A B S T R A K
Membangun aturan kabur dari data numeris dapat dicari dengan beberapa cara, yaitu metode penyebaran balik, metode kuadrat terkecil dan metode bentuk tabel. Metode bentuk tabel dipilih karena metode ini lebih mudah dan lebih sederhana daripada kedua metode lainnya.
ABSTRACT
Generating fuzzy rules from numerical data can be found with many ways, like back-propagation algorithm, orthogonal least squares algorithm, and table-lookup scheme. Table-lookup scheme method is a simple method and more easier than other methods.
MEMBANGUN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Oleh:
Athanasia Anisa Angki P NIM : 003114018
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
GENERATING FUZZY RULES OF NUMERICAL DATA
Thesis
Presented as Partial Fulfillment of Requirements to Obtain the Sarjana Sains Degree
In Mathematics
By
Athanasia Anisa Angki P Student Number : 003114018
MATHEMATICS DEPARTEMENT SCIENCE AND TECHNOLOGY FACULTY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
!
"
#
$%
&'()*+
"
,
,
'
#
"
,
-,
)
#
.
,
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 2008
Penulis
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “ Membangun
Aturan Kabur dari Data Numeris” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Sanata Dharma.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan banyak terima kasih pada
berbagai pihak yang telah ikut membantu dalam menyelesaikan Skripsi ini,
khususnya pada:
1. Bapak Eko Hari Parmadi, S.Si.,M.Kom, selaku dosen pembimbing dan
Dosen Ilmu Komputer Universitas Sanata Dharma
2. Ibu Lusia Krismiyati, S.,Si, M.,Si selaku Ketua Program Studi
Matematika.
3. Ibu M. V. Any Herawati, S.Si.,M.Si, selaku pembimbing akademik dan
dosen FMIPA, Bapak Y.G. Hartono, S.Si. M.Sc, Bapak Ir. Ig. Aris
Dwiatmoko, M.Sc dan juga seluruh Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma yang tidak bisa disebutkan
satu persatu.
4. Ibu Warni, Pak Tukijo, dan Mbak Linda selaku staf administrasi FMIPA
5. Bapak Paulus Salam, Ibu Yohana Sri Aryani, Hendy dan Yoga. Terima
kasih banyak atas dukungan, motivasi dan kasih sayang yang kalian
berikan selama ini, semua itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
6. Untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
membantu dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini jauh dari sempurna, oleh sebab
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata penulis
berharap semoga dengan tersusunnya skripsi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa
Jurusan matematika khususnya dan bagi Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
pada umumnya.
Yogyakarta, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
ABSTRAK ... xiv
ABSTRACT... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah... 1
B. Perumusan Masalah ... 2
C. Pembatasan Masalah ... 2
D. Tujuan Penulisan ... 2
E. Manfaat Penulisan... 2
BAB II LANDASAN TEORI
A. Himpunan Kabur ... 5
B. Operasi pada Himpunan Kabur ... 12
C. Perampatan Operasi Baku pada Himpunan Kabur ... 19
D. Logika Proposisi ... 21
E. Logika Kabur... 26
F. Relasi Kabur ... 29
G. Proposisi Kabur ... 34
H. Implikasi Kabur ... 36
I. Basis Pengetahuan ... 39
BAB III MEMBANGUN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS... 43
BAB IV PENERAPAN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS PADA SISTEM KENDALI TRUK A. Permasalahan pada Kontrol Sistem Kendali Truk... 50
B. Membangun Aturan Kabur dari Data Numeris untuk Sistem Kendali Truk... 51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 72
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.1. Grafik Fungsi Keanggotaan Hinpunan Kabur A~ ... 9
Gambar 2.1.2. Fungsi Keanggotaan Segitiga
(
x;a,b,c)
... 11Gambar 2.1.3. Fungsi Keanggotaan Trapesium
(
x;a,b,c,d)
... 12Gambar 2.2.1. Grafik Fungsi Keanggotaan Hinpunan Kabur A~ ... 15
Gambar 2.2.2. Grafik Fungsi Keanggotaan Hinpunan Kabur B~ ... 16
Gambar 2.2.3. Grafik Fungsi Keanggotaan Hinpunan Kabur A′~ ... 18
Gambar 2.2.4. Grafik Fungsi Keanggotaan Hinpunan Kabur B′~ ... 18
Gambar 2.5.1. Gambar Kecepatan Mobil ... 28
Gambar 2.9.1. Fungsi Keanggotaan Himpunan-himpunan Kabur yang terkait dengan Nilai-nilai Linguistik untuk Variabel y pada Semesta
[
−a,a]
... 40Gambar 3.1 Himpunan Kabur Input ... 44
Gambar 3.2 Himpunan Kabur Output... 45
Gambar 3.3. Membagi Input dan Output menjadi Himpunan Nilai Linguistik dan Korespondensi Fungsi Keanggotaan ... 46
Gambar 3.4. Ilustrasi tabel Look-up dari Aturan Dasar Kabur ... 48
Gambar 4.1. Diagram Simulasi Truk dan Daerah Muatan... 50
Gambar 4.2. Fungsi Keanggotaan Kabur untuk µ
( )
φ ... 52Gambar 4.4. Fungsi Keanggotaan Kabur untuk µ
( )
θ ... 55Gambar 4.5. Hasil Akhir Membangun Aturan Kabur dari Data
DAFTAR TABEL
Tabel 2.4.1.1. Tabel Nilai Kebenaran Negasi ... 22
Tabel 2.4.1.2. Tabel Nilai Kebenaran Konjungsi ... 23
Tabel 2.4.1.3. Tabel Nilai Kebenaran Disjungsi ... 24
Tabel 2.4.1.4. Tabel Nilai Kebenaran Implikasi... 25
Tabel 2.4.1.5. Tabel Nilai Kebenaran Biimplikasi ... 26
Tabel 4.1. Panjang Lintasan Dimulai dari
(
)
(
0)
0 0,φ = 1,0 x ... 51A B S T R A K
Membangun aturan kabur dari data numeris dapat dicari dengan beberapa cara, yaitu metode penyebaran balik, metode kuadrat terkecil dan metode bentuk tabel. Metode bentuk tabel dipilih karena metode ini lebih mudah dan lebih sederhana daripada kedua metode lainnya.
ABSTRACT
Generating fuzzy rules from numerical data can be found with many ways, like back-propagation algorithm, orthogonal least squares algorithm, and table-lookup scheme. Table-lookup scheme method is a simple method and more easier than other methods.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam membangun aturan kabur dari data numeris terdapat beberapa
metode antara lain metode penyebaran balik, metode kuadrat terkecil ortogonal
dan metode bentuk tabel. Konsep dasar dari metode penyebaran balik adalah
metode ini dapat dipakai pada berbagai jaringan arus-maju. Jika sistem logika
kabur digambarkan sebagai jaringan arus-maju maka dapat digunakan metode ini
untuk menyelesaikannya. Sedangkan metode kuadrat terkecil ortogonal digunakan
untuk menentukan fungsi basis kabur dan parameter sisa. Metode ini
menggunakan prosedur one-pass dan ini lebih cepat dibandingkan metode
penyebaran balik. Sehingga pada metode penyebaran balik dan metode kuadrat
terkecil ortogonal, metode-metode tersebut tidak cukup sederhana karena
membutuhkan perhitungan secara intensif.
Di dalam membangun aturan kabur dari data numeris kita menemukan
metode yang sangat sederhana untuk merancang sistem kabur yang sesuai yang
ditunjukkan dengan operasi nilai tunggal pada pasangan terurut numeris dan
aturan bahasa kabur JIKA-MAKA.
