• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK SOSIAL BENCANA LUMPUR LAPINDO DAN PENANGANANNYA DI DESA RENOKENONGO ( studi tentang penanganan Ganti Rugi Warga Desa Renokenongo ).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DAMPAK SOSIAL BENCANA LUMPUR LAPINDO DAN PENANGANANNYA DI DESA RENOKENONGO ( studi tentang penanganan Ganti Rugi Warga Desa Renokenongo )."

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

CISILIA ANDRIANI 0641010010

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

(2)
(3)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan masalah... 12

1.3 Tujuan Penelitian... 12

1.4 Manfaat Penelitian... 12

BAB II TINJ AUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu... 14

2.2 Landasan Teori………. 15

2.2.1 Dampak social……… …… 15

2.2.2 pengertian kebijakan...17

2.2.1 Komponen-komponen Kebijakan...17

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Kebijakan…. ………18

2.2.3 Pengertian Kebijakan Publik... 18

2.2.4 Pengertian Implementasi... 20

2.2.5 Pengertian Implementasi Kebijakan……….. 20

2.2.5.1 Tujuan Implemntasi Kebijakan...20

2.2.5.2Tahap Pelaksanaan Kebijakan...21

2.2.5.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan dan Implementasi...22

2.2.6 Prospek Memperbaiki Implementasi………22

(4)

2.2.11 Lumpur Lapindo……….. 29

2.2.12 Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Lumpur Lapindo….... 30

2.3 Kerangka Berfikir……… 34

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian………... 35

3.2 Fokus Penelitian……….. 36

3.3 Lokasi Penelitian………... 36

3.4 Sumber Data………... 37

3.5 Pengumpulan Data... 38

3.6 Analisis Data……….. 39

3.7 Keabsahan Data………. 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum objek Penelitian dan Penyajian Data……… 43

4.1.1 Gambaran Umum Desa Renokenongo………. 43

4.1.2 Struktur Organisasi………... 45

4.1.3 Gambaran Umum semburan Lumpur Lapindo………… …….. 48

4.2 Penyajian Data………...50

4.2.1 penanganan masalah social………. ……... ……….. 50

(5)

4.3.2 Pembayaran ganti rugi…………..………. 69 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan………. 76 Saran………... 79

(6)

DAN PENANGANANNYA DI DESA RENOKENONGO, Skripsi,2011

Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS) yang dibentuk untuk menangani masalah Lapindo ternyata tidak cukup tuntas menyelesaikan masalah social akibat semburan Lumpur Lapindo di daerah Renokenongo kecamatan Porong-Sidoarjo.

Pada penelitian kali ini, peneliti ingin mengetahui kualitas pelayanan dan penanganan korban Lumpur Lapindo di desa Renokenongo Kecamatan Porong-Sidoarjo. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian kualitatif deskriptif. Pemilihan informan pada penelitian ini dilakukan secara snowball. Focus penelitian ini yaitu penanganan masalah social dan pembayaran secara bertahap yang menuju pada terpenuhinya ganti rugi.

Hasil yang diperoleh peneliti dari penelitian ini adalah bahwa penanganan korban Lumpur Lapindo di desa Renokenongo Kecamatan Porong-Sidoarjo masih kurang baik dari segi social tidak ada penanganan dari pemerintah melalui BPLS baik dari segi penggantian mata penchariandan bantuan-bantuan terhadap korban Lumpur Lapindo, sedangkan masalah ganti rugi hanya 20% di awal dan 80% di cicil itupun tidak sesuai dengan perjanjian dan sering terjadi keterlambatan pembayaran. Dari sini saja sudah sangat terlihat bahwa semua pihak terasa saling angkat tangan melempar tanggung jawab.

(7)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

(8)

utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi,Indonesia. Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di 2 Jawa Timur. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah lumpur menggenangi dua belas desa di tiga kecamatan ( sumber desa renokenongo ). Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.

(9)

Luapan lumpur lapindo juga berdampak secara langsung terhadap aktifitas masyarakat di sekitar semburan lumpur. Debit luapan lumpur yang cenderung mengalami peningkatan berakibat pada terendamnya beberapa desa atau kelurahan di sekitar semburan. Beberapa wilayah yang terendam, yaitu Desa Renokenongo, Desa Jatirejo, Desa Siring Kecamatan Porong, dan Desa Kedungbendo. Kemudian secara bertahap luapan lumpur terus menerjang ke wilayah Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (perumtas) 1, Desa Mindi Kecamatan Porong, Desa Besuki, Desa Kedungcangkring dan Desa Pajarakan Kecamatan Jabon, serta pada akhirnya diperkirakan akan mengancam seluruh wilayah Kabupaten Sidoarjo dan daerah di sekitarnya.

(10)

tertutupnya tak kurang dari 10 pabrik dan 80 hektar sawah serta pemukiman penduduk. Untuk permasalahan ganti rugi tercatat sejak tahun 2007 hingga tahun 2010 di nyatatakan lunas. Akan tetapi pada tahun 2011 terhitung sejak bulan Januari-sekarang masih belum ada jawaban untuk permasalahan ganti rugi. Adapun bantuan untuk penanggulangan korban lapindo di Desa Renokenongo yaitu skema GKLL sebesar 10 juta, skema Bangunan susuk sebesar 5 juta, dan skema cash and carry sebesar 5 juta, dengan rincian ganti rugi meliputi tempat pengungsian, tanah sawah, tanah bangunan, kesehatan, dll.

Dari beberapa desa yang ada di Kecamatan Porong khususnya, ada perbedaan yang signifikan. Perbedaan itu tertuju pada 3 Desa di Kecamatan Porong yang meliputi Desa Jatirejo, Desa Siring dan Desa Renokenongo. Perbedaannya adalah Desa Siring dan Desa Jatirejo sejauh ini masih ada beberapa aktivitas walaupun tidak berjalan secara optimal atau menyeluruh, termasuk untuk membayar ganti rugi warga yang tinggal di sembilan RT di kelurahan Siring dan Jatirejo bagian barat ( Jawa Pos, 2011 : 37 ). Sementara itu, di Desa Renokenongo tidak ada aktivitas sama sekali dikarenakan telah lumpuh total ( tenggelam ) setelah terjadinya paska Lumpur Lapindo. Sehubungan dengan hal itu, Desa Renokenongo menarik untuk di jadikan obyek penelitian.

(11)

Sidoarjo (BPLS). Tapi peraturan presiden tersebut justru memihak PT. Lapindo. Misalnya, peraturan presiden ini hanya membatasi kewajiban dan tanggung jawab Lapindo pada peta terdampak sesuai dengan kondisi pad tahun 2007.

( sumber : Koran TEMPO, 22 Oktober 2009 )

Padahal area yang terendam banjir lumpur panas terus meluas hingga kini. Akibatnya lebih dari 40 ribu jiwa yang lahan dan tempat tinggalnya terendam lumpur, dianggap sudah diluar tanggung jawab Lapindo karena area mereka berada diluar area peta dalam peraturan presiden tersebut. Peraturan presiden juga menetapkan pembayaran ganti rugi melalui mekanisme jual beli kepada korban dilakukan secara bertahap 20% uang ganti rugi dibayar di muka dan 80% sisanya dibayarkan kurang lebih setelah dua tahun. Hingga saat ini, proses pembayaran 80% sisa ganti rugi masih belum jelas praturan presiden juga mengubah kewajiban Lapindo memberikan ganti rugi kepada korban menjadi masalah keperdataan jual beli tanah dengan harga yang ditentukan oleh Lapindo.

