FAKTOR- FAKTOR
_PSII(oIOCIS
iIUIIGULDIYA
KoRUPsi
bi
INDoNTsiA
Oteh
:Dr.Zainat auiain,
M.s
FAI(ULTAS
PSIKOLOGIUIITVERSITAS
l2
FAKTOR-FAIGOR
PS]IKOLOGISHUflGUI}IYA
KORUPSI
DI
INDONESIA
Ofeh:
Dr. Zainal Abidin,
Il,Si
TEIAH
DICATAT/DI DOKUME
NTASIKAN
PADA
pERpusrAKAAN
FAKuLTAS
psrKor_oCr
UN
IVERSITAS
PADJADJARAN
Telah diperiksa oleh : Guru Besar/Dosen Senior
Prof.Dr. Hj. Kusdwiratri Setyono Jatnika, MT
s
PsikologiKETUA BAGIAN PSIKOLOGI
KLINIS
Drs. H.Hatta
Albanik,
M.psi Nt P.'t 94705 1 2 1 981 031 001iSiregar,
M.pd 1 1819032001Terdaftar di perpustakaan
FAKTOR.FATOR PSIKOTOGIS
MUNCULNYA
KORUPSI
DI
INDONESIA
Oeh: Zainal Abidinl
Ahmad Gimmy prathama2
Abstract
Abstract
This study intended to exomtne
more deeply obout the civit officer,s perception toword corruption, sociol
norm,
row enforcement,
stondords of tiving, criteriofor
success inlife, ond the effect
of
thoserrriob"r,
to,*ords corruption. sompres ore civir servontsfrom 4
cities, thotis
yogyakarto (164), porongkoroyo (L40),-regor (123),
ond Kupong
(L11)' Doto retrievor
is
do,e
by
euejstionnoiresand
Focus Group Discussions. The quantitotive doto
ore stotisticolly
process.e-d
with
descrriptive stotisticoltechniques,
ANovA,
ond
Lineor Regression witn'spss16.0 softwor"
,ui,po,rr,
whire the quolitotivedato from FGDs were onaryzed with coding quoritotive
,"inoar.
The concrusion drownfrom
this researchore
the perception of corruption,row enforcement, and social norms hove on impoct on the oppeoronce
oy co-r'ruption behovior, but the perception of tiving
standards does not co.ntribute significontty-.to
the emergence of corruption behavior.
The recommendotion fr,om this ,t1ay
or" :'first, it is impirtont
ti
sociorize the definitionwhether the certoin behaviors
or,
,:orrrptionor
notwith
o
creor ond distinct definition.second,
the
raw
enforcement ond contror. sociormust
be- given
os
the
negotivereinforcement
to
extinct corrupt behoviol, third,it
is importoni to moke a study withsocial curture os the 'comprehe:nsive factor' ,,0r
the corruption behovior.
:;:,:;;fr:
";*,:;'!,i;"i:,Jiiil:::,:{,'""irti
behovior, sociot norms, tow enrorcement,ersepsi pegawai Negeri Sipil (pNS) tentang
,
standarhidup, kriteria
suksesdalam
ilaku korupsi. Sampel penelitian AiamLif
yang
signifikan.
penelitian
ini
jugamensosialisasikan pengertian korupsi dan
s, kedua, lebih menggalakkan penegakan
F&*as
psikotogiF*res
psikologi UniversitasU nive rsitashukum dan kontrol sosial dari lingku korupsi, ketiga, karena korupsi berkait masyarakat, penelitian yang mengikut tampaknya merupakan hal yang perl
sela nj utnya,
5::'-T;::1.',',"-','."1;:H'i:f,
X:;:i:,,
Norma sosiar, penegakan Hukum, srandar Hidup,PENDAHULUAN
Korupsi merupakan ancaman
nyata bagi
kemakmuran sebuah bangsa, ra
bukan hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga
menghirangkan kesempatan sebagian dari warga negara untuk dapat hidup secara makmur, oleh sebab
itu
dapat dipahami
jika
kita
ada pendapat bahwakorupsi pun bertentangan prinsip keadiran,
karena
dari setiap
keuntunganyang diperoreh oreh
seorangkoruptor
terdapat kerugian yang harus ditanggung oleh sejumlah warga negara.Di lndonesia dewasa ini sedang digalakkan pemberantasan korupsi. rndonesia merupakan sarah
satu
negara yaang oreh sejumrah rembaga asing dikerompokkansebagai negara
terkorup.
Meski
sebetulnyasejak
kepemimpinan presiden susilo Bambang yudoyono
terah
membawasedikit
kemajuandi bidang
pemberantasan korupsi,tapi
berarti
bahwa negarakita
terrepasdari
sebutan negarakorup,
Dataterbaru
yang
dipubrikasikan
oreh
Transparency
rnternationar
(http://www.
transparencv'org/2008) memperlihatkanbahwa
skor Corruption perceptiontndex pemerintah
rndonesia mengarami peningkatan, dibanding tahun_tahun seberumnya. Pada tahun 2004 Skor Cpr rndonesia adarah 2,0, meningkat
menjad
i
2,4
padatahun 2006,dan
menjadi2,6
padatahun
200g.
Namun, tidak
berarti
bahwaperingkat lndonesia
rebih
baik dari negara-negara
rain.
posisi
rndonesiamasih
tetap
di peringkat bawah, yaknidi
urutan130-an dari 1g0 negara yang disurvei
(http;//www.
transparencv.orgl2008).