Tulisan ini akan membahas tentang membangun aturan kabur dari data
pasangan berurutan, mengumpulkan aturan yang dibangun dan aturan bahasa
menjadi sebuah dasar aturan kabur pada umumnya dan untuk membentuk akhir
B. Perumusan Masalah
Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana membangun aturan kabur dari data numeris?
2. Bagaimana penerapan membangun aturan kabur dari data numeris?
C. Pembatasan Masalah
Dalam topik ini masalah dibatasi pada data yang dimasukkan yaitu data
berupa pasangan terurut dan aturan yang digunakan yaitu implikasi kabur
Mamdani.
D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini adalah menjawab masalah-masalah yang
terdapat pada perumusan masalah yaitu :
1. Dapat membangun aturan kabur dari data numeris
2. Implementasi membangun aturan kabur dari data numeris
E. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diperoleh dari mempelajari topik ini adalah diperoleh cara
F. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis adalah studi pustaka, yaitu dengan
mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan membangun aturan kabur dari
data numeris.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Tujuan Penulisan
E. Manfaat Penulisan
F. Metode Penulisan
G. Sistematika Penulisan
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Himpunan Kabur
B. Operasi pada Himpunan Kabur
C. Perampatan Operasi Baku pada Himpunan Kabur
D. Logika Proposisi
E. Logika Kabur
F. Relasi Kabur
H. Implikasi Kabur
I. Basis Pengetahuan
BAB III : MEMBANGUN ATURAN KABUR DARI DATA
NUMERIS
BAB IV : PENERAPAN ATURAN KABUR DARI DATA
NUMERIS PADA SISTEM KENDALI TRUK
A. Permasalahan pada Kontrol Sistem Kendali Truk
B. Membangun Aturan Kabur dari Data Numeris untuk
Sistem Kendali Truk
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Himpunan Kabur
Banyak situasi di dalam kehidupan sehari-hari yang kita jumpai terdefinisi
secara tidak tegas, misalnya himpunan orang miskin, himpunan orang pandai,
himpunan orang yang tinggi, dan sebagainya. Misalnya, murid yang
mempunyai nilai rata-rata 8 mempunyai derajat keanggotaan 0.9, yaitu
( )
8 =0.9pandai
µ , dan murid yang mempunyai nilai rata-rata 6 mempunyai
derajat keanggotaan 0.5, yaitu µpandai
( )
6 =0.5, dalam himpunan kabur“pandai” tersebut.
Teori himpunan kabur diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh pada tahun
1965. Zadeh membuat suatu terobosan baru dengan memperluas konsep
“himpunan” klasik menjadi himpunan kabur untuk mengatasi permasalahan
himpunan dengan batas yang tidak tegas itu. Zadeh juga mengaitkan himpunan
semacam itu dengan suatu fungsi yang menyatakan derajat kesesuaian
unsur-unsur dalam semestanya dengan konsep yang merupakan syarat keanggotaan
himpunan tersebut. Fungsi itu disebut fungsi keanggotaan dan nilai fungsi itu
disebut derajat keanggotaan suatu unsur dalam himpunan itu (Susilo, 2003).
Definisi 2.1.1
Fungsi karakteristik dari suatu himpunan Aadalah suatu fungsi dari himpunan
{
0,1}
:X →A
χ
Definisi 2.1.2
Himpunan kabur adalah himpunan di mana nilai fungsi karakteristik untuk tiap
elemennya ada di dalam selang tertutup
[
0,1]
.Definisi 2.1.3
Diberikan himpunan semesta X . Suatu himpuanan kabur A~ dalam semesta X
adalah pemetaan µA~ dari X ke selang
[
0,1]
, yaitu ~ :X →[
0,1]
A
µ
dimana nilai fungsi µA~
( )
x menyatakan derajat keanggotaan unsur x∈X dalamhimpunan kabur A~.
Nilai fungsi sama dengan 1 menyatakan keanggotaan penuh, dan nilai
fungsi sama dengan 0 menyatakan samasekali bukan anggota himpunan kabur
tersebut. Jadi fungsi keanggotaan dari suatu himpunan tegas Adalam semesta X
adalah pemetaan dari X ke himpunan
{ }
0,1 , yang tidak lain daripada fungsikarakteristik χA, yaitu:
( )
∉ ∈ =
A x
A x x
A
jika 0
jika 1 χ
Suatu himpunan kabur A~ dalam semesta pembicara X dapat dinyatakan
sebagai himpunan pasangan terurut
( )
(
)
{
x x x X}
A= , A~ ∈
~
dimana µA~ adalah fungsi keanggotaan dari himpunan kabur A~, yang merupakan
suatu pemetaan dari himpunan semesta X ke selang tertutup
[ ]
0,1 .Apabila semesta X adalah himpunan yang kontinu, maka himpunan kabur
A~ seringkali dinyatakan dengan:
( )
x x AX x
A
∈
= ~
~ µ
dimana tanda pengintegralan bukan notasi pengintegralan seperti yang dikenal
dalam kalkulus, melainkan menyatakan himpunan semua unsur x∈X bersama
dengan derajat keanggotaannya dalam himpunan kabur A~.
Contoh 2.1.1
Misalkan A adalah himpunan bilangan asli yang dekat dengan 10, dimana R
adalah himpunan bilangan asli dari 1≤r≤15 dan himpunan kabur A~ merupakan
himpunan bilangan real yang dekat dengan 10 yang dapat dinyatakan sebagai
(
−)
=+ =
∈
x x
A
R x
2
10 1
1 ~
14 / 1 . 0 13 / 1 . 0 12 / 2 . 0 11 / 5 . 0 10 / 1 9 / 5 . 0 8 / 2 . 0 7 / 1 . 0 6 / 1 .
0 + + + + + + + +
=
Dalam penyajian himpunan kabur, derajat keanggotaan 0 biasanya tidak
dituliskan.
Apabila semesta X adalah himpunan yang diskret, maka himpunan kabur
( )
x x AX x
A
∈
= ~
~
µ
dimana tanda sigma bukan menyatakan operasi jumlahan seperti yang dikenal
dalam aritmatika, tetapi menyatakan himpunan semua unsur x∈X bersama
dengan derajat keanggotaannya dalam himpunan kabur A~.
Contoh 2.1.2
Dalam semesta X =
{
−5,−4,−3,−2,−1,0,1,2,3,4,5}
dimana X adalahhimpunan bilangan bulat dari −5≤ x≤5, himpunan kabur A~ adalah himpunan
bilangan bulat yang dekat dengan nol yang dapat dinyatakan sebagai
( )
x x AX x
A
∈
= ~
~
µ =
= 0/-5 + 0.1/-4 + 0.3/-3 + 0.5/-2 + 0.7/-1 + 1/0 + 0.7/1 + 0.5/2 + 0.3/3 + 0.1/4 +
0/5
Contoh 2.1.3
Diberikan himpunan kabur A~ dengan fungsi keanggotaan didefinisikan sebagai
berikut :
( )
≤ ≤ −
≤ ≤
≤ ≤ −
≤ ≤ ≤
≤
=
60 45
jika 15
60
45 35
jika 1
35 20
jika 15
20
100 60
atau 20 0
jika 0
~
x x
x x x
x x
x
A
Maka grafik fungsi keanggotaannya dilukiskan sebagai berikut :
Gambar 2.1.1. Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur A~
Definisi 2.1.4
Pendukung (support) dari suatu himpunan kabur A~ adalah himpunan tegas yang
memuat semua unsur dari semesta yang mempunyai derajat keanggotaan taknol
dalam A~, yaitu
( )
A~ ={
x∈X ~( )
x >0}
Pend µA .