(12)

Dari fenomena diatas,terdapat juga fenomena khusus yaitu DPR yang seharusnya menjadi dewan perwakilan yang membela

kepentingan rakyat justru tidak berpihak pada rakyat, dalam hal ini pihak korban. Sejak awal tahun 2007, DPR telah mengancam akan melakukan hak interpelasi kepada pemerintah terkait pola penanganan Lumpur Lapindo. Namun hingga kini, ancaman hak interpelasi itu hanya gertak sambal alias omong kosong. Buktinya, TP2LS-DPR RI sepakat bahwa semburan Lumpur panas Lapindo merupakan bencana alam bukan akibat ulah tangan manusia kini jelas, TP2LS bentukan DPR tersebut bekerja untuk siapa,bukan untuk mengawasi penanggulangan Lumpur Sidoarjo oleh PT. Lapindo yang menyengsarakan rakyat tapi untuk memuaskan hawa nafsu pemerintah DPR dan Lapindo. Inilah wajah pemerintahan kita gambaran ini menguatkan keyakinan kita bahwa pemerintah sedang menjalankan system politik dan ekonomi kotor yang dikendalikan oleh para kapitalis sang pemilik modal. Keadilan bagi rakyat mampu diperjualbelikan dengan kapital yang dimiliki sang pemilik modal itulah trik dan intrik politik dan ekonomi neo kapitalisme. Alhasil tak ada keadilan sejati untuk rakyat.

(sumber : Koran Kompas, 2 Agustus 2009).

(13)

justru menjauhkan dari model penyelesaian secara adil dalam kasus Lumpur Lapindo.(sumber : Koran Jawa Pos, 23 November 2009)

Bagaimana tidak, dengan keluarnya kedua kebijakan itu, tanggung jawab penanganan Lumpur justru lebih banyak dibebankan kepada Pemerintah. Adapun pihak Lapindo hanya udampak pada 22 Maret 2007.

Kebijakan Pemerintah Dalam Peraturan Presiden No.40/2009 itu, tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang berisikan tentang persoalan ganti rugi pun secara legal kembali direduksi menjadi jual-beli asset dan pembayaran secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seperti yang disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak pada tanggal 4 Desember 2006, 20% di bayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 tahun habis. Peta area terdampak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran presiden ini. Kerugian warga karena menghirup udara beracun dan menggunakan air tercemar sejak muncul semburan Lumpur Lapindo tiga tahun yang lalu tetapi tidak pernah dianggap penting oleh pemerintah. Padahal warga porong adalah warga Negara Indonesia yang sah, mereka pantas mendapat perlindungan dari Negara.

(14)

umum bagi 18 Desa yang terdampak bencana, pengadaan PPPK dan bantuan obat-obatan, pendidikan dan pelatihan teknis/ketrampilan.

Kebijakan pemerintah disebut sistematis karena kondisi ini justru lahir dari kebijakan pemerintah secara structural, yang secara nyata dapat dilihat dalam beberapa hal. Pertama, kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan di wilayah dekat rumah tinggal, dekat bangunan umum dan wilayah pabrik.

Dalam kebijakan tersebut terdapat fenomena tentang social yaitu masalah pendidikan, di dalam Desa Renokenongo terdapat pembentukan panitia bantuan koordinasi untuk para masyarakat yang terkena dampak Lumpur Lapindo yaitu berupa buku secara gratis. Para panitia juga memberikan bantuan tentang ketrampilan bagi para masyarakat yaitu memberikan pengarahan atau ilmu tentang kewirausahaan, agar para masyarakat juga biasa membuka wira usaha sendiri nantinya.

Namun di tengah kegelapan selalau terpancar seberkas sinar dari lilin kecil, tak terkecuali dalam kasus Lumpur Lapindo ini. ada secercah harapan pemerintah akan menyelesaikan kasus Lapindo secara lebih adil dalam masa jabatan presiden 2009-2014 demikian di jelaskan dalam debat calon presiden pada pemilu presiden yang lalu, Susilo Bambang Yudhoyono telah berjanji untuk meninjau ulang model penyelesaian kasus Lapindo selama ini.

Setidaknya ada dua hal yang perlu ditinjau ulang agar kasus Lapindo dapat diselesaikan secara lebih adil.

(15)

Secara ilmiah, keyakinan bahwa Lumpur Lapindo merupakan akibat bencana alam sebenarnya juga telah ditentang oleh mayoritas pakar geologi dan pertambangan internasional. Bahkan dokumen rahasia PT. Medco yang dipublikasikan oleh website Aljazera juga dengan jelas mengungkapkan bahwa semburan Lumpur di Sidoarjo berkaitan dengan aktivitas pengeboran. Peninjauan terhadap keyakinan bahwa semburan Lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam itu menjadi penting karena dari keyakinan tersebut telah lahir beberapa regulasi yang justru membebaskan secara perlahan pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus itu. Padahal bebasnya korporasi yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus semburan Lumpur di Sidoarjo merupakan preseden buruk bagi pengelolaan indutri tambang di Indonesia. Konsekuensi peninjauan ulang keyakinan tentang penyebab semburan Lumpur adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk juga mencabut SP3 kasus pidana Lapindo.

Kedua, pemerintah harus meninjau ulang berbagai regulasi yang mereduksi persoalan ganti rugi bagi korban Lumpur menjadi sekedar persoalan jual-beli aset korban Lumpur. Negara harus memasukkan persoalan kesehatan, pendidikan, dan rusaknya lingkungan hidupke dalam skema ganti rugi. Jika kedua hal tersebut tidak ditinjau ulang, apapun model penyelesaian kasus Lapindo dipastikan tidak akan bisa memenuhi rasa keadilan korban Lumpur, bahkan akan menjadi insiden buruk bagi penyelesaian kecelakaan industry ke depannya. Bila itu terjadi, sudah dapat dipastikan pula bahwa pemerintah SBY jilid II ini akan ke hal ini sesuai dengan ketentuan.

(16)

manusia ( HAM ), tidak layaknya kondisi pengungsian, kondisi tanggul yang tidak permanen dengan mengandalkan bautan lapisan pasir dan batu seolah ‘menari’ di atas soft soil lumpur yang dapat tergelincir suatu saat, sampai pada lambatnya pembayaran ganti rugi. Fakta lain yang justru tidak pernah terangkat adalah soal perusakan dan kejahatan lingkungansecara sistematis.

Setelah kurang lebih 18 bulan, Rakyat Porong yang menjadi korban Lumpur tidak juga mendapatkan keadilan. Apa yang menimpa Korban Lumpur yang berada di pengungsian Pasar Baru Porong menjadi contoh. Hak-hak dasar berupa hak atas perumahan, kesehatan, pendidikan, kehidupan yang layak dan masa depan diabaikan. Selain itu dalam proses ganti rugi masih menimbulkan permasalahan. Pada waktu awal adalah standart harga tanah dan jumlah yang akan dibayarkan. Namun ada hal lain yang lebih stabil, yaitu masalah kepemilikan.

(17)

Selain itu, luapan lumpur panas yang semakin tak terkendali ini mengganggu arus transportasi kereta api dari arah Surabaya ke arah timur serta menyebabkan jalan tol Surabaya-Gempol ditutup. Pada Tahun 2008 Desa Renokenongo dinyatakan lumpuh total karena terendam Lumpur.

Dalam hal ini, tidak luput dari adanya konflik antar penduduk setelah terjadinya Lumpur Lapindo, dimana Konflik merupakan suatu usaha social yang sering muncul dan mengiringi dalam setiap peradaban manusia. Manusia tidak akan terhindar dari konflik dengan segala atribut dan kreativitasnya dalam masyarakat, sebab dalam masyarakat terdiri dari sejumlah besar hubungan social (social relation ) yang masing-masing individu maupun kelompok saling berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Konflik muncul ketika tujuan individu atau kelompok tidak sejalan, sehingga dalam konflik selalu terjadi ketidak seimbangan diantara hubungan-hubungan tersebut. Hubungan social mengalami suatu pertentangan, dari tingkat mikro antar individu hingga meluas ke tingkat yang lebih makro, yaitu kelompok, organisasi, masyarakat, dan Negara. Masing-masing kelompok saling berkaitan, membentuk sebuah mata rantai yang memiliki potensi kekuatan yang menghendaki terjadinya suatu perubahan, baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Kelompok yang merasa telah dirugikan akan berusaha untuk menyalahkan kelas atau kelompok lain yang dinilai sebagai penyebab dari kerugian mereka.