Bandingkan misarnya dengan skor Cpr negara_negara yang paling bersih dari korupsi, sepefti Denmark (g,4),
Finran dia
(g,4),New
Zerand (g,4), Singapore (9,3), dan Swedia (9,3).Hasil
peneritian
yang
dirakukanoreh
sejumrah
rembaga anti_korupsi di
lndonesia
seperti
rndonesioCorruption
Korupsi (KPK) (2007), dan Tronsporency lnternotionol
tndonesio (Tll) (2009)
seakan-akan memberi
justifikasi
pada
sejumlahtemuan
lembaga-lembaga internasional
tersebut'
Hasir-hasir peneritiantersebut pada
dasarnya
mencerminkan betapakronisnyamasalahkorupsiditanahairini.()
Temuan survey
terbaru
yang
dirakukanoreh
T,
(200g)
mengenai rndeksPersepsi Korupsi (lPK) di 50 kota (pemerintah daerah
tingkat il,
atau pemda Tkil)
dilndonsesia
(http://www.ti.or.id)
menunjukkan
bahwa terdapat
kota_kota
yangtingkat
IPK-nya palingtinggi
dan paling rendah.skor
lpKtinggi artinya
masyarakat(terutama
pebisnis) mempersepsibahwa birokrasi pemerintah daerah
setempatrelatif bersih'
sedangkanskor
IPKrendah
artinya
birokrasi pemerintah
daerahsetempat
relatif
korup.
Kota-kota"terkorup"
antara
rainadarah
Kupang,Tegar,
Manokwari, Kendari,
dan purwokerto
;
sedangkan ,,terbersih,, adarah yogyakarta, Palangkaraya, Banda Aceh, Jambi, dan Mataram.
Penelitian-penelitian yang baru dijelaskan, dan penelitian-pemneitian lain yang sejenis, sanSat penting sebagai sumber
informasi ilmiah untuk mengetahui masalah korupsi
di
lndonesia. sayangnya,belum ditemukan penelitian serupa berdasarkan kajian psikologis' khususnya psikososial. Penelitian-penelitian
yang
tadi
disebut lebih berupa kajian ekonomi, hukum, organisasi, dan poritik(kebijakan pubric). Diperrukan kajian dengan perspektif yang berbeda untuk
bisa menjelaskan secara komprehensif masalah
korupsi
di
lndonesia. Perspektif dimaksud adarah
perspektif
psikososial. Korupsi pada dasarnya bukan hanya masarah peranggaranhukum, penyarahgunaan jabatan
untuk
kepentingan ekonomi yang bersifat
pribadi atau
kelompok, kondisipolitik yang kondusif
untuk disarahgunakan,
tapi juga
berkaitan
dengan masarah persepsi
para
partisipan yangoleh
para pebisnisdan
pengamat bisnis dipersepsi sebagai peraku korupsi. Dengan perkataan rain, perruka.Jran mengenai bagaimana para birokrat atau pegawai negeri sipil (PNS
atau civir servonts)mempersepsi korupsi dan bentuk-bentuk perilaku korupsi.
Penelitian
seperti
itu
penting untuk
mengidentifikasisalah satu
faktor pendorong munculnya korupsi danmeramalkan perilaku korupsi. secara psikologis,
persepsi
dapat
mempengaruhitingkah laku (Goldstein,2000;
Baron, Byrne, andNewcomb, 2005), termasuk
tingkah
laku korupsi. Persepsi adalah proses nrenrberimakna
pada stimulus
tertentu dan
pemaknaantersebut
pada gilirannya
dapatmempengaruhi
tingkah laku
terkait
dengan stimulustersebut.
Misalnya, seorangpegawai
negeri
sipil
(PNS)
mempersepsitingkah
laku
menerima
hadiah
darirnasyarakat yang sedang mengurus perizinan
sebagai
tingkah laku yang lazim dantidak
melanggarhukum,
Persepsiseperti
ini
dapat
mendorong
PNSitu
untukmenerima
atau
bahkanmeminta
imbalandari
masyarakat yang sedang mengurusperizinan di
kantortempat
PNS itu bertugas. Kemungkinannya akan berbeda jika PNSitu
mempersepsi
bahwa tingkah
laku
menerima
hadiah
itu
sebagai tindakanmenerima suap
atau
gratifikasi(du
bentuktingkah
laku yangdapat
dikategorikansebagai
korupsl), sehinggadia
engganuntuk
menerima apalagi meminta imbalandari masyarakat.
Berdasarkan pada asumsi bahwa persepsi mempengaruhi perilaku, maka
kami mencoba untuk mendapatkan gambaran
tentang
bagaimana persepsi PNS ataubirokrat yang berasal dari 2 kota yang memiliki skor IPK paling tinggi (Yogyakarta dan
Palangkaraya)
dan
paling rendah (Kupangdan
Tegal) terhadap sejumlah stimulusyang berkaitan dengan
tingkah laku
korupsi.
Stimulus-stimulusyang
dipersepsitersebut adalah korupsi,
penegakanhukum,
norma
sosial,kriteria
sukses, danstandar hidup.
Pertama, persepsi korupsi. Diduga ada kecenderungan pada para birokrat atau
PNS
untuk
mempersepsi (memaknakan)suatu tindakan
tertentu
sebagai sesuatuyang lazim dan bukan korupsi, meski sebetulnya secara hukum tindakan
itu
adalahkorupsi.