Definisi 2.1.5
Tinggi (height) dari suatu himpunan kabur A~ didefinisikan sebagai
( )
A{
( )
x}
Tinggi A
X x
~
sup ~
µ ∈
= .
Definisi 2.1.6
• Jika nilai purata (pusat rata-rata) dari semua titik di mana fungsi
keanggotaan himpunan kabur itu mencapai nilai maksimum adalah
berhingga, maka pusat himpunan kabur itu adalah nilai purata (pusat
rata-rata) tersebut.
• Jika nilai purata itu takhingga positif (negatif), maka pusat himpunan
kabur itu adalah yang terkecil (terbesar) di antara semua titik yang
mencapai nilai fungsi keanggotaan maksimum.
Definisi 2.1.7
Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan segitiga
jika mempunyai tiga buah parameter, yaitu a,b,c∈R dengan a b c, dan
dinyatakan dengan Segitiga
(
x;a,b,c)
dengan aturan :(
)
− ≤ ≤−
≤ ≤ −
−
=
lainnya untuk
0
untuk untuk
c b, a, x;
Segitiga c b b x c
x c
b x a a
b a x
Fungsi keanggotaan tersebut juga bisa dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut :
(
; , ,)
max min , ,0 .− − − − =
b c
x c a b
a x c
Definisi 2.1.8
Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan trapesium
jika mempunyai empat buah parameter, yaitu a,b,c,d∈R dengan a b c d,
dan dinyatakan dengan Trapesium
(
x;a,b,c,d)
dengan aturan :(
)
≤ ≤ −
−
≤ ≤
≤ ≤ −
−
=
lainnya untuk
0
untuk untuk 1
untuk
, , , ;
d x c c
d x d
c x b
b x a a
b a x
d c b a x Trapesium
Fungsi keanggotaan tersebut juga bisa dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut :
(
; , , ,)
max min ,1, ,0 .− − −
− =
c d
x d a b
a x d
c b a x Trapesium
0 a b c
1
R
B. Operasi pada Himpunan Kabur
Seperti halnya pada himpunan tegas, kita dapat mendefinisikan operasi
uner “komplemen” dan operasi-operasi biner “gabungan” dan “irisan” pada
himpunan kabur. Karena suatu himpunan tegas dapat dinyatakan secara lengkap
dengan fungsi karakteristiknya, maka ketiga operasi pada himpunan tegas itu
dapat didefinisikan dengan menggunakan fungsi karakteristik itu.
Definisi 2.2.1
Komplemen dari suatu himpunan kabur A~adalah himpunan kabur A′~ dengan
fungsi keanggotaan
( )
x A( )
xA~ 1 µ~
µ ′ = −
1
[image:30.612.133.509.101.586.2]0 a b c d R
Contoh 2.2.1
Diberikan semesta X adalah nilai-nilai ujian, X=
{
10,20,30, ,100}
.Himpunan kabur A~ didefinisikan himpunan kabur “Tinggi” yang dinyatakan :
=
A~ 0.1/50 + 0.3/60 + 0.5/70 + 0.8/80 +1/90 + 1/100
dan himpunan kabur B~ didefinisikan himpunan kabur “Sedang” yang dinyatakan
=
B~ 0.1/30 + 0.5/40 + 0.5/50 + 1/60 + 0.8/70 + 0.5/80
Maka komplemen dari himpunan kabur A~ adalah
= ′
A~ 1/10 + 1/20 + 1/30 + 1/40 + 0.9/50 + 0.7/60 + 0.5/70 + 0.2/80
dan komplemen dari himpunan kabur B~ adalah
= ′
B~ 1/10 + 1/20 + 0.9/30 + 0.5/40 + 0.5/50 + 0.2/70 + 0.5/80 + 1/90 +
1/100
dimana komplemen dari himpunan kabur A~ didefinisikan sebagai himpunan
kabur “Tidak Tinggi” dan komplemen dari himpunan kabur B~ didefinisikan
sebagai himpunan kabur “Tidak Sedang”.
Definisi 2.2.2
Gabungan dua buah himpunan kabur A~ dan himpunan kabur B~ adalah himpunan
kabur A~∪B~ dengan fungsi keanggotaan:
( )
x{
A( )
x B( )
x}
B
A~ ~ max µ~ ,µ~
µ ∪ =
Contoh 2.2.2
Dari contoh 2.2.1, gabungan dari himpunan kabur A~ dan himpunan kabur B~
adalah 100 / 1 90 / 1 80 / 8 . 0 70 / 8 . 0 60 / 1 50 / 5 . 0 40 / 5 . 0 30 / 1 . 0 ~ ~ + + + + + + + = ∪B A Definisi 2.2.3
Irisan dua buah himpunan kabur A~ dan himpunan kabur B~ adalah himpunan
kabur A~∩B~ dengan fungsi keanggotaan
( )
x{
A( )
x B( )
x}
B
A~ ~ min µ~ ,µ~
µ ∩ =
untuk setiap x∈X .
Contoh 2.2.3
Dari contoh 2.2.1, irisan dari himpunan kabur A~ dan himpunan kabur B~ adalah
80 / 5 . 0 70 / 5 . 0 60 / 3 . 0 50 / 1 . 0 ~ ~ + + + = ∩B A Contoh 2.2.4
Misalkan dalam semesta Χ = {-4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6} diketahui
himpunan-himpunan kabur =
~
A 0.3/-3 + 0.5/-2 + 0.7/-1 + 1/0 + 0.7/1 + 0.5/2
+0.3/3 dan =
~
B 0.1/-1 + 0.3/0 + 0.8/1 + ½ + 0.7/3 + 0.4/4 + 0.2/5, maka
~ ~
B
A∪ = 0.3/-3 + 0.5/-2 + 0.7/-1 + 1/0 + 0.8/1 + ½ + 0.7/3 + 0.4/4 + 0.2/5
~ ~
B
A∩ = 0.1/-1 + 0.3/0 + 0.7/1 + 0.5/2 + 0.3/3
Contoh 2.2.5
Misalkan A~ adalah himpunan kabur dengan fungsi keanggotaan :
( )
≤ ≤ −
≤ ≤ − −
≥ −
≤
=
30 10
jika 20
30
10 10
jika 20
10
30 atau 10 jika
0
~
x x
x x
x x
x
A
µ
Maka grafik fungsi keanggotaan dari himpunan kabur A~ dapat dilukiskan sebagai
[image:33.612.135.507.245.629.2]berikut :
Gambar 2.2.1. Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur A~
1
0.5
A~
-20 -10 0 10 30 40
dan B~ adalah himpunan kabur dengan fungsi keanggotaan sebagai berikut :
( )
≤ ≤ −
≤ ≤ −
≥ ≤
=
50 30
jika 20
50
30 10
jika 20
10
50 atau
10 jika
0
~
x x
x x
x x
x
B
µ
Maka grafik fungsi keanggotaan dari himpunan kabur B~ dapat dilukiskan sebagai
[image:34.612.136.503.167.540.2]berikut :
Gambar 2.2.2. Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur B~
Dengan menggunakan definisi komplemen himpunan kabur dapat diperoleh
fungsi keanggotaan komplemen dari himpunan kabur A~ sebagai berikut : 1
0.5
B~
-10 0 10 30 50
R
( )
≤ ≤ − − ≤ ≤ − − − ≥ − ≤ − = ′ 30 10 jika 20 10 1 10 10 jika 20 10 1 30 atau 10 jika 0 1 ~ x x x x x x x A µ( )
≤ ≤ − ≤ ≤ − − ≥ − ≤ = ′ 30 10 jika 20 10 10 10 jika 20 10 30 atau 10 jika 1 ~ x x x x x x x A µdan fungsi keanggotaan komplemen dari himpunan kabur B~ sebagai berikut :
( )
≤ ≤ − − ≤ ≤ − − ≥ ≤ − = ′ 50 30 jika 20 50 1 30 10 jika 20 10 1 50 atau 10 jika 0 1 ~ x x x x x x x B µ( )
≤ ≤ − ≤ ≤ − ≥ ≤ = ′ 50 30 jika 20 30 30 10 jika 20 30 50 atau 10 jika 1 ~ x x x x x x x B µGrafik fungsi keanggotaan komplemen dari himpunan kabur A~ dan B~ dapat
[image:35.612.135.488.95.616.2]Gambar 2.2.3. Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur A′~
Gambar 2.2.4. Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur B′~
Ketiga operasi yang didefinisikan di atas disebut operasi baku
C. Perampatan Operasi Baku pada Himpunan Kabur
Definisi 2.31
Suatu pemetaan k:
[
0,1]
→[
0,1]
disebut komplemen kabur jika memenuhiaksioma sebagai berikut:
1. k
( )
0 =1dank( )
1 =0 (syarat batas)2. Jikax y, makak
( )
x ≥k( )
y untuksemuax,y∈[
0,1]
(syarattaknaik)
Suatu kelas pemetaan yang merupakan komplemen kabuar adalah kelas Sugeno
yang didefinisikan sebagai berikut:
( )
x x x
k
λ λ
+ − =
1 1
dengan parameter λ∈
(
−1,∞)
.Untuk setiap nilai parameter λ diperoleh suatu komplemen kabur. Untuk λ =0,
diperoleh operasi komplemen baku, yaitu k0
( )
x =1−x, di mana x adalah derajatkeanggotaan suatu elemen dalam suatu himpunan kabur A~ dan k0
( )
x adalahderajat keanggotaan elemen tersebut dalam himpunan kabur A′~ (komplemen dari
himpunan kabur A~).