Konflik juga dapat terjadi ketika keinginan manusia atau kelompok untuk beruasaha menguasai sumber-sumber serta posisi yang langka ( resource and

(18)

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengambil judul ” Dampak Sosial Bencana Lumpur Lapindo Dan Penanganannya Di Desa Renokenongo

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini dinyatakan sebagai berikut : Bagaimana Dampak social bencana Lumpur Lapindo dalam penanganan lumpur Lapindo di Desa Renokenongo ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui Implementasi Penanganan Korban Lumpur Lapindo di Desa Reno Kenongo Kecamatan Porong Sidoarjo.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :

a. Bagi Instansi

Diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penanganan Korban Lapindo Di Desa Reno Kenongo Kecamatan Porong Sidoarjo.

b. Bagi Universitas

(19)

c. Bagi Peneliti

(20)

BAB II

TINJ AUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Ter dahulu

Sukesi (2006) dengan judul “Dampak Semburan Lumpur Panas “Lapindo” Sidoarjo Terhadap Perkonomian Masyarakat di Kabupaten Pasuruan”. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil, Pertama, Bencana lumpur mengganggu kenyamanan tempat tinggal masyarakat desa, terutama wilayah yang berdekatan dengan pusat semburan lumpur panas. Mereka mengatakan daerah yang ditempati sudah tidak nyaman lagi untuk hunian, selain bau yang menyengat mereka khawatir sewaktu-waktu lumpur meluber ke rumah-rumah hingga masyarakat menderita kerugian yang sangat besar. Kedua bencana semuran lumpur panas Sidoarjo juga membawa dampak pada sector usaha masyarakat. Kegiatan usaha mengalami penurunan karena gangguan sarana transportasi.

(21)

kepemilikan. Barang tambang di Porong adalah miliki umum, Negara, mestinya mengelola dengan professional dan amanah untuk kemakmuran rakyat.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang pernah dilakukan seperti dijelaskan seperti diatas, terdapat perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti sekarang dengan penelitian yang terdahulu. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukesi adalah tempat tinggal masyarakat desa yang tidak nyaman karena takut akan adanya semburan lumpur, sehingga masyarakat desa menderita kerugian yang amat besar.

Sedangkan peneliti yang dilakukan oleh Mukhamadun adalah pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan akan cenderung mengorbankan rasa keadilan public.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Dampak Sosial

(22)
(23)

2.2.2 Pengertian Kebijakan

woll dalam Tangkilisan (2003:3) kebijakan adalah Sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Rose dalam Winarno (2004:15) kebijakan adalah serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuen-konsekuennya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri.

Menurut Alisjahbana (2004:2) kebijakan adalah suatu keputusan yang dilaksanakan oleh pejabat Pemerintah untuk kepentingan rakyat.

Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan, bahwa kebijakan adalah serangkaian cara bertindak atau suatu keputusan yang sengaja untuk menyelesaikan beberapa permasalahan, yang dilksanakan oleh pejabat Pemerintah untuk kepentingan rakyat.

2.2.2.1 Komponen-Komponen Kebijakan

Menurut Jones dalam Tangkilisan (2003:3) kebijakan terdiri dari komponen-komponen:

1. Goal atau tujuan yang diinginkan;

2. Plans / proposal yang spesifik untuk mencapai tujuan;

3. Program yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai

(24)

4. Decision atau keputusan yaitu tindakan-tindakan untuk

menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program;

5. Efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder).

2.2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengar uhi Kinerja Kebijakan Menurut Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan (2003:22) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan adalah:

1. Organisasi dan kelembagaan; 2. Kemampuan politik dari penguasa;

3. Pembagian tugas, tanggung jawab dan wewenang; 4. Kebijakan Pemerintah yang bersifat tak remental; 5. Proses perumusan kebijakan Pemerintah yang baik;

6. Aparatur evaluasi yang bersih yang berwibawa serta professional;

7. Biaya untuk melakukan evaluasi;

8. Tersedianya data dan informasi sosial ekonomi yang siap dimanfaatkan oleh penilai-penilai kebijakan.

2.2.3. Pengertian Kebijakan Publik

(25)

Alisjahbana (2004:2) kebijakan publik adalah sebagai segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.

Parker dalam Ekowati (2005:5) kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip atau tindakan yang dilakukan oleh suatu Pemerintahan pada periode tertentu ketika terjadi suatu subyek atau krisis.

Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan, bahwa kebijakan publik adalah sebagai segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh Pemerintah atau serangkaian instruksi daripada pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, untuk dilakukan atau tidak dilakukan.

(26)

2.2.4 Pengertian Implementasi

Pressman dan Wildavsky dalam Tangkilisan (2003:17) implementasi adalah interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.

Hartono dalam Alisjahbana (2004:45) implementasi merupakan proses yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan negara diwujudkan sebagai hasil akhir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah.

Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (2005:65) implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok Pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa implementasi adalah proses interaksi atau tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok Pemerintah atau swasta antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

2.2.5. Pengertian Implementasi Kebijakan

(27)

Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2004:102) implementasi kebijakan adalah sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok Pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

Kamus Webster dalam Wahab (2005:64) implementasi kebijakan adalah menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu, agar dapat menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu.

Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan, bahwa implementasi kebijakan adalah cara atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok Pemerintah maupun swasta agar dapat menimbulkan sebuah kebijakan dan mencapai tujuannya yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

2.2.5.1 Tujuan Implementasi Kebijakan

Menurut Wibawa dalam Koryati, Hidayat dan Tangkilisan (2004:10) tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan Pemerintah.

2.2.5.2 Tahap Pelaksanaan Kebijakan

Menurut Alisjahbana (2004:28) tahap-tahap pelaksanaan kebijakan, ada:

(28)

2. Melakukan interpretasi dan penjabaran kebijakan ke dalam bentuk peraturan pelaksanaan dan petunjuk pelaksanaan;

3. Menyusun perencanaan sejumlah langkah kegiatan pelaksanaan menurut waktu, tempat, situasi dan anggaran;

4. Pengorganisasian secara rutin atas personil, anggaran dan sarana materiil lainnya;

5. Memberikan manfaat kepada individuan masyarakat.

2.2.5.3 Faktor-Faktor Yang Mempengar uhi Kebijakan dan Implementasi Menurut Wibawa dalam Koryati, Hidayat dan Tangkilisan (2004:25) faktor-faktor yang mempengaruhi kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi, yaitu :

1. Standar dan sasaran kebijakan;

2. Komunikasi antara organisasi dan pengukuran aktifitas; 3. Karakteristik organisasi dan komunikasi antar organisasi; 4. Kondisi sosial, ekonomi dan politik;

5. Sumber daya; 6. Sikap pelaksana.

2.2.6 Pr ospek Memperbaiki Implementasi

(29)

Islamy (2004:107) menjelaskan bahwa kebijaksanaan akan menjadi efektif, bila dilaksanakan dan berdampak positif bagi anggota masyarakat. Selain itu untuk mencapai efektivitas pelaksanaan kebijaksanaan, proses komunikasi harus baik, yaitu menyebarluaskan kebijaksanaan kepada anggota masyarakat.

Keberhasilan implementasi, menurut Koryati (2004:14) dapat dilihat dari terjadinya kesesuaian antara pelaksana atau penerapan kebijakan dengan desain, tujuan dan sasaran kebijakan itu sendiri serta memberikan dampak atau hasil yang positif bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi.

Selain itu faktor lain yang dapat menunjang keberhasilan implementasi kebijakan adalah dukungan, baik fisik maupun non fisik. Apabila dalam pelaksanaannya tidak cukup dukungan, maka implementasi akan sulit di laksanakan. Dukungan tersebut menurut Merse dalam Koryati (2004:15) adalah kuatnya partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan program. Jadi program akan berlangsung secara berkelanjutan, jika didukung oleh tingkat partisipasi masyarkat yang tinggi, dalam berbagai tahapan yang ada.

Menurut Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan (2003:21) keberhasilan implementasi kebijakan program ditinjau dari tiga faktor, yaitu:

(30)

2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan;

3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.