Persepsiseperti
itu
pada akhirnya berpengaruh padatindakan
merekauntuk
melakukantindakan
korupsi. Contoh konkritnya
seperti
ini:
seorang PNSmempersepsi
bahwa
menerima
uang
balasjasa
dari
masyarakatyang
sedangmengurus KTP
bukanlah
merupakantindakan korupsi, maka
mereka akan terusmenerima dan bahkan meminta irnbalan dari masyarakat yang mengurus KTP.
Kedua, persepsi
tentang
kesuksesan. Persepsitentang
kesuksesan hidupD
ubungan dengan
tingkah
laku korupsi.seperti
diungkapoleh
powtaka (dalammi
Fujikawa,An
experimental study..,.. p.L4l,"the
intentionto
bribe positivelyelotes
with
on
individuol's
ottitude towards
the
need
to
sLtcceed". Dalamidupan sehari-hari dewasa ini, masyarakat sering menilai bahwa individu-individu
adalah individu-individu yang memiliki kekayaan material yang melimpah, di
rata-rata
yang dimiliki
anggota masyarakat pada umumnya. Kekayaan dinilaii tolok-ukur
atau indikator kesuksesan, terlepas apakah kekayaanitu
didapata legal (sah) atau
tidak
legal (melalui korupsi). penghargaan terhadap anggotaarakat
atau
anggota keluarga yang memiliki kekayaanmaterial
berlebih jauhh
positif
dibandingkan dengan terhadap anggota-anggota yangtidak
memilikiayaan (miskin atau sederhana). Persepsi masyarakat seperti ini dapat mendorong
a
masyarakattertentu
(PNS danpegawai
non-sipil)
untuk
melakukan jalantas, termasuk korupsi.
Ketiga, persepsi
tentang
penegakanhukum.
persepsitentang
penegakanhukum
memiliki peran penting dalam
memunculkantingkah laku
melanggarhukum
(Abidin, 2005), termasuk
korupsi.
Jika
seorang
birokrat
mempersepsibahwa penegakan hukum
tidak
berjalan sebagaimana mestinya, sehinggateman-teman
di
lingkungan kerjanya yang melakukan korupsitidak ditindak
baik secarahukum maupun
administratif
(institusional), maka mereka akanterdorong
untukmelakukan korupsi.
Keempat, persepsi
tentang
standarhidup. Faktor
ekonomi sering
didugamenjadi determinan munculnya perilaku
korupsi
(svenson,
2005). orang
melakukan
korupsi
karena
penghasilan
yang
mereka
terima dinilai
tidakmencukupi
untuk hidup.
Namun, secara psikologis,cukup atau
tidak cukupnya
penghasilan
tergantung
pada standar hidup yang mereka tetapkan. Standar hidupyang melampaui
penghasilanperbulan
menyebabkangaji
yang mereka
terimadinilai
kurang mencukupi. sebaliknya, standar
hidup yang
sesuai dengan
penghasilan yang mereka
terima,
menjadikan gaji dinilai cukup memadai.nsi
yang diterima
oleh
anggota
masyarakatmasyarakat
itu,
baik dalam sikap, keyakinan,ang PNS menilai bahwa masyarakat cukup toleran
merasa
mengalami
hambatandalam
melakukanjadi
suatu kebiasaanMeski demikian, dugaan
ris. Salah satu
tujuan
daridan dapat
mempengaruhimaupun
tingkah
laku. Jikaterhadap korupsi, maka dia
korupsi, sehingga korupsi
atau asumsi di
atas
masih memerlukan pembuktianpenelitian ini adalah melakukan pembuktian empiris
dugaan tadi.
Pada dasarnya,
terdapat
sejumrah pertanyaan yangakan dicari
jawabnyam penelitian
ini.
pertanyaan-pertanyaan tersebutantara lain adalah:
7.
Bagaimana persepsi pNStentang
korupsi? perilaku-perilaku apasaja
yang dapat dikategorikan korupsi dan bukan korupsi?2.
Bagaimana pNS memaknakan nilai-nilai yang berkembang dalam lingkungansosialnya
tentang
korupsi? Apakah
mereka menilai bahwa
masyarakatmemandang korupsi sebagai sesuatu yang lazim, karena rekan-rekan pNS lain
pun melakukan korupsi?
3'
Apa yang menjadi ukuran bagi PNS dalammenentukan kriteria
kesuksesan
hidup mereka?
4.
Bagaimana PNS menilai penegakan hukum dalam kasus-kasus korupsi, baiktingkat institusional maupun legal?
standar hidup seperti apa yang dijarani dan diinginkan oreh pNS?
Apakah ada perbedaan persepsi/pemaknaan tentang kelima hal
tadi
diantaraPNS
dari
dua kota yang rpK-nya paringtinggi
(yogyakarta dan parangkaraya)dan paling rendah (Kupang dan Tegal)?
7.
Apakah mereka pernah melakukan suatu tindakantertentu
yang termasukdalam tindakan korupsi? jika ya, jenis periraku koruptif seperti apa?
8.
Apakahada
pengaruh persepsi pNStentang
korupsi, penegakanhukum,
kriteria
sukses,norma
sosial,dan standar hidup
terhadap
tingkah
lakukorupsi? Variabel-variabel persepsi mana saja dari 5 persepsi tersebut (yakni, 5.
persepsi
tentang
korupsi, persepsi tentang nilai-nilai sosial, persepsi tentangkesuksesan,
persepsi
tentang
penegakanhukum,
dan
persepsi
tentangstandar
hidup) yang memiliki
kontribusi terhadap
tingkah laku
korupsi?seberapa besar kontribusinya?
