dasar Abses. http://ilmugreen.com/2012/07/konsep-dasar-abses.com. Tanggal akses 10 November 2015.
Jaeger, G.H., S.O. Chanapp. 2008. Carpal ad Tarsal Injuries. Veterinary Orthopedics Sports Medicine Group. Elicott City.
27
Martinez, S. A., J. Hauptmann., R. Walshaw. 1993. Comparing Two Techniques for Onychectomy in Cats and Two Ahesives for Wound Closure. Veterinary Medicines 88 : 516 – 525.
Mueller, R. S., A. S. Kock., A. A. Stannard. 1993. Veterinary Medical Teaching Hospital. University of California. USA.
Pollari, F. L., B. N. Bonnett., S. C. Bamsey. 1996. Postoperative Complications of Elective Surgeries in Dogs and Cats Determined by Examining Electronic and Paper Medical Records. J Am Veterinary Medicine Association. Spain.
PetMD. 1999. Abcesses in Dog.
http://www.petmd.com/conditions/skin/c_dg_abscessatio#. Tanggal akses 10 November 2015.
Puja, IK. 2011. Anjing Perawatan dan Pengembangbiakan. Denpasar: Udayana University Press.
Reynoldson, J.A., B.J. Hilbert., S.E. Cooper. 1997. Veterinary Drug Dose
Handbook. School of Veterinary Studies Murdoch University. Western Australia.
Royschuk, R. A. W. 2015. Canine and Feline Pododermatitis.Norwegia.
Schwartz, S. H. 2011. Onychectomy and Tendonectomy. NAVC Clinician’s Brief. Ohio.
Sudisma, I.G.N., G.A.G. Pemayun., A.A.G.J. Wardhita., I.W. Gorda. 2006. Ilmu Bedah Veteriner dan Teknik Operasi. Fakultas Kedokteran Hewan. Denpasar.
28
Tobias, K. S. 1994. Feline Onychectomy at Teaching Institution : A Retrospective Study of 163 Cases. Veterinary Surgery 23 : 274 – 280.
Verde, M. 2005. Canine and Feline Nail Disease. North American Veterinary Conference. Florida.
Walter. 2008. Handbook of Veterinary Pharmacology. Blackwell Publishing. USA.
29
LAMPIRAN 1
DOSIS PEMBERIAN OBAT
1. Atropin sulfat sebagai premedikasi dengan sediaan 0,25 mg/ml (Walter, 2008) : = Dosis Anjuran x Berat Badan
2. Ketamine sebagai anasthesi dengan sediaan 100 mg/ml (Reynoldson, 1997) : = Dosis Anjuran x Berat Badan
Sediaan
4. Ampicilin sebagai antibiotika yang diinjeksikan setelah operasi selesai dengan sediaan 100 mg /ml (Reynoldson, 1997) :
= Dosis Anjuran x Berat Badan Sediaan
= (5 – 10) ml/kg/BB/hari X 30 kg 100
30
5. Amoxycilin sebagai antibiotika dengan sediaan 500 mg/ml (Reynoldson, 1997) : = Dosis Anjuran x Berat Badan
Sediaan
= (40 – 80) mg/kg/BB/hari X 30 kg 500
= 2,4 – 4,8 Dosis yang diberikan = 3 tablet / hari R/ Amoxycilin 500 mg tab xv
S 3 dd 1 tab m.et.v #
6. Asam Mefenamat sebagai analgesik dengan sediaan 500 mg/ml (Reynoldson, 1997) : = Dosis Anjuran x Berat Badan
Sediaan
7. Enbatic sebagai antibiotik tabur R/ Enbatic Pulv adsper No.1
S.u.e applic part dol #
8. Salep Oxytetracyclin R/ Oxytetracyclin
S.u.e applic part dol #
9. Vitamin