Implementasi kebijakan yang berhasil menjadi faktor penting dari keseluruhan proses kebijakan. Untuk memperbaiki implementasi kebijakan, Winarno (2004:162) menjelaskan bahwa ada beberapa langkah, yaitu:

1. Dalam mengusulkan langkah-langkah perbaikan harus dipahami lebih dulu hambatan-hambatan yang muncul dalam proses implementasi kebijakan dan mengapa hambatan tersebut muncul; 2. Mengubah keadaan yang menghasilkan faktor-faktor penghambat

tersebut.

2.2.7. Pengertian Sosialisasi

(31)

lain yang kemudian menjadi bagian dari kebudayaannya. Manusia mengembangkan kebiasaan tentang apa yang dimakan, sehingga terdapat perbedaan makanan pokok di antara kelompok/masyarakat. Demikian juga dalam hal hubungan antara laki-laki dengan perempuan, kebiasaan yang berkembang dalam setiap kelompok menghasilkan bermacam-macam sistem pernikahan dan kekerabatan yang berbeda satu dengan lainnya. Dengan kata lain, kebiasaan-kebiasaan pada manusia/masyarakat diperoleh melalui proses belajar, yang disebut sosialisasi. Berikut beberapa definisi mengenai sosialisasi.

Peter L. Berger:

Sosialisasi adalah proses dalam mana seorang anak belajar menjadi seseorang yang berpartisipasi dalam masyarakat. Yang dipelajari dalam sosialisasi adalah peran-peran, sehingga teori sosialisasi adalah teori mengenai peran (role theory).

Robert M.Z. Lawang:

Sosialisasi adalah proses mempelajari nilai, norma, peran dan persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan seseorang dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial.

Horton dan Hunt:

(32)

membiasakan tindakan dan perilaku sesuai dengan nilai dan norma yang telah menjadi miliknya (enkulturasi).

2.2.8. Fungsi Sosialisasi

1. Bagi individu: agar dapat hidup secara wajar dalam kelompo/masyarakatnya, sehingga tidak aneh dan diterima oleh warga masyarakat lain serta dapat berpartisipasi aktif sebagai anggota masyarakat 2. Bagi masyarakat: menciptakan keteraturan sosial melalui pemungsian sosialisasi sebagai sarana pewarisan nilai dan norma serta pengendalian sosial.

2.2.9. Macam-macam Sosialisasi

1. Berdasar kan ber langsungnya: sosialisasi yang disengaja/disadari dan tidak disengaja/tidak disadari.

Sosialisasi yang disengaja/disadari: Sosialisasi yang dilakukan secara sadar/disengaja: pendidikan, pengajaran, indoktrinasi, dakwah, pemberian petunjuk, nasehat, dll.

Sosialisasi yang tidak disadari/tidak disengaja: perilaku/sikap sehari-hari yang dilihat/dicontoh oleh pihak lain, misalnya perilaku sikap seorang ayah ditiru oleh anak laki-lakinya, sikap seorang ibu ditiru oleh anak perempuannya, dst.

(33)

dengan anak, antara guru dengan murid, antara pimpinan dengan pengikut, dan lain-lain.

3. Menur ut tahapnya: sosialisasi pr imer dan sekunder .

Sosialisasi primer dialami individu pada masa kanak-kanak, terjadi dalam lingkungan keluarga, individu tidak mempunyai hak untuk memilih agen sosialisasinya, individu tidak dapat menghindar untuk menerima dan menginternalisasi cara pandang keluarga Sosialisasi sekunder berkaitan dengan ketika individu mampu untuk berinteraksi dengan orang lain selain keluarganya.

4. Berdasar kan caranya: sosialisasi represif dan sosialisasi par tisipatoris. Apabila mengacu pada cara-cara yang dipakai dalam sosialisasi , terdapat dua pola, yaitu represif, dan partisipatoris. Sosialisasi Represif menekankan pada:

(1) penggunaan hukuman,

(2) memakai materi dalam hukuman dan imbalan, (3) kepatuhan anak pada orang tua,

(4) komunikasi satu arah (perintah), (5) bersifat nonverbal,

(6) orang tua sebagai pusat sosialisasi sehingga keinginan orang tua menjadi penting, dan

(7) keluarga menjadi significant others.

(34)

(4) penekanan pada interaksi,

(5) komunikasi terjadi secara lisan/verbal,

(6) anak pusat sosialisasi sehingga keperluan anak dianggap penting, dan (7) keluarga menjadi generalized others.

2.2.10 Ga nti Rugi

Ganti rugi dalam lapangan hukum perdata adalah pemberian prestasi yang setimpal akibat dari satu perbuatan yang menyebabkan kerugian diderita oleh salah satu pihak yang melakukan kesepakatan/ konsensus. Secara harfiah istilah ganti rugi adalah :

Pengenaan ganti sebagai akibat adanya penggunaan hak dari satu pihak untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan dari lain, Ganti rugi meliputi aspek:

1. Kesebandingan

Ukuran untuk kesebandingan antara hak yang hilang dengan penggantinya harus adil menurut hukum dan menurut kebiasaan masyarakat yang berlaku umum.

2. Layak

Selain sebanding ganti rugi harus layak jika penggantian dengan hal lain yang tidak memiliki kesamaan dengan hak yang telah hilang.

3. Perhitungan cermat

Perhitungan harus cermat termasuk didalamnya penggunaan waktu, nilai dan derajat.

(35)

di tangani oleh koordinator masing-masing yang menangani ganti rugi tersebut.

2.2.11 Lu mpu r La pind o

Tragedi ‘Lumpur Lapindo’ dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

(36)

pernapasan, iritasi kulit dan kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.

Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo, rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran 1 (menggunakan

snubbing unit) dan 2 (pembuatan relief well) mengalami kegagalan.

Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal.

2.2.12 K ebija kan Pemer inta h da la m M enan ga ni Lu mp u r La pin do a. Aspek Sosial

(37)

LBI juga diminta menyiapkan dana simpanan di-escrow account Rp 100 miliar tiap minggunya untuk pembayaran uang muka 20 persen setelah proses verifikasi, sedang 80 persen sisanya akan dibayarkan sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis. Dampak sosial juga tak kalah parah. Warga Desa Renokenongo yang rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang tinggal di penampungan itu dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. Selain itu adanya sarana social lain yaitu:

1. Perencanaan dan pengelolaan pemulihan social a. Pendidikan dan pelatihan teknis/keterampilan

b. Penyuluhan dan penyebaran informasi (sosialisasi) dan musyawarah c. Observasi social, pemantauan dan pencatatan kondisi lingkungan d. Kajian pengembangan social dan ekonomi

e. Koordinasi penanganan masalah pendidikan dan kesehatan 2. Pengelolaan penanganan bantuan social

a. Pemberian bantuan air bersih

b. Pengadaan dapur umum bagi warga di 18 desa yang terdampak bencana

c. Pengadaan PPPK dan bantuan obat-obatan d. Bantuan pemakaman

(38)

1) 1.666 KK warga di 3 desa (Besuki, Kedungcangkring, Pejarakan) 2) 900 KK warga di 9 RT (Kelurahan Jatirejo, Siring dan Mindi) 3) Program contingency warga di luar peta area terdampak 3. Peningkatan dan pengelolaan perlindungan social

a. Pembayaran jual beli tanah dan bangunan di 3 desa

b. Fasilitasi pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan yang dilaksanakan oleh PT. Minarak Lapindo Jaya

c. Program contingency untuk pembebasan tanah dan bangunan di desa-desa yang sudah tidak lagi layak huni di luar Peta Area Terdampak Bidang Sosial mempunyai tugas:

a. Menyelenggarakan koordinasi penanganan masalah sosial kemasyarakatan;

b. Menyusun rumusan strateji dan rencana penanganan masalah sosial kemasyarakatan;

c. Melaksanakan bantuan dan perlindungan serta pemulihan sosial kemasyarakatan;

d. Melakukan pengawasan penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh PT Lapindo Brantas;

e. Mengadakan evaluasi dan pelaporan penanganan masalah sosial kemasyarakatan akibat luapan lumpur.