Definisi 2.3.2
Suatu pemetaan s:
[
0,1] [
× 0,1]
→[
0,1]
disebut gabungan kabur (norma-s) jikamemenuhi aksioma-aksioma sebagai berikut:
2. s
(
x,y)
=s(
y,x)
(syarat komutatif)3. Jika x≤ x′ dan y ≤ y′, maka s
(
x,y)
≤s(
x′,y′)
untuk semua[
0,1]
,y∈
x (syarat takturun)
4. s
(
s(
x,y)
,z)
=s(
x,s(
y,z))
(syarat asosiatif)Operasi gabungan baku, yaitu s
(
x,y)
=max{
x,y}
, merupakan norma-s.Definisi 2.3.3
Suatu pemetaan t:
[
0,1] [
× 0,1]
→[
0,1]
disebut irisan kabur (norma-t) jikamemenuhi aksioma-aksioma sebagai berikut:
1. t
(
x,1)
=t(
1,x)
=x dan t(
0,0)
=0 (syarat batas)2. t
(
x,y)
=t(
y,x)
(syarat komutatif)3. Jika x≤ x′ dan y≤ y′, maka t
(
x,y)
≤t(
x′,y′)
untuk semua[
0,1]
,y∈
x (syarat takturun)
4. t
(
t(
x,y)
,z)
=t(
x,t(
y,z))
(syarat asosiatif)Operasi irisan baku, yaitu t
(
x,y)
=min{
x,y}
, merupakan suatu norma-t.Contoh-contoh lain dari norma-t adalah sebagai berikut:
a. Darab aljabar: tda
(
x,y)
= xyb. Darab Einstein:
(
)
(
x y xy)
xy y
x tde
− + − =
2 ,
c. Darab drastis:
(
)
= = =lainnya jika
0
1 jika
1 jika
, y x
y x
D. Logika Proposisi
Logika proposisi mempelajari penalaran manusia dengan menggunakan
proposisi yaitu kalimat yang mempunyai nilai benar atau salah. Logika yang
hanya mengenal dua nilai kebenaran ini juga disebut logika dwinilai. Suatu
proposisi disebut proposisi atomik bila proposisi itu memuat proposisi lain
sebagai komponennya.
Contoh 4.1
• Matahari terbit pada pagi hari
• Bilangan 5 habis dibagi 2
Proposisi atomik dapat disajikan dengan menggunakan lambang huruf
kecil, seperti a, b, c, dst. Apabila lambang-lambang huruf itu menyajikan
proposisi yang tidak tertentu, maka lambang itu disebut variabel proposisi(Susilo,
2003).
2.4.1 Perangkai Logis
Semua proposisi bukan atomik merupakan proposisi majemuk dan semua
proposisi majemuk memiliki minimal satu perangkai logis. Perangkai logis yang
hanya melibatkan satu proposisi atomik disebut perangkai uner, sedangkan
perangkai logis yang melibatkan dua proposisi atomik disebut perangkai biner.
Ada lima buah perangkai logis yang akan dibahas, yaitu negasi, konjungsi,
2.4.1.1 Negasi
Negasi dari proposisi lain adalah proposisi yang diperoleh dengan
menambahkan kata “tidak” atau menyisipkan kata “bukan” pada proposisi semula.
Negasi dari suatu proposisi p disajikan dengan lambang ¬p.
Contoh 2.4.1.1
R x x
p= 2 ≥0, ∈
maka ¬p= x2 <0, x∈R atau ¬p= tidak benar bahwa x2 ≥0, x∈R
Definisi 2.4.5
Jika p suatu proposisi maka proposisi “tidak p” mempunyai nilai kebenaran
[image:40.612.131.506.232.558.2]“salah” bila proposisi semula bernilai “benar” atau sebaliknya.
Tabel 2.4.1.1 Tabel Nilai Kebenaran Negasi
p ¬p
1 0
0 1
2.4.1.2 Konjungsi
Konjungsi dua buah proposisi adalah proposisi yang diperoleh dengan
menghubungkan kedua proposisi itu dengan menggunakan kata perangkai “dan”.
Contoh 2.4.1.2
3
=
p adalah bilangan prima ganjil
2
=
q adalah bilangan prima genap
maka p∧q =3 adalah bilangan prima ganjil dan 2 adalah bilangan prima
genap.
Definisi 2.4.6
Jika p dan q adalah dua buah proposisi maka proposisi majemuk “p danq”
bernilai “benar” bila keduanya bernilai benar.
Tabel 2.4.1.2 Tabel Nilai Kebenaran Konjungsi
p ¬p p∧q
1 1 1
1 0 0
0 1 0
0 0 0
2.4.1.3 Disjungsi
Disjungsi dua buah proposisi adalah proposisi yang diperoleh dengan
menghubungkan kedua proposisi itu dengan menggunakan kata perangkai“atau”
dan disajikan dengan lambang “∨”.
Contoh 2.4.1.3
7
=
7
=
q merupakan bilangan ganjil
maka p∨q =7 merupakan bilangan prima atau bilangan ganjil
Definisi 2.4.7
Jika p dan q adalah dua buah proposisi maka proposisi majemuk “patauq”
bernilai “benar” bila sekurang-kurangnya salah satu dari kedua proposisi itu
bernilai benar.