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif
oan kualitatif. Menurut creswell
(1994),
pendekatan kuantitatif merupakan ..."
onr,quiry into o sociol or humon problem, bosed on testing o theory composed of variobles,
meosured with numbers, ond anolyzed with stotisticol procedures, in order to determine
thether
the
predictive generolizationof
the
theoryhold
true
(5,
1994). Sedangkanoendekatan kualitatif adalah ".... inquiry process
of
understondingo
sociolor
humonproblem, bosed on building o complex, holistic picture, formed
with
words, reportingof
:nformonts, and conducted in o noturol setting (1.-2, L994)
Pendekatan
kuantitatif
yang digunakandalam
penelitianini
adalah berupasurvey.
Melaluisurvey
kamidapat
membuat
deskripsidan penjelasan
statistikrnengenai sejumlah variabel
yang
diduga berkaitan dengantingkah
laku
korupsi,diantaranya: persepsi korupsi, persepsitentang penegakan hukum, persepsitentang nilai
sosial, persepsi tentang kesuksesan, dan persepsi tentang standar hidup. Melalui teknik
ini
dapat diidentifikasi perbedaan antara4
kota yang
menjadi sampel penelitian(Kupang, Tegal, Yogyakafta, dan Palangkaraya) dalam kaitannya dengan variabel-variabel
tadi.
Di sampingitu,
dapat diketahuijuga
kontribusiatau
pengaruh kelima variabelpersepsi terhadap variabel tingkah laku korupsr.
Pendekatan
kualitatif
yang digunakandalam
penelitianini
berfungsi untukmenunjang pendekatan
kuantitatif.
Pengambilandata
dalam
pendekatan kualitatifdilakukan melalui wawancara
dan
focus group discussion (FGD). Tujuan interviu danFGD
dalam
penelitian
ini
adalah
mendapatkaninformasi
mendalamyang
tidakditemukan dalam pendekatan kuantitatif.
Penelitian dilakukan
di
empat Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkatll
Kota diesia,
yaitu
Kupang, Palangkaraya, Yogyakarta,dan
Tegal.Menurut
hasil risetrency International lndonesia
(Tll)
keempatkota
itu terdiri
dari 2kota
yangi oleh masyarakatnya paling tinggi indeks persepsi korupsinya (Yogyakarta dan
aya) dan 2 kota paling rendah indeks persepsi korupsinya (Kupang dan Tegal).
demikian, penentuan sample awal pada dasarnya dilakukan secara purposif
ive sampling).
iumlah
sampel dalam penelitianini
538 responden, dengan perincian sebagai:
Kupang (111 orang), Palangkaraya (140 orang), Yogyakarta (154 orang), danI (1.23 orang). Mereka adalah para birokrat (PNS) dari sejumlah dinas yang ada di
Pemda setempat.
lnstrumen
kuantitatif
yang digunakan dalampenelitian terdiri
dari
5
buahyaitu
angket: Persepsi korupsi, Persepsi tentang norma sosial, Persepsi tentangkan hukum, Persepsi tentang standar hidup, Persepsitentang kriteria sukses, dan
Tingkah laku korupsi. Sedangkan instrumen untuk pengambiilan data kualitatif adalah
berupa interview guide untuk wawancara dan FGD guide untuk focus group discussion.
hterviu
dilakukan
di
setiap
kota
terhadap
sejumlahpejabat pemda
setempat ,sedangkan FGD dilakukan terhadap para staf dari sejumlah dinas Pemda setempat. Di
samping itu, untuk cross check data dan untuk mendapatkan informasi tambahan, kami
pun melakukan wawancara ke sejumlah tokoh masyarakat (akademisi) dan penduduk
setempat (berkisar antara 2 sampai4 orang di setiap kota).
Pengambilan data dilakukan
mulai
tanggal L7 Agustus 2009 sampai 22 0ktober2009. Lokasi pengambilan data pertama adalah Pemda Kupang (17
-22
Agustus 2009),Palangkaraya (14
-
18 September 2009), Yogyakarta (17 - 14 Oktober 2009), dan terkahirTegal (18
-
22 Oktober 2009).Data
kuantitatif
dianalisis melalui analisis statistik deskriptifdan
inferensial,menggunakan program SPSS versi 15 dan L7. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian L,2,3,4,5, dan 7 dilakukan dengan cara menghitung mean, median, modus,
dan standar
deviasi
daritotal
data masing-masing variabel dan item-itemnya dengan.Sedangkan
untuk
menjawab pertanyaan8 digunakan
teknik
analisis statistikregresston.
Data
kualitatif
dianalisis dengan
menggunakananalisis
coding,
yaituegorisasikan sejumlah pernyataan responden hasil FGD ke dalam
variabel-penelitian dan membuat tema-tema baru jika pernyatan=pernyataan tersebut
dapat dikategorikan ke dalam variabel-variabel yang sudah ada tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan beberapa fakta berikut ini:
Ada perbedaan menarik dalam hal bagaimana para PNS mempersepsi korupsi
di antara kota
Kupangdan
Yogyakartadi
satu
pihak
dengan
kota
Tegal
danPalangkaraya
di
pihak lain. Dua kota yang disebutterakhlr relatif
memiliki persepsiyang
lebih longgar
mengenai korupsi dibandingkankota Kupang
dan
Yogyakarta.Data menunjukan
bahwa
PNSdi Kota Tegal
dan Palangkarayatidak
mempersepsisecara
tegas mengenai
perilaku-perilakukorupsi
dibandingkan dengandi
KotaYogyakarta
dan
Kupang.Di
Tegaldan
Palangkarayatidak
satu
pun
perilaku yangsebetulnya korupsi dipersepsi sebagai jelas-jelas korupsi, sedangkan
di Yogyakarta
ada 5 perilaku yang dinilai sangat kuat atau jelas sebagai korupsi (skor mean di atas
8) dan
3
perilakudi Kupang. Selain
itu,
PNSdi
Kota Tegal menilai2
perilaku bukankorupsi
dan
kota Palanglaraya
menilai3
perilaku bukan korupsi, padahaldi
KotaKupang dan Yogyakarta perilaku-perilaku tersebut adalah korupsi.