(39)

1. Penanganan masalah social kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo.

(40)

2.3 Kerangka Pikir

Peraturan Presiden No.40 tahun 2009 pasal 15 tentang ganti rugi

Penanganan masalah sosial

Pembayaran Ganti Rugi Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh

BPLS

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.J enis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif, yang mencoba menggambarkan secara mendalam suatu obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan maksud ingin memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang Sanitasi Masyarakat. Secara teoritis, menurut Bagdan dan Taylor (dalam Moleong, 2004:4), penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

(42)

3.2.Fokus Penelitian

Dalam Fokus penelitian kualitatif berkaitan erat dengan rumusan masalah dimana masalah penelitian dijadikan sebagai acuan dalam menentukan fokus penelitian. Dalam fokus penelitian ini, dimana Desa Renokenongo adalah desa yang sangat parah di antara 3 Desa di Kecamatan Porong dan dalam hal masalah ganti rugi yang terkadang pembayaran tersebut belum terpenuhi. Fokus penelitian tersebut diantaranya :

Penanganan Masalah Sosial

Dengan adanya bencana Lumpur Lapindo, masyarakat yang terkena dampaknya sangat menderita kerugian yang cukup parah, terutama di desa Renokenongo, warga sangat menderita terutama dalam bidang social yaitu kurangnya kesehatan, pendidikan, tempat tinggal dan mata pencharian terutama di desa Renokenongo dimana pihak PT. Lapindo Brantas kurang memberikan penanganan yang cukup bagi warga tersebut, terutama dalam bidang social.

Pembayaran Secara Bertahap

Pembayaran secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak tanggal 4 Desember 2006, 20% dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 tahun habis.

Lokasi Penelitian

(43)

Pemilihan lokasi penelitian ini ditentukan secara “purposive”, yaitu didasarkan pada pertimbangan bahwa kantor di Kecamatan Porong merupakan salah satu bentuk instansi pemerintahan sebagai public service yang memberikan pelayanan.

3.3.Sumber Data

Menurut Lofland dalam Moleong (2004:157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah berasal dari informan yang berupa kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Informan Kunci (Key Person)

Informan kunci, dimana pemilihannya secara purposive sampling dan diseleksi melalui teknik snowball sampling yang didasarkan atas subyek yang menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data yang benar-benar relevan dan kompeten. Data-data tersebut berasal dari : Kecamatan Porong, Kepala desa ( carik/sekdes ) Desa Renokenongo,dan penduduk yang terkena korban Lapindo di Desa Renokenongo.

2. Tempat dan Peristiwa

Tempat dan peristiwa dimana fenomena yang terjadi atau yang penah terjadi berkaitan dengan fokus penelitian di Kecamatan Porong.

3. Dokumen

(44)

Renokenongo, Luas sawah. Kegunaan dari sumber data ini adalah untuk melengkapi hasil wawancara dan pengamatan baik secara terekam maupun tertulis terhadap tempat dan peristiwa.

3.4.Pengumpulan Data

Data merupakan bagian terpenting dalam penelitan karena hakekat dari penelitian adalah pencarian data yang nantinya dianalisa dan diinterpretasikan. Dalam penelitian kualitatif, sumber data yang utama adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen.

Dalam rangkaian pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tiga proses kegiatan yang dilakukan, yaitu :

1. Proses memasuki lokasi penelitian (Getting In)

Agar proses pengumpulan data dari informasi berjalan baik, peneliti terlebih dahulu menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, baik kelengkapan administrative maupun semua persoalan yang berhubungan dengan setting dan subyek penelitian dan mencari relasi awal. Dalam memasuki lokasi penelitian, peneliti menempuh pendekatan formal dan informal serta menjalin hubungan baik dengan informan (Moleong, 2004:128). Maka dalam tahap ini peneliti memasuki lokasi penelitian guna memperoleh gambaran aktifitasnya dengan membawa surat ijin penelitian Universitas Pembangunan Nasional.

2. Ketika Berada di Lokasi Penelitian (Getting Along)

(45)

3. Teknik Pengumpulan Data (Logging The Data)

Setelah kedua langkah diata maka peneliti melakukan pengumpulan data, dimana teknik yang digunakan adalah :

a. Wawancara mendalam (Indepth Interview)

Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kualitas pelayanan yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dengan informan mengenai siapa saja Satgas, Kepala Kecamatan Porong, Sidoarjo dan penduduk Reno Kenongo.

b. Dokumentasi

Teknik dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data.

c. Pengamatan (Observation)

Teknik ini dilakukan untuk mengungkap dan memperoleh deskripsi secara utuh dengan pengamatan langsung dengan masyarakat.

3.5. Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman (1992:16), teknik analisa data kualitatif meliputi tiga alur kegiatan sebagai sesuatu yang terjalin pada saat sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun suatu analisis, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

(46)

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatubentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat ditarik kesimpulan atau verifikasi. Data yang diperoleh dari lokasi penelitian atau data lapangan ditulis dalam uraian yang jelas dan lengkap yang nantinya akan direduksi, dirangkum, dan difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan penelitian kemudian dicari tema atau pola (melalui proses penyuntingan, pemberian kode, dan pembuatan tabel).

2. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data yang ada secara sederhana, rinci, utuh, dan integrative yang digunakan sebagai pijakan untuk menentukan langkah berikutnya dalam menarik kesimpulan dari data yang ada.

3. Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)

(47)

Proses analisis data secara interaktif dapat disajikan dalam bentuk skema sebagai berikut :

Gambar 3. Analisis Model Interaktif Menurut Miles dan Huberman

Sumber : Miles dan Huberman (1992:20)

3.6. Keabsahan Data

Dalam setiap penelitian memerlukan standar untuk melihat derajat kepercayaannya atau kebenarannya dari hasil penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif, standar tersebut disebut dengan keabsahan data. Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2004:324). Untuk menetapkan keabsahan data maka diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas empat kriteria yang digunakan yaitu :

1. Derajat Kepercayaan (Credibility)

Pada dasarnya penerapan kriterium derajat kepercayaan menggantikan konsep validitas internal dari non kualitatif. Kriterium ini berfungsi untuk melakukan inkuiri (penyelidikan) sedemikian rupa, sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai serta untuk menunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.

Pengumpulan Data

Kesimpulan dan verifikasi

(48)

2. Keteralihan (Transferability)

Keteralihan sebagai persoalan empiris yang bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks. Dengan demikian peneliti bertanggung jawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya, jika ia ingin membuat penelitian kecil untuk memastikan usaha memverifikasi tersebut.

3. Kebergantungan (Dependability)

Merupakan substitusi istilah rehabilitas dalam penelitian non kualitatif. Yaitu dengan diadakan pengulangan studi dalam suatu kondisi yang sama hasilnya secara esensial sama maka berarti reabilitasnya tinggi. Penelti sebagai instrument penelitian bisa saja membuat kesalahan karena keterbatasan yang dimiliki atau bisa juga karena keletihan, untuk itu digunakan kriterium ini dimana konsepnya lebih luas daripada rehabilitas. Hal tersebut disebabkan oleh peninjauannya dari segi bahwa konsep itu memperhitungkan segala-galanya, yaitu yang ada pada rehabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor lainnya yang tersangkut. Hal tersebut akan dibahas dalam konteks pemeriksaan.

4. Kepastian (Conformability)

(49)

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data 4.1.1 Gambaran Umum Desa Renokenongo

Desa Renokenongo merupakan desa yang terletak di wilayah Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia. Desa Renokenongo terletak di antara desa Siring, Jatirejo, Ketapang, Kedungbendo, Glagah Arum, Besuki, dan Porong.

Desa Renokenongo memiliki luas wilayah sebesar 195.4 Ha dengan rincian penggunaan sebagai berikut:

Luas pemukiman : 26.044 ha/m2 Luas Persawahan : 80.440 ha/m2 Luas Kuburan : 0.539 ha/m2 Luas Pekarangan : 23.486 ha/m2 Perkantoran : 16.205 ha/m2 Luas prasarana umum lainnya : 48.681 ha/m2 Total luas : 195.40 ha/m2

Jumlah penduduk yang masih tercatat sebagai warga Desa Renokenongo hingga 30 September 2010 adalah sebesar 6.437 Jiwa yang terbagi dalam 1.808 Kepala Keluarga.