Tabel 2.4.1.3 Tabel Nilai Kebenaran Disjungsi
p ¬p p∨q
1 1 1
1 0 1
0 1 1
0 0 0
2.4.1.4Implikasi
Implikasi dua buah proposisi adalah proposisi yang diperoleh dengan
menghubungkan kedua proposisi itu dengan menggunakan kata perangkai “jika
… maka … (if … then …)” dan disajikan dengan lambang “p →q”. Proposisi
“ p” disebut dengan anteseden sedangkan proposisi “q” konsekuen.
Contoh 2.4.1.4
=
0 4
2
> −
=b ac
q .
=
→q
p jika persamaan kuadrat ax2+bx+c =0 mempunyai akar-akar
real maka b2−4ac>0.
Definisi 2.4.8
Jika p dan q adalah dua buah proposisi maka suatu implikasi bernilai “benar”
[image:43.612.133.475.250.522.2]bila antesedennya bernilai salah atau konsekuennya bernilai benar.
Tabel 2.4.1.4 Tabel Nilai Kebenaran Implikasi
p q p→q
0 0 1
0 1 1
1 0 0
1 1 1
2.4.1.5Biimplikasi
Biimplikasi dua buah proposisi adalah proposisi yang diperoleh dengan
menghubungkan kedua proposisi itu dengan menggunakan kata perangkai
“…jhj…“ dan disajikan dengan lambang “p↔ q”.
Contoh 2.4.1.5
=
p dua garis saling berpotongan tegak lurus.
=
q dua garis saling membentuk sudut 0
Maka p ↔q adalah dua garis saling berpotongan tegak lurus jika dan
hanya jika kedua garis itu saling membentuk sudut 0
90 .
Definisi 2.4.9
Jika p dan q adalah dua buah proposisi maka proposisi majemuk
“ p jikadanhanya jikaq”bernilai “benar” jika kedua proposisi bernilai benar
atau kedua-duanya bernilai salah.
Tabel 2.4.1.5 Tabel Nilai Kebenaran Biimplikasi
p q p↔q
0 0 1
0 1 0
1 0 0
1 1 1
E. Logika Kabur
Logika yang biasanya kita pakai dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam penalaran ilmiah, yaitu logika dimana setiap proposisi (pernyataan)
mempunyai dua kemungkinan nilai, yaitu nilai benar atau nilai salah dan tidak
kedua-duanya (Susilo, 2003). Yang menjadi dasar dari logika kabur adalah logika
dengan tak berhingga banyak nilai kebenaran yang dinyatakan dengan bilangan
Definisi 2.5.1
Variabel linguistik adalah variabel yang nilainya bukan merupakan
bilangan tetapi kata-kata atau kalimat-kalimat dalam bahasa sehari-hari.
Variabel linguistik ditentukan oleh suatu rangkap-5
(
x,T, X,G,M)
di mana xadalah lambang variabelnya, T adalah himpunan nilai-nilai linguistik yang dapat
menggantikan x, X adalah semesta numeris dari nilai-nilai linguistik dalam T,
G adalah himpunan aturan-aturan sintakis yang mengatur pembentukan
istilah-istilah anggota T, dan M adalah himpunan aturan-aturan simantik yang
mengaitkan setiap istilah dalam T dengan suatu himpunan kabur dalam semesta
X (Susilo, 2003).
Contoh 2.5.1
Kecepatan sebuah mobil adalah variabel x yang mempunyai interval
[
0,Vmax]
,dimana Vmax adalah kecepatan maksimum mobil tersebut. Kita tentukan 3
himpunan kabur “lambat”, “sedang”, dan “cepat” dalam
[
0,Vmax]
seperti pada gambar 2.4.1. Jika kita lihat x sebagai variabel linguistik, maka “lambat”,“sedang”, dan “cepat” juga sebagai variabel linguistik.
Maka bisa dikatakan “x adalah lambat”, “x adalah sedang”, dan “x adalah
[image:45.612.133.505.254.551.2]Contoh 2.5.2
Bila variabel linguistik adalah “umur”, maka sebagai himpunan nilai-nilai
linguistik dapat diambil himpunan istilah-istilah T ={muda, sangat muda, agak
muda, tidak muda, tidak sangat muda, tidak muda dan tidak tua, agak tua, tua,
tidak sangat tua, sangat tua}, dengan semesta X =
[
0,100]
, aturan semantik yangmengaitkan setiap istilah dalam T dengan suatu himpunan kabur dalam semesta
X .
Definisi 2.5.2
Pengubah linguistik adalah suatu kata yang dipergunakan untuk mengubah
suatu kata/istilah menjadi kata/istilah yang baru dengan makna yang baru pula.
Dua peubah linguistik yang paling sering dipakai adalah “sangat” dan “agak”.
Contoh 2.5.3
Misalkan X =
{
1,2, ,5}
dan himpunan kabur kecil didefinisikanslow medium fast
Speed of car (mph)
Vmax
75 55
35 0
[image:46.612.133.509.113.519.2]1
Maka menurut definisi diatas
sangat kecil=1/1+0.64/2+0.36/3+0.16/4+0.04/5
(
)
5 / 0016 . 0 4 / 0256 . 0
3 / 1296 . 0 2 / 4096 . 0 1 / 1
+ +
+ +
=
= sangat sangat kecil
kecil sangat
sangat
5 / 4472 . 0 4 / 6325 . 0 3 / 7746 . 0 2 / 8944 . 0 1 /
1 + + + +
= kecil agak
Definisi 2.5.3
Misal A himpunan kabur dalam X , maka sangat A adalah himpunan kabur
dalam X dengan fungsi keanggotaan
( )
[
( )
]
2x x
A A
sangat µ
µ =
Definisi 2.5.4
Misal A himpunan kabur dalam X, maka agak A adalah himpunan kabur dalam
X dengan fungsi keanggotaan
( )
[
( )
]
1 2x x
A A
agak µ
µ =
F. Relasi Kabur
Definisi 2.6.1
Misalkan R1⊆ X×Y dan R2⊆Y×Z adalah dua buah relasi tegas.
Z X R
R1 2 ⊆ ×
sedemikian sehingga
(
x,z)
∈R1 R2 bila dan hanya bila terdapatY
y∈ sedemikian sehingga
(
x,y)
∈R1 dan(
y,z)
∈R2.Definisi 2.6.2
Relasi kabur R~ adalah relasi antara elemen-elemen dalam himpunan X
dengan elemen-elemen dalam himpunan Y yang didefinisikan sebagai bagian
kabur dari darab Cartesius X×Y, dapat dinyatakan dengan
(
)
(
)
(
)
(
)
{
x y x y x y X Y}
R~= , ,µR~ , , ∈ × .
Jika X =Y, maka R~ disebut relasi kabur pada himpunan X .
Contoh 2.6.1
Misalkan X =
{
31,78,205}
,Y ={
1,27,119}
dan R~ adalah relasi kabur “jauhlebih besar dari” antara elemen-elemen X dan Y maka
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
205,119)
4. 0
27 , 205 7 . 0 1 , 205 9 . 0 27 , 78 3 . 0 1 , 78 5 . 0 27 , 31 1 . 0 1 , 31 3 . 0 ~
+
+ +
+ +
+ =
R
Contoh 2.6.2
Relasi kabur “hampir sama” antara bilangan-bilangan real dapat dinyatakan
dengan
(
)
(
)
( )(
)
(
)
{
x y x y e x y R R}
R~ = , , R , = −x−y2 , ∈ ×
1
~
1 µ
(
)
(
)
( )(
)
∈ × +=
= − − x y R R
e y
x y x
R R x y ,
1 1 ,
, , ~
2
~
2 µ
Definisi 2.6.3
Bila R~ adalah suatu relasi kabur pada semesta X×Y , maka invers dari R~ yang
dinyatakan dengan R~−1, adalah relasi kabur pada semesta Y×X dengan fungsi keanggotaan
(
y x)
R(
x y)
R~ 1 , µ~ ,
µ − =
untuk setiap
(
x,y)
∈Y×X.Maka
( )
R~−1 −1 =R~untuk setiap relasi kabur R~.