Ada perbedaan menarik dalam bagaimana para PNS mempersepsi korupsi di
antara
kota
Kupang
dan
Yogyakartadi
satu pihak
dengan
kota Tegal
danPalangkaraya
di
pihak lain. Dua kota yang disebutterakhir relatif
memiliki persepsiyang
lebih
longgar mengenai korupsi dibandingkankota Kupang
dan
Yogyakarta.Data menunjukan
bahwa
PNSdi
Kota Tegal dan Palangkarayatidak
mempersepsisecara
tegas mengenai
perilaku-perilakukorupsi
dibandingkan dengandi
KotaYogyakarta
dan
Kupang.Di
Tegaldan
Palangkarayatidak satu
pun
perilaku yang5 perilaku yang dinilai sangat kuat atau jelas sebagai korupsi (skor mean
di
atasdan
3
perilakudi
Kupang. Selainitu,
PNSdi
Kota Tegal menilai2
perilaku bukani
dan
kota
Palanglaraya menilai3
perilaku bukan korupsi, padahaldi
Kotada n Yogya karta perilaku-perilaku tersebut adalah korupsi,
Hasil analisis mengenai persepsi tentang norma sosial, ditemukan kesamaan
um
di
antara keempatkota
dalam menilai situasi"keluarga
senangjika
suamiistri
menerima hadiah
dari
kliennya.Temuan
ini
sebetulnya
menunjukanifikasi atas dugaan sejumlah pendapat bahwa masyarakat (termasuk keluarga)
memberikan pembenaran atas pemberian
dan
penerimaan hadiah, misalnyabentuk porsel, Alasanya adalah,
si
penerima hadiah memiliki pengaruh yang,
powerful terhadap
oranglain
(pemberihadiah).
Halini
menimbulkan rasapada anggota
keluarga penerimahadiah.
Di
Kota
Palangkaraya bahkan,uarga menganggap wajar jika PNS diberi
tiket
pesawat oleh anggota masyarakat.Hasil
analisisterhadap
persepsi penegakanhukum
menunjukkan bahwaleempat kota
yang menjadi
sampelpenelitian
ini
secara bersama-sama menilaibahwa telah
terjadi
peegakan hukum di kota mereka. Temuan dari data kuantitatif inisangat berbeda dari temuan kualltatif yang menunjukkan bahwa hanya PNS
di
KotaYogyakarta dan juga Palangkaraya yang menilaisecara sangat kuat bahwa hukum dan
juga sistem
di kantor
pemda sudah sangat kuat ditegakkan. Di Yogyakarta misalnyasejumlah PNS mengaku
takut
melakukan pelanggaran karena hukumtelah
berjalandengan sangat
ketat.
Pengakuan serupa tidak ditemukan dari PNS-PNSdi
kota-kotalain.
Temuan mengenai
persepsitentang
standar
hidup
menunjukkan bahwaTegal, Yogyakarta,
dan
Palangkarayarelatif
menerima dengan ikhlas kondisi hidupyang menjadi standar hidup mereka. Perbedaan justru ditemukan di Kupang. Di kota
ini
para PNS pada umumnya mengaku bahwa standar hidup dianggaptidak
sesuaidengan yang diinginkan. Bahkan menjadi PNS
itu
pun diakui oleh mereka bukan yangmereka harapkan, karena
gaji
PNSrelatif
kecil.
Perlu didugabahwa
benih-benihkorupsi berasal dari ketidak-puasan atas kondisi ekonomi, dari lebarnya jurang antara
ar hidup yang diidamkan dengan capaian untuk meraih standar hidup itu.
Terkait
dengan
temuan tentang tingkah
laku
korupsi ditemukan
fakta
arik. Pada umumnya pNs
di
Kupang mengaku tidak pernahmerakukan satu pun
is perilaku korupsi, bahkan dengan kuat mereka menyatakan
tidak
akan pernah
inta
apa
pun dari
masyarakatyang
sedang mengurus urusannyadi
kantorrintah'
Demikianjuga
dengan yogyakarta, yang mengakutidak
akan pernahnerima
amplop.
Hanya
kota
Tegardan
parangkarayayang
mengaku pernah
'
akukan
korupsi,
yakni
dalam bentuk
meminjam saranakantor untuk
urusan (Palangkaraya
dan
Tegar),menerima pemberian
dari
masyarakat yang s urusan di kantor pNS (parangkaraya), dan memberi kepada seseorang yangurus kenaikan pangkat (palangkaraya).
Berikut
ini
adarah gambaran samper peneritiandi
empat kota
daram har imana mereka mempersepsi kriteria sukses mereka.