(50)

Tabel 4.1.

Mata Pencaharian Penduduk Desa Renokenongo Jenis Pekerjaan Jumlah Prosentase (%) Petani 156 41,93 mata pencaharian penduduk Desa Renokenongo adalah pertanian, dengan jumlah petani 156 orang dan buruh tani berjumlah 110 orang. Sedangkan pegawai negeri sipil berjumlah 31 orang, dan pegawai yang menjadi pengrajin industri rumah tangga jumlahnya 75 orang.

(51)

Sumber: Desa Renokenongo, 2011

Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Desa Renokenongo pernah mengenyam pendidikan sampai setingkat SLTA, akan tetapi juga ada yang belum mengenyam pendidikan, bahkan pendidikan sekolah dasarpun. Disamping itu jumlah wanita yang berpendidikan juga cukup banyak dibandingkan dengan laki-laki.

4.1.2 Str uktur Organisasi

Keberadaan struktur organisasi dalam sebuah organisasi maupun lembaga pemerintahan merupakan hal penting, karena akan berhubungan dengan kelancaran dan efektivitas organisasi dalam menjalankan aktivitas operasional dan fungsional. Desa Renokenongo juga memiliki struktur organisasi yang disusun secara sederhana sebagai berikut:

Gambar 4.2

Struktur Organisasi Desa Renokenongo

Sumber: Kantor Kelurahan Desa Renokenongo, 2010

Rincian tugas dan fungsi organisasi Kelurahan berdasarkan Keputusan Walikota No. 55 Tahun 2001:

(52)

1.Fungsi Lurah

a. Lurah mempunyai tugas melaksanakan sebagian kewenangan pemerintah yang dilimpahkan oleh Camat.

b. Untuk menyelenggarakan tugas yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini. Lurah mempunyai fungsi sebagai berikut:

1) Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang dilimpahkan oleh Camat.

2) Pengkoordinasian dan pelaksanaan terhadap jalannya pemerintahan kelurahan, pembangunan, dan pembinaan masyarakat yang menjadi tanggungjawabnya.

3) Peningkatan partisipasi dan swadaya gotong royong masyarakat.

4) Penyusunan program, penyelenggaraan administrasi ketatausahaan dan rumah tangga.

2.Fungsi Sekretaris

a. Sekretaris kelurahan mempunyai tugas membantu kepala kelurahan di bidang administrasi dan memberikan pelayanan teknis administrasi terhadap seluruh perangkat kelurahan b. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam ayat 1 pasal ini,

sekretaris mempunyai fungsi:

1) Penyusunan, pengendalian dan persiapan bahan untuk mengevaluasi pelaksanaannya

(53)

3) Pengelolahan tata usahan umum, tata usaha kepegawaian serta tata usaha perlengkapan

4) Pelaksanaan urusan rumah tangga

5) Pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Lurah. 3.Fungsi Seksi Pemerintahan

Beberapa tugas seksi pemerintahan:

a. Fungsi seksi pemerintahan mempunyai tugas melakukan urusah pemerintahan dalam bidang administrasi kependudukan

b. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada ayat 1 pasal ini, seksi pemerintahan mempunyai fungsi:

1) Pengumpulan, pengelolahan dan pengevaluasian data di bidang pemerintahan

2) Penyelenggaraam pemerintah dan pelaksana koordinasi instantsi di wilayah kerja kelurahan

3) Pembinaan pelayanan terhadap masyarakat di bidang pemerintahan

4) Pembinaan dan pengadministrasian kependudukan dan catatan sipil

5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh lurah 4.Fungsi Seksi Kesejahteraan Rakyat (KESRA)

(54)

b. Untuk melaksanakan tugas tersebut, dalam ayat 1 pasal ini, Seksi Kesejahteraan Masyarakat mempunyai fungsi:

1) Pelayanan masyarakat di bidang kesejahteraan rakyat

2) Pembinaan dalam bidang keagamaan, kesejahteraan keluarga berencana, dan pendidikan masyarakat

3) Penyusun program dan pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK), karang taruna, pramuka, dan organisasi kemasyarakatan

4) Penyusun bahan laporan di bidang kesejahteraan rakyat 5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Lurah 5. Fungsi Kelompok Jabatan Fungsional

a. Setiap kelompok tersebut dipimpin oleh tenaga fungsional senior yang ditunjuk oleh Lurah dan bertanggungjawab kepada Lurah

b. Jumlah jabatan fungsional tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan beban kerja

(55)

(lima) sumur di Blok Brantas termasuk Sumur Banjarpanji-1 (BJP-1). Aktivitas pengeboran telah berlangsung selama 80 hari, pada saat terjadi semburan lumpur panas di sekitar Sumur BJP-1 pada tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas tersebut tidak bisa dihentikan. Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini, pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38.

Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring.

(56)

Pada tanggal 22 November 2006, pipa gas milik Pertamina meledak, yang menyebabkan 14 orang tewas (pekerja dan petugas keamanan) dan 14 orang luka-luka. Sampai November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/atau terendam dan/atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan, Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah (Sumber: Media Indonesia. Selasa, 27 Juli 2010).

4.2 Penyajian Data

4.2.1 Penanganan Masalah Sosial

Desa Reno Kenongo adalah salah satu desa yang kena dampak hebat semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas. Semenjak terjadi semburan lumpur panas di areal dekat lokasi eksplorasi sumur Banjarpanji-1 yang terletak di Desa Renokenongo, kini Desa Renokenongo telah terendam lumpur dan tidak bisa dijadikan sebagai tempat tinggal bagi penduduk. Sumur Banjarpanji-1 tersebut merupakan salah satu sumur di Blok Brantas milik Lapindo Brantas Inc (LBI) yang menyemburkan lumpur panas pada 29 Mei 2006.

(57)

Menurut hasil wawancara dengan kepala desa / carik desa Renokenongo mengatakan :

“ bahwa di desa kami sebelum adanya semburan Lumpur Lapindo, desa kami sangat tentram dan nyaman. Setelah adanya Lumpur Lapindo sekarang, banyak aktivitas warga yang tersendat, banyak dampak yang kita alami terutama dampak social yaitu masalah pendidikan anak-anak, kesehatan para warga, mata pencharian,sampai pada tempat tinggal pun kita warga desa ini sangat memburuk. Harusnya ada penanganan bagi warga yang terdampak akibat semburan Lumpur Lapindo. “ (wawancara, 7 maret 2011).

Dari hasil wawancara di atas menurut penanganan masalah social itu sendiri, bahwa banyak warga di desa Renokenongo itu sendiri kondisi cukup memburuk sejak adanya semburan Lumpur Lapindo, banyak dampak yang di alami sejak semburan tersebut, terutama dampak social yang di alami. Dari hasil tersebut harusnya terdapat penanganan dampak social yaitu dengan adanya bantuan dari pihak pemerintah dan bantuan dari PT. Lapindo itu sendiri untuk menangani dampak social yang di alami warga desa Renokenongo.

Menurut ibu andini warga desa Renokenongo terhadap penanganan masalah social mengatakan bahwa :

“ kami warga di desa ini sangat kesulitan sejak adanya bencana Lumpur itu mbk, kami harap dengan adanya bencana tersebut pihak PT. Lapindo atau pemerintah dapat memberikan penanganan social yang cukup. Karena untuk adanya penenganan social ini masih kurang cukup. “

Menurut salah satu karyawan di kantor kecamatan Porong Sidoarjo mengatakan bahwa :

(58)

Karene semenjak adanya semburan Lumpur Lapindo tersebut banyak warga yang merasa kehilangan harta mereka seperti tempat tinggal,dll. Seharusnya penanganan yang dilakukan bagi pemerintah cukup agar warga tersebut dapat merasa senang. “ Beberapa dampak sosial yang ditimbulkan akibat semburan Lumpur Lapindo di Desa Renokenongo Kecamatan Porong, diantaranya:

1. Dampak terhadap pekerjaan atau mata pencahar ian

Sebelum datangnya semburan lumpur panas wilayah itu adalah desa yang dinamis. Dari sisi perekonomian, Desa itu adalah desa yang produktif. Hampir tidak ada warga yang dijumpai menganggur.