Bila himpunan X dan Y keduanya berhingga, maka relasi kabur R~
antara elemen-elemen dalam himpunan X dengan elemen-elemen dalam
himpunan Y dapat dinyatakan dalam bentuk suatu matriks berukuran mxn
sebagai berikut
=
mn m
m
n n
a a
a
a a
a
a a
a
R
2 1
2 22
21
1 12
11
~
Definisi 2.6.4
Jika R~1 adalah relasi kabur pada X×Y dan R~2 adalah relasi kabur pada Y×Z,
maka komposisi relasi kabur R~1dan R~2, yang dinotasikan dengan R1 R2, adalah relasi kabur pada X×Z dengan fungsi keanggotaan
(
x z)
t(
R(
x y)
R(
y z)
)
Y y R
R1 2 , sup 1 , , 2 ,
~ ~
~
~ µ µ
µ
∈
=
di mana t adalah suatu norma-t.
Definisi 2.6.5
Komposisi sup-min diperoleh jika operator “min” sebagai norma-t, maka
diperoleh relasi komposit R1 R2 dengan fungsi keanggotaan
(
x z)
{
R(
x y)
R(
y z)
}
Y y R
R1 2 , supmin 1 , , 2 ,
~ ~
~
~ µ µ
µ
∈
=
Definisi 2.6.6
Komposisi sup-darab diperoleh jika operator “darab aljabar” sebagai
norma-t, maka diperoleh relasi komposit R1 R2 dengan fungsi keanggotaan
(
x z)
{
R(
x y)
R(
y z)
}
Y y R
R1 2 , sup 1 , , 2 ,
~ ~
~
~ µ µ
µ
∈
=
Contoh 2.6.3
Misalkan X =
{
31,78,205}
,Y ={
1,27,119}
dan Z ={
10,225,94}
, dan relasi= 4 . 0 7 . 0 9 . 0 0 . 0 3 . 0 5 . 0 0 . 0 1 . 0 3 . 0 ~ 1 R
Dan R~2 adalah relasi kabur “jauh lebih kecil” antara elemen-elemen dalam Y
dengan Z dengan matriks sebagai berikut
= 0 . 0 5 . 0 0 . 0 3 . 0 8 . 0 0 . 0 5 . 0 9 . 0 1 . 0 ~ 2 R
Jika menggunakan komposisi sup-min, diperoleh
(
31,10)
supmin{
(
31,)
,(
,10)
}
2 1 2 1 ~ ~ ~
~ y y
R R
Y y R
R µ µ
µ
∈
=
(
)
(
)
{
}
{
(
)
(
)
}
{
min 31,1 , 1,10 ,min 31,27 , 27,10 , max 2 1 2 1 ~ ~ ~ ~ R R RR µ µ µ
µ
=
(
)
(
)
{
31,119 , 119,10}
min 2 1 ~ ~ R R µ µ
}
{
}
{
}
{
}
{
min 0.3,0.1 ,min 0.1,0.0 ,min 0.0,0.0}
max=
{
0.1,0.0,0.0}
max = 1 . 0 =Relasi kabur komposit R1 R2 dengan komposisi sup-min dapat disajikan dengan matriks sebagai berikut
= = 5 . 0 9 . 0 1 . 0 5 . 0 5 . 0 1 . 0 3 . 0 3 . 0 1 . 0 0 . 0 5 . 0 0 . 0 3 . 0 8 . 0 0 . 0 5 . 0 9 . 0 1 . 0 4 . 0 7 . 0 9 . 0 0 . 0 3 . 0 5 . 0 0 . 0 1 . 0 3 . 0 ~ ~ 2 1 R R
Jika menggunakan komposisi sup-darab, diperoleh
(
31,10)
sup{
(
31,)
,(
,10)
}
2 1 2 1 ~ ~ ~
~ y y
R R
Y y R
R µ µ
µ
∈
=
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
{
31,1 , 1,10 , 31,27 , 27,10 , 31,119 , 119,10}
max 2 1 2 1 2 1 ~ ~ ~ ~ ~ ~ R R R R R
R µ µ µ µ µ
µ
( )( ) ( )( ) ( )( )
{
0.3 0.1, 0.1 0.0 , 0.0 0.0}
max=
{
0.03,0.0,0.0}
max = 03 . 0 = .Relasi kabur komposit R1 R2 dengan komposisi sup-darab dapat disajikan dengan matriks sebagai berikut
= = 45 . 0 81 . 0 09 . 0 25 . 0 45 . 0 05 . 0 15 . 0 27 . 0 03 . 0 0 . 0 5 . 0 0 . 0 3 . 0 8 . 0 0 . 0 5 . 0 9 . 0 1 . 0 4 . 0 7 . 0 9 . 0 0 . 0 3 . 0 5 . 0 0 . 0 1 . 0 3 . 0 ~ ~ 2 1 R R .
G. Proposisi Kabur
Definisi 2.7.1
Proposisi kabur adalah kalimat yang memuat predikat kabur, yaitu
predikat yang dapat direpresentasikan dengan suatu himpunan kabur.
Bentuk umum dari proposisi kabur
x adalah A
dimana x adalah suatu variabel linguistik dan predikat A adalah suatu nilai
linguistik dari x.
Definisi 2.7.2
Peryataan kabur adalah proposisi kabur yang mempunyai nilai kebenaran
Definisi 2.7.3
Nilai kebenaran dari suatu peryataan kabur disajikan dengan suatu
bilangan real dalam selang
[
0,1]
dan disebut juga derajat kebenaran dariperyataan kabur.
Derajat kebenaran dari peryataan kabur
0
x adalah A
Bila A~ adalah himpunan kabur yang dikaitkan dengan nilai linguistik A dan x0
adalah suatu elemen titik dalam semesta X dari himpunan kabur A~, maka x0
mempunyai derajat keanggotaan ~
( )
x0A
µ dalam himpunan kabur A~.
Definisi 2.7.4
Jika x adalah variabel linguistik dengan semesta numeris X dan y
adalah variabel linguistik dengan semesta numeris Y maka konjungsi kabur
x adalah A dan yadalah B
dimana A dikaitkan dengan himpunan kabur A~ dalam X , dan B dikaitkan
dengan himpunan kabur B~ dalam Y, dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur
∧ dalam X ×Y dengan fungsi keanggotaan
(
x,y)
t(
µA~( )
x ,µB~( )
y)
µ∧ =Definisi 2.7.5
Jika x adalah variabel linguistik dengan semesta numeris X dan y
adalah variabel linguistik dengan semesta numeris Y maka disjungsi kabur
x adalah A atau yadalah B
dimana A dikaitkan dengan himpunan kabur A~ dalam X , dan B dikaitkan
dengan himpunan kabur B~ dalam Y, dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur
∨ dalam X×Y dengan fungsi keanggotaan
(
x,y)
s(
µA~( )
x ,µB~( )
y)
µ∨ =dengan s adalah suatu norma-s.