TABEL 1 Gambaran kriteria kesuksesan di Empat Kota
KRITERIA SUKSES
URUTAN DI
KUPANG
URUTAN DI
PALANGKARAYA
URUTAN DI
YOGYA-KARTA
URUTAN DI
TEGAL
Relijiusitas 1 1 7
7
Kejujuran 2 1L 2 2
Materi 3 6 7 4
Kesehatan 4 3 3 3
Pendidikan 5 4 5 5
Hubungan keluarga
6 5 4 6
Status sosial 7 7 8 7
Persahabatan B 8 6 8
Keseimbangan 9 9 9 v
Jadi pimpinan di kantor
L0 10 10
10
oa'i
oatadi
atastampak
bahwa pNsdi
empatkota
memirikill
ntukan
kriteria
pertama dan
kedua kesuksesanhidup,
yaitu
relijiusitas danjuran.
Kesamaanlainnya
adalahdalam
menentukanurutan
kesembilan danluh, yaitu
keseimbanganhidup
dan
ambisi menjadi pimpinan
di
kantor.
lnibahwa
baik
kota-kota yang yang
oleh
Tll
dikategorikanmemiliki
indekspsi korupsi tinggi (Yogyakarta dan palangkaraya) dan rendah (Kupang dan Tegal)
a-sama menempatkan
reliji
dan kejujuran
sebagaikriteria
utama
kesuksesanp, sedangkan keseimbangan dan
motif
untuk menjadi pimpinan ditempat
kerjai kriteria sukses yang paling terakhir.
Hal yang
membedakan
di
antara kedua kategori
kota itu
adalah
dalamukan materi (uang) sebagai kriteria sukses. pNs di kota Kupang menempatkan
ri
sebagaiprioritas
ketiga dan PNS Kota Tegal sebagai ketiga, sedangkan pNSa
Palangkaraya menempatkandi
urutan
keenam
dan
pNS Kota
yogyakartaujuh. Atas dasar
temuan
itu
patut
diduga bahwaorientasi hidup atau
kriteriaan yang
mengarah padamateri sedikit atau
banyakdapat
memunculkanilaku korupsi.
Data
kualitatif
(hasil wawancara dan FGD) dari PNS Yogyakarta menunjukkanuan menarik, yang
patut
diduga
sebagaisalah satu
faktor
penting
yangkan
kenapa Yogyakartamemiliki
tpK yang palingtinggi.
Ada
beberapapenyebab yang teridentifikasi. Pertama, ketatnya kontrol organisasional yang berasal
dari berjalannya sistem pelayanan satu atap. Di dalam ruangan pelayanan satu atap
itu
pun terdapat circuit
cameratelevision
(ccTV),
sehingga tertutup
peluangberedarnya calo-calo
yang
mengklaimdapat
mempercepat urusan dengan kantorpemerintah
dan
memperkecil kemungkinan adanya pungutanliar.
Kedua, semuapembayaran yang harus dilakukan oleh masyarakat tidak dibayarkan kepada petugas
di
desk,tetapi
melalui
bank yang letaknyaada dalam
ruangsatu
atap.
Ketiga,ketatnya kontrol sosial dari masyarakat, khususnya dari kalangan akademis, pers, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Kontrol
ini
dipersepsi bukan secara negatif,melainkan secara
positif.
Berbedadari
responspara
PNSdi
kota-kotalain,
pNSYogyakjrta menyebut komponen-komponen masyarakat
tadi
sebagai "teman-teman",
"teman-teman LSM", "teman-teman dari kampus". Di kota-kota Kupang danlresponsnya
agak
negatif.
Keempat,muncul kata-kata
"malu"
pada
paraFGD.
Ketika ditanya kenapatidak
ada dorongan melakukan korupsi, salahkata yang paling sering diungkap adalah
"malu".
Kataini tidak
pernah munculi responden kota-kota lain selain Yogyakarta.
Kelima,
penegakanhukum.
Meski pada umumnya
PNSdi
semua
kotampersepsi bahwa penegakan hukum
telah
berjalan,tetapi
hanyadi
Yogyakartajudnya
paling nyata,yaitu
merekatakut
terhadaphukum.
Pernyataan"takut"
ncul secara
tematik di
hampir semua FGDdi
beberapa dinas Kota Yogyakarta.ini tidak muncul di kota-kota lain.
UIAN DAN SARAN
Dari sejumlah temuan dalam penelitian ini dapat dibuat kesimpulan sebagai
k ut:
1. Secara umum dapat dikatakan bahwa PNS di beberapa kota seperti Palangkaraya
dan Tegal
mempersepsi
suatu perilaku
sebagai korupsi,
jika perilaku
itumerugikan keuangan negara dan
jika mereka
meminta sesuatu barang atauuang
dari
masyarakat.
Namun,jika
mereka menerima pemberian uang ataubarang
dari
masyarakat yang sedang megurus suatu urusandi
kantor tempatmereka bekerja (kantor pemerintah), tindakan
itu
bukan korupsi. Hanya PNS diKota Yogyakarta yang secara tegas mempersepsi bahwa suatu perilaku adalah
korupsi
jika
mereka menerima apa pun secaratidak
legal dan penerimaan ituterkait dengan jabatan mereka.
2.
sebagian besar PNSdi
empat kota
pada umumnya mengakui bahwa keluarga(istri/suami, anak) akan senang
jika
mereka menerima hadiah dari kliennya. lniberarti bahwa menerima hadiah
3.
Pada umumnya PNSdi
empatberjalan secara
tegas.