Hasil wawancara menurut Rustam warga desa Renokenongo tentang hasil mata pencharian warga di Desa Renokenongo.

“Dulu di desa kami (Renokenongo) itu hampir semuanya bekerja. Di sini mudah mencari kerja, dari mulai pertukangan, pertanian dan industri kecil.Namun sekarang sudah tidak ada lagi lahan yang produktif,sector pertanian mati,perindustrian juga pabrik- pabrik sudah tertutup lumpur dan hampir lagi tidak ada kegiatan warga untuk menggalakan usaha kecil menengah karena hilangnya beberapa komunitas warga,”. (wawancara 7 maret 2011)

Rustam mengungkapkan, selain kondisi perekonomian yang menjanjikan, suasana desa Renokenongo juga sangat bersahabat. Kebersamaan warga sangat terasa baik pada segi penataan lingkungan maupun kegiatan warga.

(59)

Menurut kepala desa / carik di desa Renokenongo mengatakan bahwa :

“ mata pencharian di desa kami sangatlah buruk karena sejak adanya bencana semburan Lumpur Lapindo tersebut, banyak warga yang mengalami / kehilangan mata pencharian untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka masing-masing. Karena warga desa kami mayoritas dari buruh tani, jadi penghasilan mereka juga tidak tetap tapi cukup untuk memberi makan bagi keluarganya. “ (wawancara, 7 maret 2011).

Hasil wawancara menurut carik / kepala desa yaitu masih sangat buruk untuk dampak mata pencharian. Masih banyak warga yang menjadi pengangguran setelah adanya bencana Lumpur Lapindo tersebut.

Menurut salah satu karyawan di kantor kecamatan Porong Sidoarjo, mengatakan bahwa :

“ untuk masalah mata pencharian, memang di desa Renokenongo sendiri sangat buruk semenjak adanya semburan Lumpur Lapindo, karena mata pencharian mereka hanya bisa di dapat dari buruh tani saja. Sekarang hasil tani mereka lenyap karena terkena Lumpur Lapindo warga desa Renokenongo kehilangan mata pencharian mereka. “(wawancara, 7 maret 2011). Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa dampak dari mata pencharian di desa Renokenongo sangatlah buruk semenjak adanya semburan Lumpur Lapindo, karena dengan adanya bencana tersebut warga di desa tersebut mayoritas banyak yang menjadi pengangguran.

(60)

akibat kejadian semburan lumpur Lapindo, seolah cita-cita mereka hilang, berbagai rencana yang telah disiapkan warga sebagai sebuah masa depan telah hancur dengan tidak adanya tempat tinggal bahkan sampai kehilangan pekerjaan.

BPLS telah memulai beberapa program pelatihan kerja supaya masyarakat memiliki ketrampilan kerja dan dapat mengangkat kembali perekonomian mereka yang hancur akibat semburan Lumpur Lapindo. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo mendirikan Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI) yang bertujuan untuk melatih korban Lumpur Lapindo dalam pembuatan sepatu. Sebanyak 160 korban Lumpur Lapindo telah dikirim untuk pelatihan pada tahun 2010 oleh BPLS. Pelatihan ini didanai oleh pemerintah Indonesia sehingga masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengikuti pelatihan tersebut. data dalam pelatihan juga menunjukkan bahwa 100% peserta yang menyelesaikan program pelatihan ini mampu mendapatkan pekerjaan.

2.Dampak terhadap tempat tinggal

(61)

banjir lumpur Lapindo yang menghancurkan tanah/tempat tinggal dan barang-barang berharga, termasuk juga pekerjaan yang selama ini menjadi penopang ekonomi keluarga. Banyak diantara mereka yang dulu bekerja sebagai petani, wiraswasta, pedagang, dan buruh pabrik terpaksa berhenti karena usaha mereka tenggelam ditelan lumpur Lapindo.

Untuk menyelamatkan diri dari luapan lumpur lapindo, masyarakat terpaksa meninggalkan rumah dan harta benda milik mereka, tanpa status ganti rugi yang belum jelas. Pengungsian dilakukan sebagai upaya mempertahankan diri dari bahaya bencana, baik untuk sementara waktu ataupun untuk selamanya. Lokasi pengungsian berada di beberapa tempat, seperti Pasar Baru Porong, Kantor Desa Renokenongo, Kantor Desa Kedung Bendo dan Jalan Tol yang tidak dimanfaatkan lagi. Masing-masing lokasi pengungsian menampung pengungsi dengan jumlah yang berbeda-beda sesuai dengan luas tempat yang digunakan. Ketika lumpur terus menerus menyembur dan mengakibatkan lebih banyak lagi desa terendam, jumlah pengungsi pun bertambah banyak.

Menurut angga warga desa Renokenongo tentang dampak tempat tinggal setelah bencana Lumpur Lapindo, mengatakan bahwa :

(62)

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh warga adalah para warga sangat kehilangan tempat tinggal mereka karena semenjak adanya bencana tersebut. Semenjak adanya semburan Lumpur Lapindo warga juga mendapat tempat tinggal di pengungsian, walaupun sampai berdesak-desak an karena semakin bertambahnya warga yang mengungsi.

Menurut kepala desa / carik terhadap dampak social tempat tinggal, mengatakan bahwa :

“ banyak warga yang merasa kehilangan tempat tinggal sejak adanya bencana tersebut, tapi setelah itu para warga mendapat tempat pengungsian walaupun tidak begitu layak untuk di tempati. Setelah para warga memutuskan untuk mencari tempat tinggal sendiri maka kami para warga desa Renokenongo mengumpulkan uang untuk membeli tanah dan membangun tempat tinggal khusus bagi para warga desa Renokenongo. “ (wawancara, 7 maret 2011).

Dari hasil wawancara menurut kepala desa Renokenongo adalah para warga sangat kehilangan tempat tinggal mereka, namun warga telah sepakat untuk merencanakan membeli tanah untuk tempat tinggal mereka dengan cara mengumpulkan uang bagi tiap warga khususnya di desa Renokenongo.

Menurut salah satu karyawan di kantor kecamatan Porong Sidoarjo, mengatakan bahwa :

(63)

Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya dampak terhadap tempat tinggal para warga masih tidak nyaman dengan keadaan di tempat pengungsian.

Penanganan dampak sosial yang dilakukan oleh pemerintah di Desa renokenongo terkait dengan dampak social tempat tinggal yang ditimbulkan di antaranya adalah dengan melakukan pemberian ganti rugi terhadap lahan yang terkena dampak lumpur Lapindo. Beberapa hal yang dilakukan di antaranya adalah dengan melakukan pendataan kepemilikan lahan, memberikan tempat tinggal sementara, dan melakukan pembayaran ganti rugi secara bertahap.

3. Kesehatan

Dampak semburan Lumpur Sidoarjo juga berdampak pada terganggunya kesehatan masyarakat. Seperti yang diutarakan oleh Rustam bahwa ia dan warga lainnya harus menjalani kehidupan dalam pengungsian. Hidup dalam pengungsian bukanlah cerita indah bagi Rustam dan korban semburan lumpur. Banyak kisah miris yang terjadi sejak warga Renokenongo hidup dalam pengungsian. (wawancara tanggal 14 Maret 2011)

Menurut hasil wawancara kepada rustam warga desa renokenongo yang mengatakan kesehatan di desa renokenongo

(64)

Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa sarana kesehatan yang diberikan pengungsi jauh dari kata layak, sehingga memerlukan perhatian yang lebih terhadap pengungsi.

Menurut pak subakhri kepala desa / carik desa Renokenongo, mengatakan bahwa :

“ bahwa di tempat pengungsian para pengungsi kurang mendapatkan perhatian dan jaminan kualitas kesehatan yang baik. Itu bisa dilihat dari semakin buruknya kondisi anak-anak dan lansia di tempat pengungsian, sebaiknya pemerintah tidak setengah-setengah memberikan bantuan bagi warga kami. Karena kami disini adalah korban dari bencana Lumpur Lapindo. “ (wawancara, 14 mei 2011).