H. Implikasi Kabur
Bentuk umum suatu implikasi kabur adalah
Bila x adalah A, maka y adalah B
dimana A dan B adalah predikat-predikat kabur yang dikaitkan dengan
himpunan-himpunan kabur A~ dan B~ dalam semesta X dan Y berturut-turut.
Sama seperti konjungsi dan disjungsi kabur, implikasi kabur juga
dipandang sebagai suatu relasi kabur dalam X×Y yang dilambangkan dengan
→.
dapat diganti dengan proposisi kabur "y adalahB". Implikasi kabur tersebut
dapat diinterpretasikan sebagai relasi kabur → dalam X×Y dengan fungsi
keanggotaan
(
x,y)
s(
k(
µA~( )
x)
,µB~( )
y)
µ→ =dimana s adalah norma-s dan k adalah suatu komplemen kabur.
Definisi 2.8.1
Implikasi Dienes-Rescher diperoleh bila norma-s dan komplemen kabur
diambil operasi-operasi gabungan dan komplemen baku dan fungsi
keanggotaannya sebagai berikut
(
x y)
(
A( )
x B( )
y)
dr , max1 µ~ ,µ~
µ→ = − .
Karena implikasi tegas p→q juga ekivalen dengan
(
p∧q)
∨¬p, makaimplikasi kabur di atas juga dapat diinterpretasikan sebagai relasi kabur → dalam
Y
X× dengan fungsi keanggotaan
(
x,y)
s(
t(
µA~( )
x)
,µB~( )
x ,k(
µA~( )
y)
)
µ→ =
dimana s adalah norma-s, t adalah suatu norma-tdan k adalah suatu
komplemen kabur.
Definisi 2.8.2
Implikasi Zadeh diperoleh bila norma-s, norma-t dan k diambil
operasi-operasi gabungan, irisan dan komplemen baku sehingga diadapat fungsi
(
x y)
(
(
A( )
x B( )
y)
A( )
x)
z , maxmin µ~ ,µ~ ,1 µ~
µ→ = − .
Definisi 2.8.3
Implikasi Mamdani adalah implikasi kabur yang dapat juga dipandang
sebagai suatu konjungsi kabur, sehingga diperoleh
(
x,y)
t(
µA~( )
x ,µB~( )
y)
µ→ =
Bila sebagai norma-t diambil operasi baku “min”, maka diperoleh
(
x y)
(
A( )
x B( )
y)
mm , min µ~ ,µ~
µ→ =
dan bila sebagai norma-t diambil operasi “darab aljabar”, maka diperoleh
(
x y)
A( )
x B( )
ymd , µ~ µ~
µ→ =
Contoh 2.8.1:
Misalkan diketahui semesta X =
{
1,2,3,4,5}
dan Y ={
50,60,70}
dan implikasikabur cepat y maka banyak x Jika ,
dimana predikat “banyak” dan “cepat” berturut-turut dikaitkan dengan himpunan
kabur 5 / 1 4 / 8 . 0 3 / 6 . 0 2 / 4 . 0 1 / 2 . 0 ~ + + + + = A 70 / 1 60 / 1 . 0 50 / 4 . 0 ~ + + = B
Maka jika digunakan implikasi Dienes-Rescher, diperoleh
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
Jika digunakan implikasi Zadeh, diperoleh
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
5,50)
0.7(
5,60)
1(
5,70)
4 . 0 70 , 4 8 . 0 60 , 4 7 . 0 50 , 4 4 . 0 70 , 3 6 . 0 60 , 3 6 . 0 50 , 3 4 . 0 70 , 2 6 . 0 60 , 2 6 . 0 50 , 2 6 . 0 70 , 1 8 . 0 60 , 1 8 . 0 50 , 1 8 . 0 + + + + + + + + + + + + + + = →zDan jika digunakan implikasi Mamdani diperoleh
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
5,50)
0.7(
5,60)
1(
5,70)
4 . 0 70 , 4 8 . 0 60 , 4 7 . 0 50 , 4 4 . 0 70 , 3 6 . 0 60 , 3 6 . 0 50 , 3 4 . 0 70 , 2 4 . 0 60 , 2 4 . 0 50 , 2 4 . 0 70 , 1 2 . 0 60 , 1 2 . 0 50 , 1 2 . 0 + + + + + + + + + + + + + + = →mm atau(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
5,50)
0.7(
5,60)
1(
5,70)
4 . 0 70 , 4 8 . 0 60 , 4 56 . 0 50 , 4 32 . 0 70 , 3 6 . 0 60 , 3 42 . 0 50 , 3 24 . 0 70 , 2 4 . 0 60 , 2 28 . 0 50 , 2 16 . 0 70 , 1 2 . 0 60 , 1 14 . 0 50 , 1 08 . 0 + + + + + + + + + + + + + + = →mdI. Basis Pengetahuan
Basis pengetahuan dari suatu sistem kendali logika kabur terdiri dari basis
data dan basis kaidah. Basis data adalah himpunan fungsi-fungsi keanggotaan dari
himpunan-himpunan kabur yang terkait dengan nilai-nilai linguistik dari
variabel-variabel yang terlibat dalam sistem itu.
Contoh 2.9.1
Misal dalam suatu sistem kendali logika kabur, variabel ydengan semesta selang
tertutup
[
−a,a]
mempunyai tujuh nilai linguistik sebagai berikut:Sedang Negatif, yang dikaitkan dengan himpunan kabur S~−
Kecil Negatif, yang dikaitkan dengan himpunan kabur K~−
Mendekati Nol, yang dikaitkan dengan himpunan kabur 0~
Kecil Positif, yang dikaitkan dengan himpunan kabur K~+
Sedang Positif, yang dikaitkan dengan himpunan kabur S~+
Besar Positif, yang dikaitkan dengan himpunan kabur B~+
Maka basis data dari sistem itu memuat fungsi keanggotaan dari
himpunan-himpunan kabur yang terkait itu, misalnya berbentuk segitiga, sebagai berikut:
Basis kaidah adalah himpunan implikasi-implikasi kabur yang berlaku
sebagai kaidah dalam sistem itu. Bila sistem itu mempunyai mbuah kaidah
dengan
(
n+1)
variabel, maka bentuk umum kaidah ke-i(
i=1, ,n)
adalahsebagai berikut:
a a
−
−
B~ S~− K~− ~0 K~+ S~+ B~+
[image:58.612.135.504.237.524.2]0
Gambar 2.9.1. Fungsi keanggotaan himpunan-himpunan kabur yang terkait dengan nilai-nilai linguistik untuk variabel y pada semesta
[
−a,a]
Bila x1 adalah Ai1 dan dan xn adalah Ain, maka y adalah Bi
di mana xj adalah variabel linguistik dengan semesta numeris Xj
(
j=1, ,n)
.Suatu basis kaidah diharapkan memenuhi beberapa kriteria sebagai
berikut:
1. Lengkap, yaitu untuk setiap
(
x1, ,xn)
∈X1× Xn terdapat i∈{
1, ,m}
sedemikian sehingga ~
( )
j ≠0Aij x
µ untuk semua j∈
{
1, ,n}
. denganperkataan lain, untuk setiap nilai masukan terdapat sekurang-kurangnya satu
kaidah yang “tersulut”.
2. Konsisten, yaitu tidak terdapat kaidah-kaidah yang mempunyai anteseden
yang sama tetapi konsekuaennya berbeda.
3. Kontinu, yaitu tidak terdapat kaidah-kaidah dengan himpunan-himpunan
kabur yang terkait dala anteseden beririsan, tetapi himpunan-himpunan
kabur yang terkait dalam konsekuennya saling asing.