Namun,bukin
hanya penegakan hukummendapatkan pembenaran social dari keluarga.
kota
mengakui bahwa penegakan hukum telahberbeda
dari
kota-kota lainnya,di
Yogyakartaformal yang dipersepsi tegas, tetapi juga sistem
institusional.
Di kota dengan tingkat IPK tinggi (Yogyakarta), sistem yang berlakudi
institusi
pemda memiliki dampak "menakutkan"
pada
pNS.
Artinya,penegakan sistem yang tegas dapat menghambat dorongan
untuk
melakukankorupsi.
Meski pada
umumnya PNs
di
empat
kota
menempatkan relijiusitas
dankejujuran
di
rangking pertama dan kedua,tetapi
ada yang membedakan antaraPNS dari Kota Yogyakarta dan Palangkaraya di satu pihak dengan PNS dari Kota
Kupang dan Tegal
di
pihak lain. PNSdi
Kota Kupang dan Tegal menempatkanmateri/uang
di
ranking ketiga dan keempat, dibandingkan ranking keenam danketujuh di Palangkaraya dan Yogyakarta.
Persepsi
tentang
standar hidup. Pada umumnyadua kota
yang lpK-nya tinggi(Yogyakarta dan Palangkaraya) relatif lebih mensyukuri hidup dan rnempersepsi
bahwa hidup sesuai dengan standar yang ditetapkan. sebaliknya, kota yang
rpK-nya rendah (Kupang) relatif kurang mensukuri kehidupan
Sejumlah PNS
di
kota
Palangkaraya dan Tegal, dan beberapa PNSdari
Kupangmengaku pernah menerima
pemberian dari
anggota masyarakat yang sedangmengurus urusannya
di
kantor pemerintah. Sebagiandari
PNSdi
Palangkarayabahkan mengaku
pernah memberi uang
kepada petugas
yang
menguruskenaikan pangkat.
secara
umum dapat
dikatakan bahwa persepsi mengenai korupsi, penegakanhukum,
dan norma
social memiliki pengaruh terhadap munculnya
korupsi(p<0,05).
Namun
persepsi mengenaistandar hidup dalam
arti
sejauh
manasubjek puas atau
tidak
pusanya terhadap standar hidupnya sekarang ini denganpenghasilan
yang
diperoleh,
tidak
memberikan
kontribusi yang
signifikanterhadap munculnya perilaku korupsi (p>0,05).
Saran yang dapat kami kemukakan berdasarkan hasil penelitian ini adalah:
Perlunya sosialisasi mengenai criteria perilaku birokrasi yang termasuk korupsi
dan
.bukan korupsi.
Respondenpada umumnya
mengakusulit
menentukanapakah perilaku
tertentu
merupakan perilaku koruposiatau bukan. Patokan buat'l! ! I
banyak responden adalah bahwa sejauh
tidak
ada kerugian Negara,itu bukan
korupsi. Maka, menerima hadiah,
itu bukan korupsi, bukan
gratifikasi.
Dapatdipahamijika pungutan liar bagi mereka bukan korupsi
.
Penegakanhukum.
penegakanhukum
merupakanfactor
penting yang
dapat mempengaruhitinggi rendahnya
korupsi. Namun, penegakanhukum
bukanhanya pada level legal
formal,
tetapijuga
institusional,antara lain
penegakandisiplin.
. Perlu
digalakkan
kontrol
sosiar
dari
pihak
keluarga, lembaga
swadayamasyarakat, masyarakat umum,
dan
media massa. Masyarakat yang permisifterhadap korupsi sama dengan mendorong orang untuk melakukan korupsi.
Perlu
kesedian Pemda
untuk dikontrol
oleh masyarakat.
oleh
sebab
itu,lembaga-lembaga
kontrol
sosialseperti media
massa, LSM, kampus janganditempatkan sebagai
lawan
pemerintahkota
(pemda), melainkanmitra yang
dapat bersinergi membangun kota mereka.
Saran Untuk Penelitian Selanjutnya antara lain:
sesuai dengan
kondisi
penelitian yangbaru
mencakup4lokasi
kota
sebagaisampel penelitian,
untuk
mendapatkan hasil yanglebih
menyeluruhdan
kayadapat dipertimbangkan
untuk
menggunakan lokasi-lokasi (kota-kota) lain yangdapat
merepresentasikanhasil
persepsitentang korupsi
dari sudut
pandangpsikososial
di
lndonesia secara lebih lengkap danutuh.
oleh
karenaitu,
perludipertimbangkan penambahan rokasi rain sehingga sampel yang digunakan akan
lebih representatif.
Penelitian
yang
mencakupaspek
psikososialselain
persepsi,seperti
sikap,kemampuan mengendalikan
diri
dalam menentukan perilaku dan intensi untukmenampilkan perilaku
serta
latar belakangnya
juga perlu dipertimbangkan
sebagai
penelitian
lanjutan guna
mendapatkan pemahamantentang
aspekprilaku korupsi dan kontribusinya dalam suatu model yang lebih menyeluruh. Pertirnbangan akan adanya unsur
dan nilai
budaya dalam memandang suatuperilaku, termasuk
di
dalamnya periraku korupsidapat
dikembangkan dalampeneltian
yang lebih
spesifik mengkaji peran budayadan norma
sosial dalammemunculkan
perilaku
korupsi.
penentuan apakahperilaku
tertentu
dapatdigolongkan
perilaku korupsi atau
bukan misalnya,perlu
mempertimbangkannilai
budaya
yang ternyata cukup kuat dalam
mendasarisuatu
keyakinantertentu yang terkait
dengan gratifikasi
dan
ungkapoanterima
kasih yang
dipandang 'biasa' dalam suatu hubungan kerja sama.
ra
DAFTAR PUSTAKA
Z. Psikologi Korupsi di lndonesia. Kompas, 15 Juli
Z.