Dari hasil wawancara di atas bahwa kepala desa sangat mengharapkan perhatian yang layak dari pemerintah terhadap mutu kesehatan yang diberikan kepada warganya.

Menurut anton karyawan di kantor kecamatan Porong Sidoarjo, mengatakan bahwa :

(65)

dan mengetahui apa yang dibutuhkan oleh pengungsi. Contoh, di tempat pengungsian tidak membutuhkan banyak selimut, tetapi membutuhkan banyak makanan bergizi dan obat-obatan yang justru bantuannya sangat minim.

Adapun beberapa langkah yang ditempuh oleh pemerintah salah satu nya BPLS terus mengkoordinasikan pembukaan pusat-pusat kesehatan di kabupaten Sidoarjo dan pusat kesehatan 24 jam di Porong. Dan sebagai bagian dari komitmen terhadap kesejahteraan sosial, Lapindo dan BPLS memberikan perawatan medis gratis untuk korban lumpur dengan biaya yang cukup besar sampai akhir tahun 2010 biaya yang dikeluarkan untuk bantuan medis sudah mencapai Rp. 2,986,210,248.

Terhadap pengungsian baiknya BPLS menyediakan air bersih baik untuk minum ataupun keperluan lain dengan jalan program truck tangki keliling dengan tidak dipungut biaya apapun. Penyediaan kebutuhan pengungsian baik makanan yang bergizi,susu untuk bayi popok bayi dan pemberian gizi untuk orang – orang lanjut usia.

penanganan dari dampak kesehatan adalah Dari semua pemberian itu diharapkan mampu menekan datangnya penyakit bagi pengungsi seperti diare ,penyakit kulit dan lebih parahnya yaitu muntaber.

4. Pendidikan

(66)

anak-anak sekolah. Beberapa sekolah harus pindah ke tempat yang lebih aman supaya dapat melangsungkan proses belajar mengajar.

Salah satu contohnya adalah SDN Renokenongo I. Untuk menjaga proses belajar mengajar, agar tidak terganggu dampak lumpur dari proyek PT Lapindo Brantas Inc. yang diakibatkan jebolnya tanggul di titik 42 pada Senin (29 Oktober 2007), SDN Renokenongo I akan dipindah ke SDN Glagah Arum sebelah timur Desa Renokenongo. Menurut Kepala Sekolah SDN Renokenongo I, Drs Machfud, Jumat, upaya ini dilakukan pihak sekolah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo, agar para siswa dapat belajar dengan tenang, tanpa khawatir luberan lumpur yang sewaktu-waktu menggenangi sekolah itu.

Dari hasil wawancara kepada Drs. Machfud salah satu karyawan di kantor Kecamatan Porong, mengatakan bahwa :

"Saat tanggul jebol, lumpur langsung mengarah ke Desa Renokenongo dan membanjiri bekas persawahan di belakang gedung sekolah. Kondisi itulah yang membuat kami harus secepat mungkin memindahkan sekolah, jika tanggul jebol kembali sekolah sudah kosong.banyak para siswa yang harus terhentikan proses mengajar. tapi untuk sekarang pendidikan di desa kami sudah agak membaik di karenakan adanya bantuan dana BOS." (Wawancara, 14 Maret 2010).

(67)

Dari hasil wawancara di atas, terdapatnya kondisi buruk dalam pendidikan, karena tanggul jebol para siswa harus terhentikan proses mengajarnya. Tapi setelah adanya bantuan dana BOS pendidikan di desa tersebut tidak lagi mengalami kondisi buruk.

Menurut andi warga desa Renokenongo, mengatakan bahwa :

“Pendidikan yang di tempuh oleh para siswa di desa kami memang sudah membaik, bahkan mereka masih dapat melanjutkan sekolah mereka sampai ke jenjang yang lebih. Kami bersyukur karena pendidikan di desa kami sudah sangat baik di banding sebelumnya. “ (wawancara, 16 mei 2011).

Dari hasil wawancara di atas, menurut warga adalah pendidikan di desa Renokenongo sangatlah baik di banding sebelum awal terkena semburan Lumpur Lapindo. Para siswa dapat melaksanakan pendidikan mereka sampai selesai karena adanya bantuan dari BOS.

Penanganan terhadap dampak pendidikan. Dengan dukungan keuangan Lapindo, BPLS membantu anak-anak dari keluarga pengungsi untuk tetap sampai ke sekolah, hal ini dikarenakan jarak sekolah yang dahulu dengan sekolah sekarang sangat jauh dari tempat pengungsian. Bagaimana tidak, hal ini dikarenakan SDN Renokenongo I dipindah ke SDN Glagah Arum sebelah timur Desa Renokenongo.

Upaya yang dilakukan oleh BPLS adalah memberikan kendaraan dari pemerintah Sidoarjo dan tentara untuk antar-jemput mereka ke sekolah.

(68)

tercukupi karena masih berkurangnya bantuan terhadap masyarakat khususnya di desa Renokenongo.

4.2.2 Pembayar an Ganti Rugi

Sebelum terjadi ledakan pipa gas pada tanggal 22 November 2006, kepala desa Renokenongo berjuang dengan menggunakan data, dan mampu mengurus seluruh warganya untuk mendapatkan bantuan. Usaha kepala desa tersebut mampu menghasilkan dana bantuan sebanyak dua kali yaitu yang pertama Rp.200.000,- per KK satu kali, dan kedua Rp.300.000,- per KK. Kemudian kepala desa juga mengusulkan uang ganti rugi untuk semua warganya yang rumahnya tenggelam dan yang hanya retak-retak yang sudah tidak layak huni, serta akses terisolasi.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah terjadi ledakan pipa gas Pertamina pada tanggal 22 November 2006 yang menambah luas area luapan lumpur panas, dan bersamaan dengan itu bergulir jalan keluar yang ditawarkan Lapindo, yaitu memberikan uang kontrak kepada warga. Satu Paket Uang Kontrak terdiri dari uang kontrak selama dua tahun Rp.5.000.000,- ditambah dengan “Uang Boyong” Rp.500.000,- dan uang “Jaminan Hidup” (Jadup) Rp. 300.000,- perbulan per jiwa selama 9 bulan yang kemudian diusulkan untuk perpanjangan selama 3 bulan ke depan sampai bulan Juni 2007.

Gambar

Gambar 3. Analisis Model Interaktif Menurut Miles dan Huberman
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Desa

Referensi

Dokumen terkait

Desain penelitian adalah cross-sectional (potong lintang) dengan tujuan untuk mengetahui pemberian obat simtomatik atau obat lain yang diberikan tenaga kesehatan selain

Tulisan ini menyajikan serangkaian tes yang dilakukan untuk menghubungkan gambar termal dan kegagalan yang biasa terjadi dalam arrester Zinc Oxide dan pengembangan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah peradiasian plasma terhadap sampel pellet pakan sapi dari limbah tanaman jagung pada udara atmosfir dapat

Kedua, hal-hal penyebab munculnya pertentangan terdapat tiga permasalahan yaitu pernikahan, pola pikir, dan sistem kekerabatan dan empat aspek penyebab munculnya

Dalam mengelola harta wakaf produktif, perlu ada manajemen yang mengelola aset wakaf secara transparan dan akuntabel, model manajemen ini bisa dijabarkan dalam beberapa hal

Pada eksperimen ini perangkat yang digunakan antara lain rangkaian C-V converter Osiloskop, Signal Generator, Sensor kapasitansi dan komputer. Eksperimen ini

Setelah serangkaian proses dilalui, maka peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan: 1) berdasarkan observasi dan pengukuran menggunakan skala nyeri 1-10 sebelum

Pelaksana tugas gubernur sumatera utara (Plt GUbsu) T Erry Nuradi menyerahkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Gubsu akhir tahun 2015 kepada DPRD Sumut