Contoh 2.9.2
Misalkan implikasinya melibatkan tiga variabel sebagai berikut:
Bila x adalah A dan y adalah B , maka z adalah C
di mana x, y,dan z adalah variabel-variabel dengan semesta selang tertutup
[
−a,a] [
, −b,b]
,dan[
−c,c]
berturut-turut, dan dengan tujuh nilai linguistik sepertidalam Conto 2.9.1. maka basis kaidah dari sistem ini terdiri dari 49 kaidah, yang
y
z
−B~ S~− K~− ~0 K~+ S~+ B~+
−
B~
−
S~
+
B~ S~+ 0~
−
K~ S~+ K~+ 0~
0
~ +
K~ 0~ K~−
+
K~
+
S~
0
~ −
K~ S~−
−
S~
+
S~
x
+
B~
0
~ −
S~ B~−
Misalnya salah satu kaidahnya berbunyi:
Bila x sedang negatif dan y kecil positif, maka z sedang positif
BAB III
MEMBANGUN ATURAN KABUR DARI DATA NUMERIS
Misal diberikan suatu himpunan input A=
{
x1,x2 ,xn}
dan himpunanoutput B=
{
y1,y2 ,ym}
, sehingga diperoleh suatu himpunan pasangan terurut seperti di bawah ini( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
(
1 1)
2 1 1 1 1
2 1
1 ,x , , xn ;y , y , ,ym
x
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
(
2 2)
2 2 1 2 2
2 2
1 ,x , ,xn ; y , y , ,ym
x
( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )
(
k)
m k
k k n k
k
y y
y x x
x1 , 2 , , ; 1 , 2 , , (3.1) di mana k =1,2, ,l.
Misalkan kita berikan suatu contoh himpunan pasangan terurut dua input dan satu
output itu seperti di bawah ini:
( ) ( ) ( )
(
x ,x ;y)
,(
x( ),x( );y( ))
, ,(
x( )i ,x( )i ;y( )i)
2 1 2
2 2 2 1 1 1 2 1
1 (3.2)
di mana i=1,2, ,l.
Tugas di sini adalah untuk membangun aturan kabur JIKA-MAKA dari
suatu himpunan pasangan berurutan dari (3.2).
Terdapat empat langkah dalam membangun aturan kabur dari data
3.1 Mendefinisikan Himpunan Kabur pada Ruang Semesta Input dan
Output
Misalkan kita mempunyai himpunan pasangan berurutan
(
x1,x2;y)
. x1dan x2 adalah sebuah input yang mempunyai interval
[
x1−,x1+]
dan[
x2−,x2+]
dan yadalah sebuah output dengan interval
[
y−,y+]
, yang ditunjukkan oleh S3 (BesarNegatif), S2 (Sedang Negatif), 1S (Kecil Negatif), CE (tengah atau mendekati
nol), 1B (Kecil Positif), B2 (Sedang Positif), dan B3 (Besar Positif).
Didefinisikan himpunan kabur untuk x1 dan x2 seperti pada gambar 3.1 di bawah ini.
Sedangkan himpunan kabur untuk y didefinisikan seperti pada gambar 3.2
seperti di bawah ini.
S2 S1 CE B1
( )x2
µ
B3 1.0
0.0
+
2
x
−
2
x
2
x
B2 1.0
0.0
S2 S1 CE B1 B2
( )
x1µ
1
x
−
1
x +
1
[image:62.612.131.509.245.556.2]x
3.2 Membangun Aturan Kabur dari Data Pasangan Berurutan
Langkah kedua dalam membangun aturan kabur dari data numeris adalah
membangun aturan kabur dari data pasangan berurutan yang diperlukan tiga
langkah.
Pertama, menentukan derajat keanggotaan dari x1( )i ,x2( )i, dan y ( )i pada
himpunan kabur yang berbeda. Sebagai contoh, x1( )1 mempunyai derajat keanggotaan 0.8 di B1, mempunyai derajat keanggotaan 0.5 di B2, dan
mempunyai derajat keanggotaan 0 untuk semua himpunan kabur yang lain. Secara
sama, ( )2 2
x mempunyai derajat keanggotaan 1 di CE, mempunyai derajat
keanggotaan 0.8 di 1S dan derajat keanggotaan 0 untuk himpunan kabur yang
lain. Begitu juga dengan y( )1 mempunyai derajat keanggotaan 0.9 di CE, mempunyai derajat keanggotaan 0.8 di 1B , dan mempunyai derajat keanggotaan 0
untuk semua himpunan kabur yang lain seperti yang ditunjukkan pada gambar
3.3.
S2 S1 CE B1 B2
1.0
0.0
y
( )
yµ
−
y y+
[image:63.612.132.506.272.550.2]
Kedua, menetapkan x1( )i ,x2( )i, atau y( )i sebagai himpunan kabur dengan derajat keanggotaan yang maksimum atau himpunan kabur yang mempunyai
derajat keanggotaan paling tinggi. Karena derajat keanggotaan ( )1 1
x pada
himpunan kabur 1B lebih besar daripada himpunan kabur B2 maka yang dipilih
adalah himpunan kabur 1B , sedangkan derajat keanggotaan x2( )2 pada himpunan kabur CE lebih tinggi daripada derajat keanggotaan pada himpunan kabur 1S
maka yang dipilih adalah himpunan kabur CE dan derajat keanggotaan y( )1 pada
S2 S1 CE B1 B2
1.0
0.0
y
( )
yµ
−
y y( )1 y( )2 y+
S2 S1 CE B1
( )x2
µ
B3 1.0
0.0
( )1 2
x x2( )2 x2+
−
2
x
2
x
B2 1.0
0.0
S2 S1 CE B1 B2
( )
x1µ
1
x
−
1
x ( )2
1
x x1( )1 x1+
0.8 0.5
[image:64.612.144.492.104.555.2]himpunan kabur CE lebih tinggi daripada derajat keanggotaan pada B1 maka
yang dipilih adalah himpunan kabur CE.
Ketiga, setelah menentukan dan menetapkan derajat keanggotaannya maka
kita bisa menyusun aturan kabur dari data pasangan berurutan sebagai berikut:
JIKA x1 adalah A dan x2 adalah B, MAKA yadalah C
Sebagai contoh, kita tentukan derajat keanggotaan lalu ( )1 1
x , ( )2 2
x , dan y( )1 lalu kita
tetapkan x1( )1 di 1B karena himpunan kabur 1B mempunyai derajat keanggotaan
paling tinggi dibandingkan dengan 2B atau yang lainnya, x2( )2 di CE dan y( )1 di
CE. Sehingga bisa kita susun sebuah aturan sebagai berikut: JIKA x1adalahB1 dan x2adalahCE, MAKA yadalahB1.
3.3 Menentukan Derajat Kebenaran dari Masing-masing Aturan
Meskipun menggunakan beberapa pasangan data berurutan dan
masing-masing pasangan data berurutan membangun satu aturan, ada kemungkinan
terdapat beberapa aturan yang konflik, yaitu aturan yang mempunyai bagian JIKA
sama tetapi bagian MAKA berbeda. Salah satu cara untuk menyelesaikannya
adalah dengan menetapkan sebuah derajat kebenaran pada masing-masing aturan
yang membangun pasangan data berurutan dan hanya menerima aturan dari
kelompok aturan yang konflik yang mempunyai derajat maksimum.
Kita menggunakan implikasi Mamdani untuk menetapkan sebuah derajat
adalah B, MAKA yadalah C,” derajat dari aturan ini dinotasikan dengan
(