"PesanMoral
kasus Urip-Artalyta", dalam 2008jangan
Bunuh KPK. 2009. Jakarta:Gramedia.
Z. Koruptor Berseragam? Gatra, 4 Septembe r 2008
R.A.; Branscombe, N.R.; Byrne, D.. 2008, Social psychology. (twelfth edition). Boston:
Pearson
&
Bartol, 2008. Criminal behavior.A
psychosocial approach. Pearson lnternationalEdition
n, Ronald. 2001, The Psychology of criminal conduct. Theory, research, and process.
New York:John Wiley & Sons, Ltd
mbatto, Enrico. 2003. Why is Corruption Tolerated? The Review of Austrian Economics,
t6:4,363-379. Kluwer Academic Publishers. Manufactured in The Netherlands.
, L.S
&
Murphy, Steven A. 2006. "How we dwfine success: A qualitative study of whatmatters
mostto
women and men". sex roles (2006). 55:357-71.. Dol 10.1,0071s1,1,r99-006-9091-2
G.M. 2001. Criminal psychology and forensic technology. A collaborative approach
to effective profiling. London: CRC Press
stein, E. Bruce, 2002. Sensation and perception. Pacific Grove: Wordsworth
inath, C. 2008. "Recognizing and justifying private corruption". Journal of Business Ethics
(2008) 82; 7 47 -754. DOI 10.1007/s10551-007-9s89-8
A..
1998.
Minimisingcorruption:
Applying lessonsfrom
the
crime
preventionliterature. ln Crime, law & Social change, 30, 67-68.
.2000.
Hasilsurvey
korupsidi
pelayananpublik.
Laporan PenelitianTim
PenelitiDepartemen Riset dan kajian Strategis ICW
(emitraan bagi pembaharuan pemerintahan di lndomnesai. 2002. Survey mengenai korupsi
di lndonnesia. Laporan Penelitian, Februari 2002
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
.2005. Kondisi dan strategi. Annual report 2005
, lntegritas Sektor Public. 2007. Survey Report
ter,,
T.D &
MONTINOLA,Gabrriella.
1997.Toward
a
methodologyfor
the185-206, comparative study
of
political corruption. Crime, Law & Social Change 27:1997. 185 c.1997 Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands.
S.; Triandis, H.C.; Yu, You. 2006. Cultural orientation and corruption. ln Ethics & behavior,
16(3), pp.199-215
Shu; Triandis, H.C., & Yu, You. 2006. Cultural orientation
and
corruption. ETHICS &BEHAVIOR, 16(3), 199-215. Copyright @ 2006, Lawrence Erlbaum Associates, lnc.
Zuhua.
2007.
Understandingcorruption
through
a
cross-national comarison. Adissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the State of University of
New York at Buffalo in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of
Philosophy Department of Political Science
rini, L. & Gerlagh, Reyer. 2007. Causes of corruption: a survey of cross-country analyses
and extended results. Econ Gov (2008) 9:245-263. DOI 10.10071s10LO1,-O07-0033-4. O
Springer-Ve rlag 2OO7
John. S.T..
1999.
Corruptionin
Asian Countries: Canit
be minimized?
Publicpp.483-494.
Stable
URL:administrative
review, vol.59,
No.6
(Nov
Dec),h tt p : //ww w. j st o r. o r g/st abl e I 3 71029 7. a cc e s s e d : 78 I O7 I 2OOB
di, T.,
Purnomo, M., Damayanti,D.
2007. Memerangi korupsidi
lndonesia yangterdesentralisasi. Bank Dunia:justice for the poor project
son-Snape, F. 1999. Corruoption, Collision, and nepotism
in
lndonesia. Third worldStable U RL: quarterly, vol.20, No 3, The New politics
of
corruption (Jun.) pp.589-602.http ://www.jstor. orglsta bl e/3 993 3 2 3. Accesse d: 18 I 07 I 2OO8
efer, R.T. 2006. Sociology. A brief introduction. Sixth edition. McGrawHill
son, Jacob. 2005. Eight questions about corruption. Journal of economic perspectives.
Volume 19, Number 3, Summer, p.l9-42
llndang-undang (UU) No 3l- tahun 1991jo UU No 20 Tahun 2001
UIilhelm, Paul
G.
2002.
lnternational validationof
the
corruption
perceptions index:lmplications
for
business ethics and entrepreneurship education. ln Journal of Bussinessethics, 35,177-\89
Zyglidopoulos, S; Fleming, P.; Rothenberg, S.. 2008, Rationalization, overcompensation and
the
escalationof
corruption
in
organizations.Journal
of
businessethics.
DOI1-0.1007/s10551-008-9685-4, O Springer-Verlag 2008
Wu, Xun. 2008. Determinants
of
Bribery in Asian Firms: Evidence fromthe
World Business;Environment Survey. Journal of Business Ethics
_
Springer 2008. DOI10.1007/s10551-008-9871-4.
Wilhelm, Paul.
2002.
lnternational
Validationof the
Corruption
Perceptions lndex:lmplications
for
Business Ethics and Entrepreneurship Education. Journalof
BusinessEthics 35:
177-t89,2002.
Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands